• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENCANA STRATEGIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RENCANA STRATEGIS"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

RENCANA STRATEGIS

2015-2019

KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

2017

Tim Penyusunan Renstra Komnas Perempuan 1/1/2017

(2)

i SEKAPUR SIRIH

Perumusan Rencana Strategis 2010-214 adalah upaya untuk memberikan landasan dan arah bagi

kerja Komnas Perempuan yang secara umum menjadi indikator capaian kerja untuk periode 5 tahun

mendatang.

Rencana Strategis ini disusun berdasarkan analisa capaian yang telah dilakukan Komnas Perempuan

sejak tahun 1998 dan analisa terhadap kondisi kekerasan dan pelanggaran hak-hak Perempuan.

Proses pembahasannya dilakukan secara intensif yang diikuti oleh seluruh Komsioner dan Badan

Pekerja Komnas Perempuan.

Renstra ini menjadi dokumen yang harapannya menjadi pegangan bagi Komnas Perempuan dan

sekaligus referensi bagi para mitra Komnas Perempuan dalam melakukan berbagai kerja sama yang

sinergi dan kerja-kerja lainnya yang saling melengkapi dalam upaya pemenuhan hak-hak perempuan

dan penghapusan segala bentuk kekerasan yang berbasis gender.

Ditetapkan oleh Sidang Paripurna ke- Di : Jakarta

(3)

ii DAFTAR ISI

Sekapur sirih ... i

Daftar isi ... ii

Ringkasan Eksekutif ... iii

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

1.1. KONDISIUMUM ... 1

1.2. POTENSIDANPERMASALAHAN ...12

1.2.1. Potensi ...12

1.2.2. Permasalahan ...15

BAB II: VISI, MISI, DAN TUJUAN KOMNAS PEREMPUAN...38

2.1. VISI KOMNAS PEREMPUAN ...38

2.2. MISI KOMNAS PEREMPUAN ...39

2.3. TUJUANDAN SASARAN STRATEGIS ...39

BAB III: ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI ...42

1.1. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL ...42

1.2. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI KOMNAS PEREMPUAN ...42

1.3. KERANGKA REGULASI ...43

1.4. KERANGKA KELEMBAGAAN ...44

BAB IV: TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN ...47

4.1. TUJUAN STRATEGIS JANGKA PANJANG ...47

4.2. TUJUAN JANGKA PENDEK ...47

4.3. PERJANJIAN KINERJA ...52

BAB V: PENUTUP...55

LAMPIRAN ...56 A. Matriks Penetapan Kinerja

B. Kerangka Regulasi C. Kerangka Kelembagaan D. Kerangka Pendanaan

(4)

iii

Ringkasan Eksekutif (Executive Summary)

Rencana Strategis Komnas Perempuan 2015-2019

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah

lembaga negara yang independen untuk penegakan hak asasi perempuan Indonesia.

Komnas Perempuan didirikan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 181 Tahun

1998, dan kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun

2005. Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil (terutama kelompok

perempuan) kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara atas

berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual yang

dialami perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998. Komnas Perempuan

sebagai bagian dari mekanisme HAM Nasional memiliki peran penting sebagai

correctional system terhadap lembaga eksekutif, legislatif dan judikatif.

Sesuai dengan dasar pendiriannya, Komnas Perempuan diberikan mandat spesifik untuk

penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia/indonesia.

Untuk menjalankan mandat tersebut Komnas Perempuan memiliki tugas pokok untuk:

1). Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan

Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penghapusannya; 2). Melaksanakan

pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang

berlaku bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan; 3). Melaksanakan pemantauan dan

pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan;

4). Memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan

yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan

pengesahan kerangka hukum dan kebijakan untuk penegakan dan pemajuan hak-hak

asasi perempuan; dan 5). Mengembangkan kerja sama regional dan internasional untuk

penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan.

Selama 16 tahun keberadaannya, Komnas Perempuan telah banyak menghasilkan

capaian terkait dengan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan

penegakan serta pemajuan hak asasi perempuan. Di sektor kebijakan, Komnas

Perempuan berada di garda terdepan dalam mendorong lahirnya UU PKDRT, UU

Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Perlindungan Saksi dan

Korban. Di samping itu, Komnas Perempuan juga melakukan pemantauan secara intensif

terhadap berbagai peraturan daerah yang diskriminatif, dan mengadvokasi harmonisasi

kebijakan yang mengacu pada konstitusi negara. Komnas Perempuan melakukan

pemantauan dan pendokumentasian terhadap berbagai kasus kekerasan terhadap

perempuan di Indonesia yang dituangkan dalam sejumlah laporannya termasuk

meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan terhadap Perempuan Indonesia,

yang selama ini telah menjadi acuan bagi institusi-institusi strategis di level pemerintah

dan masyarakat. Melalui Program Pundi Perempuan, Komnas Perempuan telah berhasil

mendekatkan akses lembaga-lembaga pengada layanan terhadap dukungan pendanaan,

agar lembaga pengada layanan dapat terus beroperasi menangani korban. Sampai saat

ini, Pundi Perempuan telah membantu mendanai kurang lebih 39 lembaga pengada

layanan. Komnas Perempuan juga mengembangkan sistem pemulihan bagi korban

kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu, dan tidak lelah mengingatkan pemerintah

untuk memenuhi hak-hak dasar mereka sebagai warga negara. Tidak hanya di level

(5)

iv

nasional, Komnas Perempuan juga aktif melakukan advokasi regional dan internasional

untuk memperkuat penegakan dan pemajuan hak asasi perempuan

Di balik berbagai capaian tersebut, Komnas Perempuan masih menghadapi banyak

tantangan dan hambatan. Tantangan terbesar di level internal adalah status

kelembagaan Komnas Perempuan yang belum kuat. Di dalam tata struktur

ketatanegaraan Indonesia, Komnas Perempuan digolongkan dalam kelompok Badan

Lainnya atau Lembaga Non Struktural (LNS). Karena statusnya ini, Komnas Perempuan

masih sering dipersepsikan sebagai bagian dari Kementrian Negara Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak (KNPPA) atau bahkan disamakan dengan NGO.

Padahal Komnas Perempuan adalah salah satu Lembaga Nasional HAM/LNHAM atau

NHRI (National Human Rights Institution). Di level eksternal Komnas Perempuan masih

berhadapan dengan konsep pembangunan nasional yang kurang mempertimbangkan

adanya gender gap sehingga berakibat pada proses pemiskinan perempuan di berbagai

sektor. Hal ini diperparah dengan menguatnya kapitalisme yang dimainkan oleh private

sectors yang hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan

dampak lingkungan sehingga menimbulkan konflik sumber daya alam, dan kaum

perempuan menjadi korban di dalamnya. Menguatnya fundamentalisme global yang

mengusung politisasi identitas atas nama agama dan moralitas, juga seringkali

mendiskreditkan kelompok minoritas dan kelompok perempuan. Rendahnya

pemahaman aparat penegak hukum terhadap kompleksitas persoalan kekerasan

terhadap perempuan, menyebabkan akses keadilan bagi perempuan korban sangatlah

sulit terwujud.

Berdasarkan kondisi di atas, Komnas Perempuan merumuskan rencana strategisnya

untuk 5 tahun ke depan (2015-2019), dengan menetapkan 7 isu prioritas; 1) Kekerasan

terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu, konflik dan bencana 2)

Kekerasan terhadap perempuan akibat pemiskinan perempuan, termasuk dalam konteks

migrasi, eksploitasi tenaga kerja di pabrik dan rumah tangga, dan eksploitasi sumber

daya alam; 3) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks perkawinan dan keluarga;

4) Kekerasan Seksual; 5) Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks diskriminasi dan

politisasi identitas atas nama agama, moralitas, budaya dan kepentingan politik; 6)

Penguatan Gerakan Sosial dan Perlindungan Perempuan Pembela HAM (WHRD); dan 7)

Kelembagaan Komnas Perempuan sebagai Lembaga HAM Nasional.

