• Tidak ada hasil yang ditemukan

The model of farmer empowerment in managing rice farming in Karawang and Cianjur District, West Java Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The model of farmer empowerment in managing rice farming in Karawang and Cianjur District, West Java Province"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PEMBERDAYAAN PETANI

DALAM PENGELOLAAN USAHATANI PADI

DI KABUPATEN KARAWANG DAN CIANJUR,

PROVINSI JAWA BARAT

DWI SADONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Model Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani Padi di Kabupaten Karawang dan Cianjur, Provinsi Jawa Barat) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

(4)

ABSTRACT

DWI SADONO. 2012.

The Model of Farmer Empowerment in Managing Rice Farming in Karawang and Cianjur District, West Java Province.

SUMARDJO (as Promotor), DARWIS S. GANI and SITI AMANAH (as co-Promotors)

In Indonesia, rice is one of basic needs. The sustainability of rice production will determine food security guarantee, and the efforts to integrated food security and farmer empowerment have become an important issue today. Accordingly, the objective of this study was to analyze the level of participation of farmers in their group and the empowerment of farmers in the management of rice farming and the factors associated with it, and analyze the impact of farmer empowerment to sustainability efforts. Fieldwork was conducted from May to June 2012 in two districts in West Java, namely Karawang and Cianjur Districts by taking the 239 members of the farmer who had attended the farmer field school. The quantitative data were analyzed statistically based the descriptive technique and Structural Equations Modeling (SEM). Qualitative data were collected through in-depth interview and observation to support the quantitative data. The results showed that: (1) the level of the farmer participation in the farmer group and the farmer empowerment were classified as low. The variables that significantly affect the levels of the farmer participation in the farmer group are: intensity of empowerment and personality traits. The variables that significantly affect the levels of the farmer empowerment are: the farmer participation in the farmer group, intensity of empowerment, physical and socio-economic environment, personality traits, and the available of agricultural information; (2) The prospects for sustainability efforts were classified as low. The level of the farmer empowerment significantly affect to the sustainability of farming; and (3) The increasing level of the farmer empowerment can be obtained by better management of empowerment process, with the increasing the farmer participation in the farmer s group, strengthen the availability of the agricultural information, and the physical and socio economic environment.The model of the farmer empowerment in managing rice farming are enhanching the farmer participation in the farmer group s with strengthen the availability of the agricultural information, the physic and socio economic environment, and the farmer personality.

(5)

RINGKASAN

DWI SADONO. 2012. Model Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani Padi di Kabupaten Karawang dan Cianjur, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing olehSUMARDJO, DARWIS S. GANI, dan SITI AMANAH.

Program revolusi hijau pada masa Orde Baru yang menekankan pada alih tehnologi, target produksi dan produktivitas telah mampu mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984, ternyata menimbulkan masalah lain. Pendekatan yang tidak mengutamakan manusianya (petani) ini ternyata menghasilkan kebergantungan yang tinggi daerah kepada pusat dan pusat kepada negara donor, terkotak-kotak antara subsektor dalam agribisnis, tidak sinergis, menyebabkan kurang berfungsi/matinya kelembagaan lokal, lemahnya kemandirian petani, menumbuhkan sikap ketergantungan pada bantuan pemerintah, serta keberlanjutan pembangunan pertanian bisa terancam atau mengalami kegagalan.

Terbitnya Undang-undang (UU) No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K) dan Rencana Pembangunan Pertanian 2010-2014 menjadi payung untuk melaksanakan program-program peningkatan kualitas (pemberdayaan) SDM dalam bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan. Program-program penyuluhan pertanian yang dilakukan selama dua dekade terakhir telah mulai mengadopsi pendekatan yang mengutamakan petani. Hal ini diharapkan mampu memberdayakan petani sehingga petani dapat mengambil keputusan terbaik dan menguntungkan bagi usahataninya. Dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan petani dengan pendekatan ini juga ditumbuhkan kegiatan kelompok tani difungsikan sebagai media kerjasama dan belajar sesama anggota kelompok. Sehubungan dengan hal tersebut, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: (1) Sejauhmana terdapat faktor-faktor penentu tingkat partisipasi petani dalam kelompoknya, (2) Sejauhmana terdapat faktor-faktor penentu tingkat keberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani padi? (3) Sejauhmana pengaruh keberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani padi terhadap keberlanjutan usahatani, dan (4) Bagaimana model pengembangan keberdayaan petani yang sesuai agar keberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani yang berkelanjutan dapat dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.

(6)

data primer juga dilakukan dengan mewawancarai informan kunci seperti penyuluh, tokoh masyarakat, dan pejabat terkait di instansi pertanian di daerah penelitian. Pengolahan data menggunakan analisis kuantitatif dan untuk mendukung analisis kuantitatif dilengkapi dengan informasi berdasarkan data kualitatif. Analisis kuantitatif menggunakan statistik yang meliputi: 1) analisis deskriptif, 2) analisis uji beda (uji t), dan 3) analisis Structural Equation Models

(SEM).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Tingkat partisipasi petani dalam kegiatan kelompok tani tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok kurang melibatkan anggota dalam kegiatan kelompok tani atau kurang partisipatif. Rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kegiatan kelompok dipengaruhi oleh kurang tepatnya pola pemberdayaan dan lemahnya ciri kepribadian petani; (2) Petani termasuk kategori kurang berdaya, yang menunjukkan petani kurang mampu menghadapi tantangan-tantangan pada masa kini yang ada di sekitarnya dalam mengelola usahataninya. Rendahnya tingkat keberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani dipengaruhi oleh: rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kelompok, kurang tepatnya pola pemberdayaan, rendahnya dukungan lingkungan fisik dan sosial ekonomi, lemahnya ciri kepribadian petani, dan kurang tersedianya informasi pertanian; dan (3) Kurang berdayanya petani berdampak pada lemahnya prospek keberlanjutan usahanya. Perkembangan aspek bisnis dan aspek sosial meskipun berada pada kategori rendah, masih mempunyai prospek peningkatan. Pada aspek ekologis, menunjukkan adanya kecenderungan petani kurang memperhatikan aspek ekologis, di mana petani melakukan aplikasi pestisida lebih sering, bahkan mengarah sebagai tindakan pencegahan dengan melakukan aplikasi secara rutin/terjadwal. Hal ini disebabkan frekuensi serangan hama yang cenderung meningkat, bahkan di Karawang pernah mengalami puso/gagal panen akibat serangan hama wereng dan penggerek batang pada tahun 2009/2010.

Pola pemberdayaan petani yang sesuai untuk meningkatkan keberdayaan petani dilakukan melalui peningkatan partisipasi petani dalam kelompok dan didukung oleh ketersediaan informasi pertanian, lingkungan fisik dan sosial ekonomi, dan ciri kepribadian petani yang memadai.

(7)

@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan

hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak

merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

MODEL PEMBERDAYAAN PETANI

DALAM PENGELOLAAN USAHATANI PADI

DI KABUPATEN KARAWANG DAN CIANJUR,

PROVINSI JAWA BARAT

Oleh:

DWI SADONO

I 361070111

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi :

Penguji Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Pang S. Asngari

(Guru Besar Emeritus Fakultas Ekologi Manusia IPB)

2. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si.

(Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB)

Penguji Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Ranny Mutiara Chaidirsyah

(Kasubid Pemberdayaan Kelembagaan Usahatani, Pusat Penyuluhan Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Kementerian

Pertanian)

2. Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si.

(Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Kepala Pusat Pengembangan Sumberdaya

Manusia - LPPM IPB)

Judul Disertasi : Model Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani Padi di Kabupaten Karawang dan Cianjur, Provinsi Jawa Barat)

Nama : Dwi Sadono

NRP : I 361070111

Disetujui: Komisi Pembimbing

(10)

Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A. Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.

Anggota Anggota

Diketahui:

Ketua PS/Mayor Ilmu Penyuluhan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Pembangunan ,

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt atas segala karunia Nya sehingga disertasi yang berjudul: Model Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani Padi di Kabupaten Karawang dan Cianjur, Provinsi Jawa Barat ini berhasil diselesaikan. Penyusunan disertasi dengan topik ini dilatarbelakangi dengan fakta bahwa penduduk Indonesia makanan pokoknya bersumber dari padi. Upaya keras pemerintah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi memang telah menunjukkan hasil cukup menggembirakan dimana dalam beberapa tahun Indonesia telah berhasil mencapai swasembada beras. Namun di sisi lain keberdayaan dan kesejahteraan petani masih cukup memprihatinkan. Upaya memadukan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani menjadi faktor penting tercapainya pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Oleh karena itu tema ini dipilih untuk penyusunan disertasi.

