• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Kelembagaan

Dalam dokumen RENCANA STRATEGIS (Halaman 50-53)

Penyerapan Dana APBN

1.4. Kerangka Kelembagaan

Kerangka kelembagaan merupakan perangkat KL yang mencakup struktur organisasi, ketatalaksanaan, pengelolaan pegawai yang digunakan dalam rangka mencapai visi misi tujuan strategi kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi KL yang disusun berdasarkan RPJMN. Tujuannya adlaah untuk meningkatkan keterkaitan dan koordinasi pelaksanaan antar bidang, mempertajam arah kebijakan dan strategi sesuai kapasitas organisasi dan dukungan SDM, membangun struktur yang tepat fungsi dan ukuran, memperjelas ketatalaksanaan dan meningkatkan profesionalitas SDM.

Kerja-kerja Komnas Perempuan dimulai pada masa pembentukannya pada tahun 1998 hingga berakhirnya pada Oktober 2003. Dalam lima tahun pertama keberadaannya, yakni mulai tahun 1999 hingga tahun 2001, Komnas Perempuan menempuh fase pembentukan. Selanjutnya pada tahun 2002 adalah masa penetapan dan 2003-2006 adalah fase pelembagaan Komnas Perempuan sebagai Institusi Nasional penegakan HAM perempuan di Indonesia. Proses pelembagaan ini hingga sekarang masih berjalan dan terus dilakukan hingga 2014. (Lihat gambar 1).

Gambar 1.

Gambaran Fase Perkembangan Kelembagaan Komnas Perempuan Tahun 1998-2014

Proses pelembagaan ini mengalami pasang surut, namun Komnas Perempuan terus berjuang untuk meningkatkan kapasitas dirinya sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia. Untuk itu Komnas Perempuan perlu menemukan format kelembagaan serta pedoman tata kerja sebagai

1998-2001 Fase Pembentukan 2003-2006 Fase Pengembangan Perangkat, Pengetahuan Dan Pelibatan Untuk Penegakan HAM Bagi Perempuan Indonesia 2007-2009 Fase Pelembagaan upaya penanganan & pencegahan kekerasan terhadap perempuan dengan kerangka ham di tingkat negara &

masyarakat 2010-2014 Fase Pelembagaan HAM/ NHRI 2002 Fase Redefinisi/ Restrukturisa si

45 sebuah sebuah mekanisme HAM independen di tingkat nasional sesuai amanah pasal 7 Perpres Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan. Komnas Perempuan mengembangkan model kelembagaan, struktur, mekanisme kerja yang mendukung untuk mencapai tujuan terciptanya lembaga yang independen, efektif, terpercaya, dan akuntabel. Salah satu isu yang masih belum tertuntaskan pembahasannya adalah terkait Kelembagaan Komnas Perempuan sebagai salah satu Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia khususnya Hak Asasi Perempuan (National Human Rights Institution), meskipun dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 Amandemen keempat mengamanatkan pelaksanaan hak asasi manusia warga negara Indonesia tetapi konstitusi luput mengatur Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia dalam Struktur dan Tata Urutan Kelembagaan Negara, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung, Kementrian Negara, Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Meskipun telah lahir Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, konseptualisasi Lembaga Nasional HAM (LNHAM) termasuk mekanisme khusus untuk pemenuhan hak asasi perempuan dan anak bukan berarti tidak diperlukan lagi. Satu-satunya produk kebijakan yang sementara sudah menyebut Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah dokumen Rencana Aksi Hak Asasi Manusia 2011-2015. Hambatan sekaligus tantangan dalam mengembangkan konsep NHRI didalamnya juga terkait mekanisme kerja dengan Lembaga Pemerintah, Lembaga Yudikatif dan Legislatif sekaligus mekanisme pengelolaan dan penganggaran NHRI sebagai lembaga yang independen.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan adalah lembaga negara independen di Indonesia yang dibentuk sebagai mekanisme nasional untuk menghapuskan Kekerasan terhadap Perempuan. Komnas Perempuan memiliki peranan yang strategis dalam membangun mekanisme perlindungan, dan pemenuhan HAM pada perempuan serta upaya-upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sehingga penguatan kelembagaan harus diupayakan dengan optimal. Kelembagaan Komnas Perempuan oleh gerakan perempuan di komunitas, di level nasional, regional dan internasional ditempatkan sebagai role model dan source of knowledge yang penting dibutuhkan Pemerintah Indonesia, karena masih tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam berbagai konteks kehidupan berbangsa dan bernegara; upaya pengungkapan kebenaran, keadilan dan pemulihan sebagai hak-hak dasar perempuan korban, termasuk korban pelanggaran HAM masa lalu belum terpenuhi; dan kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap perempuan yang masih berlangsung. Kondisi ini membutuhkan perhatian yang khusus guna menciptakan dan mendekatkan keadilan bagi perempuan korban.

