• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terlibat dalam proses hokum dipengadilan (sebagai pihak terkait), atau sebagai pembela Adapun quasi jurisdiksi14 merupakan tambahan kewenangan dalam Paris Principle. Suatu institusi

Dalam dokumen RENCANA STRATEGIS (Halaman 32-35)

nasional dapat diberi kewenangan untuk mendengar dan mempertimbangkan pengaduan dan petisi tentang situasi-situasi tertentu. Kasus-kasus dapat diajukan kepada institusi nasional oleh perorangan, wakil-wakilnya, pihak ketiga, organisasi non-pemerintah, perkumpulan serikat buruh atau organisasi perwakilan lainnya. Dalam keadaan semacam itu, dan tanpa mengurangi prinsip-prinsip yang tercantum di atas tentang kekuasaan komisi, fungsi-fungsi yang dipercayakan kepada mereka didasarkan pada prinsip-prinsip berikut ini:

1. Mencari penyelesaian damai melalui rekonsiliasi atau, sesuai batas-batas yang ditetapkan hukum, melalui keputusan yang mengikat atau, bilamana perlu, secara rahasia;

2. Menginformasikan kepada pihak yang menyampaikan pengaduan mengenai haknya, terutama mengenai upaya pemulihan yang tersedia baginya dan meningkatkan aksesnya pada upaya pemulihan tersebut;

3. Menampung semua pengaduan atau keluhan atau menyampaikannya ke pejabat yang berwenang lainnya dengan batas-batas yang ditentukan hukum;

4. Membuat rekomendasi-rekomendasi kepada pihak yang berwenang, terutama dengan mengajukan amendemen atau perubahan hukum, peraturan, atau praktek administratif, terutama apabila peraturan itu telah menciptakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang yang mengajukan pengaduan untuk menuntut haknya.

Adapun lima (5) mandat Komnas Perempuan yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 yakni:

1. Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;

2. Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan;

3. Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;

4. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendorong upaya-upaya pencegahan dan

14

Dalam istilah hukum kata Yuridiksi secara umum dapat diartikan hak atau wewenang untuk menetapkan hukum, bila dihubungkan dengan ajaran trias politica, yuridiksi mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam beberapa kajian tentang mandat quasi-yuridictional bagi NHRI, banyak disamakan dengan istilah Quasi-yudicial dalam istilah hukum yaitu wewenang dari sebuah lembaga yang memiliki kewenangan seperti pengadilan atau hakim untuk mendengarkan saksi, menetapkan hukum atau memberi sanksi hukum pada seseorang/lembaga. Lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan quasi-yudicial di Indonesia antara lain: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komite Anti Dumping Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

27 penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan;

5. Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-ahak asasi manusia perempuan.

Dalam praktiknya, untuk memenuhi tanggungjawabnya kepada konstituennya yakni perempuan korban dan kelompok rentan, Komnas Perempuan melakukan beberapa langkah perluasan terhadap mandatnya, antara lain:

a) Mandat untuk memberikan rekomendasi, diperluas juga menjadi: Memberikan masukan dan menjadi pihak terkait tidak langsung dalam proses Judicial Review di Mahkamah Agung (Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 8 Tahun 2005) dan Mahkamah Konstitusi (undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, undang Pemilu, Undang-undang 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentanga Penodaan Agama {lebih dikenal dengan PNPS No 1/65}, dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1965 tentang Barang Cetakan yang Menimbulkan Keresahan {PNPS No.4/65}). Pada bagian perluasan mandat ini, maka sesungguhnya Komnas Perempuan telah memerankan peran Amicu Curiae. Sebuah peran yang secara bahasa berarti "friend of the court". Yaitu pihak yang bukan menjadi bagian dalam pembelaan hukum, namun dapat mempengaruhi keputusan dari hakim/pengadilan. Pihak terkait ini dapat memberikan informasi terkait argumentasi hokum atau bagaimana sebuah kasus yang dipersoalkan dapat mempengaruhi banyak orang. Dalam Paris Principle peran ini merupakan salah satu peran yang ada dalam quasi jurisdikasi.

Sedangkan kewenangan subpoena power sebagai sebuah kewenangan untuk meminta seseorang hadir atau memberikan kesaksian, dan meminta barang bukti atau dokumen yang terkait dengan pelanggaran HAM. Kewenangan ini merupakan kewenangan yang dapat memaksa seseorang hadir berdasarkan penetapan pengadilan. Peran inilah yang belum pernah dilakukan Komnas Perempuan. Berbagai laporan pelanggaran HAM misalnya kasus 1965 dan Mei 1998yang telah didokumentasikan selanjutnya diberikan kepada Komnas HAM untuk ditindaklanjuti ke penyidik Kejaksaan Agung.

b) Mandat pemantauan diperluas menjadi menerima laporan langsung masyarakat, khususnya kelompok korban dan pendampingnya tentang kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan. Keluhan individual (korban) diterima melalui Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR), suatu mekanisme internal yang dikembangkan Komnas Perempuan untuk merespon kebutuhan langsung korban kekerasan.15 Mekanisme ini dibangun karena Komas Perempuan tidak punya mandate untuk melakukan pendampingan, sementara itu banyak pengaduan dimana korbannya membutuhkan pendampingan.