Banyak pihak yang telah membantu hingga tersusunnya disertasi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS, Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, MA, serta Dr.Ir. Siti Amanah, M.Sc. selaku komisi pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar telah meluangkan waktu memberikan arahan, bimbingan, dan masukan sehingga penulis dapat menyusun disertasi ini.

2. Dekan Sekolah Pascasarjana dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan pendidikan di program doktor. 3. Dekan Fakultas Ekologi Manusia dan Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan ijin melanjutkan kuliah untuk penulis.

4. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa BPPS dan Dana Hibah Penelitian Disertasi Doktor kepada penulis.

(12)

6. Prof. Dr. Pang S. Asngari dan Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Ranny Mutiara Chaidirsyah dan Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.

7. Para responden dan informan yang telah berbagi informasi dan pengalaman dengan penulis untuk penyusunan disertasi ini.

8. Yogaprasta Adinugraha, M.Si. dan tim enumerator yang telah membantu pengumpulan data lapangan dan pengolahan data deskriptif.

9. Rekan-rekan seperjuangan angkatan 2007, dan angkatan 2006 serta 2008 yang telah banyak berdiskusi dan berbagi pengalaman dengan penulis selama kuliah. Secara khusus ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Adi R. Suprayitno yang telah membantu analisis statistik dengan SEM. 10. Bapak dan ibu tercinta yang dengan tulus dan ikhlas memelihara, menjaga,

membesarkan dan mendidik penulis, serta tiada henti berdoa untuk keberhasilan anakmu.

11. Istri tercinta dan anak-anak tersayang yang selalu menemani, mendoakan dan memberikan dorongan moril selama penulis megikuti pendidikan. 12. Bapak dan ibu mertua, saudara-saudara,dan saudara-saudara ipar yang

telah mendoakan dan memberikan dorongan moril bagi penulis.

Semoga amal baik mereka mendapat pahala dari Allah s.w.t. Akhirul kata semoga disertasi ini memberi manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan informasinya. Amien.

Bogor, Agustus 2012 Penulis,

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kebumen Jawa Tengah pada tanggal 2 November 1964 dari Bapak Talmin (pensiunan guru) dan Ibu Painah, sebagai anak kedua dari enam bersaudara.

Jenjang pendidikan penulis dimulai dari TK Pertiwi tahun 1970-1971 dan SDN Puring 1 tahun 1972-1977 di Puring Kebumen. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 2 Kebumen pada tahun 1978-1981. Selanjutnya penulis melanjutkan sekolah di SMAN 2 Sleman Yogyakarta pada tahun 1981-1984. Pada tahun 1984 penulis diterima di IPB Bogor melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Pada tahun 1985 penulis masuk Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB dan lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1994 penulis mendapat kesempatan melanjutkan ke jenjang S2 di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS Dikti dan lulus pada tahu 1999. Kemudian pada tahun 2007 penulis melanjutkan ke jenjang S3 pada program studi yang sama dengan beasiswa juga dari BPPS Dikti. Pada tahun 2010 penulis terpilih sebagai salah satu penerima Dana Hibah Penelitian Disertasi Doktor dari Dikti, Kemendiknas.

Setamat kuliah S1 (1989) hingga tahun 1992 penulis bekerja sebagai Asisten Peneliti pada Pusat Studi Pembangunan (PSP) - Lembaga Penelitian IPB. Pada tahun 1992 penulis diangkat menjadi staf pengajar di Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Pada tahun 2005 dibentuk Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) di bawah naungan fakultas baru yaitu Fakultas Ekologi Manusia. Sejak saat itu sampai sekarang penulis menjadi staf pengajar di Departemen SKPM, Fakultas Ekologi Manusia IPB, dengan jabatan fungsional saat ini Lektor Kepala dalam mata kuliah Ilmu Penyuluhan.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Permasalahan Penelitian .... ... 6

Tujuan Penelitian ... 8

Manfaat Penelitian ... 8

Definisi Istilah ... 9

TINJAUAN PUSTAKA ... 11

Penyuluhan Pertanian ... 11

Sentralisasi: Membuat Petani Tidak Berdaya ... 13

Pemberdayaan ... 14

Penyuluhan Sebagai Proses Pemberdayaan ... 20

Keberdayaan Petani ... 30

Kelompok Tani ... 36

Partisipasi Petani ... 37

Pertanian sebagai Suatu Sistem Pembangunan Berkelanjutan .... 43

Model dan Strategi Pemberdayaan Petani ... 45

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi dalam Kelompok, Keberdayaan Petani, dan Keberlanjutan Usaha ... 46

KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS ... 51

Kerangka Berfikir ... 51

Hipotesis Penelitian ... 57

METODE PENELITIAN ... 61

Rancangan Penelitian ... 61

Lokasi Penelitian ... 61

Populasi dan Sampel ... 62

Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data ... 64

Kesahihan dan Keterandalan ... 65

Pengolahan dan Analisis Data ... 67

Konseptualisasi dan Definisi Operasional ... 70

DESKRISI UMUM DAERAH DAN PEUBAH PENELITIAN ... 79

Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 79

Kabupaten Cianjur ... 79

Kabupaten Karawang ... 82

Karakteristik Sosial Ekonomi Responden ... 85

Karakteristik Umum responden ... 85

Umur Petani ... 86

(15)

Tingkat Pendidikan Formal ... 88

Skala Usahatani ... 89

Tingkat kekosmopolitan ... 90

Pendidikan Non Formal ... 91

Intensitas Pemberdayaan ... 92

Lingkungan Fisik dan Sosial Ekonomi ... 95

Ciri Kepribadian Petani ... 99

Ketersediaan Informasi Pertanian ... 101

Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelompok ... 103

Tingkat Keberdayaan Petani ... 105

Tingkat Keberlanjutan Usaha ... 111

FAKTOR-FAKTOR PENENTU TINGKAT PARTISIPASI, KEBER-DAYAAN PETANI DAN KEBERLANJUTAN USAHA ... 117

Faktor-faktor Penentu Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelompok ... 120

Ciri Kepribadian Petani ... 122

Intensitas Pemberdayaan ... 123

Faktor-faktor Penentu Tingkat Keberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani ... 125

Lingkungan Fisik dan Sosial Ekonomi ... 127

Ketersediaan Informasi Pertanian ... 130

Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelompok ... 135

Ciri Kepribadian Petani ... 138

Intensitas Pemberdayaan ... 139

Pengaruh Tingkat Keberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani Terhadap Tingkat Keberlanjutan Usaha ... 141

Model dan Strategi Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani ... 144

Model Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani 144 Strategi Pemberdayaan Petani dalam Pengelolaan Usahatani ... 147

KESIMPULAN DAN SARAN ... 161

Kesimpulan ... 161

Saran ... 162

DAFTAR PUSTAKA ... 165

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1. Perbandingan antara pendekatanTransfer of Technology

(TOT) denganFarmer First(FE) ... 23

Tabel 2. Pemikiran-pemikiran tentang tingkat partisipasi petani ... 53

Tabel 3. Paradigma petani yang tidak berdaya dan berdaya ... 55

Tabel 4. Pemikiran-pemikiran tentang tingkat keberlanjutan usaha ... 57

Tabel 5. Nama kabupaten, kecamatan, desa dan nama kelompok tani yang terpilih sebagai lokasi penelitian (tahun 2012) ... 70

Tabel 6. Indikator, definisi operasional, parameter, dan kategori pengukuran karakteristik individu petani ... 71

Tabel 7. Indikator, definisi operasional, parameter, dan kategori pengukuran pola pemberdayaan ... 72

Tabel 8. Indikator, definisi operasional, parameter, dan kategori pengukuran lingkungan sosial budaya... 73

Tabel 9. Indikator, definisi operasional, parameter, dan kategori pengukuran ciri kepribadian petani ... 74

Tabel 10 Indikator, definisi operasional, parameter, dan kategori pengukuran ketersediaan informasi/inovasi ... 75

Tabel 11 Indikator, definisi operasional, parameter, dan kategori pengukuran tingkat partisipasi petani dalam kelompok ... 76

Tabel 12. Indikator, definisi operasional, parameter, dan kategori pengukuran tingkat keberdayaan petani beragribisnis ... 77

Tabel 13. Indikator, definisi operasional, parameter, dan kategori pengukuran tingkat keberlanjutan usaha ... ... 78

