TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar ( Ipomoea Batatas L )
2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep diatas, tepung ubi jalar ungu dan tepung rumput laut akan diolah menjadi kue kukus. Kue kukus tersebut yang akan diukur IG-nya terlebih dahulu dianalisis profil gizinya yaitu karbohidrat, protein, lemak, betakaroten, dan serat kasar. Setelah diketahui kandungan karbohidratnya, relawan yang bersedia menjadi subjek penelitian diberikan kue kukus tersebut yang mengandung 50 gram karbohidrat kemudian diukur nilai indeks glikemiknya dengan melihat rata – rata kenaikan kadar glukosa darah pada menit ke 0 (sebelum diberikan pangan uji), 15, 30, 45, 60, 90, 120 yang dibandingkan dengan pangan acuan berupa roti putih atau white bread.
kandungan karbohidrat, lemak, protein, betakaroten,
dan serat kasar) kue kukus Pemanfaatan tepung ubi jalar
dan tepung rumput laut dalam pembuatan kue kukus
Nilai indeks glikemik kue kukus
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Masalah gizi adalah gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang, kelompok orang atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidakseimbangan antara asupan ( intake ) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi penyakit ( infeksi ). Ketidakseimbangan ini dapat mengakibatkan gizi kurang maupun gizi lebih ( Cakrawati & Mustika, 2012 ). Masalah gizi merupakan masalah global yang terjadi di sebagian besar belahan dunia termasuk Indonesia. Pada saat ini, Indonesia masih menghadapi masalah gizi ganda yaitu kurang dan gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurangnya higiene sanitasi lingkungan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan. Sebaliknya, masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan (Almatsier, 2009).
Berdasarkan laporan WHO ( 2012 ), sebanyak 2,8 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit obesitas dan diabetes. Menurut Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa untuk prevalensi gizi lebih diperoleh sebesar 13,5 % dan obesitas sebesar 15,4 %. Berdasarkan laporan WHO, Indonesia menempati urutan ke empat terbesar dari jumlah penderita diabetes melitus dengan prevalensi 8,6% dari total penduduk sedangkan posisi urutan diatasnya yaitu India, China, dan Amerika Serikat dan WHO memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan ( RISKESDAS ) tahun 2013 menyebutkan terjadi peningkatan prevalensi pada penderita Diabetes Melitus yang diperoleh berdasarkan wawancara yaitu 1,1 % pada tahun 2007 menjadi 1,5 % pada tahun 2013 sedangkan prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter atau gejala pada tahun 2013 sebesar 2,1 % dengan prevalensi terdiagnosis dokter tertinggi pada daerah Sulawesi Tengah ( 3,7% ), dan paling rendah pada daerah Jawa Barat ( 0,5 % ).
Salah satu cara dalam penatalaksanaan permasalahan gizi lebih maupun gizi kurang adalah dengan cara pengaturan makan atau diet yang dapat dilakukan melalui jumlah dan jenis karbohidrat yang tepat dengan menggunakan konsep Indeks glikemik. Menurut Rimbawan dan Siagian ( 2004 ), konsep indeks glikemik ( IG ) menekankan pada pentingnya mengenal pangan ( karbohidrat ) berdasarkan kecepatannya menaikkan kadar glukosa darah setelah pangan tersebut dikonsumsi. Memilih makanan dengan IG rendah secara tidak langsung berarti mengonsumsi makanan yang beraneka ragam. Oleh karena itu, pengaturan diet dan pemilihan makanan dengan konsep IG juga mendukung upaya penganekaragaman
Konsep IG berguna untuk membina kesehatan, mencegah obesitas, mengurangi risiko penyakit degeneratif dan memilih pangan untuk berolahraga. Pangan yang memiliki IG rendah bermanfaat bagi orang yang sedang menurunkan
berat badan dan bagi penyandang diabetes melitus agar dapat mengontrol kadar glukosa darah sehingga tidak meningkat secara drastis. Pangan yang memiliki IG tinggi bermanfaat untuk menunjang penampilan dan daya tahan diet (Rimbawan & Siagian, 2004)
Semakin rendah penyerapan karbohidrat, semakin rendah kadar glukosa darah. Kandungan serat yang tinggi dalam makanan akan mempunyai IG yang rendah sehingga dapat memperpanjang pengosongan lambung yang dapat menurunkan sekresi insulin dan kadar kolesterol total dalam tubuh. Salah satu bahan pangan tinggi serat adalah ubi jalar. Ubi jalar memiliki berbagai varietas dimana secara umum dibedakan menurut warna umbinya yaitu ubi jalar merah, kuning, dan ungu. Kandungan karbohidrat utama ubi jalar adalah pati, yang terdiri dari 30 -40% amilosa.Ubi jalar memiliki indeks glikemik (IG) rendah (48) jika dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya seperti beras (58), kentang (82), jagung (57), dan oats (66) (Magee,2014). Konsumsi pangan tinggi serat, amilosa, dan IG rendah mampu memperbaiki sensitivitas insulin, menurunkan laju penyerapan glukosa, serta bermanfaat dalam pengendalian glukosa darah sehingga dapat menurunkan risiko komplikasi pada penderita diabetes melitus.
