• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN

2.3 Kerangka Berpikir

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Surat Triangulasi ... 79 Hasil Triangulasi ... 80 Hasil Wawancara ... 144

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini akan memaparkan (a) latar belakang, (b) rumusan masalah, (c) tujuan penelitian, (d) manfaat penelitian, (e) batasan istilah, (f) sistematika penelitian. Paparan selengkapnya akan disampaikan sebagai berikut.

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan bagian dari alat komunikasi seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa nasional yang digunakan oleh negara Indonesia. Namun, adanya beberapa daerah di Indonesia yang tersebar luas, masyarakat Indonesia memiliki bahasa daerah yang digunakan dalam kegiatan tidak resmi. Tutur kata yang beragam serta memiliki keunikan masing-masing dalam pengucapan, mengakibatkan masyarakat Indonesia yang menggunakan dua bahasa seperti bahasa Indonesia dan bahasa daerah secara bergantian.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa orang Indonesia merupakan dwibahasawan, bahkan biasa disebut multibahasawan. Hal ini tampak dari penggunaan dua bahasa atau bahkan lebih yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Keadaan semacam itu menyebabkan bahasa komunikasi sehari-hari digunakan lebih dari satu bahasa oleh masyarakat Indonesia. Kedwibahasaan dapat terjadi pada setiap masyarakat yang mengenal dan menggunakan dua bahasa. Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua yang dikuasai dalam masyarakat Indonesia setelah bahasa daerah.

Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan pada mahasiswa PBSI, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menunjukkan bahwa mereka menggunakan lebih dari satu bahasa. Mereka sering menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia, bahkan lebih sering menggunakan bahasa daerah untuk kegiatan tidak resmi pada situasi dan kondisi tertentu. Maka dapat disimpulkan bahwa mereka merupakan dwibahasawan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pranowo (2014:103) yang mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya tergolong masyarakat dwibahasa. Mereka menguasai bahasa pertama (B1) bahasa daerah dan bahasa kedua (B2) bahasa Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, mahasiswa sering menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia dalam proses komunikasi sehari-hari.

Fenomena kedwibahasaan dapat terjadi dalam lingkungan pendidikan, baik pendidikan yang berada di daerah perkotaan ataupun pinggiran perkotaan. Universitas Swasta Sanata Dharma Yogyakarta prodi PBSI memiliki dwibahasawan yang beraneka ragam dalam penggunaan kedwibahasan dengan sesama teman saat bercakap-cakap ataupun bergaul di sekitar lingkungan sosial. Hal tersebut membuat si peneliti antusias untuk mengkaji penelitian ini dibidang sosiolinguistik.

Sosiolinguistik merupakan salah satu ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dalam kemasyarakatan, hubungan bahasa dengan apa yang terjadi dalam masyarakat tutur. Hal itulah penggunaan bahasa diamati secara sosial bukan secara individu, sehinga penulis akan membahas tentang “kajian sosiolinguistik tingkat kedwibahasaan mahasiswa PBSI angkatan 2015, FKIP Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta di luar pembelajaran”. Tingkat kedwibahasaan mahasiswa PBSI Angkatan 2015, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dapat ditemukan dalam kegiatan berdiskusi, istirahat di kantin, dan kegiatan sosial di sekitar lingkungan Universitas Sanata Dharma.

Komunikasi yang digunakan dalam percakapan yaitu bahasa yang bersifat santai atau tidak resmi, dengan alasan lebih sering digunakan dalam kegiatan sehari-hari serta memiliki tujuan untuk menciptakan suasana yang akrab dengan lawan bicara. Hal tersebut menimbulkan tingkat kedwibahasaan yang muncul akibat penggunaan dua bahasa atau lebih. Bahasa yang sering digunakan dalam komunikasi santai oleh mahasiswa misalnya bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang digunakan secara bergantian saat melakukan percakapan akrab atau santai. Adapun tingkat kedwibahasaan diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu tingkat kedwibahasaan subordinatif, tingkat kedwibahasaan koordinatif, dan tingkat kedwibahasan majemuk. Hal tersebut akan menjadi topik bahasan pada penelitan. Harapannya dengan adanya penelitian ini, kajian sosiolinguistik dalam penggunaan kedwibahasaan pada mahasiswa PBSI 2015, FKIP Universitas Sanata Dharma dapat terpecahkan dengan rumusan masalah yang akan diteliti oleh peneliti. Hal tersebut semoga bermanfaat bagi informasi pengetahuan mahasiswa prodi PBSI maupun luar prodi sekaligus. Kedepannya peneliti akan meneliti kedwibahasaan mahasiswa kurang lebih selama empat bulan. Besar harapannya penelitian bisa dilakukan untuk mahasiswa PBSI angkatan 2015 untuk mendapatkan data tuturan dan latar belakang penggunaan kedwibahasaan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, disusun rumusan masalah utama “bagaimanakah kajian sosiolinguistik tingkat kedwibahasaan mahasiswa PBSI angkatan 2015, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di luar pembelajaran?”. Oleh karena itu, atas dasar rumusan masalah utama di atas, disusun submasalah sebagai berikut.

