• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIS-REDD+ INDONESIA

4.2.3 Kerangka hukum REDD

Sampai dengan akhir tahun 2011, ketika Indonesia masih sedang pada tahap persiapan REDD+,

pemerintah telah menerbitkan tiga peraturan menteri yang bersifat teknis, yang mengatur pelaksanaan REDD+. Oleh karena itu Indonesia dianggap sebagai salah satu negara paling maju dalam hal peraturan perundang‑undangan tentang REDD+. Perincian dari

117 Pemaparan oleh Irman G. Lanti (Asisten Direktur untuk Indonesia/Kepala Satuan Tata Kelola Demokratis UNDP) pada konsultasi di Daerah tentang Penilaian Tata Kelola Partisipatif (PGA), Palu, 29 Juli 2011.

118 Prakarsa Tata Kelola Hutan (GFI), jaringan dunia yang dipimpin oleh WRI dengan Pusat Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Sekala, HuMA, dan Pengamat Hutan Indonesia (FWI), antara lain: www.wri.org/project/ governance‑of‑forests‑initiative.

119 Pemaparan oleh Tim Penyusunan Garis Besar Haluan Kerja MRV (Dr. M. Bruce, Prof.Saleh, I. Nengah S. Jaya) tentang Garis Besar Haluan Kerja MRV, Hotel Braja Mustika, Bogor, Jawa Barat, 4 Juli 2011.

120 Presentasi oleh Tim Pengembangan MRV Roadmap (Dr. M. Bruce, Prof. Saleh, I. Nengah S. Jaya) pada MRV Roadmap, Hotel Braja Mustika, Bogor, Jawa Barat, 4 Juli 2011. 121 Presentasi oleh Tim Pengembangan MRV Roadmap (Dr M. Bruce, Prof. Saleh, I. Nengah S. Jaya) pada MRV Roadmap, Hotel Braja Mustika Bogor, Jawa Barat, 4 Juli 2011.

tiga peraturan perundang‑undangan tersebut disajikan di bagian ini.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/ Menhut‑II/2008 tentang Penyelenggaraan

Kegiatan Percontohan Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

Peraturan ini mengatur prosedur penerapan Demonstration Activities REDD+ di Indonesia Ketentuan dalam peraturan ini menguraikan tata cara pengajuan permohonan. Hal pertama yang diatur adalah tahapan dalam proses permohonan. Permohonan dibuat dengan menyertakan peta letak calon areal, bentuk, nilai, dan jangka waktu kegiatan, serta merinci manajemen risiko dan alokasi pendapatan. Peraturan ini mengharuskan seluruh permohonan untuk melaksanakan kegiatan percontohan dinilai oleh Kelompok Kerja Perubahan Iklim (Pokja PI) Kementerian Kehutanan. Menurut peraturan ini peran kelompok kerja ialah untuk memberikan rekomendasi kepada menteri dalam menilai kegiatan yang direncanakan. Apabila kelompok kerja menyetujui permohonan tersebut, menteri akan menerbitkan persetujuan yang mencantumkan:

1. penetapan luas dan cakupan kegiatan percontohan 2. jangka waktu kegiatan, paling lama lima tahun 3. ketentuan yang berkaitan dengan risiko dan

distribusi pendapatan

Peraturan ini tidak mengatur sama sekali tentang hak masyarakat dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan percontohan dan, secara keseluruhan, tidak menjelaskan konteks kegiatan percontohan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan munculnya perselisihan antara pemrakarsa proyek dan masyarakat berkaitan dengan keadaan sosial budaya masyarakat dalam suatu kawasan yang ditetapkan.

Namun demikian, peraturan ini belum merupakan keputusan akhir karena beberapa ketentuan memerlukan pengaturan lebih lanjut oleh menteri. Sebagai contoh, kriteria penentuan areal kegiatan percontohan memerlukan keputusan menteri lebih lanjut, yang belum diterbitkan.

Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/

Menhut‑II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)

Peraturan ini memberikan rujukan umum untuk melaksanakan REDD+, termasuk kriteria tentang kawasan hutan mana yang dapat digunakan untuk REDD+.Peraturan tersebut menetapkan 12 kawasan hutan yang dapat dijadikan lokasi REDD:(1) areal

kerja pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (IUPHHK‑HA); (2) areal kerja pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK‑HT); (3) areal kerja hasil hutan hutan kemasyarakatan (IUPHH‑HKM); (4) areal kerja hasil hutan kayu hutan tanaman rakyat (IUPHHK‑HTR); (5) areal kerja hsail hutan kayu restorasi ekosistem (IUPHHK‑RE); (6) areal kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP); (7) areal kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL); (8) areal kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK); (9) hutan konservasi; (10) hutan adat; (11) hutan hak; dan (12) hutan desa.