Untuk mendukung 7 isu prioritas ini, Komnas Perempuan menetapkan 4 ranah kerja yang

akan terus digarap yaitu, perempuan korban, negara, masyarakat, dan kelembagaan

nasional HAM. Untuk ranah korban, Komnas Perempuan memiliki target terhadap

menguatnya kapasitas korban dalam berorganisasi dan meningkatnya kemampuan

untuk melakukan advokasi, pemantauan dan pemulihan atas hak-hak mereka. Di ranah

negara, Komnas Perempuan berupaya untuk meloloskan berbagai undang-undang dan

kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak perempuan, diantaranya RUU

Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perubahan atas UU Penempatan dan

Perlindungan Tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri, Rativikasi Konvensi ILO 198, RUU

Perlindungan PRT, RUU KUHP, RUU KUHAP, RUU Pembela HAM, RUU Masyarakat Adat,

RUU Perubahan atas UU Pengadilan HAM, RUU KKR, RUU Perubahan atas UU

Perkawinan, RUU KKG, RUU Perubahan atau UU HAM, dan RUU Disabilitas. Untuk ranah

(6)

v

masyarakat Komnas Perempuan akan mendorong terbangunnya forum akademisi, CSO,

organisasi

masyarakat

dan

kelompok-kelompok

strategis

lainnya,

dalam

mengembangkan pengetahuan perempuan sebagai dasar kebijakan pembangunan di

Indonesia. Di samping itu, Komnas Perempuan juga menggalang advokasi dan sinergi

bersama dengan kelompok strategis untuk isu Papua, Pekerja Migran, dan Kelompok

Perempuan Rentan Diskriminasi lainnya. Sedangkan di ranah kelembagaan, Komnas

Perempuan mentargetkan terwujudnya Satuan Kerja Mandiri yang terpisah dari Komnas

HAM sebagai Satuan Kerja Induk.

(7)

1

BAB I: PENDAHULUAN

1.1.

KONDISI UMUM

Kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dipisahkan dari adanya ketimpangan hubungan antara perempuan dan laki-laki, atau yang sering disebut ketimpangan jender dalam kehidupan bermasyarakat. HaI ini sekaligus berarti ketimpangan hubungan kekuasan antara laki-laki dan perempuan. Kondisi sosial ini masih diperkuat oleh mitos, prasangka, dan stereotip yang menyuburkan diskriminasi terhadap perempuan dalam lingkungan domestik maupun di ranah publik. Kenyataan bahwa berbagai bentuk tindak kekerasan dialami perempuan dari berbagai latar belakang pendidikan, suku, tingkatan sosial ekonomi, agama, dan usia. Sedang opini publik hingga kini masih berada pada suatu kontinium: dari pandangan ekstrim yang cenderung menyalahkan perempuan korban (blaming the victim) seperti, perempuan yang mengundang, salahnya sendiri pergi malam hari, siapa suruh ia memakai rok yang ketat, dan sebagainya, sampai ke ekstrim yang lain, bahwa hak perempuan perlu dihormati siapapun dia, dimanapun ia berada.1

Temuan Komnas Perempuan atas angka kekerasan terhadap perempuan yang dipaparkan dalam laporan Catatan tahunan (CATAHU) selama lima tahun terakhir menunjukan angka yang cukup signifikan.2

Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berpengaruh pada fisik tapi juga jiwa perempuan sebagai manusia seutuhnya. Dampaknya bukan hanya pada ia, seorang perempuan tapi juga kehidupan. Karena, ia, seorang perempuan yang melahirkan kehidupan. Di Indonesia, pengakuan terhadap hak perempuan salah satunya ditunjukan saat Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan pada tahun 1984 menjadi UU no. 7 tahun 1984. Kemudian ditegaskan lagi pada sidang ke-11 Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) tahun 1992, yang melahirkan Rekomendasi Umum Nomor 19 yang menyatakan:

1

Laporan Tiga Tahun Pertama Komnas Perempuan 1998-2000, h.i.

2 Laporan CATAHU Komnas Perempuan 2001-2013

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3

Data Kekerasan terhadap Perempuan 2001-2013

Series 1 Column1 Column2

(8)

2 “Kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. Rekomendasi Umum ini juga secara resmi memperluas larangan atas diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan berbasis gender sebagai: tindak kekerasan yang secara langsung ditujukan kepada perempuan karena ia berjenis kelamin perempuan atau mempengaruhi perempuan secara proposional. Termasuk di dalamnya tindakan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual, ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan bentuk-bentuk perampasan hak kebebasan lainnya”.

Karena itu penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan mutlak sebagai bagian pengakuan terhadap hak asasi manusia itu sendiri dan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM. Hal ini ditegaskan pula dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina (Tahun 1993; Bag. 1, Ayat 18):

“Hak Asasi Perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil dan ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan international, serta pembasmian segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan yang mendapat prioritas pada masyarakat internasional”.

Seorang perempuan yang mengalami kekerasan tidak akan dapat secara optimal mengembangkan dirinya dan berpartisipasi dalam pembangunan dan karenanya akan mempengaruhi nilai daya saing sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan. Mempertimbangkan urgensi akar dan dampak kekerasan terhadap perempuan sebagai satu masalah pembangunan di Indonesia, Pemerintah Indonesia menetapkan dalam salah satu tujuan pembangunan sebagaimana dicanangkan dalam RPJPN 2005-2025 dan ditegaskan dalam RPJMN II (2010-2014) dan RPJMN III (2015-2019) melalui strategi Pengarusutamaan Gender (PUG), adalah pengembangan kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing, baik laki-laki dan perempuan.3 Dalam dimensi hukum dan HAM, penghapusan kekerasan terhadap perempuan juga menjadi bagian dari sasaran dari pembangunan hukum dan HAM Nasional 2015-2019, yakni sasaran ketiga penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, dengan arah kebijakan 3.4. Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan.4

Kelahiran Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sendiri pada 15 Oktober 1998 merupakan pengejewantahan tanggungjawab negara atas kekerasan terhadap perempuan pada masa itu. Meluasnya kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa yang terjadi pada kurun tragedi Mei 98’, membangkitkan gerakan masyarakat anti kekerasan, khususnya gerakan perempuan, yang menuntut tanggung jawab negara untuk itu. Melalui serangkaian dialog oleh tokoh perempuan, Presiden RI ketiga, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie mengeluarkan pernyataan penyesalan, sebagai berikut:

“Setelah saya mendengar laporan dari Ibu-Ibu tokoh masyarakat anti kekerasan terhadap perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia”.5

3

Pembangunan Kesetaran Gender, Background Study RPJMN III 2015-2019, Bappenas, 2014.

4

Background Study RPJMN III 2015-2019 Bidang Pembangunan Hukum Nasional, Bappenas, 2014.

(9)

3 Pernyataan ini sekaligus ditindaklanjuti dengan mendirikan Komnas Perempuan sebagai bentuk tanggung jawab negara pada 9 Oktober tahun 1998 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 181 Tahun 1998 dan kemudian diperbaharui melalui Peraturan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Nomor 65 Tahun 2005.

MANDAT

Mandat utama Komnas Perempuan fokus pada Penghapusan segala bentuk Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia/Indonesia yang dijabarkan menjadi misi Komnas Perempuan (a). mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakkan hak-hak asasi perempuan di Indonesia; (b). meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia (Keppres No.181/Tahun 1998, dalam Pasal 4 dan 5).

Sebagai mekanisme HAM untuk perempuan, Komnas Perempuan bekerja berlandaskan: 1. Konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW)

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam atau tidak Manusiawi (CAT)

4. Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, serta kebijakan-kebijakan lainnya tentang hak asasi manusia.

TUGAS POKOK

Tugas pokok Komnas Perempuan berdasarkan pasal 4 Perpres No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, adalah:

1. Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan, serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Ruang lingkup dari tugas pertama ini meliputi:

a. Meningkatkan kesadaran publik dan penghormatan terhadap HAM perempuan melalui pendidikan HAM berbasis jender dan upaya-upaya advokasi yang partisipatif

b. Mempublikasikan dan mendiseminasikan temuan, pandangan dan rekomendasi tentang bentuk-bentuk KtP, pola-pola baru kekerasan terhadap perempuan, kebijakan yang kondusif dan diskriminatif, serta dampak dan penangannya. c. Memberikan informasi bagi setiap individu yang ingin mengetahui tentang

LNHAM dan kerja-kerjanya, isu kekerasan terhadap perempuan, serta ruang partisipasi masyarakat

d. Melakukan konsultasi, dengar pendapat publik dan pelibatan lainnya atas isu ham perempuan, khususnya tentang kekerasan terhadap perempuan

2. Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan. Ruang lingkup dari tugas kedua ini meliputi:

a. Mengkaji substansi undang-undang, keputusan peradilan, dan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah untuk memajukan ham

(10)

4 perempuan untuk harmonisasi dengan Konstitusi dan Instrumen HAM Internasional

b. Mengkaji Instrumen HAM Internasional, baik berupa instrumen hukum, standar dan pedoman, resolusi, laporan ahli, pelapor khusus PBB serta kesepakatan internasional HAM yang relevan lainnya.

c. Membuat dan menyampaikan laporan-laporan tentang hal-hal tersebut pada poin (a) kepada pihak yang relevan, utamanya penyelenggara negara (APH, APN, dan Parlemen) dan institusi serta aktor strategis lainnya.

3. Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan, serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan. Ruang lingkup dari tugas ketiga ini meliputi:

a. Menyelenggarakan pemantauan dan pendokumentasian pola-pola kekerasan terhadap perempuan di ranah personal, publik/komunitas, dan negara

b. Meminta dan mengkaji dokumen kebijakan, instrumen-instrumen ham, keputusan pengadilan dan dokumen yang relevan lainnya untuk kepentingan pemantauan dan melihat dampak dari dokumen tersebut terhadap pemenuhan hak perempuan korban

c. Menerima dan mendengarkan pengaduan atau informasi dari perempuan korban, keluarga dan pendampingnya, baik yang disampaikan secara lisan maupun melalui dokumen dan bentuk lainnya.

d. Memberikan Informasi untuk kepentingan perempuan korban, khususnya dalam hal pemulihan hak-hak perempuankorban, dan membukakan peluang untuknya, melalui antara lain, namun tidak terbatas pada, sistem rujukan, amicus curiae (saksi ahli), surat dukungan.

e. Melakukan penguatan kapasitas kepada mitra Komnas Perempuan untuk melakukan pemantauan dan pendokumentasian.

f. Mengolah, menganalisa dan membuat laporan hasil pemantauan sebagai dasar untuk menjadi bahan masukan atau rekomendasi untuk pelaksanaan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban.

4. Memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan HAM penegakan dan pemajuan HAM perempuan. Ruang lingkup dari tugas keempat ini meliputi:

a. Mempertimbangkan, merundingkan, dan membuat rekomendasi-rekomendasi tentang upaya-upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional yang dirujuk penyelenggara negara (APH, APN, dan Parlemen) dan institusi serta aktor strategis lainnya;

b. Memberikan saran dan pandangan tentang masalah HAM perempuan yang diajukan dan yang dibutuhkan oleh penyelenggara negara (APH, APN, dan Parlemen) dan institusi serta aktor strategis lainnya;

5. Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan

(11)

5 Indonesia, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan. Ruang lingkup dari tugas kelima ini meliputi:

a. Membuat dan menyampaikan laporan independen kepada mekanisme ham regional dan internasional tentang pola-pola kekerasan terhadap perempuan serta kondisi perlindungan, penegakan, pemenuhan dan pemajuan ham perempuan dalam kapasitasnya sebagai Lembaga Nasional HAM dengan mandat khusus penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan b. Memfasilitasi, mendukung dan memperkuat kerjasama antar mekanisme ham

di nasional, regional, dan internasional tentang upaya-upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban

c. Memperkuat peran strategis CSO, khususnya CSO yang bergerak di isu perempuan termasuk WHRD dalam rangka memperluas kerja, dan mengembangkan jaringan yang bergerak dalam bidang pemajuan dan perlindungan ham perempuan.

FUNGSI

Fungsi Komnas Perempuan sebagai salah satu Lembaga HAM Nasional untuk memantau, mendorong, mengkoreksi dan memberi masukan kepada penyelenggara negara (APH, APN dan Parlemen) dan institusi serta aktor strategis lainnya untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

PERAN STRATEGIS

Peran strategis Komnas Perempuan sebagai berikut:

1. Pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi pemenuhan hak perempuan korban,

2. Pusat pengetahuan (resource center) tentang hak asasi perempuan dan KtP, 3. Inisiator dan pemicu perubahan serta perumusan kebijakan,

4. Negosiator, penjembatan dan pembuka akses antara pemerintah dengan komunitas korban, CSO, Pembela HAM Perempuan, institusi maupun aktor strategis lainnya untuk penghapusan KtP.

5. Fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapasitas penanganan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. PRINSIP DAN CARA KERJA

Dalam melaksanakan mandatnya, Komnas Perempuan memegang teguh prinsip kerja dan cara kerja sebagai Lembaga Nasional HAM sesuai amanat Prinsip Paris. Prinsip kerja dan cara kerja tersebut dijabarkan sebagai berikut:

PRINSIP KERJA

1. Menjamin kerahasiaan saksi dan korban KtP serta korban pelanggaran HAM;

2. Memberikan respons cepat dan strategis terhadap kasus-kasus kekerasan atau pelanggaran HAM Perempuan;

3. Mendengar suara perempuan korban dan mencari upaya penyelesaian sesuai dengan kebutuhan korban dan prinsip-prinsip HAM perempuan hak atas kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan ketidakberulangan ;

(12)

6 CARA KERJA

1. Keputusan tertinggi ada pada mekanisme Sidang Komisi Paripurna.

2. Membentuk komisi-komisi kerja maupun mekanisme-mekanisme khusus yang disepakati dalam Sidang Komisi Paripurna.

3. Bekerjasama dengan lembaga-lembaga negara, sesama lembaga HAM maupun lembaga strategis lainnya.

4. Membangun dan memperkuat jaringan utamanya organisasi perempuan, lembaga layanan, komunitas korban maupun kelompok-kelompok strategis lainnya untuk memperkuat fungsi dan kerja lembaga HAM

5. Melaksanakan konsultasi dengan lembaga-lembaga negara, ahli, CSO, dan aktor-aktor strategis lainnya, untuk pemajuan dan perlindungan HAM

6. Membangun kerjasama di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional dengan memperhatikan peran-peran relevan untuk pemenuhan HAM perempuan dan upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Mandat, prinsip dan cara kerja sebagaimana tersebut di atas merupakan arah dan landasan gerak Komnas Perempuan dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diterjemahkan dalam implementasi program dan kegiatan untuk mendukung terjangkaunya sasaran strategis berupa: Terlindunginya perempuan dari segala bentuk kekerasan dan terpenuhinya Hak Korban atas kebenaran, Keadilan dan Pemulihan serta jaminan ketidakberulangan, sebagai berikut:

PENETAPAN KINERJA

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

UNIT KERJA : KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN TAHUN ANGGARAN : 2014

SASARAN

STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET

(1) (2) (3) Terlaksananya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Pemenuhan Hak Korban

Jumlah kebijakan negara yang diseleraskan upaya pencegahan dan penanggulagan segala bentuk kekerasan terhadap

perempuan serta perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM perempuan

3 Kebijakan Negara

Jumlah mitra kampanye Komnas Perempuan 90% Mitra

Jumlah rilis Komnas Perermpuan 80 Rilis media

Jumlah pengunjung Website Komnas

Perempuan

(13)

7 Jumlah kajian terkait isu kekerasan terhadap

perempuan dan perlindungan HAM perempuan

2 Kajian

Hasil kajian dan rekomendasi yang ditindaklanjuti terkait isu kekerasan

terhadap perempuan dan perlindungan HAM perempuan

8 Rekomendasi

Jumlah rekomendasi hasil pemantauan yang ditindaklanjuti

4 Rekomendasi

Jumlah laporan pemantauan dan pemetaan terkait isu kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan HAM perempuan

5 Pemantauan

Prosentase pengaduan masyarakat yang ditindaklanjuti

100% Ditindaklanjuti

Prosentase panduan Pemulihan korban pelanggaran HAM yang dikembangkan

1 Panduan/Modul

Pengelolaan Gaji, Honor dan Tunjangan 12 Bulan layanan

Jumlah SDM yang didiklatkan

Jumlah SOP dan Kebijakan atau Aturan terkait

Jumlah pertemuan Internasional terkait dengan isu perempuan yang dihadiri

Jumlah rekomendasi Sidang HAM dan

Konsultasi Publik yang terintegrasi dalam RKP Komnas Perempuan

Berikut adalah hasil yang telah dicapai Komnas Perempuan dalam upaya pencegahan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan pada 2010-2015:

a. Terkait pemantauan dan pendokumentasian berbasis HAM dan gender Komnas Perempuan membaca peta kekerasan terhadap perempuan di Indonesia berbasis suara korban. Berdasarkan program ini terdapat capaian sebagai berikut :

· Catatan Tahunan KtP di Indonesia yang menjadi acuan kebijakan dan institusi strategis.

· Ditenemukenalinya pola-pola kekerasan seksual sebanyak15 pola. UU hanya mengenal 3 pola

· Didokumentasikannya kebijakan diskriminatif di 7 propinsi dan 16 kabupaten kota sebanyak 364 kebijakan per Agustus 2013.

· Terdampinginya pemantauan perempuan dan tersedianya laporan 4 dekade kekerasan di Papua, KtP di Aceh paska pemberlakuan kebijakan atas nama agama dan moralitas

(14)

8 · Peta kekerasan perempuan dan pemiskinan akibat konflik sumber daya alam · Peta kekerasan terhadap perempuan di tahanan dan serupa tahanan

· Peta kekerasan KtP dan intoleransi beragama

· Laporan pemantauan 10 media yang mendorong peliputan berbasis HAM dan gender dan berprinsip melindungi perempuan korban

· pemantauan lembaga HAM untuk migran di perbatasan, tahanan/detention

b. Membangun Basis pengetahuan: menemukenali /meninjau ulang pola-pola baru KtP · Non state actor : Melihat pertanggungjawaban HAM atas pelaku non

negaraàMelihat anatomi kekuasaan dan policy makers di Indonesia.

· Hukum dan penghukuman (kerjasama dengan UI)à melihat ulang pola penghukuman dan maknanya bagi perempuan korban.

· Dimensi KtP dalam gratifikasi seksual · KtP berbasis budaya

· Kejahatan perkawinan

· Victimisasi perempuan dalam pemberlakuan PKDRT

c. Pensikapan Penting atas isu KtP di Indonesia : Mendorong kesadaran dan komitmen publik dan Negara

· Mendorong diadopsinya/ ratifikasi konvensi internasionalàmigran dan keluarganya, dll

· Input proses legislasi : RUU perlindungan migran, PRT, OPCAT, RUU Penanganan konflik sosial, masyarakat adat, revisi KUHP dan KUHAP, RUU KKG,

· Pelembagaan komitmen negara dalam kebijakan : MOU dengan APH, kemengterian dan Peradi tentang peradilan pidana terpadu, adopsi kurikulum, parameter berbasis HAM dan gender dalam penyusunan peraturan daerah, dll. · Pembatalan batas 180 hari review Perda, evaluasi pemberlakuan UU

pornografi, dll.

d. Reformasi kebijakan

· Mendorong diadopsinya/ ratifikasi konvensi internasionalàmigran dan keluarganya, dll

· Input proses legislasi : RUU perlindungan migran, PRT, OPCAT, RUU Penanganan konflik sosial, masyarakat adat, revisi KUHP dan KUHAP, RUU KKG,

· Pelembagaan komitmen negara dalam kebijakan : MOU dengan APH, kemengterian dan Peradi tentang peradilan pidana terpadu, adopsi kurikulum, parameter berbasis HAM dan gender dalam penyusunan peraturan daerah, dll. · Pembatalan batas 180 hari review Perda, evaluasi pemberlakuan UU

pornografi, dll.

e. Membangun Sistem Pemulihan Korban

· Memantau akses perempuan pada keadilan di 3 wilayahà korban memilih mekanisme informal yang ramah, murah dan mudah.

· Perdasi pemulihan perempuan korban untuk perempuan asli Papua

· Membangun metodologi pemantauan integratif dengan pemulihan untuk korban : Anyam Noken di Papua, pantau lintas korban kekerasan berbasis agama

· Sistem pemulihan bagi ex migran à tanggung jawab negara bukan hanya tanggung jawab keluargaà bangun inisitaif berbasis komunitas di NTT.

(15)

9 · Menerobos ke daerah-->Adanya komitmen 3 wilayah untuk mengawal

pelanggaran HAM masa lalu : Palu, Solo, DKI.

f. Pelembagaan pengetahuan dalam institusi pendidikan · HAM BG di SLTA

· Kurikulum APH

· Lemhanas berkomitmen gunakan terbitan KP sebagai referensi · Memecah kebisuan dalam lembaga agama

g. Advokasi internasional untuk memperkuat komitmen dan mekanisme HAM di nasional, regional, internasional

· Diadopsinya laporan KP dalam UPR, Cedaw, ICCPR, kunjungan resmi komisi tinggi Dewan HAM PBB

· KP dipercaya/didengar sebagai advisor/expert dalam forum strategis : Dewan HAM PBB, Intergovt Asia Pacific, komisi HAM regional

· Sumber pengetahuan institusi internasional/tamu negara/tamu internasional : kepala negara/high officers negara, parlemen, komisi HAM, perguruan tinggi, donors, evaluator, dll

h. Optimalisasi KP sebagai Penjembatan CSO (kelompok perempuan) dan Negara

· Konsultasi publik : kerja-kerja KP, renstra, laporan-laporan penting Indonesia ke mekanisme internasional

· Reformis lokal : membangun sinergi multi elemen untuk memantau produksi legislasi di daerah

· Memperjuangkan survival organisasi perempuan : dekatkan akses dana 39 lembaga perempuan, Pundi perempuan.

· Berkerja dengan lebih dari 1700 Jaringan di nasional dan lokal; Dari berbagai elemen (akademisi, kelompok korban, pemerintah pusat dan daerah, kelompok adat, keagamaan, lembaga donor, penegak hukum, media, ormas, dan lainnya); dalam berbagai bentuk kerja, untuk pendataan KtP (Catahu), kampanye, reformasi kebijakan dan penegakan hukum, forum belajar, kelompok reformis lokal, dan lainnya.

i. Mendukung hak dan kerja-kerja WHRD (women human right defender)

· Linkage antara akademisi dan WHRD melalui PDP (pengetahuan dari Perempuan)

· Memperkuat pengetahuan/kapasitas WHRD (à skill pemantauan dan pelaporan berbasis HAM dan gender (Aceh, Papua, disabilitas, LGBT, pendamping korban (forum belajar),

· Akses capacity building : scholarship dalam dan luar negeri · Pundi sehat WHRD

j. Penguatan kelembagaan KP sebagai NHRI

· Membangun mekanisme sidang HAM dengan 3 lembaga HAM di Indonesia · Memahamkan negara dan publik tentang NHRI: kajian dan advokasi

· Mendorong pengakuan dan dukungan negara atas kerja NHRI : status hukum dalam konstitusi, tidak diletakkan sebagai LNS/komisi adhoc, dukungan finansial yang sesuai dengan kebutuhan NHRI, dll.

(16)

10 Capaian ini didukung pula dengan persepsi masyarakat yang dihimpun baik dari proses evaluasi maupun refleksi bersama mitra. Menurut hasil evaluasi eksternal, keberadaan Komnas Perempuan diakui sebagai institusi yang penting untuk penegakan HAM, sebagai role mode untuk mekanisme HAM perempuan yang independen dan sebagai sumber pengetahuan/source of knowldge untuk isu kekerasan berbasis gender. Keberadaan NHRI urgen dibutuhkan pemerintah Indonesia.karena masih tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam berbagai konteks kehidupan berbangsa dan bernegara; upaya pengungkapan kebenaran, keadilan dan pemulihan sebagai hak-hak dasar perempuan korban, termasuk korban pelanggaran HAM masa lalu yang belum terpenuhi; kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap perempuan yang masih berlangsung, dan lain sebagainya. Kondisi ini membutuhkan perhatian yang khusus guna menciptakan dan mendekatkan keadilan bagi perempuan korban.6

Untuk itu, Komnas Perempuan senantiasa melakukan “refleksi” terhadap peran dan kerja strategis yang dilakukannya melalui berbagai mekanisme yang dikembangkan.Konsultasi publik, melakukan evaluasi (eksternal-internal) dan pertanggungjawaban publik, merupakan bagian dari upaya untuk menjadikan Komnas Perempuan sebagai lembaga yang reflektif terhadap kebutuhan pemenuhan hak perempuan. Hal ini diharapkan menjadi proses siklus refleksi bagi komnas perempuan.Selain itu Komnas Perempuan dalam strategi kerjanya mengedepankan sinergi bersama dengan mitra-mitra strategisnya, baik dengan gerakan perempuan, komunitas korban, lembaga negara, jaringan maupun mekanisme regional dan internasional. “Konsultasi Publik” merupakan salah satu bentuk dan cara kerja Komnas Perempuan untuk memenuhi mandatnya serta meneguhkan mekanisme transparansi dan akuntabilitas publik. Tujuannya selain untuk mendapatkan masukan yang berakar pada konstituen mengenai gambaran terakhir terkait kondisi pemenuhan HAM perempuan dan strategi advokasinya, Komnas Perempuan juga ingin memperoleh masukan untuk menerjemahkan mandatnya sebagai NHRI (National Human Right Institution) ke dalam kerja-kerja strategis yang dituangkan dalam Rencana Strategis Komnas Perempuan.

