BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. Kepuasan Kerja
2.1 Definisi Kepuasan Kerja
Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individuil. Setiap
individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda sesuai sistem nilai yang
dianutnya. Hal ini dikarenakan adanya perbadaan masing-masing individu.
Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu,
maka semakin tinggi tingkat kepuasannya, demikian juga sebaliknya.
Kepuasan kerja adalah perasaan mendukung yang dialami seorang pegawai
yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya (Mu’at dan Julina,
2009). Vroom (1964) dalam As’ad (1995) mendefinisikannya sebagai refleksi
yang bersifat positif dari sikap terhadap pekerjaan.
Kemudian Wijono (2010) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah hasil
perkiraan atau pemikiran individu terhadap pekerjaannya atau suatu pengalaman
positif dan menyenangkan yang dirasakan individu atas pekerjaannya. Hal itu
juga didukung oleh Locke (1976) dalam Wijono (2010) yang berpendapat bahwa
kepuasan kerja merupakan tingkat emosi positif dan menyenangkan individu.
As’ad (1995) juga mengungkapan arti yang sependapat bahwa kepuasan kerja
adalah “perasaan seseorang terhadap pekerjaannya”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah respon positif dari
seorang pekerja yang selanjutnya akan terwujud melalui sikap atas pekerjaannya.
2.2 Teori Kepuasan Kerja
Ada beberapa teori yang dikenal tentang kepuasan kerja. Salah satunya adalah
Job Satisfaction Survey (JSS). Menurut Spector (1997) kepuasan kerja adalah bagaimana perasaan seseorang terhadap pekerjaan mereka dan tentang
bermacam-macam aspek yang berbeda dari pekerjaan itu, sehingga akan sangat terkait
dengan bagaimana seseorang itu menyukai (puas) atau tidak menyukai (tidak
puas) akan pekerjaannya. Dalam teorinya, Spector (1997) mengungkapkan ada
sembilan aspek yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, yaitu: gaji
(pay), promosi (promotion), supervisi (supervision), keuntungan tambahan (fringe
benefits), penghargaan (contingent rewards), prosedur kondisi saat kerja
(operating conditions), rekan kerja (coworkers), situasi pekerjaan (nature of
work), dan komunikasi (communications).
Selain itu, Wexley dan Yukl (1997) dalam As’ad (1995) juga mengungkapkan
terdapat 3 teori kepuasan kerja yaitu: teori pertentangan (dicrepancy theory), teori keadilan (equity theory), teori dua faktor (two factor theory).
a. Teori pertentangan atau perbedaan (dicrepancy theory)
Porter (1961) dalam As’ad (1995) adalah orang pertama yang
mempelopori teori ini. Porter mengukur kepuasan kerja sesorang dengan
menghitung selisih antara apa yang seharusnya dirasakan dengan kenyataan
yang terjadi.
Kemudian Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja bergantung
pada pertentangan atau ketidaksesuaian antara should be (ekpektasi, kebutuhan, atau nilai) dengan apa yang menurutnya telah dicapai melalui pekerjaan.
Dengan demikian orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara
b. Teori keadilan (equity theory)
Prinsip dari teori ini puas atau tidak puasnya seseorang bergantung pada
keadilan (equity) yang dirasakan dalam suatu situasi. Teori ini memiliki elemen
input-out comes, comparison person, equity-inequity.
Input adalah segala sesuatu yang berharga yang diberikan karyawan pada
pekerjaannya, misalnya: pendidikan, pengalaman, ketrampilan, usaha, jam
kerja dan sebagainya. Outcomes adalah segala sesuatu yang dirasakan karyawan sebagai “hasil” dari pekerjaannya, seperti: gaji, kenyamanan,
jabatan, kesempatan untuk berprestasi atau aktualisasi diri. Sedangkan
comparison person orang lain yang kepadanya karyawan membandingkan
input-outcomes yang dimilikinya.
Oleh karena itu, berdasarkan teori ini setiap karyawan atau pekerja akan
membandingkan ratio input-outcomes dirinya dengan ratio input-outcomes
orang lain. Bila perbandingan dianggap cukup adil, maka ia akan merasa puas.
Bila itu tidak seimbang tetapi menguntungkan (over compensation in-equity), dapat menimbulkan kepuasan tetapi bisa juga tidak (misalnya pada orang yang
moralis). Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under
compensation in-equity) akan timbul ketidakpuasan.
c. Teori dua faktor (two factor theory)
Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg (Suarli dan Bahtiar, 2009).
Herzberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap
dan kelompok faktor pemelihara atau hygiene factors. Perbedaan antara dua faktor ini disebut sebagai teori motivasi-higiene atau teori dua faktor.
