• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA KAJIAN PUSTAKA

F. Kerangka Berpikir

1. Pengaruh positif jenis pekerjaan terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

Kualitas pelayanan memiliki dimensi yang perlu diperhatikan demi terciptanya keunggulan layanan. Keunggulan layanan ini bisa diciptakan melalui pengintegrasian empat hal yaitu kecepatan, ketepatan,

keramahan, dan kenyamanan layanan (Tjiptono, 2005:119). Kualitas pelayanan juga dipengaruhi oleh proses interaksi dan komunikasi yang berlangsung selama proses penyampaian jasa. Dalam proses interaksi dan komunikasi ini, sikap dan layanan karyawan yang berhadapan atau berhubungan langsung dengan pelanggan menjadi yang paling berpengaruh terhadap kualitas jasa yang dihasilkan.

Demi tercapainya kualitas pelayanan yang baik, dibutuhkan sumber daya manusia yang baik. Sumber daya manusia yang baik adalah sumber daya manusia yang mampu mengelola emosinya dengan baik dan mampu menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari- hari. Di sinilah kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang berperan dalam membentuk kemampuan mengelola emosi tersebut melalui kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi kemudian mengubahnya sebagai energi positif misalnya memotivasi diri dan kepekaan terhadap keadaan emosional orang lain (Cooper dan Sawaf, 1998:xv).

Dengan dimilikinya kemampuan mengelola emosi, maka seseorang mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain. Membina hubungan dengan orang lain adalah aspek sosial yang mendukung keberhasilan dalam berkarier termasuk dalam memberikan pelayanan yang berkualitas (Goleman, 1999:58). Jadi kecerdasan emosional seseorang diduga kuat berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan.

Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kualitas pelayanan ini diduga memiliki derajat yang berbeda pada jenis pekerjaan medis, paramedis perawat, paramedis non perawat dan non medis. Pada karyawan dengan bidang pekerjaan medis diduga derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap kualitas pelayanan lebih tinggi dibandingkan pada karyawan dengan bidang pekerjaan selain medis. Hal ini disebabkan pada jenis pekerjaan medis menuntut setiap sumber daya manusianya memiliki kompetensi untuk menjalin hubungan yang baik dengan pasien, keakuratan diagnosa, keahlian dalam menangani dan menyembuhkan pasien dan sebagainya.

Lumenta mengatakan bahwa karyawan yang bekerja pada bagian pelayanan medis bertanggung jawab atas kepuasan pasien dan menjaga hubungan individual yang baik dengan pasien (Lumenta, 1989:15). Selain itu, mereka juga harus membuat dan menjaga citra baik dari rumah sakit. Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut orang-orang yang bekerja dibagian medis atau yang sering disebut dengan dokter harus memiliki ilmu kedokteran, seni berkomunikasi yang baik, menguasai bimbingan dan konseling serta mampu mengendalikan emosi agar tidak berimbas pada ketidakpuasan pasien. Kriteria jenis pekerjaan medis di atas membuat para pekerjanya memerlukan kecerdasan emosional yang tinggi. Tingkat kecerdasan emosional mereka tersebut diduga kuat berdampak positif pada kualitas pelayanan kepada pasien.

Pekerjaan karyawan paramedis perawat, paramedis non perawat, dan non medis juga penting dalam rumah sakit, mereka juga dituntut memiliki kecerdasan emosional. Namun sebagian besar dari mereka tidak melakukan kontak langsung dengan pasien sehingga tuntutan dan tanggung jawab pekerjaan mereka tidak setinggi pekerjaan medis. Paramedis perawat memang melakukan kontak langsung dengan pasien namun tugas mereka hanya membantu dokter sehingga tidak bertanggung jawab langsung terhadap diri pasien. Karyawan paramedis non perawat dan non medis juga tidak bertanggung jawab atas diri pasien karena mereka tidak melakukan pelayanan medis dan tidak langsung berinteraksi dengan pasien. Tugas paramedis, manajemen dan sebagainya memang penting tapi pimpinan dan tanggung jawab di rumah sakit diberikan pada mereka yang lulus fakultas kedokteran (Brouwer dalam alisyahbana dan Sidharta, 1983:89). Dengan demikian pengaruh kecerdasan emosional terhadap kualitas pelayanan dalam pekerjaan karyawan paramedis perawat, paramedis non perawat, dan non medis diduga lebih rendah dibandingkan pekerjaan karyawan medis.

2. Pengaruh positif tingkat pendidikan terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

Kualitas pelayanan memiliki dimensi yang perlu diperhatikan demi terciptanya keunggulan layanan. Keunggulan layanan ini bisa diciptakan melalui pengintegrasian empat hal yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan layanan (Tjiptono, 2005:119). Kualitas

pelayanan juga dipengaruhi oleh proses interaksi dan komunikasi yang berlangsung selama proses penyampaian jasa. Dalam proses interaksi dan komunikasi ini, sikap dan layanan karyawan yang berhadapan atau berhubungan langsung dengan pelanggan menjadi yang paling berpengaruh terhadap kualitas jasa yang dihasilkan.

Demi tercapainya kualitas pelayanan yang baik, dibutuhkan sumber daya manusia yang baik. Sumber daya manusia yang baik adalah sumber daya manusia yang mampu mengelola emosinya dengan baik dan mampu menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari- hari. Di sinilah kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang berperan dalam membentuk kemampuan mengelola emosi tersebut melalui kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi kemudian mengubahnya sebagai energi positif misalnya memotivasi diri dan kepekaan terhadap keadaan emosional orang lain (Cooper dan Sawaf, 1998:xv).

Dengan dimilikinya kemampuan mengelola emosi, maka seseorang mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain. Membina hubungan dengan orang lain adalah aspek sosial yang mendukung keberhasilan dalam berkarier termasuk dalam memberikan pelayanan yang berkualitas (Goleman, 1999:58). Jadi kecerdasan emosional seseorang diduga kuat berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan.

Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kualitas pelayanan ini diduga memiliki derajat yang berbeda bagi karyawan yang memiliki tingkat pendidikan berbeda. Pada karyawan dengan tingkat pendidikan tinggi diduga derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap kualitas pelayanan lebih tinggi dibandingkan karyawan dengan tingkat pendidikan menengah dan bawah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kompetensi, keterampilan, keahlian, dan wawasan sesuai dengan tingkatan masing- masing dalam pendidikan formal (Coombs dalam Yusuf, 1982).

Karyawan dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih luas, lebih memiliki keterampilan dan keahlian dibandingkan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Dengan wawasan, pengetahuan, keahlian dan keterampilan yang luas, maka orang akan lebih menghargai diri sendiri dan juga orang lain. Maksud dari menghargai diri sendiri ini adalah mampu mengenali keadaan emosional yang sedang dirasakan, terbuka terhadap emosi yang sedang dirasakan, serta mengelolanya dengan tepat.

Goleman mengatakan bahwa orang yang mampu menghargai dan terbuka pada keadaan emosional diri sendiri akan menghargai dan terbuka pula terhadap keadaan emosional orang lain (Goleman, 1999:58). Penghargaan dan keterbukaan ini membuat seseorang mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain termasuk dalam menjalin relasi kerja. Maksudnya adalah bahwa dengan kemampuan

seperti tersebut di atas, maka karyawan dapat memberikan reliabilitas yang tinggi, daya tanggap terhadap permintaan pelanggan, mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan, memahami permasalahan yang sedang dihadapi pelanggan serta berperilaku dan berpenampilan yang menarik. Dengan kata lain karyawan tersebut mampu memberikan kualitas pelayanan yang baik bagi pelanggannya.

Karya wan dengan tingkat pendidikan menengah dan rendah memang memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan dan keahlian juga, namun tidak sebaik karyawan dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Semakin rendah tingkat pendidikan akan membawa kompetensi yang semakin rendah pula. Dengan demikian kemampuan dalam memberikan kualitas pelayanannya pun tidak sebaik karyawan yang tingkat pendidikannya lebih tinggi.

3. Pengaruh positif locus of control terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

Kualitas pelayanan memiliki dimensi yang perlu diperhatikan demi terciptanya keunggulan layanan. Keunggulan layanan ini bisa diciptakan melalui pengintegrasian empat hal yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan layanan (Tjiptono, 2005:119). Kualitas pelayanan juga dipengaruhi oleh proses interaksi dan komunikasi yang berlangsung selama proses penyampaian jasa. Dalam proses interaksi dan komunikasi ini, sikap dan layanan karyawan yang berhadapan atau

berhubungan langsung dengan pelanggan menjadi yang paling berpengaruh terhadap kualitas jasa yang dihasilkan.

Demi tercapainya kualitas pelayanan yang baik, dibutuhkan sumber daya manusia yang baik. Sumber daya manusia yang baik adalah sumber daya manusia yang mampu mengelola emosinya dengan baik dan mampu menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari- hari. Di sinilah kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang berperan dalam membentuk kemampuan mengelola emosi tersebut melalui kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi kemudian mengubahnya sebagai energi positif misalnya memotivasi diri dan kepekaan terhadap keadaan emosional orang lain (Cooper dan Sawaf, 1998:xv).

Dengan dimilikinya kemampuan mengelola emosi, maka seseorang mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain. Membina hubungan dengan orang lain adalah aspek sosial yang mendukung keberhasilan dalam berkarier termasuk dalam memberikan pelayanan yang berkualitas (Goleman, 1999:58). Jadi kecerdasan emosional seseorang diduga kuat berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan.

Pengaruh kecerdasan emosional terhadap kualitas pelayanan ini diduga memiliki derajat yang berbeda bagi karyawan yang memiliki locus of control yang berbeda. Pada karyawan dengan internal locus of control diduga derajat pengaruh kecerdasan emosional terhadap kualitas

pelayanan akan lebih tinggi dibandingkan pada external locus of control. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sikap, pandangan dan keyakinan pada diri masing- masing karyawan tersebut.

Rotter (Rotter dalam Jung, 1978) berpendapat bahwa orang/karyawan dengan locus of control internal memiliki motivasi yang tinggi untuk berusaha dan mencapai apa yang mereka harapkan dengan bekerja secara optimal sedangkan orang dengan locus of control eksternal lebih menyerahkan diri pada nasib dari pada berusaha atau bekerja semaksimal mungkin. Orang dengan locus of control internal memiliki optimisme yang tinggi, mampu memotivasi diri, mau bekerja keras, memiliki kemampuan yang baik dalam menjalin relasi dan komunikasi dengan bersikap ramah dan menghargai orang lain sehingga mereka dapat diterima atau disukai orang lain. Orang dengan locus of control eksternal percaya bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh takdir sehingga mereka tidak perlu berusaha dengan keras, cenderung pesimis, sukar menjalin relasi dan komunikasi yang baik dengan orang lain.

Dengan melihat karakteristik di atas, maka karyawan dengan locus of control internal memiliki kecerdasan emosional dan tingkat kualitas pelayanan yang lebih tinggi dibandingkan orang dengan locus of control eksternal.

Dokumen terkait