BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
2. Pembahasan
Menurut Teori Kebutuhan Maslow (1970 dalam Wijono, 2010), bahwa
individu yang bekerja memiliki tahapan kebutuhan dasar yang akan mereka capai
dalam pekerjaan atau yang akan memotivasi mereka dalam pekerjaan. Jika satu
kebutuhan telah dipenuhi, maka akan berganti dengan kebutuhan lain yang belum
terpenuhi oleh individu sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Dalam teori ini
individu dimotivasi mulai dari kebutuhan yang paling dasar sampai kebutuhan
yang lebih tinggi.
Tingkatan kebutuhan itu adalah pertama, kebutuhan fisiologis. Kebutuhan yang timbul berdasarkan kebutuhan kondisi fisiologis tubuh manusia yakni
kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal. Kebutuhan fisiologis ini
kebutuhan fisiologis. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan bebas dari rasa takut
atau ancaman ataupun perlindungan dari bahaya atau ancaman fisik. Termasuk
juga kebutuhan dalam mengikuti peraturan secara struktural, peraturan dan tata
tertib, dan sebagainya.
Ketiga, kebutuhan sosial. Kebutuhan yang berhubungan dengan orang lain
yakni bersosialisasi dan berteman. Dalam hal ini setiap pekerja membutuhkan
dirinya agar dapat berinteraksi dengan rekan kerja lain dan ingin diterima agar
dapat berprestasi dalam pekerjaan. Keempat, kebutuhan harga diri. Kebutuhan ini terungkap dengan keinginan untuk diakui prestasi kerjanya, keinginan untuk
didengar serta dihargai pandangannya. Pemuasan terhadap kebutuhan ini akan
membawa keyakinan diri, kekuatan, juga kemampuan.
Kelima, kebutuhan aktualisasi diri, yang merupakan kebutuhan yang paling
tinggi bagi seorang pekerja yang juga ingin dipenuhi dan dipuaskan. Kebutuhan
ini mencakup kebutuhan untuk dapat merealisasikan potensi secara penuh dan
kebebasan dalam melaksanakan tugas pekerjaan. Kelima kebutuhan dalam teori
Maslow ini akan dibutuhkan oleh manusia sepanjang kehidupannya. Oleh karena
itu, para pekerja akan menyesuaikan usaha memenuhi kebutuhannya menurut
hierarki prioritas semula, yakni tingkat paling rendah hingga tingkat paling tinggi.
Beberapa teori lain terkait motivasi kerja seperti Teori Kebutuhan ERG juga
menganut kepada teori Maslow. Teori yang dikembangkan oleh Alderfer ini
menyesuaikan dan memodifikasi dari lima tingkat teori Maslow menjadi tiga
kebutuhan saja yaitu kebutuhan keberadaan (existence), kebutuhan hubungan relasi (relatedness), dan kebutuhan pertumbuhan (growth). Kebutuhan
keberadaan (existence), berkaitan dengan kebutuhan materi dan fisik yakni, gaji, keuntungan, dan keselamatan secara fisik. Kebutuhan ini juga merupakan
kebutuhan akan substansi material seperti keinginan untuk memperoleh makanan,
air, perumahan, uang, mebel maupun mobil. Sehingga, kebutuhan ini mencakup
kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman dari Maslow.
Kebutuhan relasi (relatedness), berupa kebutuhan untuk mengadakan hubungan dan sosialisasi dengan orang lain. Individu akan berusaha akan
berusaha untuk dapat membina hubungan dengan orang-orang dilingkungan
kerjanya seperti teman kerja, atasan dan bawahan. Kebutuhan ini mencakup
kebutuhan sosial dan bagian eksternal dari kebutuhan harga diri dari Maslow.
Kebutuhan pertumbuhan (growth), merupakan kebutuhan yang mendorong individu untuk menjadi orang yang kreatif dan produktif serta untuk
mengembangkan kecakapan secara penuh. Kebutuhan ini mecakup bagian
intrinsik dari kebutuhan harga diri dan kebutuhan aktualisasi dari Maslow.
Dalam teori ini, jika kebutuhan tingkat yang lebih tinggi tidak dipuasi, maka
individu akan kembali keusaha untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat yang
lebih rendah. Sesuai dengan teori Maslow, teori ERG ini pemenuhan kebutuhan
tingkat yang lebih tinggi setelah kebutuhan tingkat yang lebih rendah terpenuhi
juga penting.
Teori berikutnya adalah Teori Dua Faktor Herzberg. Herzberg juga
menggolongkan kebutuhan-kebutuhan namun dalam dua faktor saja, yaitu faktor
motivator dan pemelihara. Yang termasuk dalam faktor motivator adalah prestasi,
bertumbuh. Sedangkan faktor pemelihara adalah keamanan, status, gaji, kondisi
kerja yang positif, hubungan interpersonal, pengawasan, dan kebijakan.
Dalam teori ini ditemukan faktor motivatorlah yang akan memberi kepuasan
kerja apabila kebutuhan-kebutuhan dalam faktor itu dipenuhi. Jika tidak
terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan ketidakpuasan tetapi hanya pada
tingkat netral saja. Sebaliknya jika kebutuhan dalam faktor pemelihara tidak
terpenuhi maka akan membuat individu mengalami ketidakpuasan kerja.
Jika dibandingkan dengan kebutuhan Maslow, akan didapati bahwa
kebutuhan yang berkaitan dengan motivator adalah kebutuhan harga diri dan
kebutuhan aktualisasi diri. Sedangkan kebutuhan yang berkaitan dengan faktor
pemelihara adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, dan kebutuhan
sosial.
Selain itu ada teori lain yang juga berkaitan dengan motivasi yaitu Teori
Motivasi McClelland (1974). Teori ini juga disebut teori kebutuhan dari
McClelland dimana terdapat kebutuhan kekuasaan, kebutuhan afiliasi, dan
kebutuhan berprestasi. Kebutuhan kekuasaan adalah adanya keinginan yang kuat
untuk mengendalikan, untuk mempengaruhi, dan untuk memiliki dampak
terhadap orang lain. Orang dengan kebutuhan berkuasa yang besar menyukai
pekerjaan dimana mereka menjadi pimpinan, karena akan lebih mudah untuk
mempengaruhi orang lain.
Kebutuhan afiliasi lebih kepada orang-orang yang suka untuk berhubungan
dan persahabatan. Mereka ingin untuk disukai dan diterima oleh orang lain dan
afiliasi juga menginginkan hubungan yang melibatkan pengertian dalam derajat
yang tinggi dan akan berusaha untuk menghindari konflik.
Orang-orang dengan kebutuhan berprestasi adalah mereka yang memiliki
dorongan kuat untuk berprestasi dan akan lebih mengejar prestasi pribadi dari
pada imbalan terhadap keberhasilan. Mereka akan lebih bergairah untuk
melakukan sesuatu lebih baik lagi dan lebih efisien dari hasil sebelumnya. Oleh
karena itu kebutuhan ini lebih mengarah terhadap kepentingan masa depan dan
akan menjadi lebih dapat memperkirakan situasi yang akan datang untuk
memperoleh prestasi yang lebih baik dalam bekerja. Dorongan inilah yang
disebut kebutuhan berprestasi. Jika dilihat dari kebutuhan Maslow akan didapati
bahwa kebutuhan kekuasaan akan berkaitan dengan kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan afiliasi berkaitan dengan kebutuhan harga diri, dan kebutuhan
berprestasi akan berkaitan dengan aktualisasi diri.
Berdasarkan hasil penelitian, lebih dari sepertiga jumlah dosen memiliki
tingkat motivasi sedang, dan kemudian sisa nya memiliki tingkat motivasi yang
tinggi. Hasil karakteristik demografi menunjukkan mayoritas responden berjenis
kelamin perempuan yakni sepertiga dari seluruh responden. Penelitian Aswat
(2010) memperlihatkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan
terhadap motivasi kerja. Hal yang sama juga ditemukan oleh Sutrisno (2013)
bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja, dimana
dalam penelitian ini jenis kelamin yang mayoritas adalah perempuan. Namun
Dalam penelitian ini hampir setengah dari seluruh jumlah responden berusia
39-42 tahun. Berdasarkan usia responden dalam penelitian ini yakni diatas 30
tahun, telah memiliki realitas dalam bekerja sehingga jarang mengalami
kekecewaan dalam pekerjaan dan cenderung membuat motivasi kerja lebih tinggi
(Wexley, 1977). Sementara itu hasil penelitian Aswat (2010) menyatakan bahwa
umur ≤ 30 tahun yang memiliki motivasi tinggi dan merupakan usia yang ideal untuk bekerja.
Tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini, hampir seluruhnya S2
(Magister) dan hanya sebagian kecil yang tingkat pendidikannya S1 (Sarjana).
Hasil penelitian Indrastuti (2010) terhadap perawat menunjukkan tingkat
pendidikan tidak mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Namun berbeda
dengan penelitian yang dilakukan Sutrisno (2013) terhadap perawat di RSUD
Banyumas, bahwa tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat motivasi
dalam bekerja.