a. Bagaimanakah tingkat kedwibahasaan subordinatif yang digunakan oleh mahasiswa PBSI angkatan 2015, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di luar pembelajaran?

b. Bagaimanakah tingkat kedwibahasaan koordinatif yang digunakan oleh mahasiswa PBSI angkatan 2015, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di luar pembelajaran?

c. Bagaimanakah tingkat kedwibahasaan majemuk yang digunakan oleh mahasiswa PBSI angkatan 2015, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di luar pembelajaran?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui kajian sosiolinguistik tingkat kedwibahasaan mahasiswa PBSI angkatan 2015, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di luar pembelajaran. Berdasarkan tujuan umum tersebut, disusun tujuan khusus sebagai berikut.

a. Mendeskripsikan tingkat kedwibahasaan subordinatif yang digunakan oleh mahasiswa PBSI angkatan 2015, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di luar pembelajaran.

b. Mendeskripsikan tingkat kedwibahasaan koordinatif yang digunakan oleh mahasiswa PBSI angkatan 2015, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di luar pembelajaran.

c. Mendeskripsikan tingkat kedwibahasaan majemuk yang digunakan oleh mahasiswa PBSI angkatan 2015, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di luar pembelajaran.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Manfaat Teoretis

Secara teoretis hasil dari penelitian ini sekiranya dapat dijadikan salah satu referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dengan ranah yang sama. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman peneliti lain yang menkaji tentang kedwibahasaan dengan metode penelitian yang berbeda, sumber, ataupun data yang berbeda. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah kekayaan pada kajian sosiolinguistik khususnya dalam bidang kedwibahasaan.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan baru untuk mengadakan penelitian lanjutan lebih mendalam, khususnya dalam bidang kedwibahasaan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi mahasiswa dalam penggunaan kedwibahasaan

sehingga dapat menunjang komunikasi yang baik, serta untuk memperoleh hasil dari penggunaan kedwibahasaan dalam kajian sosiolinguistik.

1.5 Batasan Istilah

Batasan istilah ini dituliskan untuk memberikan pemahaman yang sama antar peneliti dengan pembaca. Batasan dari batasan istilah yang ada dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Sosiolinguistik

Chaer (2003: 16) “sosiolinguistik adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam hubungan pemakaiannya di masyarakat. Sosiolinguistik ini merupakan ilmu interdisipliner antara sosiologi dan linguistik.”. Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistic, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan yang erat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu berlangsung dan tetap ada. Sedangkan linguistik berusaha mempelajari mengenai bahasa. b. Kedwibahasaan

Chaer (2004:84) Bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut kedwibahasaan. Istilah yang dikemukakan oleh Chaer, dapat dipahami bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan berkenaan dengan pemakaian dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dalam aktivitasnya sehari-hari atau interaksi sosialnya. Bilingualisme dapat diartikan sebagai pengguna dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.

c. Pengukur Kedwibahasaan

Mackey (dalam Pranowo, 2014:113) megemukakan pengukuran kedwibahasaan dapat dilakukan melalui beberapa aspek, yaitu a) aspek tingkat, b) aspek fungsi, c) aspek pergantian, dan d) interferensi. Tingkat kedwibahasaan adalah sesorang yang mampu menjadi seorang dwibahasawan. Fungsi kedwibahasaan adalah pengertian untuk apa seseorang menggunakan bahasa dan apa peranan bahasa dalam kehidupan pelakunya. Pergantian adalah pengukuran terhadap seberapa jauh pemakai bahasa mampu berganti dari satu bahasa ke bahasa lain. Interferensi, adanya saling mempengaruhi antarbahasa.