Satisfier (motivator) adalah faktor yang berhubungan pada pekerjaan itu
sendiri. Motivator merupakan faktor yang efektif untuk memotivasi
peningkatan kinerja dan secara positif berpengaruh pada kepuasan kerja.
Faktor-faktor tersebut adalah: prestasi, pengakuan, pekerjaan atau tugas,
tanggungjawab, kemajuan, kemungkinan bertumbuh (Hersey, Blanchard dan
Johnson, 1996; Herzberg, Mausner dan Snyderman, 1959 dalam Huber, 2000).
Dengan adanya faktor ini akan menimbulkan kepuasan, tapi dengan tidak
adanya faktor ini pun tidak selalu menyebabkan ketidakpuasan.
Faktor pemelihara (hygiene factors) adalah faktor yang berhubungan dengan lingkungan dan kondisi kerja. Jika faktor ini terpenuhi, maka tidak
akan menyebabkan kepuasan pada karyawan, melainkan akan mencegah
kehilangan produktifitas karena ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor tersebut
adalah: keamanan, status, gaji, kondisi kerja yang positif, hubungan
interpersonal, pengawasan dan kebijakan (Hersey, Blanchard dan Johnson,
1996; Herzberg, Mausner dan Snyderman, 1959 dalam Huber, 2000). Apabila
faktor-faktor ini terpenuhi maka akan mengurangi atau mengatasi
ketidakpuasan pegawai.
Teori Herzberg ini menunjukkan bahwa meskipun organisasi harus
membangun faktor higiene atau pemelihara, suasana yang memotivasi pun
harus secara aktif melibatkan pegawai. Para pekerja harus diberi tanggung
baik. Sistem penghargaan harus memenuhi kebutuhan motivasi dan faktor
pemelihara dan penekanan yang diberi sebaiknya disesuaikan pada situasi dan
keterlibatan pegawai (Marquis dan Huston, 2010).
Dalam penelitian ini teori yang akan digunakan adalah teori dua faktor
yang dikemukakan oleh Herzberg. Teori dua faktor yang diungkapkan oleh
Herzberg ini secara jelas dapat menggambarkan kepuasan kerja seseorang dan
sekaligus juga akan memperlihatkan aspek-aspek pekerjaan yang merupakan
sumber kepuasan atau ketidakpuasan (As’ad, 1995).
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan kerja
Menurut beberapa orang gaji merupakan faktor utama dalam mempengaruhi
kepuasan seseorang dalam berkerja, dan tidak jarang pihak manajemen berusaha
untuk menigkatkan produktivitas karyawan dengan menaikkan gaji. Padahal gaji
hanya memberi kepuasan sementara, karena kepuasan akan gaji yang diperoleh
dipengaruhi oleh kebutuhan dan nilai masing-masing (Hullin, 1966 dalam As’ad,
1955).
Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan pekerja, namun tetap saja
faktor-faktor itu tergantung pribadi masing-masing pekerja. Menurut Blum (1965) dalam
As’ad (1955) faktor yang memberi kepuasan kerja yaitu:
a. Faktor individuil, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan.
b. Faktor sosial, meliputi hubungan keluarga, pandangan masyarakat,
kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan, kebebasan berpolitik, dan
c. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman
kerja, kondisi kerja dan kesempatan untuk maju.
Pendapat lain dari Gilmer (1966) dalam As’ad (1955) faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja adalah:
a. Kesempatan untuk maju
b. Keamanan kerja
c. Gaji
d. Perusahaan dan manajemen
e. Pengawasan (supervisi)
f. Faktor intrinsik dari pekerjaan, termasuk sukar atau mudah tugas atau
pekerjaan yang dimiliki.
g. Kondisi kerja
h. Aspek sosial dalam pekerjaan
i. Komunikasi
j. Fasilitas
Penelitian yang dilakukan Caugemi dan Claypool (1978) dalam As’ad (1955),
menemukan bahwa hal-hal yang menyebabkan rasa puas adalah (1) prestasi, (2)
penghargaan, (3) kenaikan jabatan dan (4) pujian.
Dari banyak pendapat tentang faktor tersebut, As’ad (1955 )merangkum
faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:
a. Faktor psikologik, faktor yang berhubungan dengan kejiwaan meliputi
minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan
b. Faktor sosial, yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antar sesama
pekerja, dengan atasan maupun dengan yang berbeda jenis pekerjaannya.
c. Faktor fisik, berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan
kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja
dan waktu istirahat, perlengkapan kerja keadaan ruangan dan sebagainya.
d. Faktor finansial, berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan
karyawan yang meliputi sistem besarnya gaji, jaminan sosial,