Tabel 14. Jenis penggunaan lahan, luas dan persentasenya di Kabupaten Cianjur (tahun 2012) ... 80

(17)

Tabel 16. Sebaran, rataan dan uji beda responden di Jawa Barat berdasarkan karakteristik pengalaman berusahatani (tahun

2012) ... 87 Tabel 17. Sebaran, rataan dan uji beda responden di Jawa Barat

berdasarkan karakteristik tingkat pendidikan formal (tahun

2012) ... 88 Tabel 18. Sebaran, rataan dan uji beda responden di Jawa Barat

berdasarkan karakteristik skala usahatani (tahun 2012) ... 89 Tabel 19. Sebaran, rataan dan uji beda responden di Jawa Barat

berdasarkan karakteristik tingkat kekosmopolitan (tahun

2012) ... 90 Tabel 20. Sebaran, rataan dan uji beda responden di Jawa Barat

berdasarkan karakteristik intensitas pendidikan non formal

(tahun 2012) ... 91 Tabel 21. Sebaran responden petani di Jawa Barat berdasarkan

peubah pola pemberdayaan (tahun 2012) ... 92 Tabel 22. Sebaran, rataan dan uji beda responden petani di Jawa Barat

berdasarkan indikator pola pemberdayaan (tahun 2012) ... 93 Tabel 23. Sebaran dan rataan responden petani di Jawa Barat

berdasar-kan peubah lingkungan fisik dan sosial ekonomi (tahun

2012) ... 96 Tabel 24. Sebaran, rataan dan uji beda responden petani di Jawa Barat

berdasarkan indikator lingkungan fisik dan sosial ekonomi

(tahun 2012) ... 97 Tabel 25. Sebaran dan rataan responden petani di Jawa Barat

berdasar-kan peubah ciri kepribadian petani (tahun 2012) ... 99 Tabel 26. Sebaran, rataan dan uji beda responden petani di Jawa Barat

berdasarkan indikator ciri kepribadian petani (tahun 2012) .... 100 Tabel 27. Sebaran dan rataan responden petani di Jawa Barat

berdasar-kan peubah ketersediaan informasi pertanian (tahun 2012) ... 101 Tabel 28. Sebaran, rataan dan uji beda responden petani di Jawa Barat

berdasarkan indikator ketersediaan informasi pertanian

(18)

Tabel 29. Sebaran, rataan dan uji beda responden petani di Jawa Barat berdasarkan indikator tingkat partisipasi petani dalam

kelompok (tahun 2012) ... 104 Tabel 30. Sebaran, rataan dan uji beda responden petani di Jawa Barat

berdasarkan indikator tingkat keberdayaan petani (tahun

2012) ... 107 Tabel 31. Sebaran, rataan dan uji beda responden petani di Jawa Barat

berdasarkan indikator tingkat keberlanjutan usaha (tahun

2012) ... 113 Tabel 32. Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung antar

(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Gambar 1. Kerangka pemikiran pemberdayaan petani dalam

berusahatani berbasis agribisnis ... 58 Gambar 2. Diagram jalur model hipotetik persamaan struktural

peningkatan keberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani ... 69 Gambar 3. Diagram sebaran persentase tingkat partisipasi petani

dalam kelompok tani di Jawa Barat (tahun 2012) ... 103 Gambar 4. Diagram sebaran persentase tingkat keberdayaan petani

dalam pengelolaan usahatani di Jawa Barat (tahun 2012) . 106 Gambar 5. Diagram sebaran persentase tingkat keberlanjutan

usahatani di Jawa Barat (tahun 2012) ... 112 Gambar 6. Pendugaan parameter model struktural/hybrid model

(standardized) ... 118 Gambar 7. Model pemberdayaan petani dalam pengelolaan

usahatani di Jawa Barat ... 145 Gambar 8. Strategi pemberdayaan petani dalam pengelolaan

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1. Pendugaan akhir parameter model struktural/hybrid

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian peranannya dalam perekonomian nasional meskipun sudah semakin menurun, namun masih tetap penting. Hal ini terutama karena sektor pertanian masih memberikan lapangan pekerjaan bagi sebagian besar penduduk yang ada di pedesaan dan menyediakan bahan pangan bagi penduduk. Peranan lain dari sektor pertanian adalah menyediakan bahan mentah bagi industri dan menghasilkan devisa negara melalui ekspor non migas. Bahkan sektor pertanian mampu menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam menghadapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir ini.

Kontribusi penting penyuluhan pertanian untuk meningkatkan pembangunan pertanian dan peningkatan produksi pangan telah menyebabkan cepatnya perkembangan minat orang dalam penyuluhan selama beberapa dekade terakhir (van den Ban dan Hawkins 1999). Beberapa negara telah berhasil memajukan pertaniannya yang memungkinkan kebutuhan pangan penduduknya terpenuhi dan pendapatan petani meningkat.

Masalah pertanian, khususnya pangan, telah lama mendapat perhatian para ahli. Perhatian tersebut tampak sangat menonjol ketika muncul karya R.T. Malthus pada akhir abad ke 18 (Rusli 1989, Rusli dan Andriani 2008). Malthus melihat pangan sebagai pengekang hakiki dari perkembangan penduduk disamping pengekang-pengekang lainnya yang berbentuk pengekang segera. Menurutnya, apabila tidak ada pengekang maka perkembangan penduduk akan berlangsung jauh lebih cepat daripada perkembangan produksi pangan (subsisten). Hal ini karena perkembangan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan perkembangan pangan mengikuti deret hitung.

(22)

meningkat dan akhirnya tercapai kesejahteraan petani. Kegiatan mendidik petani agar mereka responsif terhadap informasi/teknologi pertanian pada waktu itu, kemudian dikenal dengan penyuluhan pertanian (agricultural extension).

Setelah kemerdekaan, usaha penyuluhan pertanian terus dikembangkan oleh pemerintah. Berbagai sarana dan prasarana pertanian disediakan, jumlah penyuluh ditambah dan ditingkatkan kemampuannya, demikian juga segala kemudahan bagi petani, termasuk berbagai subsidi, dan sebagainya. Namun demikian, sejalan dengan perjalanan politik pemerintahan Indonesia terutama pada masa Orde Baru, paradigma penyuluhan pertanian tidak terlepas dari perkembangan tersebut.

Upaya tersebut dipacu oleh kebutuhan nasional untuk meningkatkan produksi, yaitu padi agar dapat berswasembada beras. Ketika itu kebutuhan peningkatan produksi padi besar sekali. Peningkatan ini selain dipicu oleh pertum-buhan jumlah penduduk yang cepat, juga disebabkan karena meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang menyebabkan kebutuhan beras per kapita per tahun juga meningkat. Keadaan ini lebih mendesak lagi dengan berubahnya pola makanan pokok penduduk di berbagai daerah, yang asalnya bukan beras menjadi beras seiring dengan meningkatnya kesejahteraan mereka (Tjitropranoto 2003).

Seiring dengan kondisi di atas, penyuluhan pertanian juga ikut berubah. Jika semula penyuluhan menekankan pada bimbingan kepada petani dalam berusahatani yang baik, berubah menjadi tekanan pada alih teknologi, yakni mengusahakan agar petani mampu meningkatkan produktivitas dan produksinya dan menekankan pada tercapainya target produksi padi, baik target nasional, daerah maupun lokal (Tjitropranoto 2003). Program tersebut dikenal dengan revolusi hijau dan telah mampu menghantarkan Indonesia mencapai swasem-bada beras pada tahun 1984. Hal ini merupakan prestasi besar karena Indonesia sebelumnya dikenal sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia yang pada tahun 1974 mengimpor lebih dari satu juta ton (Rusli 1989).

(23)

sentralistik, dengan dukungan dana dari pusat yang bersumber dari negara donor, statis dan mekanis, masing-masing pihak berperan secara spesifik sehingga kurang luwes, dan linear pola komunikasinya, bahkan cenderung bersifat instruksional dengan sistem target yang kaku. Senada dengan hal tersebut, Chambers (1993) berpendapat bahwa paradigma yang dominan digunakan lebih berbasis pada transfer teknologi, dan bukan pada orangnya maupun proses belajarnya.

Pendekatan yang tidak mengutamakan manusianya ini ternyata menghasilkan kebergantungan yang tinggi daerah kepada pusat dan pusat kepada negara donor, terkotak-kotak antara subsektor dalam agribisnis dan tidak sinergis (Pasandaran dan Adnyana 1995). Mengacu pada pendapat Chambers (1993), Kottak (1988) dan Uphoff (1988), dampak yang ditimbulkan dari paradigma konvensional tersebut diantaranya adalah menyebabkan kurang berfungsi atau matinya kelembagaan lokal, lemahnya kemandirian petani, menumbuhkan sikap ketergantungan pada bantuan pemerintah, serta keberlanjutan pembangunan pertanian bisa terancam atau mengalami kegagalan.

Disamping itu, seiring dengan perkembangan perekonomian regional dan internasional, Indonesia telah dihadapkan pada era globalisasi ekonomi ASEAN, Asia Pasifik maupun dunia, seperti AFTA/NAFTA, APEC dan WTO yang semakin mendesak dan semakin dekat (Baharsyah 1997 dikutip Purnama dkk. 2004, Sumardjo 1999a). Hal ini berimplikasi pada penghapusan berbagai kemudahan yang selama ini telah menjadi implementasi dalam pembangunan pertanian, seperti: subsidi, proteksi dan sejenisnya. Oleh karena itu, berbagai sumber pertumbuhan untuk meningkatkan daya saing pertanian perlu dikembang-kan. Arah yang jelas dalam upaya menghadirkan sosok pertanian modern dan petani modern dalam rangka memanfaatkan peluang dan menghadapi tantangan yang muncul dari dampak lingkungan strategis adalah dengan meningkatkan daya saing sektor ini.

(24)

belajarnya. Tujuan penyuluhan adalah agar petani tahu, mau, mampu dan berswadaya mengatasi masalahnya secara baik dan memuaskan atau dengan kata lain menghasilkan petani yang mandiri hanya mungkin jika dilakukan dengan pendekatan yang mengutamakan manusianya dan proses belajarnya. Pendapat ini didukung oleh pandangan bahwa petani sebagai orang dewasa telah mempunyai konsep diri, pengalaman belajar dan kesiapan belajar (Apps 1973) sehingga sisi manusianya dan proses belajarnya perlu dikedepankan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan pendekatan penyuluhan dari paradigma lama ke paradigma yang baru.

Salah satu pendekatan penyuluhan yang menekankan pada sumberdaya manusianya adalah Sekolah Lapangan (SL) atau Farmer Field School (FFS). Sekolah Lapangan mulai dikenal di Indonesia dalam rangka Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yaitu dikenal dengan SLPHT yang dimulai pada tahun 1990 (Dilts 1992). Sekarang istilah SL telah diterapkan untuk program pertanian yang lain, seperti SLUBA (Sekolah Lapangan Usahatani Berbasis Agribisnis) (BPLP 1993), SLPTT (Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu) dan lainnya. Penyuluhan dengan basis kelompok dan mengutamakan partisipasi, pengalaman langsung, dan analisis hasil dari pengamatan lapangan dalam SL ini berbeda dengan penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan sebelumnya yang lebih banyak dilakukan melalui ceramah dan demonstrasi (Dilts 1992). Van de Fliert (1993) mencatat fakta bahwa revolusi hijau dan SLPHT sebagai dua model pembangunan pertanian yang kontras, baik dalam muatan teknologinya maupun dalam pendekatan penyuluhannya. Program lain yang menekankan peningkatan sumberdaya manusia pertanian adalah program Decentralized Agricultural and Forestry Extension Program (DAFEP).

(25)

(Mugniesyah 2006). Pendekatan kelompok ini melengkapi pendekatan individu dan massa, dan cukup efektif untuk menyampaikan informasi pertanian/ pembangunan kepada subyek penyuluhan, sehingga pertanian mengalami perkembangan pesat pada waktu itu.

Pada tahun 2006 dihasilkan Undang-undang (UU) No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K). Undang-undang ini menjadi payung untuk melaksanakan program-program peningkatan kualitas (pemberdayaan) SDM dalam bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan.

Dalam bidang pertanian, pemberdayaan petani menjadi faktor kunci yang sangat diperlukan agar mereka mampu memerankan sebagai pelaku utama dalam pengelolaan sumberdaya pertanian. Sebagai pelaku utama, petani harus mampu mengendalikan pembuatan keputusan tentang pengelolaan sumberdaya pertanian yang efektif, menguntungkan, dan lestari. Menurut Padmowihardjo (2005), pemberdayaan akan mendayagunakan semua potensi yang dimiliki seseorang untuk dapat memperbaiki nasibnya. Pemberdayaan sangat diperlukan sehingga mereka mampu menampilkan dirinya sebagai subyek pembangunan, bukan sebagai obyek pembangunan.

(26)

peningkatan produksi, diversifikasi pangan, nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan peningkatan kesejahteraan petani.

Dalam strategi umum Kementerian Pertanian (2009-2014) juga disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan pertanian, upaya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) pertanian adalah salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Sumberdaya pertanian yang dimaksud di atas adalah petani dan aparatur pertanian, termasuk di dalamnya penyuluh pertanian.

Masalah Penelitian

Dari tahun 2004 hingga 2008, sektor pertanian berhasil meningkatkan produksi padi dari 54,1 juta ton GKG (Gabah Kering Giling) pada tahun 2004 menjadi 60,3 juta ton pada tahun 2008 atau meningkat rata-rata 2,8 persen per tahun (Apryantono et al. 2009). Angka Ramalan (ARAM) I, produksi beras nasional tahun 2012 diperkirakan sebesar 68,59 juta ton GKG atau naik sebesar 2,84 juta ton (4,31 persen) dibandingkan produksi tahun 2011. Namun, peningkatan kesejahteraan petani yang terjadi selama ini belum sejalan dengan pencapaian peningkatan produksi pertanian. Nasib sebagian besar petani masih memprihatinkan dan kurang berdaya (Nugroho 1998, Sadono 2004, Siregar dan Kolopaking 2003). Ada banyak hal yang menyebabkan kondisi ini terus berlangsung. Namun yang paling utama adalah masalah yang berkaitan dengan kualitas SDM petani itu sendiri. Hal ini juga terjadi pada petani di Jawa Barat, sebagai salah satu lumbung padi utama yang menghasilkan 17-18 persen produksi padi di Indonesia (Sastraatmadja 2007).

Tujuan pembangunan pada intinya adalah untuk mengubah taraf hidup suatu bangsa. Oleh karena itu konsentrasi pembangunan untuk memerangi kemiskinan harus terjadi di pedesaan, yang jumlah terbanyak penduduk miskinnya ada di pedesaan dan sebagian besarnya adalah petani (Soedijanto 2003).

(27)

untuk kebutuhan sendiri (subsisten) menjadi pola pikir yang responsif terhadap perubahan dan beorientasi agribisnis. Petani dituntut untuk dapat mengambil keputusan yang terbaik dan menguntungkan bagi usahataninya. Untuk itu upaya pemberdayaan petani sehingga petani menjadi berdaya sebagaimana diamanahkan UU No. 16 Tahun 2006 tentang SP3K, menjadi keharusan. Pendekatan penyuluhan yang bersesuaian untuk memberdayakan petani adalah pendekatan yang mengutamakan petani (farmer first).

Program-program penyuluhan pertanian yang telah dilakukan selama dua dekade terakhir mulai mengadopsi pendekatan pengembangan SDM petani (mengutamakan petani), diharapkan mampu memberdayakan petani sehingga petani dapat mengambil keputusan terbaik dan menguntungkan bagi usahataninya (better business). Dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan petani dengan pendekatan ini juga ditumbuhkan kegiatan dalam kelompok tani dan kelompok tani difungsikan sebagai media belajar sesama anggota kelompok sehingga diharapkan keberdayaan petani akan meningkat.

Penelitian-penelitian sebelumnya (Anantanyu et al. 2009, Hakim et al. 2009, Marliati 2008, Subagio et al. 2008, Suprayitno 2011, Utama et al. 2010, Yunita 2011) belum melihat proses pemberdayaan melalui kelompok (kan partisipasi anggota/petani dalam kelompok) sebagai media untuk meningkat-kan keberdayaan subyek penyuluhan. Penelitian tentang keberdayaan petani yang dilakukan sebelumnya dari beberapa peneliti di atas juga belum sepenuhnya mengacu kepada tujuan penyuluhan seperti yang tercantum pada pengertian penyuluhan menurut UU No. 16/2006 tentang SP3K. Oleh karena itu penelitian ini berusaha mengisi kesenjangan tersebut.

(28)

Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah penelitian tersebut, dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: (1) Menganalisis faktor-faktor penentu tingkat partisipasi petani dalam kelompoknya, (2) Menganalisis faktor-faktor penentu tingkat keberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani padi, (3) Menganalisis pengaruh tingkat keberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani padi terhadap keberlanjutan usahatani, dan (4) Merumuskan model dan strategi pemberdayaan petani yang sesuai agar keberdayaan petani dalam pengelolaan usahatani padi yang berkelanjutan dapat dicapai.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak baik dalam lingkup akademis (keilmuan) maupun lingkup praktis.

Kegunaan dalam lingkungan akademis/keilmuan:

(1) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman proses pember-dayaan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan usahatani padi. (2) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman proses

pember-dayaan, SDM pemberpember-dayaan, aspek lingkungan dan pengaruhnya terhadap keberdayaan petani berusahatani.

(3) Memberikan informasi bagi penenlitian yang serupa agar dapat melakukan penyempurnaan demi kemajuan ilmu pengetahuan tentang proses pemberdayaan, SDM pemberdayaan, aspek lingkungan dan pengaruhnya terhadap keberdayaan petani berusahatani dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani.

Kegunaan dalam lingkungan praktis:

(1) Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai tambahan infor-masi sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan pembangunan pertanian yang berorientasi kepada pemberdayaan petani untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.

(29)

Definisi Istilah

Penyuluhan Pertanian

Definisi penyuluhan menurut UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (Pusluhtan 2011) adalah:

proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup .

Kelompok

Konsep kelompok mengacu pada suatu organisasi sosial yang berupa kumpulan individu dan memiliki karakteristik: adanya hubungan atau interaksi sosial satu sama lain, adanya saling ketergantungan, adanya identitas dan perasaan bersatu, saling berbagi tujuan tertentu dan harapan terhadap perilaku satu sama lain. Kelompok sebagai sistem sosial memiliki struktur sebagai aspek statis dan mempunyai proses sebagai aspek dinamisnya.

Definisi kelompok tani adalah sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna (pemuda/pemudi), yang bergabung secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar hamparan sawah atau domisili, keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang kontak tani. Pengertian kelompok tani ini termasuk pula gabungan kelompok-kelompok tani (gapoktan) yang dibentuk atas dasar permufakatan di antara para petani yang bersangkutan.

Partisipasi

(30)

dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Dalam kaitannya dengan partisipasi petani dalam kelompok dikatakan partisipatif jika anggota kelompok tani ikut berpartisipasi pada keseluruhan tahapan, yaitu:perencanaan, pelaksanaan, evaluasi/monitoring, dan menikmati hasil.

Keberdayaan Petani

Keberdayaan didefinisikan sebagai kekuatan atau kemampuan individu/ kelompok/masyarakat mengontrol atau melakukan kendali atas kehidupannya sendiri dengan mengadakan kerja sama dan kesaling-tergantungan dengan pihak lain secara setara, saling menguntungkan dan berkelanjutan, serta mampu bertindak tepat terhadap isu-isu yang penting menurut mereka sehingga kualitas kehidupannya meningkat.

Dalam kaitannya dengan bidang pertanian, maka keberdayaan petani dalam berusahatani adalah perwujudan kemampuan petani secara utuh mampu untuk memilih dan memanfaatkan secara optimal kapasitas/ kemampuan dirinya dan sumberdaya yang tersedia dalam berusahatani, sesuai dengan kesadaran dirinya mampu berbuat tanpa tersubordinasi oleh pihak lain, yang diyakini paling tinggi manfaatnya dengan senantiasa memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi serta bekerjasama dengan pihak lain secara setara/kolegial dan saling menguntungkan sehingga meningkat kualitas hidupnya.

Keberlanjutan Usaha

(31)

TINJAUAN PUSTAKA

Penyuluhan Pertanian

Desakan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya yang terus berkembang telah menyadarkan berbagai negara berusaha untuk meningkatkan produksi pangannya. Oleh karena itu, teknologi pertanian yang lebih baik terus dikembangkan dan diintroduksikan kepada petani agar petani mau menerapkan teknologi tersebut dan produksi pangan meningkat. Kegiatan mendidik petani agar responsif terhadap informasi/teknologi pertanian pada waktu itu, kemudian dikenal dengan penyuluhan pertanian (agricultural extension).

Istilah penyuluhan berasal dari kata bahasa Inggris, yaituextension. Secara harfiah kata tersebut diterjemahkan sebagai perpanjangan atau perluasan . Dalam bahasa Belanda, konsep yang bermakna penyuluhan tersebut adalah

voorlichting yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya. Di Jerman dikenal dengan istilah beratung yang berarti seorang pakar dapat memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut berhak untuk menentukan pilihannya (van den Ban dan Hawkins 1999). Wiriatmadja (1990) mendefinisikan penyuluhan pertanian sebagai suatu sistem pendidikan di luar sekolah (nonformal) untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka tahu, mau, mampu, dan berswadaya mengatasi masalahnya secara baik dan memuaskan dan meningkat kesejahteraannya. Definisi penyuluhan menurut UU No. 16 Tahun 2006 (Pusluhtan 2011) adalah:

proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produk-tivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(32)

produksi pertanian diperhitungkan akan dapat dipenuhi seandainya teknologi-teknologi maju yang ditemukan para ahli dapat dipraktekkan oleh para petani sebagai produsen primer. Dengan hasil yang cukup menggembirakan, usaha-usaha ini terus dikembangkan dan kemudian dibentuk suatu sistem penyuluhan pertanian yang melembaga di Indonesia dengan dibentuknya Dinas Penyuluhan (Landbouw Voorlichting Dients atau LVD) pada tahun 1908 di bawah Departemen Pertanian (BPLPP 1978, Iskandar 1969).

Setelah mencapai kemerdekaan, usaha penyuluhan pertanian terus dikembangkan oleh pemerintah. Berbagai sarana dan prasarana pertanian disediakan, jumlah penyuluh ditambah dan ditingkatkan kemampuannya, demikian juga segala kemudahan bagi petani, termasuk berbagai subsidi, dan sebagainya. Namun demikian, sejalan dengan perjalanan politik pemerintahan Indonesia, paradigma penyuluhan pertanian tidak terlepas dari perkembangan tersebut.

Dalam rangka peningkatan produksi pertanian -- khususnya beras -- untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang terus meningkat, pembanguan pertanian sejak tahun 1960-an mengintroduksikan berbagai program. Berbagai program telah dilaksanakan mulai dari Demonstrasi Massal Swasembada Beras (Demas SSB), Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus dan sebagainya. Melalui berbagai program tersebut, diintroduksikan berbagai teknologi pertanian modern (benih unggul, pupuk buatan, irigasi dan lain-lain) dan ditumbuhkan kesatuan petani untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP 1978, Tim Faperta IPB 1992).

(33)

Sentralisasi: Membuat Petani Tidak Berdaya

Seiring dengan kondisi di atas, penyuluhan pertanian juga ikut berubah. Jika semula penyuluhan menekankan pada bimbingan kepada petani dalam berusahatani yang baik, berubah menjadi tekanan pada alih tehnologi, yakni mengusahakan agar petani mampu meningkatkan produktivitas dan produksinya dan menekankan pada tercapainya target produksi padi, baik target nasional, daerah maupun lokal (Tjitropranoto 2003). Program tersebut dikenal dengan revolusi hijau dan telah mampu menghantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Hal ini merupakan prestasi besar karena Indonesia sebelumnya dikenal sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia yang pada tahun 1974 mengimpor lebih dari satu juta ton (Rusli 1989).

Pencapaian prestasi yang besar tersebut ternyata juga menimbulkan masalah lain. Roadhes et al. (Pasandaran dan Adnyana 1995) menyatakan bahwa selain lebih berfokus pada peningkatan produksi, paradigma pembangunan pertanian yang dominan pada waktu itu menekankan pada pendekatan yang sangat sentralistik, dengan dukungan dana dari pusat yang bersumber dari negara donor, statis dan mekanis, masing-masing pihak berperan secara spesifik sehingga kurang luwes, dan linear pola komunikasinya, bahkan cenderung bersifat instruksional dengan sistem target yang kaku. Senada dengan hal tersebut, Chambers (1993) berpendapat bahwa paradigma yang dominan digunakan lebih berbasis pada transfer teknologi, dan bukan pada orangnya maupun proses belajarnya.

