• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,10 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.11 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu

10

M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

11

kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.12 Oleh karena itu dalam membahas kewajiban yuridis mengubah akta yayasan pendidikan dengan berlakunya UU BHP digunakan suatu teori sebagai pisau analisis yaitu teori kekayaan bertujuan.

Teori kekayaan bertujuan sebagaimana dikemukakan Brinz, hanya manusia dapat menjadi subjek hukum. Karena itu, badan hukum bukan subjek hukum dan hak-hak yang diberi kepada suatu badan hukum pada hak-hakikatnya hak-hak-hak-hak dengan tiada subjek hukum.13

Teori ini mengemukakan bahwa kekayaan badan hukum itu tidak terdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung hak-hak tersebut, manusia). Kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya (onpersoonlijk/subjectloos). Di sini yang penting bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan tersebut diurusi dengan tujuan tertentu. Karena itu, menurut teori ini tidak peduli manusia atau bukan, tidak peduli kekayaan itu merupakan hak-hak yang normatif atau bukan, pokoknya adalah tujuan dari kekayaan tersebut. Singkatnya, apa yang disebut hak-hak badan hukum, sebenarnya hak-hak tanpa subjek hukum, karena itu sebagai penggantinya adalah kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan.14

Teori kekayaan bertujuan dikaitkan dengan kedudukan yayasan sebagaimana dikemukakan oleh Chatamarrasjid Ais berikut:15

12

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

13

Brinz dalam Chidir Ali, Badan Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2005, hal. 34.

14

Ibid., hal. 34-35.

15

Teori kekayaan bertujuan yang mulanya diajukan oleh Brinz. Menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum. Akan tetapi, merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tidak ada satu manusia pun yang menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang dinamakan hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai gantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan yang dimiliki oleh tujuan tertentu. Pada Yayasan tujuan itu adalah bersifat idealistis, sosial dan kemanusiaan. Teori ini secara selintas mendukung pula pandangan bahwa yayasan adalah milik masyarakat.

Pengakuan yayasan sebagai badan hukum yang berarti sebagai subyek hukum mandiri seperti halnya orang, secara teoritis dalam kenyataannya hanya didasarkan antara lain karena adanya kekayaan terpisah, tidak membagi kekayaan atau penghasilannya kepada pendiri atau pengurusnya, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai organisasi yang teratur, didirikan dengan akta notaris.16 Ciri demikian memang cocok dengan ciri-ciri badan hukum pada umumnya, yaitu: adanya kekayaan terpisah, adanya tujuan tertentu, adanya kepentingan sendiri dan adanya organisasi yang teratur.17

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan), maka yayasan telah diakui sebagai badan hukum privat, yang berarti diakui sebagai subyek hukum mandiri yang terlepas dari kedudukan subyek hukum para pendiri atau pengurusnya. Sebagai subyek hukum mandiri berarti yayasan dapat menyandang hak dan kewajiban, dapat menjadi debitur maupun kreditur, dengan kata

16

Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hal. 70.

17

Nindyo Pramono, Sertifikat Saham pt. Go Publik dan Hukum Pasar Modal di Indonesia, Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 24.

lain yayasan dapat melakukan hubungan hukum apapun dengan pihak ketiga. Kapan yayasan itu menjadi badan hukum menurut undang-undang yayasan adalah sejak akta pendiriannya yang dibuat dihadapan notaris disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Menurut Pasal 1 butir 1 UU Yayasan, yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

Dari ketentuan Pasal 1 UU Yayasan ini maka status badan hukum yang semula diperoleh dari sistem terbuka penentuan suatu badan hukum (het Open systeem van rehtspersonen) beralih berdasarkan sistem tertutup (de Gesloten systeem van Rechtspersonen). Artinya, sekarang yayasan menjadi badan hukum karena undang-undang atau berdasarkan undang-undang-undang-undang, bukan berdasarkan sistem terbuka, yang berlandaskan pada kebiasaan, doktrin, dan ditunjang oleh yurisprudensi.18

Yayasan dalam memperoleh status badan sebagaimana disebutkan Pasal 11 UU Yayasan:

(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), memperoleh pengesahan dari Menteri.

(2) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Notaris yang membuat akta pendirian Yayasan tersebut.

(3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyampaikan permohonan pengesahan kepada Menteri dalam jangka waktu paling

18

lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani.

(4) Dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

(5) Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menyampaikan jawaban dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima. (6) Permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan dikenakan biaya yang

besarnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Dari ketentuan Pasal 11 UU Yayasan di atas, bahwa wewenang untuk mengesahkan suatu yayasan sebagai badan hukum berada di tangan Menteri Hukum dan HAM. Di samping itu dinyatakan bahwa Notaris wajib menyampaikan permohonan untuk menjadi badan hukum tersebut. Hal ini mungkin disebabkan pada masa lalu banyak yayasan dengan sengaja tidak mengajukan permohonan untuk menjadi badan hukum.19

Permohonan pengesahan sebagai badan hukum diatur dalam Pasal 12 UU Yayasan:

(1) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), diajukan secara tertulis kepada Menteri.

(2) Pengesahan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

(3) Dalam hal diperlukan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban atas permintaan pertimbangan dari instansi terkait diterima.

(4) Dalam hal jawaban atas permintaan pertimbangan tidak diterima, pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan disampaikan kepada instansi terkait.

19

Kemudian secara tegas dinyatakan dalam Pasal 13A UU Yayasan, bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengurus atas nama Yayasan sebelum Yayasan memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab Pengurus secara tanggung renteng.

UU Yayasan memberikan kesempatan kepada Yayasan untuk melakukan kegiatan usaha, sebagaimana terlihat dalam Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 8 berikut ini:

Pasal 3 UU Yayasan:

(1) Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.