d. Konteks Sosial

Mey (dalam Rahardi 2003:15) konteks sosial merupakan konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya komunikasi dan interaksi antar anggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang sangat tertentu sifatnya. Konteks sosial dapat diartikan sebagai konteks yang menimbulkan adanya komunikasi dengan menitikberatkan tuturan atau percakapan yang dilakukan oleh seseorang membentuk suatu gambaran pada konteks sosial. Konteks sosial berguna untuk melatarbelakangi suatu tuturan atau percakapan yang terjadi.

e. Klasifikasi Tingkat Kedwibahasaan

Pranowo (dalam Weinreich, 1953:105-107) Kedwibahasaan dibedakan berdasarkan tingkat yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu kedwibahasaan koordinatif, kedwibahasaan subordinatif, dan kedwibahasaan majemuk.

Kedwibahasaan koordinatif adalah kedwibahasaan yang menunjukan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baiknya oleh seorang individu. Kedwibahasaan subordinatif adalah kedwibahsaan yang menunjukan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukan unsur B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan majemuk adalah kedwibahasaan yang menunjukan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik daripada kemampuan berbahasa bahasa yang lain.

1.6 Sistematika Penyajian

Proposal ini terdiri dari lima bab yang diuraikan secara sistematis sebagai berikut. Bab I menggunakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II berisi mengenai kajian teori. Bab ini menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang penelitian yang sejenis dan memiliki topik yang sama. Landasan teori berisi uraian mengenai sosiolinguistik, kedwibahasaan, pengukuran kedwibahasan, konteks, dan tingkat kedwibahasaan. Bab III berisi tentang metode penelitian. Bab ini menguraikan jenis penelitian, subjek dan objek penelitian, sumber data dan data penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, triangulasi, teknik analisis data. Bab IV berisi tentang pembahasan yang berkaitan dengan hasil penelitian. Bab V adalah bagian bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan terkait dengan hasil penelitian yang disertai dengan saran.

9

BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN

2.1 Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan untuk pembelajaran kedwibahasaan dalam kajian sosiolinguistik terhadap prodi PBSI belum pernah dilakukan. Namun, skripsi yang mengkaji mengenai bidang sosiolinguistik pernah dilakukan oleh Hermi Murwanti pada tahun (2002) di Universitas Sanata Dharma dengan judul Variasi

Rubrik-Rubrik Pada Media Sekolah Menengah Umum Di Kotamadya Yogyakarta Dan Relevansinya Dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMU: Suatu Tinjaun Sosiolinguistik. Pada skripsi tersebut peneliti memiliki kesamaan menggunakan

kajian sosiolinguistik, sedangkan perbedaannya terletak pada sasaran, subjek yang dikaji, dan temuan hasil penelitian, dan rumusan masalah.

Penelitian yang disusun oleh Welsi Damayanti pada tahun (2014) di Universitas Pendidikan Indonesia dengan judul Penggunaan Kedwibahasaan

Sebagai Media Komunikasi Penjual Asesoris Toko Rock Stuff Plaza Parahyangan Bandung. Penelitian tersebut mendiskripsikan kebiasaan penggunaan bahasa

kedua (B2) para penjual asesoris di toko Rock Stuff Asesoris. Penelitian analisis kebiasaan menggunakan bahasa kedua (B2) para penjual asesoris di toko Rock

Stuff Asesoris ini berjenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode

deskriptif. Hasil penelitian ini sangat menarik bagi peneliti karena yang menjadi pembahasannya cukup menantang yaitu tentang kebiasaan menggunakan bahasa kedua oleh penjual yang berasal dari Padang di toko Rock Stuff Asesoris. Hasil

penelitian ini adalah adanya kedwibahasaan pada situasi jual beli yang terjadi di kota Bandung. Mereka selalu berusaha melayani pembeli yang berasal dari Bandung dengan menggunakan bahasa Sunda. Semua itu demi kelancaran dan keakraban antara penjual dan pembeli. Adapun kesamaan antara penelitian saya dengan penelitian tersebut adalah sama-sama meniliti penggunaan kedwibahasaan, sedangkan perbedaannya terletak pada sasaran, subjek yang dikaji, dan temuan hasil penelitian, dan rumusan masalah.

