Pembentukan Gaharu dan
A. Keragaman Isolat Fusarium spp
2. Keragaman Mikro dan Makrokonidia serta Konidiofor Isolat Fusarium spp
Fusarium spp. memiliki keragaman pada karakter morfologi juga
tampak adanya keragaman karakter mikrokonidia dan makrokonidia dari isolat yang diuji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keragaman terlihat pada karakter jumlah septa makrokonidia, percabangan konidiofor, bentuk, dan kelimpahan mikrokonidia.
Gambar 9.3. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat Ga-9, Ga-10, Ga-11,
Ga-12, Ga-13, Ga-14, Ga-15, dan Ga-16) umur tujuh hari pada medium PDA.
Gambar 9.4. Keragaman morfologi Fusarium spp. (isolat 17, 18,
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan
145
Jumlah septa makrokonidia dominan berjumlah 2-3 yang dimiliki oleh isolat 1, 3, 5, 6, 7, 8, 10, 18, Ga-20, dan Ga-21. Namun, dari ke-10 isolat tersebut terdapat perbedaan pada percabangan konidifornya. Isolat dengan konidiofor bercabang adalah Ga-18 dan Ga-21; sedangkan isolat Ga-1, Ga-3, Ga-5, Ga-6, GA-7, Ga-8, dan Ga-10 memiliki konidiofor sederhana (Tabel 9.3).
Tabel 9.3. Keragaman karakter makrokonidia Fusarium spp. yang
berasal dari berbagai daerah
No Kode
Karakter histologi Makrokonidia Mikrokonidia
Jumlah septa Konidiofor Kelimpahan Bentuk
1 Ga-1 3 Simpel Banyak Elips
2 Ga-2 4 Bercabang Banyak Elips, oval
3 Ga-3 3 Simpel Banyak Elips
4 Ga-4 4-7 Simpel Banyak Elips, oval
5 Ga-5 2 Simpel Sedikit Elips
6 Ga-6 3 Simpel Sedikit Elips, oval 7 Ga-7 2 Simpel Sedikit Elips, oval 8 Ga-8 2 Simpel Sedikit Elips, lonjong 9 Ga-9 5 Simpel Sedikit Elips, sekat 10 Ga-10 3 Simpel Banyak Elips, sekat 11 Ga-11 4 Bercabang Banyak Elips
12 Ga-12 5 Simpel Banyak Elips
13 Ga-13 4 Simpel Sedikit Elips 14 Ga-14 7 Simpel Sedikit Elips 15 Ga-15 4 Bercabang Banyak Elips
16 Ga-16 7 Simpel Sedikit Elips, sekat 3 17 Ga-17 5 Bercabang Sedikit Elips
18 Ga-18 3 Bercabang Banyak Elips
19 Ga-19 4 Simpel Banyak Elips
20 Ga-20 2 Bercabang Sedikit Elips, oval 21 Ga-21 3 Bercabang Banyak Elips
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
146
Isolat Ga-2, Ga-3, dan Ga-15 memiliki jumlah septa empat, namun dari ke-3 isolat tersebut dapat dibedakan berdasarkan percabangan konidifor dan bentuk mikrokonidianya. Isolat Ga-2 memiliki konidifor bercabang, bentuk mikrokonidianya elips dan
oval. Isolat Ga-13 memiliki bentuk konidifor simpel dan Ga-15
bentuk konidifornya bercabang.
Mikrokonidia pada berbagai Fusarium memiliki bentuk yang khas, yaitu berbentuk bulan sabit (fusoid), sehingga memungkinkan dapat dengan mudah dibedakan dengan genus lain yang memiliki ciri mirip Fusarium. Genus Fusarium memiliki kemiripan dengan Cylindrocarpon pada karakter morfologi, namun Booth (1971) membedakan Cylindrocarpon karena karakter pangkal konidianya yang relatif tumpul dan tidak memiliki hock/foot cell yang jelas seperti pada Fusarium spp. Isolat Ga-12, Ga-14, dan Ga-16 merupakan isolat yang memiliki jumlah septa makrokonidia relatif banyak, yaitu berkisar 5-7 (Tabel 9.3). Dua dari tiga isolat tersebut, yaitu isolat Ga-12 dan Ga-14 memiliki kemiripan pada bentuk konidiofor dan bentuk mikrokonidia, namun kedua isolat tersebut berbeda pada tipe makrokonidianya. Isolat Ga-12 memiliki ukuran relatif lebih besar pada makrokonidianya apabila dibandingkan dengan Ga-14 (Gambar 9.5 dan Gambar 9.6). Isolat Ga-14 berbeda dengan isolat Ga-16 karena pada isolat Ga-16 mikrokonidianya bersekat (Gambar 9.7).
Luciasih et al. (2006) melaporkan bahwa keragaman antar
Fusarium spp. dari 21 isolat Fusarium spp., beberapa isolat telah
teridentifikasi sampai pada tingkat spesies. Spesies tersebut merupakan F. sambunicum (isolat 1), F. tricinctum (isolat Ga-2, Ga-3, dan Ga-5), dan F. solani (isolat Ga-4, Ga-6, Ga-7, Ga-8, dan Ga-9). Di antara ketiga spesies tersebut, F. solani diketahui keberadaannya paling dominan sehingga perlu mendapat perhatian khusus.
