• Tidak ada hasil yang ditemukan

peserta dalam konsultasi publik (25 Maret 2008) dan versi terakhir Peraturan Menteri Kehutanan tentang REDD (2009)

Masukan dari pemapar Versi terakhir

(Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/Kpts‑II/2009) AMAN:

1. Rancangan peraturan tersebut tidak berlandaskan pada pemegang hak, tetapi masih terbatas pada pemangku kepentingan. Hal ini juga tercermin pada susunan Komisi REDD dalam rancangan tersebut. 2. Substansi dari rancangan tersebut tidak memberikan

upaya perbaikan hak‑hak masyarakat adat sebagai pemegang hak.

3. Rancangan tersebut mengabaikan dua kenyataan penting:

• hutan alam yang tersisa berada di dalam kawasan adat yang diselamatkan oleh lembaga dan hukum adat setempat.

• kawasan yang tercakup dalam izin usaha

pemanfaatan hasil hutan (IUPHH) pada umumnya terlibat dalam sengketa dengan masyarakat adat

• Pada Pasal 8(1)a, pendekatan masih menggunakan “pemangku kepentingan” dan belum menggunakan pendekatan “pemegang hak”. Pasal 8(1)a menyatakan bahwa pihak terkait harus:, “...memiliki salinan Surat Keputusan Menteri yang menyatakannya sebagai pengelola hutan adat. “

• Permenhut tetap memandang hutan adat sebagai hutan negara dan bukan sebaliknya, seperti yang diharapkan oleh masyarakat adat.

• Permenhut tidak secara tegas menjelaskan mekanisme penyelesaian sengketa dengan masyarakat adat.

DNPI

1. Diperlukan mekanisme REDD di luar kawasan hutan yang melibatkan DNPI, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Lingkungan Hidup.

2. Perlu dibentuk lembaga interdepartemen yang akan mengelola aset karbon dan pemberian insentif dari REDD.

• Permenhut tidak memuat ketentuan mengenai REDD di luar kawasan hutan yang melibatkan sektor lain seperti DNPI, Kemdagri, dan KLH.

• Demikian juga, tidak ada ketentuan mengenai pembentukan lembaga interdepartemen dalam Permenhut.

DKN

1. Perlu ada pemahaman sistematis atas skema REDD untuk memastikan dipertimbangkannya hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan.

2. Pendekatan sistematis tidak tampak dalam rancangan permenhut; alur judul, maksud, tujuan, lokasi, persyaratan, dan aturan pengalihan tidak menunjukkan sistematika yang baik.

3. Kami menyarankan untuk tidak terburu‑buru menerbitkan peraturan mengenai REDD tersebut agar terlihat lebih siap.

• Tidak ada penjelasan ataupun ketentuan mengenai hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan maupun keterkaitannya dengan kegiatan REDD dalam Permenhut.

• Pasal 4(2) menyatakan pemegang izin pemulihan ekosistem dapat melaksanakan REDD, namun tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai apakah REDD menjadi bagian dari kegiatan pemulihan ekosistem atau bukan.

CIFOR

1. Definisi hutan negara tidak jelas, terutama apabila dikaitkan dengan hak pengusahaan. Selain itu, perlu menambahkan definisi hutan sebagaimana telah diserahkan oleh Indonesia kepada UNFCCC. 2. Cakupan REDD semestinya lebih luas daripada

sekedar menghambat deforestasi dan degradasi, karena juga terkait dengan perbaikan tata kelola, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan kesejahteraan masyarakat.

3. Terdapat banyak peraturan lain yang tidak dicakup (didukung) dalam rancangan Permenhut tersebut, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian bagi pemangku kepentingan lain.

• Definisi hutan masih belum berubah dan tidak ada tambahan apa pun pada rancangan awal, sehingga saran mengenai perbaikan definisi hutan tidak ditampung.

• Permenhut telah memasukkan saran untuk memperluas cakupan REDD.

Masukan dari pemapar Versi terakhir

(Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/Kpts‑II/2009) GTZ

1. Terdapat beberapa inkonsistensi dalam penulisan definisi kredit REDD, sertifikat REDD, dan

insentif REDD.

2. Definisi degradasi hutan tidak mencakup penurunan kualitas komposisi hutan.

3. Definisi hutan tidak sejalan dengan definisi dalam kerangka UNFCCC.

4. Perbedaan antara maksud dan tujuan dalam rancangan tersebut tidak jelas.

5. Pembagian manfaat tidak secara jelas diatur dalam rancangan permenhut.

• Permenhut tidak membedakan secara jelas antara kredit REDD, sertifikat REDD, dan insentif REDD. Dalam permenhut, ketiganya dianggap sebagai suatu rangkaian; istilah sertifikat REDD dapat dipertukarkan dengan “kredit” oleh lembaga internasional dan penjualan dianggap sebagai insentif.

• Ketentuan tersebut tidak menguraikan secara jelas mengenai tantangan mendasar dalam konsep “perdagangan karbon”.

• Definisi degradasi hutan masih tidak berubah sejak rancangan awal, dan tidak mencakup penurunan kualitas komposisi hutan.

• Permenhut tidak berisi ketentuan tentang pembagian insentif.

cifor.org ForestsClimateChange.org

Profil negara ini mengulas pemicu deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia, menjelaskan lingkungan kelembagaan, politik, dan ekonomi di tempat REDD+ dilaksanakan di Indonesia, dan mendokumentasikan proses penyusunan kebijakan REDD+ nasional selama kurun waktu 2007 – awal 2012. Sejalan dengan komitmen Indonesia pada tingkat nasional dan internasional untuk mengatasi perubahan iklim melalui sektor kehutanan, terdapat pula tantangan kontekstual yang perlu diatasi agar tercipta kondisi yang memungkinkan untuk REDD+. Sebagian dari persoalan utama tersebut mencakup landasan hukum yang tidak konsisten, fokus sektoral, penguasaan lahan yang tidak jelas, dampak dari desentralisasi, dan tata kelola di daerah yang lemah.

Walaupun terdapat sejumlah tantangan ini, REDD+ membuka peluang bagi perbaikan dalam tata kelola hutan dan, secara lebih luas, dalam tata kelola penggunaan lahan. Adanya proses politik dan ekonomi yang lebih demokratis secara umum, semakin besarnya kebebasan masyarakat madani dan pers, dan meningkatnya kesadaran akan persoalan lingkungan dapat membantu penggalangan dukungan dan pemantapan kebijakan ke arah tata kelola kehutanan dan lahan yang lebih baik.

proses tinjauan sesama rekan dari luar yang memakan waktu lebih lama.

Penelitian ini dilaksanakan oleh CIFOR sebagai bagian dari Program Penelitian CGIAR: Hutan, Pohon, dan Wanatani (Forests, Trees and

Agroforestry). Program kolaboratif ini bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, wanatani, dan sumber daya

genetis pohon yang mencakup lanskap dari hutan sampai ke lahan budidaya. CIFOR memimpin program kemitraan ini dengan bekerja bersama Biodiversity International, CIRAD, International Center for Tropical Agriculture dan World Agroforestry Centre.

Center for International Forestry Research

CIFOR memajukan kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan dan kesetaraan melalui penelitian yang berorientasi pada kebijakan dan praktik kehutanan di negara berkembang. CIFOR merupakan salah satu Pusat Penelitian Konsorsium CGIAR. CIFOR berkantor pusat di Bogor, Indonesia dengan kantor wilayah di Asia, Afrika dan Amerika Selatan.