Penelitian yang relevan terkait kedwibahasaan diteliti oleh Silvia Sanca mahasiswi dari Universitas Negri Yogyakarta, tahun (2012) dengan judul

Penggunaan Dwibahasa (Indonesia-Jawa) oleh Warga keturunan Etnis Tionghoa di ketandan kota Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

ragam kedwibahasaan dan fungsi penggunaan dwibahasa oleh warga keturunan etnis Tionghoa di Ketandan Kota Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini adalah warga keturunan etnis Tionghoa di Ketandan Kota Yogyakarta. Penelitian ini difokuskan pada ragam kedwibahasaan dan fungsi penggunaan dwibahasa. Data diperoleh dengan kartu kuisioner, teknik simak dan wawancara yang dilakukan secara berkesinambungan. Data dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Keabsahan data diperoleh melalui perpanjangan keikutsertaan dan ketekunan pengamatan.

Hasil penelitian terkait dengan penggunaan dwibahasan oleh warga keturunan etnis Tionghoa di Ketandan Yogyakarta menunjukkan bahwa ragam kedwibahasaan dibedakan menjadi delapan macam, yaitu berdasarkan hipotesis ambang kedwibahasaan terdiri dari kedwibahasaan substraktif dan aditif.

Berdasarkan tahapan usia pemerolehan kedwibahasaan terdiri dari kedwibahasaan masa kecil, kedwibahasaan masa kanak-kanak, dan kedwibahasaan remaja. Berdasarkan usia belajar bahasa kedua kedwibahasaan terdiri dari kedwibahasaan serentak, dan berurutan. Berdasarkan konteks kedwibahasaan terdiri dari kedwibahasaan buatan, dan alamiah. Berdasarkan hakikat tanda dalam kontak bahasa kedwibahasaan terdiri dari kedwibahasaan majemuk dan subordinatif. Berdasarkan tingkat pendidikan hanya terdiri dari kedwibahasaan rakyat biasa. Berdasarkan keresmian kedwibahasaan terdiri dari kedwibahasaan resmi, dan tidak resmi. Berdasarkan kesosialan kedwibahasaan terdiri dari kedwibahasaan sosial.

Selain itu, hasil penelitian menunjukkan pula bahwa fungsi bahasa dibedakan menjadi enam macam diantaranya, fungsi personal (marah, canda, heran, kecewa), fungsi direktif, fungsi fatik, fungsi referensial, fungsi metalingual, serta fungsi imaginatif. Pada skripsi tesrsebut peneliti memiliki kesamaan untuk membahas penggunaan kedwibahasaan. Adapun yang membedakan penelitian ini terletak pada sasaran, subjek yang dikaji, dan temuan hasil penelitian, dan rumusan masalah.

Jurnal yang relevan terkait penggunaan kedwibahasa oleh Saunir mahasiswi dari Universitas Negeri Padang, tahun (2008) dengan judul Profil

Kedwibahasaan Mahasiswa Bahasa dan sastra Inggris. Metode penelitian yang

digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif gabungan kualitatif dan kuantitatif yang bertujuan menjelaskan atau mendeskripsikan keadaan atau profil kedwibahasaan mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Inggris

FBS UHP Padang. Hasil penelitian, bahasa Indonesia lebih cenderung dipilih oleh responden. Ini dapat menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang tertarik dalam mempertahankan bahasa Ibu dalam kaitannya dengan pemertahanan budayanya. Dilain pihak penggunaan bahasa Inggris yang sangat rendah yang didukung juga oleh pengakuan responden wawancara, hendaknya pihak yang berwenang segera mengambil tindakan atau kebijakan untuk sesegera mungkin menggerakkan dan menggairahkan penggunaan bahasa Inggris di kalangan mahasiswa. Pada jurnal tersebut memiliki kesamaan membahas kedwibahasaan mahasiswa. Adapun yang membedakan penelitian ini terletak pada sasaran, subjek yang dikaji, dan temuan hasil penelitian, dan rumusan masalah.

2.2 Landasan Teori

Untuk mendukung penelitian ini, digunakan beberapa teori yang dianggap relevan, yang diharapkan dapat mendukung temuan di lapangan. Sehingga dapat memperkuat teori dan keakuratan data responden. Teori-teori tersebut adalah sosiolinguistik, konteks, kedwibahasaan, pengukuran kedwibahasaan, dan klasifikasi tingkat kedwibahasaan.

