• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1.7. Keragaan Pasar

Menurut Dahl and Hammond (1977) keragaan pasar adalah akibat dari keadaan struktur dan perilaku pasar dalam kenyataan sehari-hari yang ditunjukkan dengan variabel harga, biaya, dan volume produksi dari output yang pada akhirnya akan memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem tataniaga. Deskripsi dari keragaan pasar dapat dilihat dari indikator: (1) harga dan penyebarannya di tingkat produsen dan konsumen; dan (2) marjin dan penyebarannya pada setiap pelaku pemasaran.

3.1.7.1. Biaya dan Marjin Tataniaga

Istilah biaya tataniaga dalam tataniaga komoditi pertanian mencakup jumlah pengeluaran yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan penjualan hasil produksi dan jumlah pengeluaran oleh lembaga tataniaga (badan perantara). Dengan kata lain, biaya tataniaga pertanian adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam proses penyampaian komoditi pertanian mulai dari titik produsen hingga titik konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987).

Margin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Dapat dikatakan pula sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir. Kohls and Uhls (1985) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai bagian dari harga konsumen yang tersebar pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat. Tomek and Robinson (1972) menjelaskan marjin tataniaga sebagai berikut:

1. Perbedaan harga antara harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen;

2. Kumpulan balas jasa yang diterima oleh jasa tataniaga sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran.

Menurut Dahl and Hammond (1977), marjin tatanaiaga adalah perbedaan harga antara harga di tingkat petani (Pf) dengan harga di tingkat pengecer (Pr), dimana marjin tataniaga tersebut ditunjukkan oleh perbedaan atau jarak vertikal

antara kurva permintaan atau kurva penawaran (Gambar 3). Marjin tataniaga dapat juga merupakan perbedaan harga dari tingkat produsen dengan harga di tingkat lembaga pertama, atau perbedaan harga yang terjadi antara lembaga yang satu dengan lembaga tataniaga yang lainnya dalam saluran tataniaga komoditi yang sama (Limbong dan Sitorus, 1987). Marjin tataniaga hanya berhubungan dengan perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan tentang jumlah produk.

Keterangan: Pr: harga di tingkat pengecer; Pf: harga di tingkat petani; Sr: penawaran di tingkat pengecer; Sf: penawaran di tingkat petani; Dr: permintaan di tingkat pengecer; Df: permintaan di tingkat petani; Qrf: jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer.

Gambar 2. Penggambaran Definisi Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga, dan Biaya Tataniaga (Sumber: Dahl and Hammond, 1977).

Nilai marjin tataniaga (value of marketing margin) merupakan perbedaan harga pada dua tingkat sistem tataniaga dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Nilai tersebut terdiri dari marketing cost dan marketing charge. Berdasarkan kedua nilai tersebut, pendekatan terhadap marjin tataniaga dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui return to factor dan return to institution. Return to a factor adalah penerimaan terhadap faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses tataniaga seperti wages, interest, tents, dan profit. Return to an institution adalah pengembalian (return) terhadap jasa atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan setiap lembaga dalam proses tataniaga (Dahl and Hammond, 1977).

Tinggi rendahnya marjin tataniaga sering digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah efisien atau belum, tetapi tinggi rendahnya marjin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kegiatan tataniaga. Marjin tataniaga yang rendah tidak otomatis dapat

Marjin tataniaga (Pf – Pr)

Nilai marjin tataniaga (Pf – Pr) x Qr,f Biaya Tataniaga Qr,f Df Dr Sf Sr Pr Pf P Q

digunakan sebagai ukuran efisien tidaknya pola pemasaran suatu komoditi. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan tataniaga antara lain, ketersediaan fasilitas fisik tataniaga meliputi, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, resiko kerusakan, dan lain-lain (Limbong dan Sitorus, 1987).

3.1.7.2. Bagian Harga yang Diterima Petani (Farmer’s Share)

Bagian harga yang diterima petani adalah perbandingan antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Limbong dan Sitorus, 1987). Kohls and Uhls (1985) mendefinisikan farmer's share sebagai selisih antara harga retail dengan marjin pemasaran. Farmer's share merupakan bagian dari harga konsumen yang diterima oleh petani, dan dinyatakan dalam persentase harga konsumen. Hal ini berguna untuk mengetahui porsi harga yang berlaku di tingkat konsumen dinikmati oleh petani. Besar farmer's share biasanya dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemrosesan; (2) biaya transportasi; (3) keawetan produk; dan (4) jumlah produk.

Farmer's share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share, melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produk mereka.

3.1.7.3. Keterpaduan Pasar

Keterpaduan pasar secara sederhana dapat diartikan seberapa jauh pembentukan harga suatu produk pada suatu pasar dipengaruhi oleh harga pada pasar lain (Mulyoko, 1984 dalam Suriyana, 2005). Keterpaduan pasar menunjukkan seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga tataniaga tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya.

Pengaruh perubahan harga dapat diduga melalui pendekatan korelasi harga, elastisitas transmisi, dan model keterpaduan pasar yang dikembangkan oleh Ravalion dan Heytens (1986). Ravalion (1986) dalam Arifianto (2007)

menjelaskan bahwa model keterpaduan pasar dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga dipasar referensi (acuan) dengan mempertimbangkan harga pada waktu tertentu (t) dan harga pada waktu sebelumnya (t-1). Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan oleh adanya arus komoditas, sehingga harga dan jumlah komoditas yang dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain.

Heytens (1986) dalam Arifianto (2007) menambahkan bahwa dalam suatu sistem pasar yang terintegrasi secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga di lokasi pasar berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga pada suatu pasar disalurkan ke pasar lain, dan semakin cepat laju penyaluran maka semakin terpadu kedua pasar tersebut. Keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar lainnya. Dengan demikian fluktuasi perubahan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat segera tertangkap oleh pasar lain dengan ukuran perubahan yang proporsional.

Dokumen terkait