Komnas Perempuan menjaring aspirasi masyarakat melalui berbagai proses sebagai berikut : 1. Pertemuan ahli (expert meeting) pada tanggal 30 September 2013

2. Konsultasi publik dan mitra strategis pada tanggal 23 Oktober 2013

3. Penyampaian laporan tahunan Komnas Perempuan dan masukan publik setiap akhir tahun

4. Forum nasional kebangsaan yang merupakan konsultasi publik di bidang konstitusi dan perempuan dalam hukum nasional pada tanggal 25-27 Februari 2014 dan 5 November 2014.

5. Forum evaluasi RPJMN setiap enam bulan sekali

Berdasarkan konsultasi publik tersebut di atas didapatkan sejumlah rekomendasi yang akan dipaparkan berikut ini berdasarkan subjek sasaran.

I. Masyarakat

1. Adanya advokasi bersama antara pendamping korban dan pembela HAM 2. Adanya sistem pemulihan berbasis komunitas

3. Pelibatan laki-laki. Hal ini termasuk konseling laki-laki untuk pencegahan KDRT dan ulama laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

4. Hukum adat untuk perlindungan perempuan yaitu melawan budaya yang menjadi alat pelanggengan KtP dan mengubahnya menjadi alat perlindungan.

5. Intervensi terhadap media agar menghentikan stigma terhadap perempuan

(17)

11 6. Penguatan mekanisme lokal terhadap lembaga lokal

7. penguatan kapasitas pendamping/pembela HAM II. Korban

1. Peningkatan kapasitas dan pemberdayaan korban 2. Penguatan korban dan konsolidasi korban

III. Negara

1. Harmonisasi peraturan perundang-undangan

2. Mendorong negara untuk patuh terhadap dokumen HAM yang diproduksi dirinya sendiri misalnya peraturan perundang-undangan dan RAN HAM

3. Mengembangkan sistem pemulihan diantaranya melalui peningkatan kualitas P2TP2A, RSU dan RSU Daerah sebagai pemberi layanan medis bagi perempuan korban, meningkatkan jumlah dan spesifikasi rumah aman terkait jenis kekerasannya bagi perempuan korban termasuk di kedutaan besar Indonesia, pembentukan mekanisme paska trauma yang tidak diakomodasi dalam P2TP2A dan mendetilkan konsep rekonsiliasi dan rehabilitasi.

4. Mengembangkan sistem untuk repatriasi dan reintegrasi untuk korban trafficking serta buruh migran yang terkena kasus. Hal ini tidak sebatas pemulangan tetapi antara lain penguatan ekonomi korban serta akses terhadap bantuan dinsos.

5. Pengakuan pelanggaran Hak ekosob sebagai pelanggaran HAM berat 6. Pemenuhan keadilan, yang meliputi empat hal, antara lain:

A. Perbaikan pada Sistem Peradilan

a) Perbaikan sistem penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pelanggaran HAM. b) Revitalisasi Ruang Pelayanan Khusus di kepolisian

c) Perlu adanya SEMA tentang modus pemalsuan alamat perempuan yang digugat cerai suami

d) Perbaikan sistem eksekusi sehingga putusan pengadilan yang menguntungkan korban dapat dilaksanakan

e) Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum (APH)

f) Peradilan militer mengadopsi standar penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan misalnya informasi kepada korban pada setiap tahapan

B. Optimalisasi dan perluasan peran LPSK

C. Diplomasi bilateral untuk kepentingan buruh migran termasuk peningkatan kapasitas di Kedutaan-kedutaan besar Indonesia terkat pendampingan hukum dan pendampingan psikologis

D. Penguatan sistem referal dan implementasinya IV. Kelembagaan Komnas Perempuan sebagai Lembaga HAM

Harapan publik terhadap KP sangat besar. Terkait fungsi yang diperankan KP terdapat rekomendasi sebagai berikut:

1. Pusat pengelola pengetahuan termasuk didalamnya memunculkan bahasa/istilah baru untuk sebuah fakta pelanggaran HAM misalpemiskinan perempuan dalam konteks kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) baik dalam lingkup hukum m aupun wacana. KP juga diharapkan mengisi kekosongan pengetahuan tentang isu HAM dalam pendidikan formal sekaligus menjembataninya dengan Kementrian pendidikan.

2. Intermediary atau penghubung korban dan masyarakat sipil dengan pemerintah/pejabat publik, akademisi, organisasi perempuan regional dan pelapor khusus (special rapporteur) PBB.

(18)

12 4. Pusat data korban.

5. Monitoring pelanggaran kekerasan terhadap perempuan termasuk advokasi melalui dukungan penanganan terhadap pelanggaran HAM di daerah-daerah.

Adapun mengenai penguatan KP sebagai lembaga HAM yang perlu memenuhi kriteria dalam Paris Principle terdapat rekomendasi sebagai berikut:

1. Penguatan landasan hukum KP dengan tetap menjamin independensi.

2. Quasi yuridiksi yaitu tidak hanya dapat memonitoring dan memberikan rekomendasi tetapi penambahan kewenangan melakukan pemanggilan (sub poena), adanya kewajiban lembaga penerima untuk merespon rekomendasi KP, meminta klarifikasi apabila rekomendasi KP dintolakan dan publikasi respon lembaga penerima rekomendasi

3. Terus melakukan pelaporan kepada publik

4. Rekrutmen anggota KP yang tetap menjamin independensi

5. Menambahkan SGBV (sexual and gender based violence), kekerasan berbasis orientasi seksual dan identitas gender sebagai bagian kekerasan terhadap perempuan dan adanya subkom untuk diskriminasi berbasis orientsi seksual dan identitas gender.

6. Pengisian staf yang menjamin independensi

7. Kewenangan dan kemandirian mengelola anggaran untuk menjamin independensi 8. Monitoring dan evaluasi terhadap segala program KP

1.2.

POTENSI DAN PERMASALAHAN

1.2.1. Potensi

Sila ketiga ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dari Pancasila secara mutlak menjamin kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk dalam relasi gender. Penghormatan nilai-nilai kemanusiaan dan perwujudan keadilan sosial merupakan jiwa dari kesetaraan dan keadilan tersebut.

Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan dengan tegas tujuan Pemerintahan Pemerintahan Negara Indonesia, yakni untuk “ ...melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 juga secara mutlak menjamin dan melindungi hak-hak perempuan. Perempuan sebagaimana laki-laki adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki hak-hak dasar yang melekat pada hakekat dan keberadaannya sebagai manusia.

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan (Pasal 2 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

Hak perempuan adalah hak asasi manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Negara, terutama pemerintah, bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia (Pasal 28I Ayat 4).

(19)

13 Sebagai bagian dari jaminan dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak perempuan, UUD Negara RI 1945 menegaskan 40 hak setiap warga negara yang dijamin Konstitusi. Secara keseluruhan, hak-hak tersebut dikategorikan ke dalam 14 rumpun, sebagaimana uraian berikut:

40 HAK KONSTITUSIONAL DALAM 14 RUMPUN I. HAK ATAS KEWARGANEGARAAN

1 Hak atas status kewarganegaraan. Ps 28 D (4)

2 Hak atas kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan. Ps 27 (1) II. HAK ATAS HIDUP

3 Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Ps 28 A, 28 I (1) 4 Hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang. Ps 28 B (2) III. HAK UNTUK MENGEMBANGKAN DIRI

5 Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya.

Ps 28 C (1) 6 Hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya

secara utuh sebagai manusia bermartabat.

Ps 28 H (3) 7 Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial.

Ps 28 F

8 Hak atas pendidikan. Ps 31

IV. HAK ATAS KEMERDEKAAN PIKIRAN & KEBEBASAN MEMILIH

9 Hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani. Ps 28 I (1) 10 Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Ps 28 E (2) 11 Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Ps 28 E (1), 29 (2) 12 Hak untuk bebas memilih pendidikan, pengajaran, pekerjaan,

kewarganegaraan, dan tempat tinggal.