(34)

Mengacu pada pendapat Chambers (1993), dampak yang ditimbulkan dari paradigma konvensional tersebut diantaranya adalah:

(1) Menurunkan kreativitas petani dan menumbuhkan sikap ketergantungan pada bantuan pemerintah

(2) Kreativitas dan kearifan lembaga-lembaga lokal tidak berkembang bahkan banyak yang hilang

(3) Program pembangunan agribisnis menjadi tidak efisien dan efektif karena biaya birokrasi pemerintah yang relatif tinggi

(4) Program pembangunan sentralistik tidak sesuai dengan kondisi lokal, sehingga komoditi unggulan lokal terdesak pilihan dari atas atau pusat. Kottak (1988) dan Uphoff (1988) dengan mempelajari berbagai proyek di berbagai negara, menyatakan bahwa pendekatan pembangunan yang tidak mengutamakan manusianya (sosio-ekonomi dan budayanya) telah menyebabkan kurang berfungsi atau matinya kelembagaan lokal, lemahnya kemandirian petani, serta keberlanjutan pembangunan pertanian bisa terancam atau mengalami kegagalan. Proyek Pengawetan Tembakau di Tanzania, misalnya, yang bermaksud memukimkan 15.000 petani untuk menanam tembakau. Proyek ini tidak peka secara budaya dan mencoba melakukan overinovasi. Bercocok tanam secara koperatif yang dicanangkan mungkin berhasil bagi petani yang sudah mapan, desa-desa berorientasi komunal dan berdasarkan pertalian keluarga. Tetapi kerjasama terbukti mengecewakan di permukiman yang dihuni oleh orang-orang baru, yang sebelumnya tidak mempunyai dasar saling percaya.

Pemberdayaan

Konsep empowerment yang diartikan sebagai pemberdayaan, tidak bisa dilepaskan dari konsep power yang menurut kamus Oxford Advanced Learner s diartikan sebagai ability to do or act atau kemampuan untuk melakukan sesuatu atau untuk bertindak. Arti yang lain yaitu control over others atau kemampuan mengontrol terhadap pihak lain.

(35)

ke 20 yang dikenal sebagai aliran post-modernisme. Sebagai aliran alternatif dari aliran keagamaan yang deterministik, maka muncul penguatan pada pemikiran kebebasan, rasio dan individu, sehingga melahirkan pemikiran liberalisme, rasionalisme, dan individualisme. Emansipasi, liberalisasi, dan penataan terhadap segala kekuasaan dan penguasaan itulah yang kemudian menjadi substansi dari konsep empowerment. Pola dasar dari gerakan pemberdayaan mengamanatkan perlunya power, dan menekankan keberpihakan kepada the powerless. Gerakan ini ingin agar semua dapat mempunyai kekuatan yang menjadi modal dasar dari proses aktualisasi eksistensi manusia (Pranarka dan Moeljarto 1996).

Guna melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan maka perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan (the powerless) yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya menurut Suharto (2005) meliputi:

(1) Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis.

(2) Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.

(3) Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/atau keluarga.

(36)

Dengan mengacu pada penyebab ketidakberdayaan di atas, maka petani di Indonesia juga mengalami ketidakberdayaan. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah terutama pada masa Orde Baru yang mempunyai kebijakan sentralistik dalam memenuhi kebutuhan pangan (terutama beras) penduduknya dengan produksi yang mencukupi dan harga yang cukup murah bagi konsumen. Beras dijadikan sebagai komoditas politik pemerintah (Sastraatmadja 2007, Tjitropranoto 2003).

Menurut Page dan Czuba (1999), bagi sebagian besar penyuluhan, pemberdayaan merupakan tujuan dari program yang dimiliki, para sukarelawan, peserta atau klien di mana penyuluh bekerja. Tetapi dari review terhadap fokus pemberdayaan lintas disiplin terhadap banyak pihak yang bekerja, Page dan Czuba (1999) menyatakan semakin tidak jelasnya konsep pemberdayaan lintas disiplin. Beberapa ahli menggunakan konsep tersebut untuk mengatasi ketidakjelasannya, membagi arti dengan menggunakan konsep tersebut dengan sangat sempit, atau hanya menggunakannya pada disiplin ilmiah tertentu atau program untuk memberikan informasi kepada mereka. Ahli lain tidak mendefinisikannya sama sekali. Sebagai hasilnya, kebanyakan sampai pada satu pandangan bahwa pemberdayaan adalah tidak lebih dari sebuah kata baru yang populer untuk dilemparkan sehingga sebuah program yang sudah kuno akan mendapatkan pendanaan baru.

Menurut Page dan Czuba (1999), pemberdayaan merupakan sebuah proses yang menantang asumsi tentang sesuatu (things) dan bisa menjadi (can be). Inti dari konsep pemberdayaan adalah ide tentang kekuasaan. Kemungkinan dari kekuasaan tergantung kepada dua hal. Pertama, pemberdayaan mensyaratkan bahwa kekuasaan bisa berubah. Jika kekuasaan tidak berubah atau melekat pada seseorang, maka pemberdayaan tidak mungkin terjadi. Kedua, konsep pemberdayaan tergantung pada ide bahwa kekuasaan bisa diperlebar/diperbesar. Kekuasaan sebagai sebuah proses yang muncul dalam hubungan/relasi memberi kita kemungkinan untuk pemberdayaan.

(37)

sangat bervariasi diantara disiplin ini. Untuk itu, Page dan Czuba (1999) memberikan definisi umum pemberdayaan sebagai sebuah proses yang membantu masyarakat mendapatkan kontrolnya atas kehidupan mereka sendiri. Sebuah proses yang mendorong kekuasaan (dalam hal ini kemampuan untuk melakukan sesuatu) pada masyarakat untuk menggunakan kekuasaannya tersebut di kehidupannya, komunitasnya, masyarakatnya, dengan melaksanakan sesuatu yang menurut mereka penting untuk dilakukan.

Gagasan pemberdayaan (empowerment)menurut Ife dan Tesoriero (2002) merupakan sentral bagi suatu strategi keadilan sosial. Senada dengan pendapat Page dan Czuba (1999) di atas, Ife dan Tesoriero (2002) juga mensinyalir kata pemberdayaan sebagai suatu kata yang telah digunakan secara berlebihan dan sedang berada dalam bahaya kehilangan arti substantifnya. Meskipun demikian, Ife dan Tesoriero (2002) memberikan definisi kerja yang sederhana sebagai bahan diskusi. Pemberdayaan menurutnya, bertujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged). Pernyataan ini mengandung dua konsep penting, yaitu power (daya atau keberdayaan) dan disadvantaged (pihak yang dirugikan/lemah). Menurut Ife dan Tesoriero (2002), bagaimanapun cara orang memandang pemberdayaan tidak bisa tidak itu adalah tentang kekuasaan yang mana individu atau kelompok memiliki atau menggunakan kesempatan untuk meraih kekuasaan ke dalam tangan mereka, meredistribusikan kekuasaan dari kaum berpunya kepada kaum tidak berpunya dan seterusnya. Pandangan pemberdayaan dari segi politik meliputi empat perspektif, yaitu: perspektif pluralis, perspektif elite, perspektif struktural, dan perspektif post-struktural.

(38)

kelompok-kelompok lain untuk meraih kekuasaan melalui aksi sosial, tekanan politik, ancaman tersembunyi, publisitas, dan sebagainya.

Dalam perspektif elit, pemberdayaan membutuhkan lebih dari memiliki kemampuan berkompetisi untuk kekuasaan politik dengan memainkan permainan . Aturan main, bagaimanapun, telah ditetapkan oleh elite penguasa dan karena itu cenderung akan menguntungkan mereka. Dalam pandangan ini, perlu melakukan sesuatu terhadap kaum elite penguasa. Salah satu cara adalah dengan bergabung dengan mereka agar dapat mengubah atau mempengaruhi kebijakan yang dibuat kaum elite.

Dalam perspektif struktural, pemberdayaan adalah agenda yang jauh lebih menantang karena hal itu hanya dapat dicapai secara efektif jika bentuk-bentuk struktur yang merugikan ditantang dan diatasi. Pemberdayaan, oleh karena itu selalu merupakan bagian dari program perubahan sosial yang lebih luas, dengan pandangan untuk melucuti struktur-struktur opresif yang dominan.