2.2.1 Pengertian Sosiolinguistik

Kajian bahasa melalui sudut pandang kemasyarakatan termasuk dalam pembahasan sosiolinguistik. Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur yaitu, sosio dan linguistik. Linguistik membahas tentang unsur bahasa (fonem, morfem, kata, kalimat), sedangkan sosio berkaitan dengan sosial masyarakat. Menurut Nababan (1984:2) sosiolinguistik adalah ilmu yang membahas tentang aspek masyarakat bahasa, khususnya berkaitan dengan perbedaan atau variasi dalam

bahasa dan faktor-faktor kemasyarakatan lainnya. Pengertian sosiolinguistik yang disampaikan oleh para pakar khususnya bahasa, pada akhirnya selalu berkaitan antara bahasa dengan kegiatan atau aspek-aspek dalam masyarakat. Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang dan menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pengguna bahasa di dalam masyarakat, karena di dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi dikatakan sebagai individu, tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sekitarnya. Bahasa dan penggunanya tidak diamati secara individual, tetapi dipandang secara sosial.

Pride dan Holmes (dalam Soemarsono, 2002:2) merumuskan sosiolinguistik secara sederhana: the study of language aspart of culture and

society, yaitu kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat.

Rumusan yang dipaparkan di atas menekankan bahwa bahasa bukan merupakan suatu yang berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan. Budaya dan bahasa saling berkesinambungan, karena bahasa adalah bagian dari kebudayaan (language in

culture). J.A Fishman (dalam Chaer dan Agustina,2004:3) menjelaskan sociolinguistics is the study of the characteristics of their speakers as these three constantly interact, change and change one another within a speech community (=

sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur). J.A Fishman mengatakan kajian sosiolinguistik lebih bersifat kualitatif. Jadi, sosiolinguistik

lebih berhubungan dengan perincian-perincian penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa atau dialek dalam budaya tertentu, pilihan pemakaian bahasa atau dialek tertentu yang dilakukan penutur, topik, dan latar pembicaraan (Chaer dan Agustina, 2004:5). Secara eksplisit Fishman mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi tentang karakteristik variasi bahasa, karakteristik fungsi bahasa, dan karakteristik pemakaian bahasa yang terjalin dalam interaksi, sehingga menyebabkan perubahan-perubahan antara ketiganya di dalam masyarakat tuturnya.

Kridalaksana menjelaskan pula bahwa sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa serta hubungan antara bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa di dalam suatu masyarakat bahasa (Chaer, 2004). Manusia sebagai makhluk individu selalu hidup dalam kelompok sosial dan menjadi bagian dari anggota masyarakat. Selain bergantung pada pranata sosial yang berlaku, dalam interaksi sosial manusia juga tergantung pada bahasa. Maka, secara singkat dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik merupakan cabang ilmu bahasa yang membahas tentang hubungan antara bahasa dengan masyar akat pengguna bahasa, serta faktor-faktor lain yang ada di sekitarnya. Menurut Chaer (2003: 16) “sosiolinguistik adalah subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam hubungan pemakaiannya di masyarakat. Sosiolinguistik ini merupakan ilmu interdisipliner antara sosiologi dan linguistik”.

Sosiolinguistik menurut saya merupakan ilmu bahasa yang didapatkan oleh masyarakat ketika melakukan kegiatan sosial. Kegiatan sosial ini bisa berupa aktivitas percakapan masyarakat yang mengakibatkan munculnya sebuah tuturan

dalam penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Hal tersebut sependapat oleh ungkapan beberapa para ahli mengenai pengertian sosiolinguistik.

2.2.2 Konteks Sosial

Mey (dalam Rahardi 2005:15) konteks sosial merupakan konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya komunikasi dan interaksi antar anggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang sangat tertentu sifatnya. Konteks sosial dapat diartikan sebagai konteks yang menimbulkan adanya komunikasi dengan menitikberatkan tuturan atau percakapan yang dilakukan oleh seseorang membentuk suatu gambaran pada konteks sosial. Konteks sosial berguna untuk melatarbelakangi suatu tuturan atau percakapan yang terjadi. Hal tersebut akan membantu peneliti untuk memahami suatu percakapan atau tuturan yang terjadi.