Ps 28 E (1)

13 Hak atas kebebasan berserikat. Ps 28 E (3)

14 Hak untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani. Ps 28 E (2) V. HAK ATAS INFORMASI

15 Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Ps 28 F 16 Hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan

menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Ps 28 F

VI. HAK ATAS KERJA & PENGHIDUPAN LAYAK

17 Hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Ps 27 (2) 18 Hak untuk bekerja dan memperoleh imbalan dan perlakuan yang adil

dan layak dalam hubungan kerja.

Ps 28 D (2)

19 Hak untuk tidak diperbudak. Ps 28 I (1)

VII. HAK ATAS KEPEMILIKAN & PERUMAHAN

20 Hak untuk mempunyai hak milik pribadi. Ps 28 H (4)

21 Hak untuk bertempat tinggal. Ps 28 H (1)

VIII. HAK ATAS KESEHATAN & LINGKUNGAN SEHAT

22 Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin. Ps 28 H (1) 23 Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ps 28 H (1) 24 Hak untuk memperoleh layanan kesehatan. Ps 28 H (1) IX. HAK BERKELUARGA

25 Hak untuk membentuk keluarga. Ps 28 B (1)

X. HAK ATAS KEPASTIAN HUKUM & KEADILAN

26 Hak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan dan kepastian hukum yang adil.

Ps 28 D (1)

(20)

14 28 Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum. Ps 28 I (1)

XI. HAK BEBAS DARI ANCAMAN, DISKRIMINASI & KEKERASAN

29 Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Ps 28 G (1) 30 Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan

derajat martabat manusia.

Ps 28 G (2) 31 Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif. Ps 28 I (2) 32 Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Ps 28 H (2)

XII. HAK ATAS PERLINDUNGAN

33 Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.

Ps 28 G (1) 34 Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang

bersifat diskriminatif.

Ps 28 I (2) 35 Hak atas perlindungan identitas budaya dan hak masyarakat

tradisional yang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Ps 28 I (3)

36 Hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ps 28 B (2) 37 Hak untuk memperoleh suaka politik dari negara lain. Ps 28 G (2) XIII. HAK MEMPERJUANGKAN HAK

38 Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif.

Ps 28 C (2) 39 Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

pendapat.

Ps 28 XIV. HAK ATAS PEMERINTAHAN

40 Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Ps 28 D (3)

Prinsip non-diskriminasi merupakan karakter utama dari hak-hak tersebut. Setiap hak yang disebutkan dalam UUD Negara RI 1945 ditujukan kepada ‘setiap orang’–bukan kepada kelompok istimewa tertentu, bukan kepada penduduk mayoritas, dan juga bukan kepada jenis kelamin tertentu. Laki-laki dan perempuan merupakan pemilik hak yang dimaksud UUD 1945 tanpa pembedaan sama sekali.

Jaminan dan perlindungan tanpa kecuali dijabarkan secara eksplisit dalam pasal tersendiri yang menyatakan hak setiap orang untuk bebas dari diskriminasi. Konstitusi menegaskan kedudukan dan hak yang sama bagi setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dalam kehidupan bermasyarakat baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan bidang kemasyarakatan lainnya.

”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu” (Pasal 28I Ayat 2). Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan atas perlakuan diskriminatif yang dialami dan berhak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (pasal 28 H ayat 2).

Perlakuan khusus bagi perempuan dijamin dan dilindungi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada Pasal 49 Ayat 2 dan 3 dinyatakan bahwa perempuan memiliki hak khusus yang melekat pada dirinya dikarenakan fungsi reproduksinya. Perempuan juga berhak untuk

(21)

15 mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan.

Hak untuk mendapatkan kemudahan atau perlakuan khusus merupakan peluang yang disediakan Konstitusi untuk memperbaiki sistem yang diskriminatif dan memastikan hak-hak warga negara terpenuhi demi keadilan dan kesetaraan. Dengan demikian, segala bentuk diskriminasi adalah pelanggaran hak asasi manusia; oleh karena itu diskriminasi harus dihapuskan dari sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam 10 tahun Reformasi, terdapat 9 (sembilan) Undang-undang yang menjabarkan hak-hak konstitusional tersebut dan menjadi landasan hukum dalam penyusunan Strategi Nasional Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan, yakni [1] UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; [2] UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; [3] UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; [4] UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri; [5] UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; [6] UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; [7] UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan; [8] UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan [9] UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.7

Keseluruhan undang-undang tersebut menegaskan tentang hak asasi perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Perempuan memperoleh perlindungan dan jaminan pemenuhan hak-hak konstitusionalnya dari Undang-undang, baik dalam kehidupan rumah tangga, tempat bekerja, dalam keadaan bencana, maupun di dalam dan luar negeri, dan di mana saja. Jauh sebelum reformasi tiba, Indonesia juga telah mengesahkan beberapa Konvensi Internasional yang melindungi perempuan dan menjadi dasar dalam penyusunan Strategi Nasional Pemenuhan Hak Konstitusional Perempuan, yakni [1] Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita; [2] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia; [3] Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; [4] UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahaan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik; dan [5] UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

1.2.2. Permasalahan

1.2.2.1. Eksternal

1.2.2.1.1. Substansi Hukum

Meskipun nyaris seluruh Konvensi telah Indonesia ratifikasi, tidak dengan serta merta harmonisasi terjadi. Lebih dari itu, masih ada UU yang tidak harmonis dengan UUD 1945 dan amandemennya. Demikian pula ketidakharmonisan antara satu UU dengan UU lainnya, antara peraturan perundang-undangan di bawah UU dengan UU dan kebijakan yang tidak harmonis dengan peraturan perundang-undangan. Salah satu contoh adalah UU 1/PNPS/1965 yang masih berubah meskipun Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik pada tahun 2005.

(22)

16 Kepatuhan terhadap hukum juga merupakan persoalan tersendiri. Dalam kasus-kasus perempuan tak jarang ditemui aparat negara yang tidak (mau) menjalankan hukum ataupun melanggar dokumen negara seperti RAN HAM ataupun ratifikasi kovenan/konvensi. Seperti yang menjadi rekomendasi CEDAW yaitu Indonesia harus menjamin peraturan, prinsip dan konsep CEDAW diaplikasikan di hukum nasional dan daerah.

Revisi KUHP dan KUHAP yang telah bertahun-tahun dimulai tak kunjung selesai. Padahal bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, 2 dokumen ini diperlukan untuk menampung perkembangan zaman terkait hukum acara yang lebih ramah bagi perempuan. Misalnya penggunaan video conference bagi perempuan korban yang tidak berani/sanggup datang ke pengadilan. Ataupun penekanan pembuktian lebih pada silent evidence daripada mengandalkan pengakuan terdakwa atau adanya saksi yang pada umumnya sulit ditemui pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Rekomendasi Universal Periodical Review (UPR) salah satunya adalah amandemen Hukum Kriminal dan Prosedur Hukum Kriminal agar mengkriminalkan penyiksaan. Amandemen KUHP juga datang dari rekomendasi Komisioner Tinggi PBB mengenai hak asasi perempuan agar bisa ditangani di pengadilan, termasuk kasus penyiksaan seksual karena istilah ini tidak dikenal di KUHP.

Perda-perda inkonstitusional yang diskriminatif juga semakin banyak. Catatan Komnas Perempuan menunjukkan pada tahun 2014 terdapat 342 kebijakan diskriminatif. Dari jumlah tersebut sebanyak 265 kebijakan secara langsung menyasar perempuan atas nama agama dan moralitas. Dari 265 kebijakan tersebut, 76 kebijakan mengatur cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk mayoritas. 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi. 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan atas alasan moralitas; 19 diantaranya menggunakan istilah khalwat8 atau mesum. Ada pula 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam. Rekomendasi CEDAW dalam hal ini yaitu negara mencabut UU diskriminatif di level provinsi, termasuk di Aceh, yang membatasi hak perempuan dalam menjalani keseharian; ketentuan berpakaian dan membatasi pergerakan, dan mengkaji sanksi terhadap hubungan yang dituduh immoral.