Dalam perspektif post-struktural, pemberdayaan menjadi suatu proses menantang dan mengubah wacana. Pemberdayaan menjadi proses memper-tanyakan dan mengubah diskursus, yang menekankan pengertian subyektif dan konstruksi pandangan serta menawarkan alternatif pemikiran terhadap pember-dayaan. Perspektif post-struktural dengan demikian menekankan pengertian, analisis, dekonstruksi, pendidikan, dan partisipasi dalam wacana-wacana kekuasaan, dan melihat suatu konsentrasi pada aksi saja sebagai tidak mencukupi.

Karsidi (2003) menyatakan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat secara mendasar berarti menempatkan masyarakat beserta institusi-institusinya sebagai kekuatan dasar bagi pengembangan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Penyadaran diri (conscienzacione) yang digagas Freire (1984) merupakan inti dari usaha mengangkat harkat rakyat dari kelemahannya selama ini. Kesempitan pandangan dan cakrawala rakyat yang tersekap dalam kemiskinan dan sering menghayati kehidupan mereka dalam keterpencilan (isolasi) dan kekumuhan, harus diubah ke arah suatu keinsyafan, perasaan, pemikiran, gagasan, bahwa hal ikhwal dapat menjadi lain, dan tersedia alternatif-alternatif.

(39)

imajinatif untuk menggugah kesadaran masyarakat. Sikhondze (Karsidi 2003) menjelaskan bahwa orientasi pemberdayaan masyarakat haruslah membantu petani dan nelayan (sasaran) agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-inovasi yang ada, ditetapkan secara partisipatoris, yang pendekatan metodenya berorientasi pada kebutuhan masyarakat sasaran dan hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam bentuk layanan individu maupun kelompok. Peran petugas pemberdayaan masyarakat sebagaioutsider people dalam hal ini dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: peran konsultan, peran pembimbingan, dan peran penyampai informasi. Dengan demikian peranserta kelompok sasaran (masyarakat itu sendiri) menjadi sangat dominan.

Peranserta masyarakat dalam pembangunan harus lebih dimaknai sebagai hak ketimbang kewajiban. Kontrol rakyat terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan atas program-program pembangunan yang ditujukan kepadanya adalah hak masyarakat sebagai pemegang akhir dan mengontrol apa saja yang masuk dalam agenda dan urutan prioritas.

Suharto (2005) menyatakan bahwa secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan). Oleh karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia, sehingga kekuasan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal:

(1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun.

(2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.

(40)

tepat terhadap isu-isu yang penting menurut mereka sehingga kualitas kehidupan mereka menjadi lebih baik.

Penyuluhan sebagai Proses Pemberdayaan

Praktek penyuluhan pertanian terutama pada masa Orde Baru lebih mengedepankan pendekatan transfer of technology. Apakah pendekatan yang dilakukan pada waktu itu sesuai untuk diterapkan di Indonesia saat itu? Terdapat pandangan yang berbeda dalam hal ini. Sebagian ahli pembangunan pertanian menyatakan bahwa paradigma pembangunan pertanian di atas, relevan sesuai dengan kondisi petani dan pertaniannya saat itu yang petaninya masih tradisional (belum merasa memerlukan informasi pertanian atau belum responsif terhadap inovasi) dan pertaniannya masih subsisten. Pemerintah pada sisi yang lain ingin agar teknologi pertanian segera diterapkan oleh petani sehingga produksi pangan meningkat dan dapat tercapai swasembada pangan, khususnya beras. Mengacu pada pendapat Mosher (1978), peranan penyuluh pada waktu itu lebih memfokus-kan pada upaya mencapai swasembada beras adalah peranan peningkatan produksi komoditas tertentu.

(41)

Dengan adanya desakan keperluan untuk meningkatkan produktivitas dan produksi beras secara nyata pada masa revolusi hijau, maka diperlukan usaha-usaha yang cepat untuk mencapainya. Dengan kondisi petani yang belum responsif terhadap inovasi pada saat itu, maka paradigma konvensional tersebut dinilai relevan pada saat itu.

Sebagian ahli yang lain menyatakan bahwa pendekatan tersebut tetap tidak sesuai karena tidak mengedepankan aspek manusia (petani) dan proses belajarnya. Tujuan penyuluhan adalah agar petani tahu, mau, mampu dan berswadaya mengatasi masalahnya secara baik dan memuaskan atau dengan kata lain menghasilkan petani yang mandiri hanya mungkin jika dilakukan dengan pendekatan yang mengutamakan manusianya dan proses belajarnya. Pendapat ini didukung oleh pandangan bahwa petani sebagai orang dewasa telah mempunyai konsep diri, pengalaman belajar dan kesiapan belajar (Apps 1973) sehingga sisi manusianya dan proses belajarnya perlu dikedepankan. Perubahan-perubahan politik dan ekonomi yang terjadi pada tataran global, nasional, dan lokal serta pada masyarakat dan pada diri petani juga telah menuntut perlu dilakukannya perubahan pendekatan penyuluhan dari paradigma lama ke paradigma yang baru.

(42)

tantangan yang muncul dari dampak lingkungan strategis adalah dengan meningkatkan daya saing sektor ini.

Menurut Baharsyah (Purnama et al. 2004), setidaknya terdapat empat hal yang berkaitan dengan upaya-upaya tersebut. Pertama, sumber-sumber pertum-buhan yang berkaitan dengan peningkatan produksi dan produktivitas. Kedua, sumber-sumber pertumbuhan yang berkaitan dengan nilai tambah produk pertanian. Ketiga, sumber-sumber pertumbuhan yang berkaitan dengan pemenuhan permintaan konsumen yang selalu berubah dan ingin lebih baik, seperti jenis komoditi baru dan produk baru. Keempat, sumber-sumber pertumbuhan yang berkaitan dengan kelembagaan, misalnya penciptaan iklim usaha yang merangsang pertumbuhan ekonomi, investasi, dan pembinaan hubungan yang saling menguntungkan antar subsistem agribisnis yang ada. Dalam upaya mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan tersebut, tampak betapa pentingnya keterpaduan atau sinergisme antara kegiatan pembangunan biofisik di lapangan, pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial (community develop-mentatauempowerment).

Mengutamakan manusia dalam program-program pembangunan bertujuan untuk menyesuaikan rancangan dan pelaksanaan program dengan kebutuhan dan kemampuan penduduk yang diharapkan untuk meraih manfaat dari program-program tersebut. Uphoff (1988) dalam hal ini menyatakan bahwa manusia tidak lagi harus diidentifikasi sebagai kelompok sasaran, melainkan sebagai pemanfaat yang diharapkan yaitu mereka yang akan diuntungkan dengan adanya program-program tersebut. Oleh karena itu, harus lebih jelas kepada siapa peraih manfaatnya dan bagaimana program dilaksanakan harus lebih besar mencermin-kan pendekatan proses belajar. Hal ini untuk mendapatmencermin-kan partisipasi pemanfaat yang dimaksud yang sesungguhnya layak pada semua aspek operasi program/ proyek.

(43)

Tabel 1. Perbandingan antara pendekatan Transfer of Technology (TOT) dengan

Tujuan Utama Alih teknologi Memberdayakan petani

Analisis kebutuhan dan prioritas

Pihak luar Petani difasilitasi pihak luar

Menu /materi Baku/tetap A la Carte (memilih dari

sebuah daftar)

Agen penyuluh ke petani Petani ke petani Peranan agen

penyuluh pertanian

Pengajar dan pelatih Fasilitator dan pencari serta memberikan pilihan

Sumber: Chambers (1993)

(44)

Slamet (2001) mengajukan sembilan ciri yang merupakan paradigma baru dalam penyuluhan. Menurutnya, paradigma baru yang dikembangkan bukan untuk mengubah prinsip-prinsip, tetapi diperlukan untuk lebih mampu merespon tantangan-tantangan baru yang muncul dari situasi baru. Paradigma baru tersebut mencakup:

(1) Jasa informasi: penyuluhan harus mampu menyiapkan, menyediakan, dan menyajikan segala informasi yang diperlukan oleh para petani (produksi, pengolahan, pemasaran, dan sebagainya). Informasi perlu dipersiapkan dan dikemas dalam bentuk dan bahasa yang mudah dimengerti para petani. (2) Lokalitas: untuk memenuhi prinsip lokalitas ini Balai Pengkajian teknologi Pertanian (BPTP) dan lembaga sejenisnya harus lebih difungsi-aktifkan, bahkan diperluas penyebarannya sampai ke daerah tingkat II dalam bentuk stasiun-stasiun percobaan dan penelitian. Penelitian yang dilakukan harus bertujuan memecahkan masalah atau kebutuhan petani setempat.