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan
147
Fusarium solani berbeda dengan F. sambunicum, antara lain
berdasarkan karakter kelimpahan dan bentuk mikrokonidianya. Sedangkan F. solani dibedakan dari F. tricinctum berdasarkan karakter bentuk makrokonidianya, juga bentuk mikrokonidianya relatif lebih besar untuk F. solani dengan mikrokonidianya berbentuk elips.
Cowan (1999) menerangkan bahwa tanaman memiliki kemampuan yang tidak terbatas dalam mensintesis substansi aromatis yang kebanyakan merupakan senyawa fenol atau turunan oksigen tersubstitusinya. Pada umumnya, senyawa-senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang seringkali berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan mikroorganisme, serangga ataupun herbivora.
Gambar 9.5. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium
spp. (isolat Ga-1, Ga- 2, Ga-9, Ga-12, Ga-15, Ga-17, Ga-20, dan Ga-21) dengan perbesaran 40x
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
148
Gaharu merupakan senyawa fitoaleksin dari pohon gaharu sebagai mekanisme pertahanannya terhadap infeksi patogen. Kayu ber-resin ini merupakan metabolit sekunder yang dibentuk tanaman sebagai respon pertahanan. Pohon penghasil gaharu sehat tidak pernah memproduksi sesquiterpenoid sebagai metabolit sekunder yang beraroma harum (Yuan dalam Isnaini,
Gambar 9.6. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b) Fusarium
spp. (isolat Ga-4, Ga-5, GA-7, Ga-8, GA-10, Ga-11, Ga-14, dan Ga-18) dengan perbesaran 40x
Gambar 9.7. Keragaman makrokonidia (a) dan mikrokonidia (b)
Fusarium spp. (isolat Ga-3, Ga-6, Ga-13, Ga-16, dan Ga-19) dengan per-besaran 40x
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan
149
2004). Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi metabolit sekunder sebagai respon terhadap infeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologi maupun keadaan cekaman (Goodman et al. dalam Isnaini, 2004).
Metabolit sekunder dalam sistem pertahanan tanaman, baik
fitoantisipin maupun fitoaleksin, memainkan peranan penting
(Verpoorte et al., 2000). Fitoantisipin adalah senyawa aktif anti mikrobial yang telah terdapat pada tanaman, kadangkala terpicu pengaktifannya saat perlukaan. Fitoaleksin adalah senyawa aktif anti mikrobial yang diproduksi secara de novo setelah perlukaan atau infeksi. Biosintesis keduanya terpicu pada level gen (Verpoorte et al., 2000; Vidhyasekaran, 2000).
Metabolit sekunder tanaman yang diturunkan dari terpenoid memiliki berbagai fungsi dalam tanaman, di antaranya sebagai minyak esensial (monoterpenoid), atraktan serangga, fitoaleksin sebagai agen anti mikrobial (sesqui-, di-, dan triterpena). Berdasarkan berbagai fungsi tersebut, ekspresi dari jalur biosintesis yang terlibat akan berbeda. Terdapat jalur biosintesis yang terpicu pada level gen setelah perlukaan atau infeksi dan ada yang terjadi pada level senyawa, di mana senyawa yang telah ada secara enzimatis dirubah menjadi senyawa aktif ketika perlukaan. Sebagai contoh, biosintesis sesquiterpena tertentu pada solanaceae terpicu oleh infeksi mikroba, sedangkan pada tanaman lain biosintesis sesquiterpenoid merupakan ekspresi pembentukan yang umum; misalnya pada Morinda citrifolia,
anthraquinone biasa ditemukan di seluruh bagian tanaman
(Verpoorte, 2000).
Konsentrasi metabolit sekunder bervariasi antar spesies, antar jaringan (konsentrasi tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan, dan jaringan luka), antar pohon dalam spesies yang sama, antar spesies, dan antar musim. Jenis-jenis tropis dan sub-tropis umumnya mengandung jumlah ekstratif
Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi, Teknologi Badan Litbang Kehutanan
150
yang lebih banyak dibanding jenis-jenis di daerah temperet (Forestry Comission GIFNFC, 2007).
Metabolit sekunder pada kayu dapat disebut sebagai zat ekstratif. Zat ekstratif yang terdiri dari bermacam-macam bahan ini memilki fungsi yang penting dalam daya tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa, dan warna pada kayu. Zat ekstratif pada kayu teras dapat menjadi pertahanan pohon terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada berbagai habitat (Hills, 1987). Rowell (1984) menyatakan bahwa di antara fungsi zat ekstratif adalah sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme. Metabolit sekunder tanaman efektif dalam melawan hama dan agen penyakit, karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistem sinyal seluler atau dapat terlibat dengan enzim vital dan memblokir jalur metabolisme (Forestry Comission GIFNFC, 2007).