• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman genetik ikan nilem hijau yang dianalisis menggunakan RAPD ditentukan oleh nilai rata-rata heterozigositas dan persentase polimorfisme dari ikan nilem tersebut. Nilai polimorfisme ikan nilem hijau ini cukup tinggi yaitu sekitar 40- 68%, namun nilai rata-rata heterozigositasnya termasuk rendah yaitu berkisar antara

0,1054-0,2138. Hal ini dapat disebabkan oleh antara lain ikan nilem hijau di budidaya dalam kondisi lingkungan yang relatif stabil. Menurut Sugama et al. (1996), pada lingkungan yang stabil akan lebih sedikit ditemukan variasi alel daripada kondisi lingkungan yang labil, karena laju mutasi dan seleksi lingkungan relatif rendah. Selain itu pengelolaan sistem rekrutmen atau peremajaan ikan nilem hijau tidak terarah sehingga dapat menyebabkan terjadinya seleksi tanpa sengaja yang mempengaruhi gene pool ikan tersebut. Berdasarkan data sekunder selama penelitian, proses rekrutmen yang dilakukan pada populasi Bogor dan Tasikmalaya menggunakan induk dari satu populasi saja dan jumlah pasangan induk yang digunakan pun terbatas. Menurut Tave (1995), perkawinan yang dilakukan tanpa memperhatikan silsilah tetuanya memiliki peluang untuk terjadinya perkawinan sekerabat, dimana perkawinan tersebut akan meningkatkan nilai inbreeding

yang ditandai dengan penurunan heterozigositas dan variasi alelik. Perbandingan induk jantan dan betina yang tidak sama, sedikitnya jumlah pasang induk yang digunakan dalam pemijahan dan perbedaan jumlah induk yang digunakan dari generasi ke generasi

dapat meningkatkan terjadinya Inbreeding (Soewardi, 2007). Inbreeding akan

mengurangi heterozigositas dari suatu populasi ikan dan penurunan variasi gen yang berakibat pada hilangnya alel pengontrol pertumbuhan, ketahanan terhadap penyakit yang berakibat fatal bagi keturunan berikutnya dan terjadinya abnormalitas (Tave, 1995).

Berdasarkan hasil keragaman antar populasi dengan melakukan uji perbandingan berpasangan Fst (selang kepercayaan 95%), hasil tersebut memperlihatkan bahwa antara populasi ikan nilem yang diuji umumnya tidak berbeda nyata secara genetik (P>0,05) kecuali antara populasi Sumedang dengan Sukabumi, Bogor dan Cirata serta antara populasi Tasikmalaya dengan Sukabumi (P<0,05). Beda nyata antar populasi – populasi tersebut mengindikasikan bahwa induk populasi Sumedang berasal dari induk yang memiliki keragaman genetik yang berbeda dengan populasi Bogor dan Cirata, demikian pula populasi Tasikmalaya dengan Sukabumi. Sedangkan populasi yang tidak berbeda nyata, mungkin disebabkan oleh banyaknya kesamaan genetik antar populasi-populasi tersebut. Jarak genetik rata-rata ikan nilem dari enam lokasi di Jawa Barat adalah 0,07725, lebih kecil dari jarak genetik ikan pada subspesies yang sama seperti ikan batak (Tor sorro) (Asih et al. 2008) dan butini (Glossogobius matanensis) (Mamangkey et al. 2007). Hal ini menunjukkan adanya kedekatan hubungan