Kelahiran Lembaga Negara Non-struktural ini juga merupakan refleksi kemenangan kekuatan non negara dalam mempenetrasi wilayah dominasi negara yang beberapa tahun terakhir mengalami pembelengguan. Jika pada awalnya kekuatan non negara terbatas pada perebutan ruang bagi diri sendiri yang telah dipilah secara ketat, dalam perkembangan selanjutnya setelah reformasi, telah memperluas hasratnya untuk menjangkau kontrol atas ranah negara. Dengan logika seperti ini, aktor non negara yang berwujud state auxiliary organs dapat mengkonversi diri secara cepat sebagai aktor yang dapat bertindak atas nama dan untuk kepentingan publik yang selama ini dimonopoli oleh negara.

Lebih lanjut, kemunculan state auxiliary organs juga merupakan jawaban atas kebuntuan teori trias politica Baron de Montesquie yang mengidealkan cabang kekuasaan negara dibagi atas tiga kekuasaan yang saling terpisah secara murni, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif ternyata tidak dapat bekerja secara maksimal ketika dihadapkan perkembangan

46 masyarakat yang sangat dinamis yang menghendaki struktur organisasi negara yang lebih responsif dengan tuntutan mereka serta lebih efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik dan mencapai tujuan pemerintahan. Misalnya, dalam hal penanganan HAM Perempuan. Sehingga dengan adanya lembaga negara yaitu Komnas Perempuan sudah sangat tepat dan dibutuhkan upaya-upaya serta komitmen dari berbagai pihak dalam penguatan kelembagaannya. Berdasarkan analisa kelembagaan yakni perbandingan Kondisi eksisting yag dipaparkan diatas dan kebutuhan kedepan antara lain:

1. Perlu ada one stand alone goal terkait keadilan gender dalam dokumen RPJMN 2015-2019 dan RKP 2018-2015-2019, dimana isu kekerasan terhadap perempuan harus menjadi prioritas, karena tidak akan ada pembangunan yang berarti jika persoalan kekerasan terhadap perempuan tidak menjadi perhatian serius.

2. Mencanangkan LNHAM dan women machineries sebagai agenda dalam grand design Reformasi Birokrasi yang meletakkan pemahaman baru, bahwa mekanisme HAM, walaupun menggunakan istilah komisi nasional, bukanlah mekanisme ad-hoc, melainkan mekanisme nasional sebagaimana dicanangkan dalam Prinsip Paris.

3. Perubahan paket kebijakan untuk penguatan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai Lembaga Nasional HAM dengan mandat spesifik untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, antara lain: Perubahan Perpres 65 Tahun 2005 mengenai status kelembagaan Komnas Perempuan dan struktur Komnas Perempuan. Perubahan regulasi ini ditujukan untuk penguatan status kelembagaan Komnas Perempuan dan struktur Komnas Perempuan; Perubahan Perpres 02 Tahun 2011 mengenai honorarium Anggota dan Badan pekerja Komnas Perempuan; Satuan Kerja Mandiri terpisah dari Komnas HAM sebagai Satuan Kerja Induk.

4. Implementasi prinsip kewajiban realisasi progresif dalam kebijakan anggaran baik di level nasional maupun daerah, yakni penggunaan penuh sumber daya anggaran yang tersedia secara maksimum, serta mematuhi standart kepatuhan negara terhadap kewajiban internasionalnya dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan (standart due diligence)

Dalam dokumen RENCANA STRATEGIS (Halaman 50-53)

Dokumen terkait