Komponen tutur yang dikembangkan Poedjosoedarmo 1985 (dalam Baryadi: 2015:24-29) merupakan pengembangan dari konsep yang disampaikan Dell Hymes. Menurutnya faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa disebut sebagai konsep memoteknik OOEMAUBICARA, yaitu (1) O1= orang ke satu, atau penutur (2) O2= orang kedua atau mitra tutur, (3) E= warna emosi O1, (4) M= maksud dan tujuan percakapan, (5) A= adanya O3 dan barang-barang lain di sekeliling adegan percakapan, (6) U= urutan tutur, (7) B= bab yang dipercakapkan; pokok pembicaraan, (8) I= instrumen tutur atau sarana tutur, (9) C= citarasa tutur, (10) A= adegan tutur, (11) R= register tutur/genre, (12) A=

aturan atau norma kebahasaan . Penjelasan setiap komponen dapat diringkas sebagai berikut.

1) O= O1, yaitu pribadi si penutur. Pribadi si penutur berkaitan dengan dua hal, yaitu siapakah O1 dan dari manakah asal atau latar belakang O1. Siapakah O1 berkenaan dengan (i) bagaimanakah keadaan fisik O1, (ii) bagaimana keadaan mental O1, dan (iii) bagaiman kemahiran bahasa O1. Latar belakang si penutur menyangkut jenis kelamin, asal daerah, asal golongan kelas masyaraktnya, umur, jenis profesi, kelompok etnik, dan aliran kepercayaannya.

2) O= O2. Orang kedua, yaitu orang yang diajak bicara oleh penutur atau mitra tutur. Faktor ini yang berkaitan dengan dua hal, yaitu anggapan O1 tentang seberapa tinggi tingkatan sosial O2 dan seberapa akrab hubungan O1 dan O2. O1 dengan O2 akan menyesuaikan penggunaan bahasa yang sesuai coraknya untuk menyesuaikan penggunaan bahasa yang dilakukan mitra tutur.

3) E= warna emosi O1. Warna emosi O1 mempengaruhi bentuk tuturanya. Seorang yang sedang gugup, marah, sakit dan semacamnya akan melontarkan ujaran-ujaran yang kurang teratur, banyak frasa-frasa yang putus, maksud yang diungkapkan tidak terujarkan, dan sukar mengontrol pilihan tingkat tutur seperti frasa serta kata-katanya.

4) M= maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan kehendak O1 sangat mempengaruhi bentuk-bentuk tutur yang diujarkannya. Maksud O1 ini dapat mempengaruhi pemilihan bahasa, pemilihan tingkat tutur, ragam dialek,

idiolek, pemilihan ungkapan-ungkapan tertentu, atau pemilihan unsur suprasegmental tertentu.

5) A= adanya O3, yaitu kehadiran orang lain. Suatu ujaran dapat berganti bentuknya dari apa yang biasanya terjadi apabila ada seseorang yang kebetulan hadir pada adegan tutur. Pengubahan kode bahasa yang disebabkan oleh adanya O3 terjadi karena ingin mengikutsertakan O3 dalam pecakapan, ingin merahasiakan sesuatu agar O1 memberikan kesan kepada O3 bahwa O2 sebetulnya ialah orang yang terhormat dan tidak menggangu O3.

6) U= urutan bicara. Urutan bicara berkenaan dengan siapa yang harus berbicara lebih dulu dan siapa yang harus berbicara kemudian. Masyarakat ada yang memiliki aturan bahwa orang yang berstatus sosial lebih tinggai atau orang lebi tua harus berbicara lebih dulu. O1 atau penutur sebagai pengambil inisiatif berbicara dalam menentukan bentuk tuturnya daripada mitra tuturnya. O2 atau mitra tutur yang menanggapi tuturan O1 tidak sebebas O1 memilih bentuk tuturannya. Kode bahasa yang dipilih O2 tergantung pada penilaian terhadap hubungan yang ia inginkan terhadap O1 atau tergantung pada suasana kebahasaan yang ia ciptakan

7) B= bab yang dibicarakan. Bab yang dibicarakan mempengaruhi warna bicara. Hal ini tidak berarti bahwa setiap pokok pembicaraan harus dibahas dengan

Dokumen terkait