Peraturan tersebut mengatur dua entitas yang berperan dalam pelaksanaan REDD+, yaitu entitas nasional dan entitas internasional. Pelaku dari entitas nasional ialah pengelola dari 12 status kawasan hutan dalam daftar di atas; entitas internasional dapat berupa pemerintah, badan usaha, organisasi, yayasan atau perorangan penyandang dana REDD+. Peraturan tersebut menekankan bahwa kegiatan REDD+ akan terkait erat dengan keberadaan pendanaan dari entitas internasional.

Peraturan tersebut juga menetapkan persyaratan untuk mengajukan permohonan pelaksanaan kegiatan REDD+, dan tampaknya pelaku REDD+ akan mengalami kesulitan untuk memenuhi persyaratan tersebut. Dalam hal hutan adat misalnya, salah satu persyaratan adalah adanya salinan surat keputusan dari Kementerian Kehutanan yang mengakui keberadaan masyarakat adat. Akan tetapi, kenyataannya, tata cara perihal pengakuan hutan adat jauh dari sederhana, dan catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan bahwa belum ada masyarakat adat yang memperoleh keputusan atau mendapat pengakuan tersebut dari negara.122

Tata cara dan mekanisme pengajuan permohonan kegiatan REDD+ juga diatur dalam peraturan tersebut. Pemrakarsa harus mengajukan permohonan untuk melakukan kegiatan REDD+ kepada menteri, dengan melengkapi beberapa prasyarat yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian menteri menyerahkan permohonan tersebut kepada ‘komisi REDD+’ untuk ditinjau. Peraturan juga menetapkan kriteria yang harus diikuti ‘komisi REDD+’ dalam menilai kelayakan kegiatan tersebut. Indikatornya mencakup:(1) data dan informasi; (2) biofisik dan ekologi; (3) ancaman terhadap sumberdaya hutan; (4) pertimbangan sosial, ekonomi, dan budaya; (5) kelayakan ekonomi; dan

122 Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dari wawancara dengan Abdon Nababan, Februari 2011.

(6) tata kelola. Menteri diminta untuk menyetujui atau menolak permohonan REDD+ tersebut dalam 14 hari sejak menerima berkas. Proyek REDD+ dapat berlangsung hingga 30 tahun dan dapat diperpanjang. Akan tetapi, belum jelas dalam peraturan ini apakah lembaga yang disebut dengan ‘komisi REDD+’ berarti kelompok kerja yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut‑II/2008 tentang Kegiatan Percontohan.

Enam lampiran menyertai peraturan ini, yang lebih memerinci segi teknis pelaksanaan REDD dalam hal berikut:

a. pedoman bagi pemerintah daerah tentang pemberian rekomendasi

b. kriteria pemilihan lokasi REDD

c. pedoman penyusunan rencana pelaksanaan REDD d. pedoman penilaian permohonan REDD

e. pedoman penetapan REL maupun pemantauan dan pelaporan kegiatan REDD

f. pedoman verifikasi kegiatan REDD.

Persoalan kredit karbon (imbalan karbon) dikemukakan dengan jelas dalam peraturan ini, seperti yang

ditunjukkan oleh ketentuan tentang hak dan kewajiban. Hak pelaku REDD+ dinyatakan sebagai berikut:(1) menerima imbalan bagi pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional (entitas nasional); (2) memiliki dan menggunakan sertifikat REDD+ (kredit karbon) sebagai bukti pengurangan emisi; dan (3) memperdagangkan sertifikat REDD+ dalam perdagangan karbon REDD+ pasca tahun 2012. Ketentuan ini menunjukkan secara kuat bahwa REDD+ di Indonesia—setidaknya seperti yang ditunjukkan dalam peraturan menteri ini— dimaksudkan menggunakan mekanisme pasar.

Sertifikat sebagai bukti pengurangan emisi dari kegiatan REDD+ diperoleh setelah dilakukan verifikasi oleh lembaga penilai independen. Akan tetapi, peraturan tersebut tidak menyebutkan penilai independen tersebut. Peraturan ini hanya menjelaskan bahwa Komite Akreditasi Nasional (KAN) memiliki wewenang untuk melakukan akreditasi lembaga penilai. Oleh karena itu, penilai independen dapat berupa lembaga swasta atau pemerintah.

Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/

Menhut‑II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung

Peraturan ini berkaitan dengan REDD+, tetapi tidak secara khusus mengaturnya. Peraturan ini lebih menekankan pada usaha yang menyediakan jasa

lingkungan dan bukan semata pengurangan emisi. Pengertian tentang pembayaran jasa lingkungan (PES) lebih sesuai untuk peraturan ini karena jasa penyerapan karbon (RAP Karbon) dan jasa penyimpanan karbon (PAN Karbon) merupakan tujuan utamanya. Meskipun menetapkan bahwa kegiatan RAP dan PAN dapat dilaksanakan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, peraturan tersebut tidak memberikan batasan terinci tentang kegiatan RAP dan PAN, kecuali pernyataan bahwa kegiatan tersebut merupakan ‘jenis pemanfaatan jasa lingkungan di hutan produksi dan hutan lindung’. Batasan ini tidak memberikan pengertian apa pun tentang apa sebenarnya kegiatan RAP dan PAN itu. Akan tetapi, terdapat uraian tentang kegiatan apa yang dapat dilaksanakan sebagai kegiatan RAP dan PAN. Kegiatan PAN meliputi penundaan pembalakan, perluasan kawasan konservasi, dan penerapan rotasi panen. Artinya, kegiatan PAN bertujuan untuk mempertahankan tegakan hutan terlebih dahulu dan menyiapkannya untuk penyerapan karbon. Kegiatan RAP mencakup penanaman dan peningkatan jumlah tegakan hutan di suatu areal hutan. Oleh karena itu, walaupun kegiatan RAP dan PAN dalam peraturan ini memiliki kegiatan spesifik yang berbeda pada hutan produksi dan hutan lindung, terdapat perbedaan mendasar antara kedua jenis kegiatan tersebut.

Kegiatan RAP dan PAN dapat dilaksanakan di kawasan yang telah maupun belum dibebani izin. Prasyarat dan tata cara pengajuan permohonan berbeda untuk kedua areal tersebut. Kewenangan atas areal yang telah dibebani izin (HTI, kawasan restorasi ekosistem, hutan tanaman rakyat, dan lain‑lain) berada di tangan menteri, gubernur, dan bupati/walikota sedangkan kewenangan atas kawasan yang belum dibebani izin sebelumnya berada di tangan menteri.

Meskipun pengertian RAP dan PAN karbon tampaknya berbeda dengan REDD+, Pasal 4 peraturan tersebut menyatakan bahwa:

Pelaksanaan kegiatan usaha penyimpanan karbon dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), dan penyerapan karbon dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.

Namun tata cara kegiatan RAP dan PAN sangat mirip dengan REDD+, yaitu kegiatan diverifikasi oleh lembaga verifikasi independen dan akan diterbitkan sertifikat pengurangan emisi yang dapat diperdagangkan di pasar karbon. Kemungkinan

perbedaan yang paling mendasar ialah bahwa RAP dan PAN hanya dapat terjadi di hutan produksi dan hutan lindung sedangkan kegiatan REDD+ juga dapat dilakukan di kategori hutan yang lain.

Keberatan terhadap peraturan

Timbul banyak keberatan dalam menanggapi

keputusan pemerintah tentang kegiatan REDD+, tidak hanya dari masyarakat madani, tetapi juga dari lembaga pemerintah yang merasa tidak disertakan dalam proses penyusunan peraturan. Selama diskusi kelompok terarah yang diselenggarakan oleh Kemitraan untuk Reformasi Tata Kelola pada tanggal 29 April 2010, Kementerian Keuangan mengajukan keberatan terhadap Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/ Menhut‑II/2009 dengan dasar pertimbangan bahwa Kementerian Keuangan seharusnya dilibatkan dalam merumuskan ketentuan mengenai distribusi pembagian hasil antara pemerintah, masyarakat, dan pengusaha. Pada dasarnya, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa Kementerian Kehutanan telah melampaui batas kewenangannya. Menurut Undang‑undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan) melalui Menteri Keuangan berwenang untuk mengelola keuangan negara (Pasal 6(2)). Undang‑undang ini memberi batasan ‘keuangan negara’ sebagai segala sesuatu yang menjadi hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Meskipun menteri dan kepala lembaga lainnya seperti Kementerian Kehutanan diberi wewenang tertentu atas segi keuangan negara, wewenang itu ialah sebagai pengguna dan bukan sebagai pengelola (Pasal 6(3)).

Oleh karena itu, merujuk pada Undang‑undang tersebut, Kementerian Kehutanan tidak berwenang untuk mengatur bagi‑hasil dari REDD+ dan/atau kegiatan penyimpanan/penyerapan karbon. Hal di atas menunjukkan bahwa keterpaduan dan keselarasan antarsektor tetap menjadi tantangan besar di Indonesia. Memang, ada banyak contoh perundang‑undangan yang tumpang‑tindih, seperti yang muncul dalam konteks pelaksanaan REDD+.

Sebagai konsekuensinya, Kementerian Kehutanan mengumumkan rencana untuk merevisi tiga peraturan tersebut. Akan tetapi, sampai April 2011, tidak ada perkembangan lebih lanjut tentang rencana revisi yang akan dilakukan.

4.2.4 Kedudukan masyarakat madani dalam