Untuk masa kerja atau lama waktu bekerja, dosen memiliki masa kerja 10-15
tahun ialah sebanyak 23 orang. Jumlah ini lebih dari setengah dari keseluruhan
jumlah responden. Siagian (2002) dalam Aswat (2010) menyatakan bahwa
semakin lama seseorang bekerja maka akan semakin matang secara teknis dan
psikologis yang menunjukkan kematangan jiwanya dalam bekerja. Hasil
penelitian Sutrisno (2013) juga menunjukkan lama bekerja atau masa bekerja
berpengaruh besar atas motivasi kerja. Sehingga seharusnya semakin lama
dalam bekerja dan lebih memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang
pekerjaannya.
Sesuai dengan hasil yang didapatkan, kebutuhan paling besar yang
memotivasi dosen di Fakultas Keperawatan untuk bekerja secara keseluruhan
adalah kebutuhan fisiologis. Pada peringkat ini, biasanya pemenuhannya
berbeda-beda untuk setiap individu. Sama halnya dengan hasil penelitian Andi
dan Djendoko (2004) mendapati bahwa kebutuhan fisiologis merupakan
kebutuhan peringkat pertama yang harus dipenuhi dan yang memotivasi. Hanya
saja dalam penelitian ini yang menjadi respondennya adalah para pekerja
konstruksi di Surabaya. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling
mendasar yang harus dipenuhi oleh setiap pekerja, demikian juga dengan dosen di
Fakultas Keperawatan menganggap bahwa motivasi terbesar dalam bekerja adalah
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis melalui gaji atau penghasilan yang
diperoleh dari pekerjaan sebagai dosen. Adapun kebutuhan yang dipenuhi adalah
kebutuhan hidup sehari-hari yakni makanan minuman, sandang dan juga tempat
tinggal.
Hasil yang didapat dari setiap item pernyataan mengenai kebutuhan fisiologis
bahwa sebagian besar dosen setuju bahwa penghasilan yang diperoleh dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan sandang. Namun untuk
kebutuhan akan tempat tinggal yang layak, sebagian besar dosen menyatakan
setuju bahwa penghasilan mereka belum dapat memenuhi kebutuhan akan tempat
tinggal yang layak. Hal ini dikarenakan masing-masing dosen memiliki
Mengenai kebutuhan rasa aman didapati bahwa seimbang jumlah antara
dosen yang termotivasi akan pemenuhan kebutuhan ini dan dosen yang merasa
tidak termotivasi. Masing-masing proporsinya adalah setengah dari total jumlah
responden. Item yang paling banyak disetujui oleh dosen adalah bahwa ketika
mereka bekerja perasaaan aman untuk meninggalkan barang yang mereka miliki
akan membuat motivasi mereka dalam bekerja meningkat. Tentang peraturan dan
kebijakan di institusi, dosen menyatakan sangat setuju dan setuju bahwa tidak
semua dosen tidak diwajibkan untuk mematuhi peraturan yang ditetapkan. Poin
ini merupakan salah satu penyebab dari merasa tidak termotivasinya dosen akan
kebutuhan rasa aman. Mengenai peraturan dan kebijakan, Dermantioin (2009)
justru mendapati hal ini meningkatkan motivasi kerja karyawan Jurnal Bogor.
Hal ini terjadi karena karyawan Jurnal Bogor berkomitmen untuk menaati
praturan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh perusahaan mereka. Berbeda
dengan dosen Fakultas Keperawatan yang pihak institusi sendiri tidak
mewajibkan seluruh dosen untuk mematuhi peraturan dan kebijakan yang telah
ditetapkan.
Secara umum didapati bahwa kebutuhan sosial tidak memberikan motivasi
dalam pekerjaan yang dilakukan dosen. Ini berarti dosen merasa pimpinan
institusi maupun rekan kerjanya tidak membuat dosen termotivasi. Berbeda
dengan hasil penelitian Maulani (2005) yang mendapati bahwa lebih dari setengah
responden yang diteliti menganggap bahwa kebutuhan sosial memotivasi mereka
dalam bekerja. Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah karyawan
Dermantioin (2009) yang melakukan penelitian tentang motivasi kerja pada
karyawan Jurnal Bogor, bahwa kebutuhan sosial yakni hubungan dengan atasan
dan rekan kerja justru secara erat mempengaruhi motivasi karyawan tersebut
dalam bekerja. Hal ini dapat terjadi terhadap dosen Fakultas Keperawatan
dikarenakan sikap dan perhatian yang diberikan oleh pimpinan dirasakan kurang.