Berdasarkan syarat-syarat yang termuat dalam quasi yurisdiksi, maka hanya syarat pertama dalam quasi yurisdiksi ini yakni mencari penyelesaian damai melalui rekonsiliasi atau, sesuai batas-batas yang ditetapkan hukum, melalui keputusan yang mengikat atau (secara rahasia) yang tidak dilakukan Komnas Perempuan. Adapun berdasarkan wawancara dengan Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM pada tanggal 4 Maret 2011/Senin diketahui bahwa laporan pemantauan kasus 1965 yang menurut Komnas Perempuan telah menyusun BAP layaknya BAP yang segera bisa ditindaklanjuti. Menurut Ifdal, BAP tersebut tidak dapat disebut BAP karena Komnas Perempuan tidak memiliki mandat ini. Sehingga Komnas HAM menilai

15

Peran pemantauan Komnas Perempuan adalah bagian dari mengemban mandat untuk mengembangkan sistem pemantauan, pendokumentasian dan evaluasi atas fakta kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan Indonesia, serta atas kinerja lembaga-lembaga negara dan masyarakat dalam memenuhi hak perempuan korban kekerasan dan diskriminasi.

28 laporan kasus 1965 hanya bersifat kajian saja yang tidak berkekuatan hukum. Dalam hal ini Komnas HAM harus melakukan investigasi ulang seperti menyusun BAP dan menemui para saksi dan korban kasus 1965.

1.2.2.2.3. Sumber daya manusia

Jumlah total SDM Komnas Perempuan saat ini 81 orang dengan rincian 15 orang Komisioner, 1 Sekretaris Jenderal, 50 Badan pekerja, 14 relawan UPR, 1 relawan lembaga internasional (AVI). Sebagaimana disebutkan diatas bahwa Komnas Perempuan tidak memiliki mandat untuk penanganan kasus atau quasi jurisdiksi, namun demikian kondisi di masyarakat yang menuntut untuk pemenuhan haknya ketika terjadi kasus kekerasan terhadap dirinya membuat Komnas Perempuan mengembangkan mekanisme pengaduan dan rujukan dan membentuk unit khusus yakni Unit Pengaduan dan Rujukan (UPR) yang digawangi oleh Sub Komisi Pemantauan dan diisi oleh para relawan yang dengan sukarela mengabdikan sebagian waktu, tenaga, pikiran dan bahkan sumberdayanya untuk membantu para korban tragedi kemanusiaan yang datang melapor di Komnas Perempuan. Keminatan dari para relawan untuk bergabung dengan Komnas Perempuan tidak pernah surut namun demikian karena kondisi lembaga baik dana dan ruangan yang disediakan untuk para relawan membuat tenaga relawan pasang surut mulai dapat dilihat dalam tabel penerimaan relawan dibawah ini.

Tabel.

Jumlah penerimaan relawan UPR per tahunnya.

Tahun Jumlah Relawan

2010 13

2011 11

2012 19

2013 14

Jika dilihat dari jumlah kasus yang diterima oleh Komnas Perempuan tiap tahunnya, tentu terjadi ketimpangan antara kapasitas relawan dan jumlah kasus sebagaimana dilihat dalam tabel dibawah ini.

TAHUN Surat/Email UPR (Telp & Datang

langsung) Total 2008 282 784 1066 2009 210 718 928 2010 339 889 1228 2011 274 815 1089 2012 284 669 953 2013 478 1030 1508

29 1.2.2.2.4. Infrastruktur

Sebagaimana status kelembagaan Komnas Perempuan, kondisi fasilitas dan insfrastruktur Komnas Perempuan juga penuh tantangan. Pada awal pendiriannya, negara belum menyediakan tempat kerja yang layak bagi Komnas Perempuan hingga masih menumpang di Komnas HAM. “dari gudang ke gedung” istilah yang digunakan Kamala Chandrakirana ketika mengungkapkan sejarah kantor Komnas Perempuan16. Akhirnya melalui perjuangan para anggota Komnas Perempuan, pada tahun 2002, Sekretariat Negara memberikan persetujuan untuk penggunaan gedung belakang Komnas HAM sekaligus memberikan dana untuk renovasi dari satu lantai menjadi 3 lantai seperti yang saat ini dapat dilihat. Perjalanan perjuangan gedung ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Dalam dokumen RENCANA STRATEGIS (Halaman 32-35)

Dokumen terkait