• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewajiban Yuridis Menyesuaikan Akta Yayasan Pendidikan Dengan Berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kewajiban Yuridis Menyesuaikan Akta Yayasan Pendidikan Dengan Berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

KEWAJIBAN YURIDIS MENYESUAIKAN AKTA YAYASAN

PENDIDIKAN DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

BADAN HUKUM PENDIDIKAN

TESIS

Oleh

ROSNIATY SIREGAR

087011173/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEWAJIBAN YURIDIS MENYESUAIKAN AKTA YAYASAN

PENDIDIKAN DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

BADAN HUKUM PENDIDIKAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

ROSNIATY SIREGAR

087011173/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : KEWAJIBAN YURIDIS MENYESUAIKAN AKTA YAYASAN PENDIDIKAN DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN Nama Mahasiswa : Rosniaty Siregar

Nomor Pokok :

087011173

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

( Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N) Ketua

( Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn) Anggota

(Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum) Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) (Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 27 Januari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N

Anggota : 1. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.

2. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum

3. Hj. Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn.

(5)

ABSTRAK

Sejak berlakunya UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) pada tanggal 16 Januari 2009, maka penyelenggara pendidikan formal harus dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP), dan Yayasan yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan telah diakui status badan hukumnya sesuai UU Yayasan dapat diakui sebagai BHP Penyelenggara dengan melakukan penyesuaian akta pendirian/ anggaran dasar tentang tata kelola pendidikan Yayasan sesuai dengan tata kelola BHP. Selain itu, adanya ketentuan pemisahan harta kekayaan Yayasan untuk penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang ketentuan penyesuaian akta Yayasan dan proses penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP, serta hambatan dalam penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis secara pendekatan yuridis normatif tentang kewajiban yuridis penyesuaian akta yayasan pendidikan dengan berlakunya UUBHP dengan melakukan wawancara kepada narasumber yaitu: Notaris dan Pengelola Yayasan Pendidikan di Kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Yayasan yang diakui status badan hukumnya tetap dapat menyelenggarakan pendidikan sebagai BHP Penyelenggara tetapi harus menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai dengan tata kelola BHP paling lambat 6 (enam) tahun sejak UU BHP diundangkan, yaitu selambat-lambatnya pada tanggal 16 Januari 2015. Sedangkan Yayasan yang tidak diakui status badan hukumnya harus mendirikan BHPM baru untuk menyelenggarakan pendidikan. Proses penyesuaian Akta Yayasan sebagai BHP Penyelenggara menurut UU BHP dilakukan Yayasan dengan menyusun Rancangan Perubahan Akta Pendirian/Anggaran Dasar untuk tata kelola pendidikan sesuai tata kelola BHP yang dikonsultasikan dengan Notaris untuk membuat aktanya, dan rancangan perubahan itu disampaikan Yayasan kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk mendapat persetujuan. Apabila disetujui maka Yayasan mengubah akta pendirian di hadapan Notaris dan akta itu dikirim kembali ke Menteri Pendidikan Nasional dan juga kepada Menteri Hukum dan HAM dalam kaitan pemberitahuan perubahan akta pendirian Yayasan. Hambatan yang ditemui Yayasan dalam penyesuaian adalah adanya ketentuan kekayaan terpisah dari harta Yayasan sebagai BHP Penyelenggara maupun sebagai BHPM tetapi tidak secara tegas diatur jumlah harta kekayaan yang harus dipisahkan, sehingga jumlah harta kekayaan yang dipisahkan tergantung dari kemampuan keuangan Yayasan dengan memperhatikan dan mengkaji keperluan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Demikian juga halnya mengenai pengalihan kekayaan Yayasan yang bubar atau dibubarkan kepada pihak ketiga. Selain itu, Yayasan pendidikan yang hanya memiliki izin operasional dari Dikti Depdiknas dan ketika terbitnya UU Yayasan juga tidak disahkan ke Departemen Hukum dan HAM. tidak dapat menjadi BHP Penyelenggara.

Perlu ada kebijakan pemerintah tentang keberadaan Yayasan pendidikan atas dasar izin operasional dari Dikti Depdiknas tetapi belum disahkan badan hukumnya untuk menjadi BHP Penyelenggara, dan segera diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang harta kekayaan yang dipisahkan Yayasan dalam menyelenggarakan pendidikan dan peralihan harta Yayasan yang dibubarkan. Kemudian Notaris dapat berperan mensosialisasikan UU BHP dan pihak Yayasan penyelenggara pendidikan segera menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai tata kelola BHP.

(6)

ABSTRACT

Since the effectiveness of Act Number 9 of 2009 about Education Legal Entity (Act on BHP) on 16 January 2009, the implementation of formal education has to be in the Education Legal Entity (BHP) and the Foundation that has implemented the formal education and recognized of the legal entity status according to the Act of Foundation can be recognized to be BHP of Implementation by making adjustment of the article of establishment of the management of education according to the management of BHP. In addition, the regulation of separation of property of the Foundation for implementation of education. Therefore, a study of the adjustment of the article association of Foundation and the adaptation process of article association according to the Act on BHP and the challenges in adjustment of the article association of Foundation for implementation of education according to the Act on BHP

The present study is a descriptive analysis using juridical normative approach regarding the juridical obligation of adjustment of the article association of Foundation based on the effectiveness of Act on BHP by making an interview to the informant such as Notary and the management of Education Foundation in Medan City.

The result of the study showed that the Foundation recognized of the legal entity status stay can implement the education as the executive but the statutes should be adjusted no longer than 6 (six) years since the Act on BHP or no more than 16 January 2015. Whereas the foundation without recognition of the legal entity status has to establish a new BHPM for education implementation. The adjustment process of the Article Association of Foundation as the BHP according to the Act on BHP should be done by the Foundation by preparing the draft change of the article association of establishment for education management according to the management procedures of BHP consulted to the Notary for preparation of the article association and the draft should be subjected to the State Minister of Education for acceptance. When it is accepted, the Foundation changes the article association of establishment in the presence of Notary and the article association is subjected again to the State Minister and also to the State Minister of Law and Human Rights related to the change in the article association of establishment of the Foundation.

The governmental policy is required of the existence of the education foundation based on the operational license issued by the Directorate General of Department of Education but still not accepted the corporate for the executive of Implementation and immediately the issuance of the Governmental rule about the property separated by the Foundation for implementation of education and the transfer of the property of the disposed Foundation. And then the notary can plays role to socialize the Act on BHP and the Foundation immediately adjust the statutes of BHP management.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan ridhoNya telah dapat diselesaikan penulisan Tesis dengan judul “KEWAJIBAN YURIDIS MENYESUAIKAN AKTA YAYASAN PENDIDIKAN DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG BHP” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada dosen komisi pembimbing, yang terhormat Bapak

Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., Bapak Notaris Syahril Sofyan,

S.H., M.Kn dan Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku dosen

pembimbing, juga kepada dosen penguji Ibu Hj. Chairani Bustami, S.H., Sp.N.,

M.Kn., dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S., atas bimbingan dan

arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Chairrudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

(8)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf yang memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

6. Kepada semua rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat disebut satu persatu dalam kebersamaannya mulai masa studi sampai pada penulisan dan penyelesaian tesis ini.

Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis Ayahanda (alm) H. Abdul Rifai Siregar dan Ibunda Hj. Rostinah Lubis yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis, demikian juga kepada suami tercinta (alm)

H. Zairin Lubis, S.H., serta anak-anakku Annisa Diah Kumalasari Lubis, S.H.,

Muhammad Hilal Kesuma Negara Lubis, S.E., Aminah Pratiwi Lubis, S.H., dan

Muhammad Faiz Lubis. yang menjadi motivasi bagi penulis mulai masa pendidikan

(9)

Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, 27 Januari 2010

Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Rosniaty Siregar

Tempat/ Tgl. Lahir : Medan, 29 Juni 1953 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jln. Monginsidi No. 70 Medan.

II. Orang Tua

Nama Ayah : H. Abdul Rifai Siregar (Alm) Ibu : Hj. Rostinah Lubis

III. Pekerjaan

Notaris / PPAT Kota Medan

III. Pendidikan

1. SD Antonius Medan Tamat Tahun 1965 2. SMP Putri Cahaya Medan Tamat Tahun 1968 3. SMA Negeri I Medan Tamat Tahun 1971 4. S-1 Fakultas Hukum USU Tamat Tahun 1978

5. Spesialis PPSN USU Tamat Tahun 1989

6. S-2 Pascasarjana USU Program Magister Kenotariatan Tamat Tahun 2010

Medan, 27 Januari 2010

Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR SKEMA... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 24

G. Metode Penelitian ... 26

BAB II. KETENTUAN TENTANG PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UU BHP ... 29

A. Yayasan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004... 29

(12)

1. Tata Kelola Badan Hukum Pendidikan Menurut UU

BHP ... 58

2. Penyesuaian Tata Kelola Yayasan Dalam Menyelenggarakan Pendidikan sebagai BHP Penyelenggara sesuai Tata Kelola BHP ... 64

3. Yayasan Membentuk BHPM Baru ... 69

BAB III. PROSES PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN MENURUT UU BHP .... 71

A. Substansi Perubahan Anggaran Dasar Yayasan BHP Penyelenggara Sesuai Tata Kelola BHP di Hadapan Notaris 71 B. Tahapan Pengakuan dan Pengesahan Menteri ... 79

BAB IV. HAMBATAN DALAM PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN MENURUT UU BHP... 84

A. Pemisahan dan Pengalihan Kekayaan Yayasan Penyelenggara Pendidikan Menurut UU BHP ... 84

1. Pemisahan Kekayaan Yayasan Dalam Bidang Pendidikan Formal Sebagai BHP Penyelenggara dan Yang Mendirikan BHPM... 84

2. Pengalihan Kekayaan Yayasan Bubar/Dibubarkan Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan Formal ke BHPM.. 89

B. Yayasan Belum Siap Melakukan Perubahan Tata Kelola Pendidikan Sesuai Ketentuan UU BHP ... 95

C. Upaya Sosialisasi UU BHP... 105

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 112

A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 113

(13)

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 1 Struktur Manajemen Penyelenggara Perguruan Tinggi (BHPM Satuan Pendidikan) ... 62 Skema 2 Struktur Manajemen Penyelenggara Dasar dan atau

Menengah (BHPM Satuan Pendidikan) ... 63 Skema 3. Struktur Organ Dalam Kegiatan Penyelenggaraan

Pendidikan Menurut UU Yayasan dan UU BHP ... 67 Skema 4. Prosedur PenyesuaianAnggaran Dasar Yayasan tentang

(14)

ABSTRAK

Sejak berlakunya UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) pada tanggal 16 Januari 2009, maka penyelenggara pendidikan formal harus dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP), dan Yayasan yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan telah diakui status badan hukumnya sesuai UU Yayasan dapat diakui sebagai BHP Penyelenggara dengan melakukan penyesuaian akta pendirian/ anggaran dasar tentang tata kelola pendidikan Yayasan sesuai dengan tata kelola BHP. Selain itu, adanya ketentuan pemisahan harta kekayaan Yayasan untuk penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu dilakukan pengkajian tentang ketentuan penyesuaian akta Yayasan dan proses penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP, serta hambatan dalam penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis secara pendekatan yuridis normatif tentang kewajiban yuridis penyesuaian akta yayasan pendidikan dengan berlakunya UUBHP dengan melakukan wawancara kepada narasumber yaitu: Notaris dan Pengelola Yayasan Pendidikan di Kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Yayasan yang diakui status badan hukumnya tetap dapat menyelenggarakan pendidikan sebagai BHP Penyelenggara tetapi harus menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai dengan tata kelola BHP paling lambat 6 (enam) tahun sejak UU BHP diundangkan, yaitu selambat-lambatnya pada tanggal 16 Januari 2015. Sedangkan Yayasan yang tidak diakui status badan hukumnya harus mendirikan BHPM baru untuk menyelenggarakan pendidikan. Proses penyesuaian Akta Yayasan sebagai BHP Penyelenggara menurut UU BHP dilakukan Yayasan dengan menyusun Rancangan Perubahan Akta Pendirian/Anggaran Dasar untuk tata kelola pendidikan sesuai tata kelola BHP yang dikonsultasikan dengan Notaris untuk membuat aktanya, dan rancangan perubahan itu disampaikan Yayasan kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk mendapat persetujuan. Apabila disetujui maka Yayasan mengubah akta pendirian di hadapan Notaris dan akta itu dikirim kembali ke Menteri Pendidikan Nasional dan juga kepada Menteri Hukum dan HAM dalam kaitan pemberitahuan perubahan akta pendirian Yayasan. Hambatan yang ditemui Yayasan dalam penyesuaian adalah adanya ketentuan kekayaan terpisah dari harta Yayasan sebagai BHP Penyelenggara maupun sebagai BHPM tetapi tidak secara tegas diatur jumlah harta kekayaan yang harus dipisahkan, sehingga jumlah harta kekayaan yang dipisahkan tergantung dari kemampuan keuangan Yayasan dengan memperhatikan dan mengkaji keperluan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Demikian juga halnya mengenai pengalihan kekayaan Yayasan yang bubar atau dibubarkan kepada pihak ketiga. Selain itu, Yayasan pendidikan yang hanya memiliki izin operasional dari Dikti Depdiknas dan ketika terbitnya UU Yayasan juga tidak disahkan ke Departemen Hukum dan HAM. tidak dapat menjadi BHP Penyelenggara.