kekerabatan antara populasi ikan nilem yang ada di Jawa Barat. Populasi ikan nilem hijau yang berasal dari Kuningan, Cirata, Bogor dan Tasikmalaya memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat bila dibandingkan dengan Sumedang dan Sukabumi. Berdasarkan hasil wawancara dengan pembudidaya, diketahui bahwa ikan nilem hijau dari daerah Bogor dan Kuningan berasal dari sumber induk yang sama yaitu daerah Tasikmalaya, sedangkan ikan yang dipelihara di daerah Cirata juga merupakan ikan yang berasal dari daerah Tasikmalaya, sehingga sangat jelas jika ikan dari keempat lokasi tersebut memiliki jarak genetik yang dekat. Ikan nilem asal Tasikmalaya dan Kuningan memiliki jarak genetik yang dekat dengan populasi Sumedang dibanding dengan populasi lain, diduga hal ini terjadi karena sumber induk untuk daerah Tasikmalaya berasal dari Sumedang. Demikian pula dengan ikan nilem yang berasal dari Kuningan, selain mengambil induk dari Tasikmalaya ada kemungkinan budidaya ikan nilem di Kuningan juga menggunakan induk yang berasal dari daerah Sumedang. Hal ini dapat dilihat dari pola fragmen ketiga populasi ini yang lebih banyak menunjukkan kesamaan bila dibandingkan dengan populasi lain. Sukabumi memiliki jarak genetik terjauh dengan populasi lain. Bila dilihat dari pola fragmennya, Sukabumi tidak memiliki fragmen 750 bp yang dimiliki oleh populasi lainnya sehingga menghasilkan jarak genetik yang jauh dengan populasi lain. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena induk yang digunakan untuk budidaya jumlahnya sangat terbatas selain itu antara populasi Sukabumi dengan populasi lain tidak terjadi pertukaran gen, sehingga peluang terjadinya inbreeding sangat besar yang menyebabkan peluang hilangnya alel- alel tertentu juga besar dan pada akhirnya akan memiliki keragaman alel yang berbeda dengan kelompok lainnya walaupun secara garis keturunan masih satu kerabat (Nugroho et al. 2006).

Karakter fenotipe ikan nilem berdasarkan nilai koefisien keragaman, menunjukkan nilai yang relatif rendah. Di duga rendahnya keragaman tersebut disebabkan karena nilem telah lama di budidayakan secara luas oleh masyarakat di Jawa Barat. Menurut Setijaningsih et al. (2007) proses domestikasi dapat menurunkan variasi genetik pada turunan berikutnya.. Hal ini disebabkan karena strain berada di bawah tekanan seleksi sehingga menurunkan jumlah pasang induk yang terlibat dalam populasi reproduksi efektif dalam stok strain yang terbatas (Ne rendah), kemungkinan terjadinya penghanyutan gen (genetic drift) lebih tinggi sehingga dapat menurunkan variasi genetik

(ragam genetik terbatas). Berdasarkan hasil analisis sharing component dan penyebaran karakter morfologi ikan nilem dari enam populasi di Jawa Barat, menunjukkan adanya kekerabatan cukup dekat antara ikan nilem dari enam lokasi tersebut yang digambarkan dengan adanya persinggungan antar populasi. Kedekatan hubungan kekerabatan antar populasi mungkin disebabkan oleh adanya kesamaan sumber genetik pembentuknya, dimana hal ini mungkin terjadi melalui perdagangan ikan nilem antar lokasi di daerah Jawa Barat sehingga terjadi gene flow. Menurut Parenrengi et al. (2007), adanya kesamaan morfologi antar populasi mengindikasikan adanya percampuran terukur antara populasi satu dengan yang lain atau merupakan suatu sifat yang dipertahankan dan dibagikan sewaktu terjadi aliran gen.