Indonesia menempati posisi kedua di Asia dalam produksi ubi jalar dengan rata – rata produksi per tahun 2.132.322 ton ( 2,57 persen terhadap rata – rata produksi Asia ) ( FAOSTAT, 2013 ). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mary Ann Lila dan Mary Grace dari North Carolina State’s Plants for Human Health Institute menemukan bahwa ubi jalar adalah makanan pokok urutan keenam di dunia (Magee, 2014). Ubi jalar mengandung karbohidrat,
protein, lemak, asam fenolat, vitamin, serat, beta karoten, dan antosianin. Berdasarkan Direktorat Gizi Depkes RI (1993), diantara jenis – jenis ubi jalar, ubi jalar ungu lebih unggul kandungan gizinya dalam hal fosfor (49 mg ), vitamin A (7700 IU), betakaroten (9900 mkg ), antosianin (110, 51 mg), dan protein (180 gr).
Ubi jalar ungu merupakan salah satu jenis umbi – umbian yang memiliki aktivitas antioksidan. Selain memiliki IG yang rendah, ubi jalar ungu baik dikonsumsi penderita diabetes karena tingginya kandungan antioksidan. Penelitian menyebutkan bahwa senyawa antosianin di dalam ubi jalar ungu memiliki kemampuan sebagai antidiabetes, yaitu dapat menurunkan gula darah, menghambat produksi radikal bebas, meningkatkan sekresi insulin, dan mencegah resistensi insulin ( Jawi et al, 2008 ). Senyawa antioksidan lainnya yang dikandung didalam ubi jalar ungu selain antosianin adalah Vitamin A dan betakaroten.
Penelitian yang pernah dilakukan Verdayanti ( 2009 ) mengemukakan bahwa bahan aktif antidiabetes dapat berupa zat – zat seperti asam askorbat, fiber, betakaroten, riboflavin, tiamin dan niasin. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sedarnawati Yasni dan Sri Widowati ( 2010 ) yang mengemukakan bahwa terjadi penurunan kadar glukosa darah sekitar 66% pada tikus diabetes yang diberikan cookies dimana bahan bakunya adalah pati ubi jalar ungu.
Pemanfaatan ubi jalar yang pernah dilakukan adalah pati ubi jalar. Pati ubi jalar dapat digunakan dalam pembuatan pudding, industry bakery, pengental saus, dan yang lainnya. Penggunaan tepung ubi jalar sebagai bahan baku
pembuatan kue bisa mencapai 100 persen. Pada pembuatan cake dan cookies, penggunaan ubi jalar bisa mengurangi kebutuhan gula sampai 20 persen (Aini, 2004). Tidak hanya dapat dimanfaatkan dalam bentuk pati, namun ubi jalar juga dapat dimanfaatkan menjadi keripik ubi jalar dan es krim.
Bolu kukus adalah merupakan jenis makanan populer. Rasanya yang manis dan bentuknya yang beragam menjadikannya digemari oleh masyarakat. Pada perkembangannya, banyak variasi bolu kukus yang menggunakan bahan baku selain tepung terigu. Kondisi ini dapat menjadi sarana untuk mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu. Bahan lain yang dapat digunakan sebagai pengganti tepung terigu adalah tepung ubi jalar ungu. Kandungan karbohidrat tepung ubi jalar ungu sekitar 83,81 % , serat (4,72%) dan protein (2,79%) (Djami, 2007).
Untuk memperkaya kandungan serat dalam kue kukus ini, dalam proses pembuatannnya ditambahkan tepung rumput laut. Dalam kurun waktu 2007 – 2013, produksi rumput laut hasil budidaya di Indonesia mengalami kenaikan rata – rata sebesar 112,94 %. Kandungan serat makanan tidak larut dalam rumput laut sebanyak 58, 6 % dan kandungan serat makanan larut 10,7 % sehingga total serat makanan sebanyak 69,3% ( Santoso et al, 2003). Tidak hanya kandungan seratnya yang unggul namun rumput laut mengandung asam lemak omega – 3 dan omega – 6 dalam jumlah yang cukup tinggi. Dalam 100 gram rumput laut kering mengandung asam lemak omega – 3 berkisar 128 – 1.629 mg dan asam lemak omega -6 berkisar 188 -1.704 mg (Winarno, 1990).
Selain ditinjau dari total produksi dan kandungan gizi rumput laut, Menurut laporan penelitian Ratnawati (2012), nilai IG nasi dengan penambahan tepung agar – agar (94,1) lebih rendah dibandingkan nilai IG nasi putih (110,8).
Komposisi bahan kue kukus ini adalah tepung ubi jalar 50%, tepung terigu 47,5%, dan tepung rumput laut 2,5%, telur, gula , TBM, dan soda kue. Berdasarkan uji organoleptik dalam penelitian Hasan (2014) bahwa presentase penggunaan tepung rumput laut maksimum adalah 7,5% dan apabila persentase tersebut ditambah maka tekstur kue akan menjadi lebih lembek.