Perlu ada kebijakan pemerintah tentang keberadaan Yayasan pendidikan atas dasar izin operasional dari Dikti Depdiknas tetapi belum disahkan badan hukumnya untuk menjadi BHP Penyelenggara, dan segera diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang harta kekayaan yang dipisahkan Yayasan dalam menyelenggarakan pendidikan dan peralihan harta Yayasan yang dibubarkan. Kemudian Notaris dapat berperan mensosialisasikan UU BHP dan pihak Yayasan penyelenggara pendidikan segera menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai tata kelola BHP.

(15)

ABSTRACT

Since the effectiveness of Act Number 9 of 2009 about Education Legal Entity (Act on BHP) on 16 January 2009, the implementation of formal education has to be in the Education Legal Entity (BHP) and the Foundation that has implemented the formal education and recognized of the legal entity status according to the Act of Foundation can be recognized to be BHP of Implementation by making adjustment of the article of establishment of the management of education according to the management of BHP. In addition, the regulation of separation of property of the Foundation for implementation of education. Therefore, a study of the adjustment of the article association of Foundation and the adaptation process of article association according to the Act on BHP and the challenges in adjustment of the article association of Foundation for implementation of education according to the Act on BHP

The present study is a descriptive analysis using juridical normative approach regarding the juridical obligation of adjustment of the article association of Foundation based on the effectiveness of Act on BHP by making an interview to the informant such as Notary and the management of Education Foundation in Medan City.

The result of the study showed that the Foundation recognized of the legal entity status stay can implement the education as the executive but the statutes should be adjusted no longer than 6 (six) years since the Act on BHP or no more than 16 January 2015. Whereas the foundation without recognition of the legal entity status has to establish a new BHPM for education implementation. The adjustment process of the Article Association of Foundation as the BHP according to the Act on BHP should be done by the Foundation by preparing the draft change of the article association of establishment for education management according to the management procedures of BHP consulted to the Notary for preparation of the article association and the draft should be subjected to the State Minister of Education for acceptance. When it is accepted, the Foundation changes the article association of establishment in the presence of Notary and the article association is subjected again to the State Minister and also to the State Minister of Law and Human Rights related to the change in the article association of establishment of the Foundation.

The governmental policy is required of the existence of the education foundation based on the operational license issued by the Directorate General of Department of Education but still not accepted the corporate for the executive of Implementation and immediately the issuance of the Governmental rule about the property separated by the Foundation for implementation of education and the transfer of the property of the disposed Foundation. And then the notary can plays role to socialize the Act on BHP and the Foundation immediately adjust the statutes of BHP management.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan Yayasan dalam hukum di Indonesia sudah diakui sebagai badan hukum sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (selanjutnya ditulis UU Yayasan). Namun demikian aturan perundang-undangan yang mengatur entitas yayasan dalam hal menyelenggarakan pendidikan terusik kembali sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), pada tanggal 16 Januari 2009, maka bentuk yayasan sebagai badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal harus melakukan penyesuaian atas ketentuan undang-undang badan hukum pendidikan, yang tentunya hal ini menjadi masalah baru bagi yayasan itu sendiri, baik terhadap status maupun struktur (organ) yayasan itu sendiri.

(17)

dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.1

Kedudukan yayasan sebagai badan hukum secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 butir 1 UU Yayasan, bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Kedudukan yayasan sebagai badan hukum ini sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (1) adalah setelah akta pendirian yayasan memperoleh pengesahan dari Menteri.

Berbeda dengan lazimnya suatu Yayasan sebelum lahirnya UU Yayasan, di mana organ yayasan terdiri dari Pendiri, Pengurus dan kadang-kadang ada Pengawas internal, maka setelah diterbitkannya UU Yayasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus dan Pengawas.

Susanto, dkk., mengemukakan:

Dengan keluarnya UU Yayasan eksistensi Yayasan sebagai entitas hukum privat tidak perlu dipermasalahkan lagi atau tidak perlu diragukan lagi. Ia adalah badan hukum privat yang sudah mempunyai landasan yuridis yang kuat. Yayasan pada hakekatnya adalah kekayaan yang dipisahkan yang oleh undang-undang diberi status badan hukum. Ia adalah subjek hukum seperti halnya orang. Oleh karena itu ia bukan orang sungguhan, maka diperlukan organ agar ia bisa berfungsi seperti yang sungguhan. Organ itu yang disebut Pembina, Pengawas dan Pengurus. Analog dengan hukum PT, Kedudukan Dewan Pembina itu sama halnya dengan RUPS, Pengawas itu sama halnya dengan Komisaris, dan Pengurus itu sama halnya dengan Direksi.2

1

Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan, Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 8.

2

(18)

Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk mencapai maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Akan tetapi yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.3

Kegiatan usaha dari badan usaha yayasan harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegiatan usaha dari badan usaha yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan.4 Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), maka dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 UU BHP satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat harus berbentuk badan hukum pendidikan.

Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik. Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.5

3

Pasal 3 UU Yayasan.

4

Penjelasan Pasal 8 UU Yayasan.

5

(19)

Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.6

Reformasi pendidikan menetapkan prinsip penyelenggaraan pendidikan, antara lain:

a. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, dan

b. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.7

Prinsip ini sesuai dengan yang diamanatkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) perlunya pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Untuk mewujudkan amanat tersebut, Pasal 53 UU Sisdiknas mewajibkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik yang

6

Pasal 4 ayat (1) UU BHP.

7

(20)

bersifat nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

Pengaturan badan hukum pendidikan merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan sehingga memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik. Walaupun demikian, masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan, pengendalian mutu, dan penyiapan dana pendidikan. Oleh karena itu penyelenggara pendidikan formal seperti yayasan yang telah ada sebelum pemberlakuan UU BHP ini tetap diakui dan dilindungi untuk mengoptimalkan peran sertanya dalam pengembangan pendidikan nasional. Akan tetapi, Yayasan itu harus mengikuti tata kelola penyelenggaraan pendidikan sesuai ketentuan dalam UU BHP.

Dalam Pasal 5 UU BHP disebutkan:

(1) Jenis badan hukum pendidikan terdiri atas BHP Penyelenggara dan badan hukum pendidikan satuan pendidikan.

(2) BHP Penyelenggara merupakan jenis badan hukum pendidikan pada penyelenggara, yang menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih satuan pendidikan formal.

(3) Badan hukum pendidikan satuan pendidikan merupakan jenis badan hukum pendidikan pada satuan pendidikan formal.

(21)

jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

UU BHP memberikan suatu pilihan kepada Yayasan yang telah diakui sebagai badan hukum pendidikan penyelenggara yaitu:

1. Yayasan sebagai BHP Penyelenggara tidak perlu mengubah bentuknya untuk jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasarnya dan harus menyesuaikan tata kelolanya sesuai dengan tata kelola dalam UU BHP dalam jangka waktu paling lambat 6 tahun sejak berlakunya UU BHP dengan cara mengubah anggaran dasarnya tanpa mengubah bentuk yayasan (Pasal 67 ayat (2) UU BHP).

2. Yayasan sebagai BHP Penyelenggara dapat mengubah bentuknya menjadi BHP Masyarakat.

Sesuai dengan Pasal 67 UU BHP, Yayasan yang telah menyelenggarakan pendidikan formal sebelum berlakunya UU BHP, tetap diakui sebagai BHP Penyelenggara yang mengelola satu atau lebih Satuan Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah atau Pendidikan Tinggi, sepanjang izin penyelenggara Pendidikan formal masih berlaku atau belum dicabut oleh Pejabat yang berwenang.

(22)

tersebut tidak memenuhi syarat sebagai Badan Hukum, permasalahan tersebut dapat dikontruksikan sebagai berikut:

Ada penyelenggara satuan pendidikan dalam bentuk Yayasan, dan ternyata Yayasan tersebut tidak memenuhi syarat ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Yayasan juncto Angka 20 Undang-undang Perubahan Yayasan juncto Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008. Meskipun dalam hal penyelenggaraan satuan pendidikannya Yayasan, dan berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU BHP bisa diakui sebagai BHP Penyelenggara, tapi dari aspek ke-badan hukum-an belum mendapat status sebagai badan hukum berdasarkan Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.8

Yayasan seperti dikemukakan di atas harus bubar atau dibubarkan, tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan dimaksud dalam Pasal 68 UU Yayasan, yaitu asset Yayasan tersebut yang harus dialihkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan sama, misalnya Yayasan pendidikan formal maka harus dialihkan juga kepada Yayasan pendidikan formal. Dengan kata lain yayasan yang dapat menjadi BHP Penyelenggara hanya yayasan telah diakui keberadaan badan hukumnya, yaitu telah disahkan sesuai Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Sedangkan bagi yayasan yang belum diakui sebagai badan hukum yang telah menyelenggarakan pendidikan maka tidak dapat menjadi BHP Penyelenggara, tetapi untuk dapat tetap

8

(23)

menyelenggarakan pendidikan adalah dengan membentuk Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM).

Yayasan yang bubar atau dibubarkan tersebut wajib membuat Tim Likuidator. Kepada Tim Likuidator dapat diberi wewenang untuk mengalihkan atau akan mengalihkan asset Yayasan tersebut kepada BHPM yang akan dibuat kemudian sebagai kekayaan awal BHPM. Tidak jadi masalah Tim Likuidator oleh Pembina, Pengawas, Pengurus Yayasan yang bubar atau dibubarkan tersebut diamanatkan dapat mengalihkan assetnya ke Yayasan mana saja yang telah berbadan hukum, yang penting Yayasan tersebut mempunyai maksud dan tujuan yang sama, atau akan menjadi masalah jika Yayasan yang bubar atau dibubarkan tersebut tidak ingin mengalihkan assetnya kepada Yayasan lain yang telah berbadan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan Yayasan yang bubar atau dibubarkan tersebut, tapi, misalnya, ingin mengalihkan kepada BHPM yang dibentuk oleh mantan (orang-perorangan) anggota Pembina, Pengawas, Pengurus, artinya sebelum Yayasan dilikuidasi, mantan (orang-perorangan) anggota Pembina, Pengawas, Pengurus terlebih dahulu mendirikan BHPM dengan maksud untuk menampung asset Yayasan tersebut, dan kewenangan tersebut dicantumkan sebagai kewenangan Tim Likuidator. Permasalahan tersebut dengan kata lain yaitu dapatkah Yayasan tersebut mengalihkan assetnya kepada BHPM? Dalam kaitan ini, baik UU Yayasan dan UU BHP tidak mengatur permasalahan tersebut.9

9

(24)

Yayasan sebagai badan hukum dalam penyelenggaraan pendidikan harus melakukan penyesuaian tata kelola pendidikan sesuai dengan ketentuan UU BHP, dalam arti Yayasan yang sudah berjalan walaupun tetap dapat menyelenggarakan pendidikan tetapi ada batasan waktu untuk kemudian harus disesuaikan anggaran dasarnya sesuai ketentuan UU BHP. Dalam melakukan perubahan penyesuaian anggaran dasarnya menjadi BHP Penyelenggara ini, maka harus dipertimbangkan yang berkaitan dengan masalah struktur organisasinya, karena berbeda Organ Yayasan dengan organ yang diharuskan dalam UU BHP. Oleh karena dalam UU Yayasan, organ yayasan hanya terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas, sedangkan dalam tata kelola BHP menurut UU BHP mempunyai Organ Representasi Pemangku Kepentingan (ORPK), Organ Representasi Pendidik (ORP), Organ Audit Non-Akademik (OANA) dan Organ Pengelola Pendidikan, sehingga dalam penyelenggaraan badan hukum pendidikan ada perubahan mendasar yang harus diterima oleh Yayasan.

(25)

seperti kursus-kursus tetap dapat diselenggarakan oleh Yayasan tanpa perubahan menjadi badan hukum pendidikan. Selain itu, bagi Yayasan yang telah bubar/dibubarkan sesuai ketentuan Pasal 71 UU Yayasan, maka untuk tetap dapat menyelenggarakan adalah dengan membentuk BHPM baru.

Badan Hukum Pendidikan (BHP) mempunyai kekayaan yang terpisah dari pendirinya, sehingga Yayasan yang mendirikan BHPM wajib memisahkan harta kekayaan Yayasan untuk pendidikan sesuai tata kelola BHP. Akan tetapi untuk Yayasan yang selama ini didirikan hanya untuk menyelenggarakan pendidikan saja maka dalam menyesuaikan tata kelola menjadi BHP Penyelenggara tidak perlu ada pemisahan kekayaan, kecuali untuk Yayasan yang mempunyai bidang usaha selain pendidikan maka harus dipisahkan.

Ketentuan tentang pemisahan kekayaan Yayasan dalam melaksanakan pendidikan sesuai dengan BHP adalah sebagai upaya UU BHP agar dicapai dalam suatu pelaksanaan pendidikan yang mandiri, sehingga hasil dari penyelenggaraan pendidikan dapat digunakan untuk memajukan pelaksanaan pendidikan itu. Hanya saja UU BHP tidak secara tegas mengatur mengenai jumlah kekayaan yang harus dipisahkan oleh Yayasan sebagai BHP Penyelenggara maupun dalam mendirikan BHPM.

(26)

telah mengatur hal tersebut bahwa yayasan pendidikan adalah sebagai badan hukum nirlaba. Keberadaan ini mengakibatkan terjadinya gugatan-gugatan (judicial review) terhadap pasal-pasal dari UU BHP ke Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Kewajiban Yuridis Menyesuaikan Akta Yayasan Pendidikan Dengan Berlakunya Undang-Undang BHP”

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan tentang penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan setelah berlakunya UU BHP?

2. Bagaimana proses penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP?

3. Bagaimana hambatan dalam penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP?

C. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

(27)

2. Untuk menjelaskan proses penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP.

3. Untuk menjelaskan hambatan dalam penyesuaian akta Yayasan penyelenggara pendidikan menurut UU BHP

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya tentang perubahan akta yayasan pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan serta menambah khasanah perpustakaan.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari perubahan akta yayasan pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, khususnya para Notaris dan pengelola Yayasan Pendidikan, para akademisi, praktisi hukum, pengacara, mahasiswa dan masyarakat umum.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Perpustakaan Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU, penelitian dengan judul “Kewajiban Yuridis Mengubah Akta Yayasan Pendidikan Dengan Berlakunya Undang-Undang BHP” belum pernah dilakukan.

(28)

1. Haryanto Gunawan, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2002, dengan judul “Perspektif Hukum dan Manajerial Yayasan Sesuai Dengan UU Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 (Studi Kasus Pada Yayasan Amurt)”.

2. Rafika Bahtiar, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2005, dengan judul “ Kajian UU No.30 Tahun 2004 Terhadap Aktivitas Notaris Pada Pendirian Yayasan Sebagai Badan Hukum Non Komersil (Penelitian Pada Kantor Notaris di Kota Medan)”.

3. Jagjit Singh, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2007, dengan judul “Tinjauan Hukum Yayasan Keagamaan Hindu Sikh Di Sumatera Utara Sebagai Badan Hukum Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001”.

Namun jika diperhadapkan penelitian yang telah dilakukan tersebut dengan penelitian ini maka berbeda materi dan pembahasan yang dilakukan. Oleh sebab itu, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,10 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.11 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu

10

M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

11

(29)

kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.12 Oleh karena itu dalam membahas kewajiban yuridis mengubah akta yayasan pendidikan dengan berlakunya UU BHP digunakan suatu teori sebagai pisau analisis yaitu teori kekayaan bertujuan.

Teori kekayaan bertujuan sebagaimana dikemukakan Brinz, hanya manusia dapat menjadi subjek hukum. Karena itu, badan hukum bukan subjek hukum dan hak-hak yang diberi kepada suatu badan hukum pada hak-hakikatnya hak-hak-hak-hak dengan tiada subjek hukum.13

Teori ini mengemukakan bahwa kekayaan badan hukum itu tidak terdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung hak-hak tersebut, manusia). Kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya (onpersoonlijk/subjectloos). Di sini yang penting bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan tersebut diurusi dengan tujuan tertentu. Karena itu, menurut teori ini tidak peduli manusia atau bukan, tidak peduli kekayaan itu merupakan hak-hak yang normatif atau bukan, pokoknya adalah tujuan dari kekayaan tersebut. Singkatnya, apa yang disebut hak-hak badan hukum, sebenarnya hak-hak tanpa subjek hukum, karena itu sebagai penggantinya adalah kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan.14

Teori kekayaan bertujuan dikaitkan dengan kedudukan yayasan sebagaimana dikemukakan oleh Chatamarrasjid Ais berikut:15

12

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

13

Brinz dalam Chidir Ali, Badan Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2005, hal. 34.

14

Ibid., hal. 34-35.

15

(30)

Teori kekayaan bertujuan yang mulanya diajukan oleh Brinz. Menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum. Akan tetapi, merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tidak ada satu manusia pun yang menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang dinamakan hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai gantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan yang dimiliki oleh tujuan tertentu. Pada Yayasan tujuan itu adalah bersifat idealistis, sosial dan kemanusiaan. Teori ini secara selintas mendukung pula pandangan bahwa yayasan adalah milik masyarakat.

Pengakuan yayasan sebagai badan hukum yang berarti sebagai subyek hukum mandiri seperti halnya orang, secara teoritis dalam kenyataannya hanya didasarkan antara lain karena adanya kekayaan terpisah, tidak membagi kekayaan atau penghasilannya kepada pendiri atau pengurusnya, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai organisasi yang teratur, didirikan dengan akta notaris.16 Ciri demikian memang cocok dengan ciri-ciri badan hukum pada umumnya, yaitu: adanya kekayaan terpisah, adanya tujuan tertentu, adanya kepentingan sendiri dan adanya organisasi yang teratur.17

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan), maka yayasan telah diakui sebagai badan hukum privat, yang berarti diakui sebagai subyek hukum mandiri yang terlepas dari kedudukan subyek hukum para pendiri atau pengurusnya. Sebagai subyek hukum mandiri berarti yayasan dapat menyandang hak dan kewajiban, dapat menjadi debitur maupun kreditur, dengan kata

16

Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hal. 70.

17

(31)

lain yayasan dapat melakukan hubungan hukum apapun dengan pihak ketiga. Kapan yayasan itu menjadi badan hukum menurut undang-undang yayasan adalah sejak akta pendiriannya yang dibuat dihadapan notaris disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Menurut Pasal 1 butir 1 UU Yayasan, yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

Dari ketentuan Pasal 1 UU Yayasan ini maka status badan hukum yang semula diperoleh dari sistem terbuka penentuan suatu badan hukum (het Open systeem van rehtspersonen) beralih berdasarkan sistem tertutup (de Gesloten systeem van Rechtspersonen). Artinya, sekarang yayasan menjadi badan hukum karena undang-undang atau berdasarkan undang-undang-undang-undang, bukan berdasarkan sistem terbuka, yang berlandaskan pada kebiasaan, doktrin, dan ditunjang oleh yurisprudensi.18

Yayasan dalam memperoleh status badan sebagaimana disebutkan Pasal 11 UU Yayasan:

(1) Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), memperoleh pengesahan dari Menteri.

(2) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Notaris yang membuat akta pendirian Yayasan tersebut.

(3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyampaikan permohonan pengesahan kepada Menteri dalam jangka waktu paling

18

(32)

lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani.

(4) Dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

(5) Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menyampaikan jawaban dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima. (6) Permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan dikenakan biaya yang

besarnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Dari ketentuan Pasal 11 UU Yayasan di atas, bahwa wewenang untuk mengesahkan suatu yayasan sebagai badan hukum berada di tangan Menteri Hukum dan HAM. Di samping itu dinyatakan bahwa Notaris wajib menyampaikan permohonan untuk menjadi badan hukum tersebut. Hal ini mungkin disebabkan pada masa lalu banyak yayasan dengan sengaja tidak mengajukan permohonan untuk menjadi badan hukum.19

Permohonan pengesahan sebagai badan hukum diatur dalam Pasal 12 UU Yayasan:

(1) Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), diajukan secara tertulis kepada Menteri.

(2) Pengesahan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

(3) Dalam hal diperlukan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban atas permintaan pertimbangan dari instansi terkait diterima.

(4) Dalam hal jawaban atas permintaan pertimbangan tidak diterima, pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan disampaikan kepada instansi terkait.

19

(33)

Kemudian secara tegas dinyatakan dalam Pasal 13A UU Yayasan, bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengurus atas nama Yayasan sebelum Yayasan memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab Pengurus secara tanggung renteng.

UU Yayasan memberikan kesempatan kepada Yayasan untuk melakukan kegiatan usaha, sebagaimana terlihat dalam Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 8 berikut ini:

Pasal 3 UU Yayasan:

(1) Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.

(2) Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas.

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan: ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung, tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain di mana yayasan menyertakan kekayaannya.

(34)

dimaksud adalah untuk tujuan-tujuan yayasan dan bukan untuk kepentingan organ yayasan.20

Pasal 7 UU Yayasan:

(1) Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.

(2) Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.

(3) Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

Kemudian dalam Pasal 8 UU Yayasan disebutkan kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 8 disebutkan kegiatan usaha dari badan usaha yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan.

Ketentuan di dalam pasal-pasal di atas menghapuskan kontroversi apakah yayasan boleh melakukan kegiatan usaha (termasuk pendidikan) atau mendirikan badan usaha. Dalam hubungan ini yayasan dapat melakukan kegiatan usaha atau lebih tegas dapat melakukan kegiatan usaha yang memperoleh laba, tetapi mengejar laba bukanlah tujuannya. Kegiatan dengan tujuan mengejar laba haruslah tidak

20

(35)

diperbolehkan memilih bentuk badan hukum yayasan, tetapi bentuk badan hukum lain yang tersedia untuk maksud mengejar laba, seperti perseroan terbatas umpamanya.21 Yayasan boleh memperoleh laba dengan melakukan berbagai kegiatan usaha, baik dengan menjadi peserta dari suatu badan usaha maupun dengan mendirikan suatu badan usaha baru, sesuai dengan ketentuan dalam UU Yayasan.

Organ Yayasan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU Yayasan adalah terdiri dari:

a. Pembina b. Pengurus c. Pengawas.

Pembina adalah organ yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh undang-undang atau anggaran dasar, yang mempunyai kewenangan sebagai berikut:

a. keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;

b. pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas; c. penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan; d. pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan

e. penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan (Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU Yayasan)

Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota

21

(36)

Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Dalam hal Yayasan karena sebab apapun tidak lagi mempunyai Pembina, paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal kekosongan, anggota Pengurus dan anggota Pengawas wajib mengadakan rapat gabungan untuk mengangkat Pembina (Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan).

Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum, dan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas (Pasal 31 UU Yayasan).

Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Pengawas yang wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar. Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum. Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus (Pasal 40 UU Yayasan).

(37)

Pasal 2 dan Pasal 3 UU BHP menyatakan, Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik, yang bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi.

Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan sesuai Pasal 4 UU BHP didasarkan pada prinsip:

a. Otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik; b. Akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung

jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

c. Transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan;

d. Penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan;

e. Layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik;

f. Akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya;

g. Keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya;

h. Keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan; dan i. Partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku

(38)

Jenis badan hukum pendidikan diatur dalam Pasal 5 UU BHP, yaitu:

a. BHP Penyelenggara, merupakan jenis badan hukum pendidikan pada penyelenggara, yang menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih satuan pendidikan formal.

b. Badan hukum pendidikan satuan pendidikan, merupakan jenis badan hukum pendidikan pada satuan pendidikan formal.

Bentuk badan hukum pendidikan diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU BHP yang terdiri atas:

a. Badan Hukum Pendidikan Pusat (BHPP)

BHPP didirikan oleh Pemerintah dengan peraturan pemerintah atas usul Menteri. b. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD)

BHPPD didirikan oleh pemerintah daerah dengan peraturan gubernur atau peraturan bupati/walikota.

c. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM).

BHPM didirikan oleh masyarakat dengan akta notaris yang disahkan oleh Menteri.

(39)

1. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.22 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.23 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.24

b. Badan hukum pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal.25

c. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah yang selanjutnya disebut BHPP adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh Pemerintah. 26

d. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut BHPPD adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh pemerintah daerah.27

22

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.

23

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35

(40)

e. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yang selanjutnya disebut BHPM adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh masyarakat.28

f. Badan hukum pendidikan penyelenggara, yang selanjutnya disebut BHP Penyelenggara adalah yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan.29

g. Pendiri adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang mendirikan badan hukum pendidikan.30

h. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia non-pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.31

i. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal.32

j. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.33

k. Organ badan hukum pendidikan adalah unit organisasi yang menjalankan fungsi badan hukum pendidikan, baik secara sendiri maupun bersama sama, sesuai dengan tujuan badan hukum pendidikan.34

(41)

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan35 tentang kewajiban yuridis mengubah akta yayasan pendidikan dengan berlakunya UU BHP. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut Undang-Undang Yayasan dan Undang-Undang BHP dan peraturan pelaksanaannya. Jadi, sifat penelitian ini adalah juridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.36

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.37 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:

1) Undang-Undang Dasar 1945.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

35

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63.

36

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.13

37

(42)

4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

5) Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

6) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan 7) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Yayasan

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang terkait dengan masalah penelitian.

c. Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan masalah penelitian.

3. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

a. Studi Dokumen yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, berupa dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berkaitan kewajiban yuridis mengubah akta yayasan pendidikan dengan berlakunya Undang-Undang BHP.

b. Wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara yang menggunakan pedoman wawancara (interview guide) untuk mendapatkan data primer dari nara sumber yang telah ditentukan, yaitu:

1) Notaris di Kota Medan, sebanyak 5 (lima) orang.

(43)

41

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan nara sumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan

diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang

sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran

dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai

kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah

dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan

diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik

kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif.

Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang

diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan

(44)

BAB II

KETENTUAN TENTANG PENYESUAIAN AKTA YAYASAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UU BHP

A. Yayasan Ditinjau dari Undang Nomor 16 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

1. Sejarah Undang-Undang Yayasan

a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

Kegiatan atas nama amal, bersedekah, dan berderma untuk keperluan sosial dan kemanusiaan yang dilakukan lembaga nirlaba modern tidak menutup kemungkinan terjadinya penyelewengan atau penyalahgunaan. Oleh karena itu perlu ada standar etika, aturan baku, dan hukum yang tegas dan jelas yang mengatur masalah ini tanpa mengurangi semangat filantropis yang ada pada masyarakat. Diharapkan pengaturan atau berbagai bentuk regulasi terhadap organisasi nirlaba itu, termasuk yayasan, akan dapat mendorong semangat filantropisme tersebut karena pada akhirnya aktivitas itu akan bermuara pada kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.38

Kalau dipelajari secara seksama keberadaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut terlihat adanya keinginan pemerintah untuk mengendalikan ataupun sekurang-kurangnya memonitor kegiatan yayasan di masa yang akan datang. Berbagai kasus penyalahgunaan yayasan selama ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan pengaturan masalah yayasan ini.

38

(45)

Prinsip yang ingin diwujudkan dalam ketentuan Undang-undang Yayasan adalah kemandirian yayasan sebagai badan hukum, keterbukaan seluruh kegiatan yang dilakukan yayasan, dan akuntabilitas kepada masyarakat mengenai apa yang telah dilakukan oleh yayasan, serta prinsip nirlaba yang merupakan prinsip yang fundamental bagi suatu yayasan.

Hal itu terlihat dari beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut. Misalnya dengan adanya kewajiban pada setiap pendiri yayasan untuk memintakan pengesahan badan hukum kepada Menteri Kehakiman, dan seterusnya setiap ada perubahan mengenai nama dan kegiatan yayasan tersebut harus pula meminta izin kepada Menteri Kehakiman. Demikian pula pemerintah kelihatannya ingin mengetahui arus keuangan yayasan dengan mengharuskan yayasan, terutama yang kekayaannya berasal dari negara atau memperoleh bantuan pemerintah, untuk membuat ikhtisar laporan tahunan yang menyangkut keuangan dan kegiatan yayasan dalam tahun yang lampau.

(46)

dan juga disaksikan berbagai yayasan yang disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan.39

Menurut Pasal 71 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, semua Yayasan yang telah berdiri dan didaftarkan di pengadilan negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak dimulai berlakunya undang-undang tersebut wajib disesuaikan anggaran dasar.

Dengan demikian ada 4 (empat) prinsip yang harus dimiliki Yayasan sesuai dengan harapan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, yakni:

1) Kemandirian Yayasan sebagai badan hukum. 2) Keterbukaan seluruh kegiatan Yayasan. 3) Akuntabilitas publik.

4) Prinsip nirlaba.

Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dan tidak mempunyai anggota. Yayasan didirikan dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta

39

(47)

kekayaan pendiriannya sebagai kekayaan awal Yayasan. Dalam hal yayasan didirikan berdasarkan surat wasiat, pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris oleh penerima wasiat yang bertindak mewakili pemberi wasiat. Apabila dianggap perlu, Menteri dapat meminta pertimbangan instansi terkait yang ruang lingkup tugasnya meliputi kegiatan Yayasan. Dalam hal permohonan pengesahan ditolak, Menteri wajib menyampaikan penolakan secara tertulis disertai alasannya. Adapun alasan penolakan adalah permohonan yang diajukan tidak sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Yayasan dan atau peraturan pelaksanaannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tidak dikenal adanya "badan pendiri" pada Yayasan seperti selama ini dikenal. Undang-Undang Yayasan memakai istilah "pembina" untuk menghindari terjadinya kekosongan apabila pendirinya berupa orang-perseorangan meninggal dunia. Hal ini karena suatu Yayasan adalah bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang terlihat dari hal-hal berikut ini:40 1) Maksud dan Tujuan serta Kegiatan Yayasan

Maksud dan tujuan yayasan adalah di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Kegiatan yayasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai maksud tujuan yayasan yang bersangkutan. Maksud dan tujuan yayasan untuk melakukan pemberian kepada para pendiri/pembina, pengurus, pengawas atau pihak ketiga tidak diperkenankan kecuali pemberian kepada pihak ketiga dengan tujuan sosial.

40

(48)

2) Kekayaan Yayasan

Kekayaan yayasan dipergunakan untuk mendukung kinerja yayasan yaitu untuk mencapai maksud tujuan yayasan yang bersifat sosial. Keagamaan dan kemanusian. Guna mencapai maksud dan tujuan tersebut, yayasan dapat melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha yang kekayaan yayasan ditentukan paling banyak 25% dari seluruh kekayaan yayasan. Kegiatan usaha yayasan harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001).

3) Pengawasan Masyarakat

(49)

4) Pemeriksaan Terhadap Yayasan

Selain transparansi laporan tahunan, pihak ketiga yang berkepentingan dalam mewakili kepentingan umum dapat mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan untuk penetapan pemeriksaan terhadap yayasan. Tujuan pemeriksaan adalah untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ yayasan:

a) Melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan anggaran dasar b) Lalai dalam melaksanakan tugas-tugasnya

c) Melakukan perbuatan yang merugikan yayasan atau pihak ketiga d) Melakukan perbuatan yang merugikan negara

Adapun pihak yang melakukan pemeriksaan adalah sejumlah ahli (paling banyak tiga orang) yang diangkat sebagai pemeriksa berdasarkan penetapan pengadilan, dan pemeriksa dilarang mengumumkan atau memberitahukan laporan hasil pemeriksaannya kepada pihak lain kecuali kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat kedudukan yayasan (Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001).

Dalam pengorganisasiannya terdapat pemisahan yang jelas antara pemegang kekuasaan tertinggi dengan pelaksanaan operasional dan pengawas yang mengawasi operasional yayasan. Hal ini tercermin dari pemisahan yang jelas dari organ yayasan yang terdiri dari: pembina, pengurus dan pengawas.

(50)

Dasar. Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan, sedangkan pengawas adalah orang yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasehat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan.

Anggota pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota Pengawas, demikian pula sebaliknya. Larangan perangkapan jabatan dimaksudkan untuk menghindari benturan kewenangan dan tugas serta tanggung jawab antara pembina, pengurus dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan Yayasan atau pihak lain.

Fenomena kegiatan yayasan dalam masyarakat yang dilihat oleh pembuat undang-undang, telah berubah atau menyimpang dari hakekat, dimana yayasan seharusnya bergerak dalam bidang sosial dan ideal ternyata berkembang memasuki bidang ekonomi (bisnis), bahkan dipakai untuk mendapatkan dana untuk usaha dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu keberadaan Undang-Undang Yayasan yang selain untuk mengakomodasi fenomena kegiatan usaha bisnis yayasan tersebut, sekaligus juga berupaya membatasinya. Hal ini terlihat dengan dibolehkannya Yayasan mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan dan yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan penyertaan tersebut paling banyak 25% (duapuluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan yayasan tersebut (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001).

(51)

bantuan negara, bantuan luar negeri atau pihak lain sebesar Rp 500.000.000.00,- (lima ratus juta rupiah) atau mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp 20.000.000.000.00,- (dua puluh miliar rupiah) atau lebih. Yayasan wajib membuat ikhtisar laporan tahunan yang menyangkut keuangan dan keadaan serta kegiatan yayasan dalam tahun yang lampau. Laporan tersebut harus pula diumumkan dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia, dan mewajibkan audit oleh akuntan publik terhadap yayasan (Pasal 52 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001).

Menurut Chatamarrasjid Ais, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 telah memberikan landasan hukum yang baik bagi pendirian dan perkembangan Yayasan. Persoalannya adalah masalah penegakan hukum, dalam hal ini perlu ditegaskan mengenai masalah pengawasan, baik bagi Yayasan yang sudah ada sebelum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan maupun yang akan berdiri setelah diundangkannya undang-undang yayasan tersebut.41

Dampak terbesar dari Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 adalah Yayasan harus bersifat terbuka bagi masyarakat, baik dalam laporan kegiatan maupun keuangannya. Hal ini membuka peluang bagi publik untuk mengawasi kegiatan Yayasan. Jadi Yayasan harus memiliki pembukuan yang baik. Kemudian juga Yayasan harus menyesuaikan kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri dengan tujuan yang akan dicapai, dan Yayasan harus menyesuaikan Organ Yayasan dan Anggaran Dasar sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.

41

(52)

Sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan maka landasan hukum keberadaan Yayasan sebagai suatu badan hukum pada sistem hukum di Indonesia. Di mana sebelum berlakunya undang-undang tersebut yang menjadi landasan hukum Yayasan adalah kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung.42

Meskipun belum ada perundang-undangan yang khusus mengatur tentang Yayasan, sampai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Akan tetapi pengaturan yayasan sebagai badan hukum secara implisit tercantum secara sporadis dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Jadi selama belum dikeluarkan Undang-Undang Yayasan tidak ada pengakuan Yayasan sebagai badan hukum secara eksplisit sebagaimana halnya badan hukum yang lain baik perseroan terbatas, perkumpulan, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan pendapat Fred Tumbuan:

42

(53)

Dalam KUH Perdata yakni dalam Pasal 365, 899, 900, 1680, 1852, dan Pasal 1954 ada disebutkan istilah yayasan, tetapi pasal-pasal tersebut dalam isinya tidak mengatur keberadaan yayasan itu sendiri. Pasal-pasal dalam KUH Perdata tersebut hanya sekedar mengatakan keberadaan yayasan tersebut sebagai badan hukum perdata. Hal yang sama juga terdapat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang ada menyebut istilah yayasan, tetapi juga tidak merinci mengenai status, hak maupun wewenang yayasan dimaksud.43 Sebagai contoh dalam Pasal 365 KUH Perdata mengatur tentang masalah perwalian (voogdij) dapat dipercayakan kepada perhimpunan yang berstatus badan hukum, yayasan (stichting) atau badan karitatif (insteling van weldadigheid). Demikian pula apabila perhatikan Pasal 899 KUH Perdata yang memuat tentang orang yang dapat menarik manfaat dari yayasan.

Apabila diperhatikan ada tiga istilah yang dipergunakan oleh Pembuat KUH Perdata yang kesemuanya menunjuk pada pengertian yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan di bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan, yakni stichtingen, gestichten, dan armeninrichtingen.44

Meskipun keberadaan yayasan sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan tidak mendapat pengaturan yang jelas dan tegas, namun status badan hukum yayasan tersebut tidak pernah diragukan baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Itulah sebabnya UU Yayasan sendiri tidak ragu-ragu dalam memberikan pengakuan terhadap status badan hukum yayasan yang terbentuk sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 71, berikut ini:

43

Fred Tumbuan dalam Rehngena Purba, Perlunya Undang-Undang Tentang Yayasan, Makalah, Lokakarya RUU Yayasan, USU, Medan, 2000, hal. 4.

44

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pengelolaan sampah di Kawasan Bukit Semarang Baru, Kecamatan Mijen, Semarang, cukup baik, namun belum sesuai dengan SNI 3242:2008 tentang Pengelolaan Sampah di

Jika banyaknya siswa kelas pertama 25 orang dan kelas ketiga 5 orang lebih banyak dari kelas kedua, maka nilai rata-rata seluruh siswa tersebut adalah a.?. Pada pukul berapakah

Seperti halnya ketika kita dapat bersabar terhadap cobaan yang kita alami, tentunya hati kita akan terasa tentram, apabila kita dapat bersyukur terhadap segala sesuatu

Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital.. Akronim yang bukan nama diri yang

They will come south again.’ Dorrin came and stood between them; he looked from Lyan to Kyle. Kyle shook

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan cotrimoxazole sebagai profilaksis melalui per oral ataupun sonde dengan dosis 960mg per hari atau dosis terbagi 2 kali 480

Oleh karena itu, diundang S audara untuk dapat hadir dalam rangka kegiatan dimaksud, yang akan dilaksanakan pada :..