Mengenai substansi hukum yang perlu diperbaiki tampak pada berbagai rekomendasi dari mekanisme HAM internasional sebagai berikut :

 Memperkuat peraturan tentang kekerasan terhadap perempuan, termasuk menghukum semua bentuk kekerasan seksual rekomendasi ICESCR

 Menghapus aturan politik dan hukum yang mendiskriminasikan status perempuan dan melanggar hak reproduksi dan seksual rekomendasi UPR

 Mengamandemen UU 23/2004 dan Hukum Pidana dengan menjelaskan dan mengkriminalkan perkosaan dalam pernikahan rekomendasi CEDAW

 Mengkaji ulang UU Perkawinan terkait dengan kehidupan keluarga, yakni melarang poligami, menentukan usia minimum pernikahan yakni 18 tahun, meninggalkan perbedaan peran antara laki-lai dan perempuan dalam rumah tangga, melindungi pernikahan beda agama, menjamin hak waris yang setara bagi perempuan, baik anak maupun pasangan dan menyediakan pernikahan sipil kepada semua perempuan rekomendasi CEDAW

 Mengkaji UU 8/2012 tentang partai politik dengan menjamin setidaknya 1 dari 3 kandidat ada di daftar pemilih adalah perempuan rekomendasi CEDAW.

 Mengadopsi draf UU pekerja rumah tangga dan menjamin memasukkan upah minimum, lebmur, regulasi jumlah kerja per hari, keamanan sosial, hak untuk bergerak dan mengakses informasi rekomendasi CEDAW.

(23)

17  Mencabut regulasi Menteri Kesehatan bulan November 2010 (No.1636/MENKES/PER/XI/2010) yang mengharuskan “sunat perempuan” dilakukan oleh praktisi medis, serta mengembalikan Surat Edaran Dirjen Pelayanan Kesehatan dari Kementerian Kesehatan yang melarang praktik “sunat perempuan”, serta mengkriminalkan segala bentuk FGM, termasuk sunat perempuan, dan memberi sanksi bagi pelaku (CEDAW)

1.2.2.1.2. Sistem Peradilan sebagai mekanisme pemenuhan hak

Secara umum kelemahan sistem peradilan membawa masalah pada penanganan kasus kekerasan yang korbannya adalah perempuan. Misal kelemahan dalam sistem penyelidikan, penyidikan dan penuntutan kasus pelanggaran berat HAM dalam UU Pengadilan HAM. Mengenai pelanggaran HAM berat tampak dari rekomendasi CEDAW yaitu Indonesia perlu mengadopsi draf UU mengenai pembentukan komisi rekonsiliasi dan kebenaran nasional untuk bisa menerima aduan dan menginvestigasi pelanggaran HAM berat.

Tetapi banyak pula persoalan spesifik perempuan korban tentang akses lembaga peradilan. Minimnya Ruang Pelayanan Khusus di kepolisian merupakan persoalan krusial yang dialami perempuan korban di luar kota besar. Demikian pula dengan eksekusi putusan terkait hak perempuan seperti pada kasus penelantaran anak.

Peradilan militer juga merupakan sistem yang masih menyulitkan bagi perempuan korban. Informasi perkara yang sulit didapatkan, adanya atasan yang berhak menghukum hingga belum adanya standar penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah sebagian dari masalah tersebut.

Pada level pemulihan melalui judicial review, mekanisme yang tertutup di MA membuatnya tidak akuntabel dan terpercaya. Pemohon dan termohon tidak dimintai keterangan serta tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan bukti tertulis, saksi dan ahli. Padahal uu mensyaratkan seluruh putusan harus dibacakan dalam sidang yang terbuka. Oleh karena ini, uji materil peraturan perundang-undangan di bawah UU merupakan titik lemah dalam pemenuhan hak korban.

Adapun mekanisme yang telah sangat transparan di Mahkamah Konstitusi, di sisi lain tidak memiliki jalur individual complaint. Akibatnya orang yang merasa terlanggar hak konstitusionalnya tetapi tidak terkait dengan UU, tidak memiliki mekanisme pemulihan.

1.2.2.1.3. Sistem pemulihan

Sistem pemulihan mulai dari penyediaan layanan kesehatan, sistem pemulangan bagi korban dan P2TP2A masih perlu dioptimalkan. Semakin jauh dari pusat kota semakin minim sistem pemulihan ini bekerja. Padahal perempuan korban tidak sedikit yang berasal dari daerah jauh ini. Hal ini juga menjadi perhatian komite ECOSOC yaitu Indonesia perlu mengambil langkah-langkah untuk menjamin akses pemulihan bagi korban, termasuk di area terpencil.

Rekomendasi lain komite ini adalah perlunya mengalokasikan sumberdaya finansial di level kabupaten dan provinsi untuk efektifitas dari Standar Pelayanan Minimum dan mempercepat pendirian shelter bagi korban kekerasan. Juga memperbaiki koordinasi institusional dan monitoring dari rencana implementasi Standar Pelayanan Minimum (ICESCR)

Permasalahan kultur penegak hukum tergambar dari berbagai rekomendasi mekanisme HAM intenasional khususnya CEDAW yaitu perlunya pelatihan bagi hakim tentang CEDAW, termasuk pengadilan agama, untuk membangun budaya hukum yang berdasarkan prinsip non diskriminasi berdasarkan seks dan memberi pelatihan pada hakim, jaksa, aparat penegak hukum mengenai KtP.

(24)

18 Adapun ICESCR merekomendasikan perlunya peningkatan kesadaran diantara aparat penegak hukum mengenai kekerasan terhadap perempuan dan kepada publik yang lebih luas tentang kampanye zero tolerance kepada kekerasan.

1.2.2.1.4. Kondisi perempuan

a. Buruh migran perempuan (termasuk PRT migran)

Sebagian besar buruh migran Indonesia adalah perempuan dan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga. PRT memiliki keretanan yang berlipat karena tempat bekerja mereka di ruang privat sehingga rentan terhadap kekerasan dan sangat tergantung dari majikan untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari. Kerentanan ini ironisnya berbanding terbalik dengan perlindungan pemerintah. PRT termasuk yang paling dieksploitasi karena termasuk pekerja yang bekerja pada perseorangan dan harus kembali ke Indonesia untuk memperpanjang kontrak padahal rantai kekerasan salah satunya berada di titik-titik kepulangan.

Saat ini pemerintah mendorong perempuan bekerja di luar negeri dengan program ____. Tanpa perlindungan maka ini sama dengan menempatkan perempuan pada situasi kekerasan.

Berdasarkan data BNP2TKI, di tahun 2013 sebanyak 44.087 pekerja migran Indonesia kembali ke tanah air dalam kondisi menghadapi masalah, baik perselisihan hubungan kerja, pelanggaran dan kekerasan. Adapan 10 besar jenis masalah yang dihadapi oleh pekerja migran antara lain :

Jenis Kasus Jumlah

PHK Sepihak 8.366

Sakit akibat Kerja 2.167

Gaji tidak dibayar 1.242

Masalah pada majikan sehingga putus hubungan kerja

3.231

Dokumen tidak lengkap 1.146

Penganiayaan dan penyiksaan 975

Pekerjaan tidak sesuai kontrak kerja 694

Kekerasan Seksual 481

Kembali dalam keadaan Hamil & membawa anak 300

Kecelakaan kerja 142

Berdasarkan data Kementrian Luar Negeri, jumlah pekerja migran yang terancam hukuman mati sebanyak 418 orang WNI. Terdiri dari 156 perempuan dan Hingga saat ini upaya-upaya bantuan hukum dan perlindungan untuk membebaskan pekerja migran dari hukuman mati dilakukan oleh Kementrian Luar negeri. Pada 2013, sebanyak 170 orang pekerja migran bebas dari ancaman hukuman mati, terdiri dari 66 perempuan dan 104. Negara yang terbanyak membebaskan adalah Malaysia 98 orang, terdiri dari 13 perempuan dan 85 laki-laki. Kemudian kerajaan Arab Saudi 46 orang, terdiri dari 35 perempuan dan 11 laki-laki. Malaysia 98 orang. Cina 22 orang, terdiri 14 perempuan dan 8 orang laki-laki. Iran dan Singapura, masing-masing 2 perempuan.

Sementara itu, masih terdapat 248 orang yang masih terancam hukuman mati, tersebar di 8 negara, dengan komposisi sebagai berikut :

Negara Perempuan Laki-laki Total

Malaysia 35 144 179

(25)

19 Cina 17 3 20 Singapura 3 1 4 Brunei 1 - 1 Iran 1 - 1 Thailand 1 - 1

Uni Emirat Arab 1 - 1

Total 89 159 248

Adapun rekomendasi CEDAW untuk isu adalah perlunya mengembangkan kesepakatan dan MoU dengan negara2 dimana Indonesia mengirimkan tenaga kerja dan membentuk mekanisme di Negara tujuan untuk menangani pelanggaran HAM perempuan selama bekerja. Selain itu Indonesia perlu melihat persoalan terkait dengan resiko eksploitasi pekerja migran yang tidak terlatih, penahanan paspor dan hutang-hutang mereka dengan agen yang merekrut.