Demikian juga ketika seorang dosen mengalami kesulitan maka dosen lain tidak
bersedia untuk membantu dan lebih dari setengah dosen keperawatan setuju akan
hal ini.
Mengenai kebutuhan akan harga diri bahwa lebih dari sepertiga dosen tidak
merasakan dirinya termotivasi bekerja karena kebutuhan harga diri. Dari item
pernyataan dapat dikatakan bahwa dosen merasa penghargaan yang diterima oleh
mereka kurang, sehingga hal ini tidak memotivasinya, yakni penghargaan,
penilaian dan perhatian dalam hal prestasi. Maulani (2005) mendapati bahwa
karyawan Dinas Pendapatan Jawa Barat justru termotivasi dengan baik akan
kebutuhan harga diri. Karyawan mengakui penghargaan dan pengakuan atak
prestasi yang mereka lakukan memotivasi mereka dengan baik. Dimana hal ini
tidak didapati pada dosen keperawatan dikarenakan kurangnya penghargaan yang
mereka terima.
Kebutuhan aktualisasi diri menunjukkan bahwa dosen juga kurang
termotivasi akan kebutuhan ini. Dosen merasakan kurangnya upaya dari institusi
dalam pengadaan pelatihan, seminar dan fasilitas yang diberikan pun kurang
dirasakan dalam mengikuti berbagai kegiatan yang dapat menunjang karir dosen.
penelitian terhadap dosen, dalam hal ini dosen perguruan tinggi swasta di
Jayapura. Mendapati bahwa kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan aktualisasi
justru memotivasi mereka dalam bekerja dengan tingkat motivasi sedang hingga
tinggi.
2.2 Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja, adalah perasaan dan penilaian dosen atas pekerjaannya,
khususnya mengenai kondisi kerjanya, dalam hubungannya dengan apakah
pekerjaannya mampu memenuhi harapan, kebutuhan dan keinginannya. Indikator
kepuasan kerja yang digunakan adalah teori Herzberg (1959, dalam Huber, 2000).
Hasil penelitian yang diperoleh secara menyeluruh sepertiga dosen menyatakan
puas bekerja di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Dalam hal ini
dosen menilai baik akan terciptanya dan terwujudnya kepuasan kerja. Hal ini
berarti secara umum setiap pekerjaan yang dilakukan dosen telah mampu
menghasilkan kepuasan kerja bagi dirinya.
Hasil penelitian yang dapati Taruno (2012) terhadap dosen di perguruan
swasta Jayapura berada ditingkat kepuasan kerja sedang. Dosen dalam penelitian
Taruno belum begitu mendapati kepuasan dalam pekerjaan mereka. Mereka masih
ragu-ragu akan kepuasan yang mereka rasakan ditempat kerja.
Berdasarkan faktor motivator, lebih dari setengah jumlah dosen merasakan
kepuasan terhadap pekerjaan mereka. Motivator merupakan faktor-faktor yang
dapat menjadi sumber kepuasan kerja. Adanya faktor motivator ini terlihat
menimbulkan kepuasan bagi sebagian besar dosen. Sama halnya dengan hasil
Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya) yang memiliki kepuasan kerja yang
tinggi terkait faktor motivator. Ini berarti dosen yang puas bekerja, merasa
senang dalam melakukan pekerjaannya yang meliputi faktor motivator seperti
prestasi, pengakuan, pekerjaan atau tugas, tanggungjawab, kemajuan, dan
kemungkinan bertumbuh sehingga dosen akan lebih termotivasi lagi dalam
pekerjaannya.
Untuk faktor pemelihara (hygiene) didapati lebih dari sepertiga jumlah seluruh dosen merasakan puas atas faktor ini. Ini berarti dosen merasakan faktor
pemelihara terpenuhi dengan baik dalam pekerjaan mereka sehingga mengurangi
ketidakpuasan yang terjadi. Hasil penelitian Puspasari (2011) juga mendapati
karyawan Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya) cenderung
memiliki kepuasan kerja tinggi (Tidak Lagi Tidak Puas) akan terpenuhinya faktor
pemelihara. Bukan berarti dengan adanya faktor pemelihara ini yang secara
langsung menimbulkan kepuasan bagi para dosen. Melainkan faktor pemelihara
yang dirasakan dosen terpenuhi dengan baik dapat menutupi atau memelihara agar
faktor motivator yang tidak terpenuhi dan mengakibatkan ketidakpuasan dapat
berkurang. Terpenuhinya faktor pemelihara tersebut tidak memotivasi para dosen
secara kuat serta tidak menjadikan mereka puas, tetapi dosen akan menjadi “Tidak