(2) Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas.

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan: ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung, tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain di mana yayasan menyertakan kekayaannya.

Jelas terlihat dari ketentuan di atas, bahwa kegiatan usaha yayasan adalah untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya, yaitu suatu tujuan yang bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Hal ini mengakibatkan seseorang yang menjadi organ yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor tetap. Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) di atas lebih mempertegas bahwa kegiatan usaha

dimaksud adalah untuk tujuan-tujuan yayasan dan bukan untuk kepentingan organ yayasan.20

Pasal 7 UU Yayasan:

(1) Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.

(2) Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.

(3) Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

Kemudian dalam Pasal 8 UU Yayasan disebutkan kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 8 disebutkan kegiatan usaha dari badan usaha yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan.

Ketentuan di dalam pasal-pasal di atas menghapuskan kontroversi apakah yayasan boleh melakukan kegiatan usaha (termasuk pendidikan) atau mendirikan badan usaha. Dalam hubungan ini yayasan dapat melakukan kegiatan usaha atau lebih tegas dapat melakukan kegiatan usaha yang memperoleh laba, tetapi mengejar laba bukanlah tujuannya. Kegiatan dengan tujuan mengejar laba haruslah tidak

20

diperbolehkan memilih bentuk badan hukum yayasan, tetapi bentuk badan hukum lain yang tersedia untuk maksud mengejar laba, seperti perseroan terbatas umpamanya.21 Yayasan boleh memperoleh laba dengan melakukan berbagai kegiatan usaha, baik dengan menjadi peserta dari suatu badan usaha maupun dengan mendirikan suatu badan usaha baru, sesuai dengan ketentuan dalam UU Yayasan.

Organ Yayasan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU Yayasan adalah terdiri dari:

a. Pembina b. Pengurus c. Pengawas.

Pembina adalah organ yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh undang-undang atau anggaran dasar, yang mempunyai kewenangan sebagai berikut:

a. keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;

b. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas; c. penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan; d. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan

e. penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan (Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU Yayasan)

Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota

21

Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Dalam hal Yayasan karena sebab apapun tidak lagi mempunyai Pembina, paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal kekosongan, anggota Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat Pembina (Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan).

Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum, dan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas (Pasal 31 UU Yayasan).

Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Pengawas yang wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar. Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum. Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus (Pasal 40 UU Yayasan).

Dengan demikian dari uraian di atas terlihat bahwa Yayasan adalah suatu badan hukum yang keberadaannya telah diakui oleh undang-undang untuk menyelenggarakan suatu badan usaha termasuk di dalamnya dalam penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi sejak diberlakukannya UU BHP maka Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan formal harus menyesuaikan tata kelola pendidikan sesuai dengan ketentuan UU BHP.

Pasal 2 dan Pasal 3 UU BHP menyatakan, Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik, yang bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.

Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan sesuai Pasal 4 UU BHP didasarkan pada prinsip:

a. Otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik; b. Akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung

jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

c. Transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan;

d. Penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan;

e. Layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik;

f. Akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya;

g. Keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya;

h. Keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan; dan i. Partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku

kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara.

Jenis badan hukum pendidikan diatur dalam Pasal 5 UU BHP, yaitu:

a. BHP Penyelenggara, merupakan jenis badan hukum pendidikan pada penyelenggara, yang menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih satuan pendidikan formal.

b. Badan hukum pendidikan satuan pendidikan, merupakan jenis badan hukum pendidikan pada satuan pendidikan formal.

Bentuk badan hukum pendidikan diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU BHP yang terdiri atas:

a. Badan Hukum Pendidikan Pusat (BHPP)

BHPP didirikan oleh Pemerintah dengan peraturan pemerintah atas usul Menteri. b. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD)

BHPPD didirikan oleh pemerintah daerah dengan peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota.

c. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM).

BHPM didirikan oleh masyarakat dengan akta notaris yang disahkan oleh Menteri.

Selanjutnya sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 9 UU BHP, maka bagi Yayasan yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP Penyelenggara, yang dapat menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan, ataupun BHP Penyelenggara dapat mengubah bentuk satuan pendidikannya menjadi BHP Masyarakat.

1. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.22 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.23 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.24

b. Badan hukum pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal.25

c. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah yang selanjutnya disebut BHPP adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh Pemerintah. 26

d. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut BHPPD adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh pemerintah daerah.27

22

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.

23

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35

24

Pasal 1 angka 1 UU Yayasan.

25 Pasal 1 angka 1 UU BHP. 26 Pasal 1 angka 2 UU BHP. 27 Pasal 1 angka 3 UU BHP.

e. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yang selanjutnya disebut BHPM adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh masyarakat.28

f. Badan hukum pendidikan penyelenggara, yang selanjutnya disebut BHP Penyelenggara adalah yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan.29

g. Pendiri adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang mendirikan badan hukum pendidikan.30

h. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia non-pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.31

i. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal.32

j. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.33

k. Organ badan hukum pendidikan adalah unit organisasi yang menjalankan fungsi badan hukum pendidikan, baik secara sendiri maupun bersama sama, sesuai dengan tujuan badan hukum pendidikan.34

28 Pasal 1 angka 4 UU BHP. 29 Pasal 1 angka 5 UU BHP. 30 Pasal 1 angka 6 UU BHP. 31 Pasal 1 angka 7 UU BHP. 32 Pasal 1 angka 8 UU BHP. 33 Pasal 1 angka 9 UU BHP. 34 Pasal 1 angka 10 UU BHP.

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait