• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Kerangka Berfikir

Dalam rangka peningkatan produksi pertanian -- khususnya beras -- untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang terus meningkat, pembangunan pertanian sejak tahun 1960-an mengintroduksikan berbagai program mulai dari Demonstrasi Massal Swasembada Beras (Demas SSB), sampai Supra Insus dan sebagainya. Melalui berbagai program tersebut, diintroduksikan berbagai teknologi pertanian modern (benih unggul, pupuk buatan, irigasi dan lain-lain). Penyuluhan kepada petani dilakukan dengan berbagai metode seperti: ceramah, demonstrasi cara, demonstrasi hasil, diskusi, kunjungan lapangan, dan sejak dekade 70-an dikembangkan metode LAKU (Latihan dan Kunjungan). Kelompok tani dibentuk untuk mempermudah proses pembinaan kepada petani serta memperlancar komunikasi dan kerjasama antar petani dalam berusahatani.

Usaha pemenuhan kebutuhan pangan (beras) yang semakin meningkat dari tahun ke tahun telah menyebabkan pemerintah pada masa lalu lebih berorientasi kepada usaha peningkatan produksi dan kurang memperhatikan pengembangan SDM petaninya. Kegiatan pembangunan pertanian bersifat sentralistik dan top down arahnya dan kurang memperhatikan kondisi spesifik lokal baik kondisi pertaniannya maupun petani dan kelembagaannya. Keadaan ini telah menye- babkan petani menjadi tergantung kepada pemerintah/penyuluh, kurang mandiri dan kelembagaan lokal banyak yang tidak berfungsi. Kondisi semacam ini dapat dikatakan mereka berada dalam tingkat keberdayaan yang rendah. Di lain pihak secara alamiah ketergantungan petani terhadap sumberdaya pertanian untuk mencukupi kebutuhan keluarganya merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan.

Masalah penelitian yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: (1) Sejauhmana terdapat faktor-faktor penentu tingkat partisipasi petani dalam kelompoknya?, (2) Sejauhmana terdapat faktor-faktor penentu tingkat keberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani?, (3) Sejauhmana pengaruh keberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani padi terhadap keberlanjutan usahataninya?, dan (4) Bagaimana model pemberdayaan petani yang sesuai agar keberdayaan petani dan keberlanjutan usahatani dapat dicapai?.

Masalah penelitian tersebut dicari jawabannya baik secara deduktif maupun induktif. Penyusunan kerangka berpikir penelitian secara deduktif didasarkan pada teori tentang partisipasi dan pemberdayaan (empowerment). Kajian secara induktif dilakukan dengan pengumpulan dan pengolahan data yang diperoleh dari pengukuran secara empirik untuk menguji model deduktif (model hipotetik) yang disusun. Selanjutnya model yang telah teruji dimanfaatkan sebagai model yang digunakan sebagai penyusunan strategi pemberdayaan petani.

Proposisi pertama yang disusun dalam penelitian ini adalah bahwa proses pemberdayaan yang tepat akan meningkatkan partisipasi petani dalam kelompok- nya. Agar partisipasi petani dalam kelompoknya bisa meningkat, maka perlu ditunjang pula oleh karakteristik individu yang baik, dukungan lingkungan fisik dan sosial ekonomi, ketersediaan informasi pertanian, dan ciri kepribadian petaninya.

Proposisi kedua yang diajukan dalam penelitian ini yaitu tingkat partisipasi petani dalam kelompoknya, proses pemberdayaan yang tepat, dukungan lingkungan fisik dan sosial ekonomi, ciri kepribadian petani yang tinggi, dan ketersediaan informasi pertanian yang memadai, akan meningkatkan keberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani. Proposisi ketiga yang diajukan dalam penelitian ini adalah keberdayaan yang tinggi dalam pengelolaan usahatani akan berpengaruh nyata pada keberlanjutan usahatani.

Perubahan-perubahan politik dan ekonomi yang terjadi pada tataran global, nasional, dan lokal serta pada masyarakat dan pada diri petani telah menyadarkan bahwa penyuluhan dengan pendekatan konvensional tersebut dinilai tidak sesuai karena tidak mengedepankan aspek manusia (petani) dan proses belajarnya. Paradigma baru pembangunan pertanian yang merupakan koreksi terhadap paradigma lama, telah menempatkan aspek manusia petani sebagai subyek pembangunan pertanian. Mutu SDM petani akan dapat mendukung pembangunan pertanian kini dan masa mendatang manakala penyuluhan pertanian merupakan proses pemberdayaan, bukan proses transfers of technology. Menyuluh bukannya mengubah cara bertani melainkan mengubah petani (Soedijanto 2003). Dengan kata lain penyuluhan menghasilkan petani yang

mandiri atau berdaya hanya mungkin jika dilakukan dengan pendekatan yang mengutamakan manusianya dan proses belajarnya.

Partisipasi Petani

Partisipasi mengandung makna sebagai keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, yang meliputi pengambilan keputusan dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan menikmati hasilnya. Partisipasi berarti mengambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses pembangunan. Hal ini sesuai dengan konsep partisipasi yang dikemukakan oleh Uphoff dan Cohen (Ndraha 1990), Pretty (1995), Hoofsteede (Khaeruddin 1992), Mosher (1978), van den Ban dan Hawkins (1999), Slamet (2003), dan Syahyuti (2006). Partisipasi petani dalam kegiatan kelompok tani dalam penelitian ini dipandang sebagai dampak dari adanya proses pemberdayaan petani. Pemikiran-pemikiran mengenai tingkat partisipasi petani yang merupakan paradigma yang diuji dalam penelitian ini dituangkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pemikiran-pemikiran tentang tingkat partisipasi petani

No Aspek-aspek Perilaku Petani yang Kurang Partisipatif

Perilaku Petani yang Partisipatif

1 Perencanaan Analisis perencanaan kegiatan ditentukan dari atas, petani diberitahu tentang program yang sudah jadi, kelembagaan dibentuk dari atas, petani diatur oleh penyuluh

Petani berperan dalam proses analisis perencanaan kegiatan, komunikasi program dilakukan secara dialogis, inisiatif

kelembagaan berasal dari petani, ada kesetaraan antara petani dan penyuluh

2 Pelaksanaan Keputusan pelaksanaan pro- gram ditentukan sepenuhnya oleh penyuluh, petani hanya melaksanakan yang telah ditentukan

Petani memegang inisiatif atas pelaksanaan program kelompok dan memiliki keleluasaan mengoptimalkan pelaksanaan program untuk kepentingan petani

3 Evaluasi Evaluasi program kelompok ditentukan dan dilakukan oleh penyuluh, petani mungkin hanya diberitahu hasilnya

Petani menentukan kriteria keberhasilan program kelompok dan mampu melaksanakan kontrol terhadap pelaksanaan program

4 Pemanfaatan hasil

Petani tidak atau kurang memperoleh manfaat dari kegiatan kelompok

Petani memperoleh manfaat dari kegiatan kelompok dan

Keberdayaan Petani

Tujuan utama dari pendekatan-pendekatan baru dalam penyuluhan pertanian yang diuraikan di atas adalah memberdayakan petani sehingga menjadi petani yang berdaya/mampu, dimana penyuluh lebih berperan sebagai fasilitator, pencari serta memberikan pilihan-pilihan kepada petani. Petani menjadi mampu mengambil keputusan dengan pilihan yang terbaik baginya, sehingga mampu meraih peluang dan menghadapi tantangan globalisasi ekonomi. Hal ini sesuai dengan falsafah penyuluhan yang dianut dalam penyuluhan pertanian, yaitu to help people to help themselves through educational means to improve their level of living (menolong orang agar orang tersebut dapat menolong dirinya sendiri melalui penyuluhan sebagai sarananya untuk meningkatkan derajat kehidupan- nya).

Keberdayaan petani dalam berusahatani berbasis agribisnis adalah perwujudan kemampuan petani secara utuh mampu untuk memilih dan memanfaatkan secara optimal kapasitas/kemampuan dirinya dan sumberdaya yang tersedia dalam beragribisnis, sesuai dengan kesadaran dirinya mampu berbuat tanpa tersubordinasi oleh pihak lain, yang diyakini paling tinggi manfaatnya dengan senantiasa memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi serta bekerjasama dengan pihak lain secara setara/kolegial dan saling meng- untungkan sehingga meningkat kualitas hidupnya. Petani yang berdaya dicirikan oleh kemampuan petani dalam: aksesibilitas informasi, kemampuan pengambilan keputusan, aksesibilitas pasar, kemampuan pengelolaan usahatani/keuangan, kemampuan pengembangan modal, peningkatan produktivitas, kemampuan bermitra, dan adaptabilitas. Petani yang berdaya diharapkan dapat mewujudkan peningkatan kesejahteraannya dan keberlanjutan pertanian.

Berdasarkan pemikiran dan penelitian: Chambers (1993), Slamet (2000), Soedijanto (2003), Perkins dan Zimmerman (1995), Ife dan Tesoriero (2002), Suharto (2005), Cartwright dan Zander (1968), Nawawi dan Martini (1994), Soebiyanto (1998), Sumardjo (1999a), Sumardjo (1999b), BPSDK dan PPKM (2001), Subagio (2008) dan Marliati (2008), pada Tabel 3 disajikan paradigma petani yang tidak berdaya dan berdaya.

Tabel 3. Paradigma petani yang tidak berdaya dan berdaya

No Aspek Keberdayaan

Petani yang Tidak/Kurang Berdaya

Petani yang Berdaya

1 Aksesibilitas informasi

Petani memperoleh informasi secara turun-temurun/teman dekat

Petani mempunyai informasi yang terbatas

Petani mempunyai kebiasaan tidak/kurang menyaring informasi

Petani mampu memperoleh informasi dari berbagai media

Petani mempunyai banyak pilihan informasi dan yang aktual

Petani mempunyai perilaku komunikasi kosmopolit

2 Pengambilan Keputusan

Petani membuat keputusan berdasarkan informasi yang terbatas

Petani tidak/kurang mampu memecahkan masalah

Petani tidak/kurang mampu mengelola tekanan menurut kehendaknya

Petani kurang mampu bertanggung jawab sendiri terhadap tindakannya

Petani membuat keputusan berdasarkan alternatif yang tersedia

Petani mampu memecahkan masalah

Petani mampu mengelola tekanan menurut kehendaknya

Petani mampu bertanggung jawab sendiri terhadap tindakannya

3 Aksesibilitas Pasar

Petani mempunyai peluang pasar yang terbatas

Petani hanya sebagai penerima harga produk yang dihasilkan

Petani mampu mencari peluang pasar

Petani mampu melakukan penawaran harga produknya yang menguntungkan

4 Pengelolaan usahatani/ keuangan

Bertani sebagai pekerjaan turun-temurun

Petani tidak/belum mempunyai kemampuan teknis bertani

Petani tidak/belum melakukan perencanaan usahatani

Petani tidak/kurang mampu membuat dan memanfaatkan pembukuan sederhana usahatani

Petani tidak/kurang mampu menghitung dan mengambil

Bertani sebagai usaha/ bisnis

Petani mempunyai kemampuan teknis bertani

Petani mampu melaksanakan usaha sesuai yang direncanakan

Petani mampu membuat dan memanfaatkan pembukuan sederhana usahatani

Petani mampu menghitung dan mengambil resiko dalam mengelola usahatani

resiko dalam mengelola usahatani

Petani tidak/kurang memiliki kemampuan dalam

menemukan teknologi/ inovasi lokal untuk pengembangan usahatani

Petani mempunyai kemampuan dalam menemukan teknologi/ inovasi lokal untuk

pengembangan usahataninya

5 Perilaku bermitra

Petani tidak/kurang mampu membangun kerja sama dalam kelompok

Petani tidak/kurang mampu menjalin kerjasama antar kelompok

Petani tidak/kurang mampu menjalin kerjasama dengan kelembagaan saprodi, permodalan, kelembagaan pemasaran, dan kelembagaan lainnya dalam agribisnis

Petani tidak/kurang mampu bermitra dalam kesetaraan dan saling menguntungkan

Petani mampu membangun kerja sama dalam kelompok

Petani mampu menjalin kerjasama antar kelompok

Petani mampu menjalin

kerjasama dengan kelembagaan saprodi, permodalan,

kelembagaan pemasaran, dan kelembagaan lainnya dalam agribisnis

Petani mampu bermitra dalam kesetaraan dan saling

menguntungkan

6 Adaptabilitas Petani tidak/kurang mampu beradaptasi terhadap perubah- an (teknologi, pasar)

Petani mampu beradaptasi terhadap perubahan (teknologi, pasar)

Keberlanjutan Usaha

Keberlanjutan usaha dalam hal ini merujuk pada konsep pembangunan pertanian berkelanjutan. Dengan merujuk pada Manuwoto (1992, Ditjentan (1992), Anwar et al. (1992), Kuhnen (1992), dan Uphoff (2002), pembangunan pertanian yang berkelanjutan pada intinya mengarah pada dua titik fokus, yaitu secara sosial ekonomi menguntungkan dan secara pertimbangan ekologis layak diterima dan berkelanjutan. Dengan demikian, keberlanjutan usaha dalam tulisan ini merujuk pada usaha yang terjamin keberlangsungannya baik pada aspek ekonomi, ekologis, maupun sosial. Keberlanjutan usaha pada aspek ekonomi adalah usaha yang berkembang yang diindikasikan dari peningkatan produktivitas, keuntungan, dan skala usaha. Pada aspek ekologis, keberlanjutan usaha adalah usahatani yang mempraktekkan pertanian yang ramah lingkungan. Pada aspek sosial, keberlanjutan usaha diindikasikan dari adanya peningkatan

kesejahteraan petani dan keluarganya. Aspek-aspek pemikiran yang berkaitan dengan keber-lanjutan usaha disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pemikiran-pemikiran mengenai keberlanjutan usaha No Aspek-

aspek

Usaha Tidak Berkelanjutan Usaha Berkelanjutan 1 Ekonomi Tidak terjadi peningkatan

produksi rata-rata per tahun Keuntungan diperoleh sesaat atau tidak mampu memper- tahankan keuntungan, karena ketidakmampuan dalam me- nekan pengeluaran dan atau meningkatkan pendapatan Skala usaha cenderung stagnan bahkan berkurang dari tahun-tahun sebelumnya

Produksi rata-rata per tahun mengalami peningkatan Keuntungan rata-rata per masa tanam meningkat, yang diperoleh dari menurunnya pengeluaran dan atau meningkatnya pendapatan Skala usaha mengalami peningkatan

2 Ekologis Petani mempraktekkan sistem pertanian yang belum memperhatiikan aspek keselamatan/kesehatan lingkungan

Petani menerapkan sistem pertanian yang memperhati- kan aspek keselamatan/ kesehatan lingkungan 3 Sosial Kesejahteraan rumahtangga

petani (pendapatan, pendidi- kan, kesehatan) tidak

meningkat

Kesejahteraan rumahtangga petani meningkat yang di- indikasikan dari meningkat- nya pendapatan, pendidikan, dan kesehatan

Dari uraian kerangka pemikiran di atas maka dibuat gambar kerangka penelitian seperti disajikan pada Gambar 1.

Hipotesis Penelitian

Sesuai dengan kerangka pemikiran, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Karakteristik sosial ekonomi petani, intensitas pemberdayaan, lingkungan fisik dan sosial ekonomi, ketersediaan informasi pertanian, dan ciri kepribadian petani berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam kelompok.

Gambar 1. Kerangka pemikiran pemberdayaan petani dalam pengelolaaan usahatani padi.

Karakteristik Sosek Petani (X1)

X1.1 Umur

X1.2 Pengalaman Berusahatani X1.3 Tingkat Pendidikan Formal X1.4 Tingkat Kekosmopolitan X1.5 Skala Usahatani

X1.6 Frekuensi Pendidikan Non Formal

Tingkat Keberdayaan Petani (Y2)

Y2.1 Tingkat Kemampuan Mengakses Informasi Y2.2 Tingkat Kemampuan

Pengambilan Keputusan Y2.3 Tingkat Kemampuan

Mengakses Pasar Y2.4 Tingkat Kemampuan

Pengelolaan Keuangan Y2.5 Tingkat Kemampuan

Bermitra

Y2.6 Tingkat Kemampuan Adaptasi

Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelompok (Y1)

Y1.1 Tingkat Partisipasi dalam Perencanaan

Y1.2 Tingkat Partisipasi dalam Pelaksanaan

Y1.3 Tingkat Partisipasi dalam Evaluasi

Y1.4 Tingkat Partisipasi dalam Pemanfaatan Hasil Ketersediaan Informasi Pertanian (X5) X5.1 Manfaat Informasi X5.2 Jenis Informasi X5.3 Kualitas Informasi X5.4 Kredibilitas Pemberi Informasi

Ciri Kepribadian Petani (X4)

X4.1 Tk. Semangat Kerja Keras X4.2 Tingkat Kepercayaan Diri X4.3 Tingkat Keberanian Resiko X4.4 Tingkat Kreativitas Intensitas Pemberdayaan (X2) X2.1 Intensitas Pengembangan Kemampuan Teknis X2.2 Intensitas Pengembangan Perilaku Inovatif X2.3 Tingkat Penguatan Partisipasi Petani X2.4 Tingkat Pengembangan Kelompok

X2.5 Tingkat Penguatan Akses terhadap Sumberdaya X2.6 Tingkat Penguatan Kemam-

puan Petani Bermitra

Lingkungan Fisik dan Sosial Ekonomi (X3)

X3.1 Dukungan Kebijakan X3.2 Dukungan Tokoh Tani X3.3 Ketersediaan Infrastruktur X3.4 Dukungan Kelembagaan

Agribisnis

X3.5 Dukungan Tenaga Ahli Pertanian

Keberlanjutan Usaha (Y3)

Y3.1 Aspek Ekonomi Y3.2 Aspek Ekologis Y3.3 Aspek Sosial

(2) Tingkat partisipasi petani, karakteristik sosial ekonomi petani, intensitas pemberdayaan, lingkungan fisik dan sosial ekonomi, ketersediaan informasi pertanian, ciri kepribadian petani dan berpengaruh nyata terhadap tingkat keberdayaan petani.

(3) Tingkat keberdayaan petani dalam berusahatani berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan usaha.

Dokumen terkait