(3) Berorientasi agribisnis: prinsip-prinsip dan teknologi yang berkaitan dengan agribisnis harus lebih banyak dikembangkan dan dipelajari oleh para penyuluh. Kerjasama dan koordinasi dengan lembaga yang menangani pengolahan dan produk-produk olahan itu sangat diperlukan oleh lembaga penyuluhan pertanian.

(4) Pendekatan kelompok: para penyuluh perlu dipersiapkan dengan baik untuk membina kelompok dan mengembangkan kepemimpinan kelompok agar kelompok tumbuh menjadi kelompok tani yang dinamis sehingga mampu melancarkan pembangunan masyarakat desa yang benar-benar berasal dari bawah (bottom up).

(5) Fokus pada kepentingan petani:penyuluh harus lebih mendekat-kan diri pada petani dan mampu mengidentifikasi kepentingan petani dan menuangkan dalam program-program penyuluhan melalui kerjasama dengan petani.

(45)

(7) Profesionalisme: yaitu perlunya dilakukan penataan dan peningkatan dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang menangani tenaga penyuluh. (8) Akuntabilitas: yaitu perlu diciptakan sistem evaluasi dan akuntabilitas

yang dapat dioperasikan secara tepat dan akurat, setiap jenis kegiatan penyuluhan harus jelas dan terukur tujuannya, biaya penyuluhan harus dipertimbangkan dengan hasil dan dampak dari penyuluhan tersebut. (9) Memuaskan petani: pendidikan, pelatihan dan keteladanan yang tepat

dapat menghasilkan tenaga-tenaga penyuluh yang mampu menyuluh dengan sepenuh hati.

Sejalan dengan pendapat di atas, Soedijanto (2003) menyatakan bahwa mutu SDM petani akan dapat mendukung pembangunan pertanian kini dan masa mendatang manakala penyuluhan pertanian merupakan proses pemberdayaan, bukan proses transfer teknologi. Menyuluh bukannya mengubah cara bertani melainkan mengubah petani melalui 6 dimensi belajar (learning) yaitu:

(1) Learning to know (penguasaan konsep, komunikasi informasi, pema-haman lingkungan, rasa senang memahami, mengerti dan menemukan sesuatu).

(2) Learning to do (penekanan pada skill tingkat rendah ke tingkat tinggi menuju ke arah kompetensi).

(3) Learning to live together (mengenal diri sendiri, mengenal diri orang lain, menemukan tujuan bersama, bekerjasama dengan orang lain).

(4) Learning to be(memecahkan masalah sendiri, mengambil keputusan dan memikul tanggung jawab, belajar untuk disiplin).

(5) Learning society(mengembangkan diri secara utuh, terus menerus). (6) Learning organization (belajar memimpin, belajar berorganisasi, belajar

mengajarkan kepada orang lain).

Menurut van den Ban dan Hawkins (1999), peran utama penyuluhan adalah menolong petani untuk mengatasi masalahnya sendiri dengan cara:

(1) Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan.

(46)

(3) Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani.

(4) Membantu memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya, sehingga mereka mempunyai berbaggai alternatif tindakan.

(5) Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal.

(6) Meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya.

(7) Membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan ketrampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan.

Asngari (2007) menyebutkan tujuh prinsip atau filosofi yang harus dipegang dalam menerapkan kegiatan penyuluhan, yaitu:

(1) Falsafah mendidik, bahwa dalam proses mendidik klien tidak bisa dengan paksaan yang justru akan menyebabkan klien merasa terpaksa menjalan-kan hal-hal yang diinginmenjalan-kan penyuluh, tetapi dengan sabar mendidiknya sehingga klien menjadi terbiasa

(2) Falsafah pentingnya individu, karena potensi pribadi setiap individu sangat besar untuk berkembang dan dikembangkan

(3) Falsafah demokrasi, seperti yang dikutip dari Comb et al. (1971), bahwa demokrasi sebagai dasar martabat seseorang, melalui kebebasan dan keterbukaan informasi seseorang dapat menemukan diri sendiri jalan yang terbaik, dan dengan demokrasi seseorang akan mencapai tingkat intelektual, kebebasan, dan tanggungjawab

(4) Falsafah bekerja bersama, seperti ajaran Ki Hadjar Dewantoro hing madya mangun karsa yang mengandung makna adanya kerjasama antara penyuluh dengan klien. Penyuluh bekerjasama dengan klien agar klien aktif berprakarsa dalam proses belajar untuk mengembangkan usaha bagi dirinya

(47)

themselves, and getting them to realize that it is their interest to help themselves. It is essential that they will not get real help until they do it themselves

(6) Falsafah berkelanjutan, semua hal di dunia berkembang, sehingga penyuluhan harus mengikuti perkembangan tersebut, baik dalam hal materi yang disajikan, cara penyajian, maupun alat bantu penyajian

(7) Falsafah membakar sampah , penyuluhan dianalogikan dengan membakar sampah yang dimulai dengan sampah disiram minyak tanah lalu dibakar sampai ada yang kering dan merambat mempengaruhi keke-ringan yang lain. Maknanya adalah dalam penyuluhan perlu kesabaran; pada pendekatan individu perlu kesabaran menunggu perkembangan individu, dan pada pendekatan kelompok dimaknai bahwa antar anggota kelompok akan saling pengaruh mempengaruhi.

Tujuan utama pendekatan-pendekatan baru yang diuraikan di atas adalah memberdayakan petani sehingga menjadi petani yang berdaya atau mandiri, dimana penyuluh lebih berperan sebagai fasilitator, pencari serta memberikan pilihan-pilihan kepada petani. Petani mampu mengambil keputusan dengan pilihan yang terbaik baginya, sehingga mampu meraih peluang dan menghadapi tantangan globalisasi ekonomi. Hal ini sesuai dengan falsafah penyuluhan yang dianut dalam penyuluhan pertanian, yaitu to help people to help themselves through educational means to improve their level of living (menolong orang agar orang tersebut dapat menolong dirinya sendiri melalui penyuluhan sebagai sarananya untuk meningkatkan derajat kehidupannya).

Dalam hal ini Kottak (1988) menunjukkan bukti bahwa perhatian terhadap kesesuaian sosiobudaya ternyata memberi hasil dipandang dari segi ekonomi --antara lain, dalam hal tingkat imbalan ekonomi dua kali lebih besar daripada yang tidak peka secara sosial dan proyek-proyek yang tidak tepat guna. Rekayasa sosiobudaya dalam pembangunan ekonomi tidak hanya sekedar diinginkan secara sosial, tetapi juga efektif dari sudut biaya.

Gambar

Tabel 1. Perbandingan antara pendekatan Transfer of Technology (TOT) denganFarmer First (FF)
Tabel 2. Pemikiran-pemikiran tentang tingkat partisipasi petani
Tabel 3. Paradigma petani yang tidak berdaya dan berdaya
Tabel 4.  Pemikiran-pemikiran mengenai keberlanjutan usaha
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang dilaksanakan oleh GPIB Bukit Harapan Surabaya berupa bantuan langsung yang diberikan. kepada jemaat, khususnya ketika jemaat

Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa, maka Penerima Kuasa mewakili dalam hal memberikan jawaban dan atau alasan terhadap hal-hal yang di klarifikasi dalam dokumen penawaran kami

Menggunakan internet dan komputer sebagai media yang efektif untuk membangun komunikasi antar sekolah, guru, siswa dan orang tua, lembaga pendidikan telah mampu

Namun dengan adanya Pasal 118 tersebut PKB yang sebenarnya berkarakter hukum privat seakan menyalahi asas privity of contract, dari hal tersebut maka timbullah konsep tentang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran tuli yang paling banyak di Bandar Udara Polonia, Medan adalah tuli ringan pada telinga kanan sebanyak 58 orang (58%) dan tuli

Hal terpenting yang harus diketahui oleh petani ketika ingin membudidayakan durian agar cepat berbuah dan buah yang dihasilkan mempunyai kualitas unggulan ternyata

Kumpulan beberapa rantai makanan akan membentuk jaring-jaring makanan. Pada rantai makanan juga terjadi perpindahan energi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup

Hal ini sejalan dengan penelitian Nasution (2010) tentang “Pengaruh senamkaki terhadap peningkatan sirkulasi darahkaki pada pasien penderita DM di RSUD Haji Adam Malik, dari