Berdasarkan pengukuran morfometrik, hubungan inter-populasi terdekat adalah antara Cirata, Sumedang, Kuningan dan Sukabumi, sedangkan terjauh adalah antara populasi Bogor dengan Cirata. Sedangkan menurut pengukuran meristik hubungan interpopulasi terdekat adalah Bogor, Cirata dan Kuningan dan terjauh adalah antara Bogor dengan Sukabumi. Menurut RAPD jarak genetik terdekat adalah antara populasi Kuningan dengan Cirata dan terjauh adalah antara populasi Tasikmalaya dengan Sukabumi. Perbedaan yang dihasilkan oleh ketiga metode tersebut kemungkinan disebabkan karena parameter genotipe tidak dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan meristik sedikit dipengaruhi oleh lingkungan dan truss morfometrik sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Indikasi adanya keterkaitan antara lingkungan dengan morfometrik, disajikan dalam Gambar 16. Berdasarkan Gambar tersebut, terlihat bahwa kondisi budidaya di lokasi Bogor agak berbeda dengan kondisi budidaya di lokasi lainnya. Bogor memiliki skor budidaya yang paling tinggi dibandingkan dengan lokasi lain namun memiliki skor kualitas air seperti suhu dan pH air yang lebih rendah (suhu = 21-24oC, pH = 6), sedangkan padat penebaran dan frekuensi pemberian pakan pada lokasi Bogor skornya lebih tinggi. Tasikmalaya meskipun memiliki kualitas air yang tidak berbeda jauh dengan lokasi lain, namun terdapat beberapa perbedaan dalam sistem budidaya yang dilakukan. Perbedaan tersebut adalah padat penebaran ikan, jenis pakan yang diberikan dan juga frekuensi pemberian pakan dimana skor dari lokasi ini paling rendah bila dibandingkan dengan lokasi lain. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa faktor lingkungan seperti kualitas air, padat penebaran ikan dan ketersediaan pakan berpengaruh

pada karakter morfometrik ikan nilem. Kualitas air mempunyai pengaruh yang besar terhadap laju pertumbuhan ikan. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan laju metabolisme ikan yang menyebabkan konsumsi pakan menjadi lebih tinggi dan laju pertumbuhan yang lebih cepat. Demikian pula dengan padat penebaran ikan yang berpengaruh pada laju pertumbuhan ikan. Menurut Lambert & Dutil (2001) padat penebaran yang tinggi pada budidaya ikan telah terbukti mempengaruhi food intake dan laju pertumbuhan ikan. Hal ini terjadi karena pada padat penebaran yang tinggi, ikan berkompetisi di dalam memanfaatkan makanan, ruang gerak dan oksigen sehingga akan menurunkan laju pertumbuhan ikan tersebut. Menurut Alit (2009), terdapat kecenderungan makin padat penebaran, pertambahan berat badan semakin menurun. Sedangkan menurut Mangampa

et al. (2008), semakin besar kepadatan ikan yang kita berikan, akan semakin kecil laju pertumbuhan per individu. Dengan kepadatan rendah ikan mempunyai kemampuan memanfaatkan makanan dengan baik dibandingkan dengan kepadatan yang cukup tinggi, karena makanan merupakan faktor luar yang mempunyai peranan di dalam pertumbuhan (Syahid et al. 2006). Ruang gerak juga merupakan faktor luar yang mempengaruhi laju pertumbuhan. Dengan adanya ruang gerak yang cukup luas ikan dapat bergerak dan memanfaatkan unsur hara secara maksimal (Kholifah et al. 2009). Kualitas dan kuantitas pakan juga berpengaruh pada laju pertumbuhan panjang dan berat ikan, karena ikan memerlukan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhannya. Apabila pakan yang diberikan pada ikan memiliki nutrien yang seimbang, lengkap dan dalam jumlah yang cukup, maka pertumbuhan ikan akan lebih baik terutama pada peningkatan beratnya (Budiharjo 2002). Adanya pengaruh lingkungan terhadap perubahan morfometrik ikan sesuai dengan pendapat Turan & Batusta (2007) yang mengatakan bahwa faktor lingkungan seperti suhu, salinitas dan ketersediaan makanan berpengaruh pada perbedaan fenotipe ikan herring.

Keterangan : SKB = Populasi Sukabumi BGR = Populasi Bogor CRT = Populasi Cirata SMD = Populasi Sumedang TSM = Populasi Tasikmalaya KNG = Populasi Kuningan

Gambar 16. Skor kondisi budi daya dan jarak genotipe ikan nilem di Jawa Barat

14

12 10

12

9 13

Dokumen terkait