Indonesia juga perlu memperkuat inspeksi dari agen yang merekrut dan pusat melatihan untuk mengawasi pelanggaran HAM, mendorong hukuman bagi perusahaan yang gagal menghormati hak pekerja yang direkrutnya, menangkap dan menghukum orang-orang yang melakukan proses rekrutmen illegal, termasuk pelaku perdagangan perempuan pekerja migrant untuk buruh paksa dan eksploitasi seksual.

UPR (Universal Periodic Review)/ RPU (Riview Periodik Universal) merekomendasikan Indonesia menyediakan bantuan hukum bagi pekerja migran.

b. Perempuan pekerja (non migran)

Dalam keluarga dengan tingkat pendapatan rendah, perempuan bekerja menjadi kebutuhan. Karena tidak adanya pembagian peran maka perempuan pekerja ini mendapat beban berkali-kali lipat karena memiliki kewajiban di rumah tangga selain pekerjaan di luar rumah. Jenis pekerjaan mereka beragam mulai PRT, nelayan perempuan, buruh tani, buruh kebun, buruh jasa, petani perempuan dan lain-lain. Pada umumnya mereka memiliki tingkat kesehatan yang rendah, rentan kekerasan dan mengalami diskriminasi seperti upah atau kondisi kerja lain.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2008 jumlah PRT mencapai 2 Juta orang; 12% diantaranya merupakan PRT anak dan 90% adalah perempuan. Sementara itu berdasarkan hasil Rapid Assesment yang dilakukan oleh LSM JALA PRT, jumlah PRT diperkirakan mencapai 16.117.331 orang.

Kerentanan terhadap perbudakan dapat terlihat dari jam kerja yang panjang, upah rendah bahkan banyak kasus tidak dibayar dan tidak ada standard pengupahan yang jelas, beban kerja berlapis, hambatan untuk berkomunikasi, bersosialisasi, bermobilitas dan bersosialisasi.

c. Perempuan dengan orientasi seksual dan identitas gender yang didiskriminasi

Perempuan dengan orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi berbeda rentan mengalami kekerasan. Hak atas pekerjaan, kesehatan dan hak lainnya juga terlanggar semata karena identitas, orientasi dan ekspresi ini.

Pada tahun 2013 ada 49 kasus ke lembaga pengada layanan yang kemudian mengirim pengaduan ke Komnas Perempuan, dan ada 2 kasus yang langsung datang ke Komnas Perempuan. Jenis kekerasan yang dialami LBT antara lain penganiayaan dan pembunuhan waria, kekerasan fisik, seksual dan psikis, ekonomi, didiskriminasi dan dikriminalisasi.

(26)

20 Perempuan yang menjadi bagian masyarakat adat mengalami kekerasan berlapis. Baik dari pihak di luar masyarakat adat maupun dari komunitas adat itu sendiri. Masih banyak adat yang yang menomorduakan perempuan dalam pengambilan keputusan. Sedangkan pelepasan tanah masyarakat adat secara manipulatif atau sewenang-wenang membuat perempuan masyarakat adat kehilangan sumber penghidupannya.

Diskriminasi juga dialami perempuan masyarakat adat terkait agama/keyakinan mereka. Meskipun UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menegaskan prinsip non diskriminasi dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan dan mewajibkan setiap warga negara untuk mencatatkan peristiwa penting dalam hidupnya (kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian; bagi yang tidak melakukan pencatatan dapat dikenai sanksi denda), pada kenyataannya tidak semua orang dapat menikmati pelayanan yang setara.

Perempuan penghayat dan penganut agama leluhur mengadukan bahwa mereka mendapatkan perlakuan berbeda; mereka tidak dapat mencantumkan apa yang diyakini di dalam kartu tanda penduduk, melainkan kolom yang dikosongkan atau diberi tanda strip (-) ataupun diminta untuk memilih salah satu dari agama yang tersedia. Akibat dari isian kartu tanda penduduk yang berbeda, mereka kerap tidak dapat mengakses layanan publik lainnya karena dianggap tidak beragama ataupun berpaham komunis -keduanya dilarang oleh negara-, ataupun belum beragama.

Perempuan penghayat dan penganut agama leluhur juga melaporkan bahwa prasyarat pencatatan perkawinan menyebabkan mereka diperlakukan berbeda dalam hal penikmatan hak berorganisasi. Mereka wajib berorganisasi sebab pencatatan perkawinannya hanya dapat dilakukan jika dinyatakan sah oleh pemimpin keyakinannya yang telah mendaftarkan organisasi keyakinan itu ke pemerintah. Padahal agama leluhur kerap tidak mengenal bentuk organisasi yang dimaksudkan negara untuk dapat didaftarkan, juga tidak semua penghayat atau penganut agama leluhur menjadi bagian dari organisasi yang didaftarkan itu. Jika mereka tidak dapat mencatatkan perkawinannya maka perempuan (dan anak) yang dilahirkan dari perkawinan tersebut akan kehilangan perlindungan hukum serta, karena akte anak haya akan menyebutkan nama ibu maka perempuan akan menyandang sitgma sebagai bukan perempuan baik karena memiliki anak di luar pernikahan.

e. Perempuan korban kejahatan masa lalu9

Yang utama bagi korban kejahatan masa lalu adalah pelurusan sejarah. Pengakuan adalah basis dari pemenuhan hak-hak lainnya. Berbagai pelanggaran menimpa korban antara lain terusir dari tempat tinggalnya sehingga tidak lagi memiliki rumah. Perempuan korban kejahatan masa lalu memiliki persoalan yang khas daripada korban peristiwa sama yang laki-laki antara lain

 Status keperdataan anak orang hilang

 Kekerasan seksual termasuk perbudakan seksual, perkosaan, pelecehan dan lain-lain  Kekerasan di tempat tahanan

 Status anak luar kawin dengan bapak aparat yang ditugaskan negara di wilayah konflik

Pemberantasan terorisme juga menyisakan persoalan terhadap istri dan anak yang tak jarang tidak mengetahui aktivitas suami/bapaknya. Mereka mengalami stigma dan diskriminasi sehingga mempengaruhi penghidupannya.

f. Perempuan disabilitas

9

Istilah ini hanya sementara hingga ditemukan yang lebih tepat. Berdasarkan hasil konsultasi publik, diusulkan menggunakan istilah lain karena masa lalu berkonotosi kejahatan ini tidak berpengaruh terhadap kehidupan masa kini dan tidak perlu diselesaikan lagi. Beberap istilah yang bisa diusulkan untuk mengganti adalah : konflik, keamanan.

Referensi

Dokumen terkait

status gizi, pendidikan ibu, keberadaan ibu saat bekerja; kebiasaan balita dibawa ke dapur saat memasak, status faktor pencemaran dalam rumah, penggunaan bahan hakar kayu,

Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel sistem informasi akuntansi persediaan terhadap pengendalian

1) Pengetahuan, yang merupakan tipe hasil belajar yang paling rendah. Yang termasuk dalam aspek pengetahuan adalah pengetahuan faktual dan pengetahuan hafalan

Kompleksitas algoritma ini memang sangat mengagumkan yaitu O(n) jadi jika algoritma greedy ini berhasil menemukan solusi maka algoritma ini merupakan algoritma yang paling cepat

Berdasarkan hasil analisis menggunakan rumus Wilcoxon matc pair ini menjawab rumusan masalah di dalam penelitian bahwa, ada pengaruh yang signifikan dalam

Artinya setiap penambahan pakan sebesar satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 0,901 persen, penambahan tenaga kerja sebesar satu persen akan meningkatkan

pembelajaran sehingga tidak mem- bosankan. Persentase kemampuan ilmiah tidak 100% dikarenakan oleh kondisi kelas yang kurang kondusif. Kelas kurang kondusif

Penelitian terdahulu peneliti mengimplementasi kan pendidikan kewirausahaan dalam strategi pemasaran yang dilakukan pada sebuah unit produksi agribisnis hasil pertanian di SMKN 2