• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HAMBATAN DALAM PENYESUAIAN AKTA YAYASAN

B. Yayasan Belum Siap Melakukan Perubahan Tata Kelola

Setelah badan penyelenggara perguruan tinggi, giliran yayasan yang bergerak di pendidikan dasar dan menengah yang memprotes ketentuan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Munculnya UU BHP dianggapnya bertentangan dengan UU Yayasan yang lebih dahulu ada.

Kepala Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Jawa Barat Achlan Husein di Bandung, mengatakan, pihaknya bingung bagaimana mengimplementasikan UU BHP, khususnya ketentuan yang mengatur soal struktur tata kerja lembaga BHP. Padahal, dalam waktu selambat-lambatnya enam tahun mendatang, UU BHP ini harus diimplementasikan. Intinya, saat ini ada dua aturan berbeda yang mengatur obyek hukum yang sama, yaitu Yayasan, dalam UU Yayasan diharuskan struktur organisasinya menjadi tiga bagian, yaitu: Pembina, Pengawas dan Pengurus.

Sedangkan menurut UU BHP, Struktur BHP harus diubah menjadi empat bagian, termasuk majelis wali amanat di dalamnya. Jadi, mana yang harus diikuti.62

Mayoritas yayasan yang ada di sekolah memilih opsi pertama, yaitu untuk mendirikan BHP di tingkat penyelenggara, bukan di satuan pendidikannya. Sebab, satu yayasan, misalnya Muhammadiyah, bisa memiliki 340 sekolah di jenjang berbeda-beda. Kalau sekolahnya yang jadi BHP, akan tambah bingung. Oleh karena itu Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) berencana akan ikut melakukan uji materi (judicial review) atas UU BHP. Tiap-tiap Yayasan sudah patungan untuk menyewa tim hukum.63

Selanjutnya, menurut Kepala BMPS Kota Bandung Moch Said Sediohadi, UU BHP sebetulnya kurang tepat diterapkan di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pendapat ini pun dikuatkan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Wachyudin Zarkasyi, bahwa UU BHP setidaknya belum bisa direalisasikan lima tahun mendatang. Sekolah umum negeri di Jawa Barat belum bisa memenuhi persyaratan untuk menuju BHP.64

Implementasi UU BHP mendapat resistensi dari yayasan di Bandung, mayoritas yayasan, khususnya di Jawa Barat, belum siap beralih status menjadi BHP. Menurut Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP2TSI) Jawa Barat Sali Iskandar, pihaknya bersama-sama dengan pengurus pusat

62

“Implementasi Bingungkan Yayasan”, http://www.Kompas.com, Rabu, 21 Januari 2009, hal. 1.

63

Ibid., hal. 1

64

ABP2TSI saat ini tengah melakukan pengkajian substansi uji materi yang akan dilakukan atas UU BHP itu. Kira-kira sebanyak 310 yayasan dari 400-an perguruan tinggi swasta di Jabar punya suara bulat. Keyakinan ini didasari atas hasil pertemuan ABP2TSI Jabar yang menyimpulkan UU BHP mengancam eksistensi yayasan dan tidak berpihak pada perguruan tinggi swasta.65

Ketentuan Pasal 40 sampai dengan Pasal 46 UU BHP yang mengatur persoalan pendanaan adalah salah satu titik masuk peninjauan kembali ini. Aturan pendanaan di BHP sangat diskriminatif, karena hanya mengatur BHP Pemerintah Pusat dan BHP Pemerintah Daerah (badan hukum pemerintah), sementara untuk dukungan dana bagi swasta tidak disebutkan dengan jelas.

Di mana dalam Pasal 41 ayat (4) UU BHP disebutkan: Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHP Pemerintah Pusat dan BHP Pemerintah Daerah yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. Sedangkan untuk swasta, memang ada disebutkan dalam Pasal 44 UU BHP bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan bantuan dana pendidikan pada BHPM dan BHP Penyelenggara, namun tidak tegas seberapa besar persentasinya.

Setidaknya diperlukan waktu enam tahun ke depan untuk menyiapkan sekolah-sekolah tersebut agar bisa memenuhi persyaratan BHP, karena untuk dapat

65

“PTN Lebih Siap Jadi BHP - Sejumlah Yayasan Masih Kerepotan” http://www.dikti.go.id , hal. 1

menyandang status BHP, sekolah umum, antara lain harus merupakan sekolah berstandar nasional. Saat ini, belum banyak sekolah berstandar nasional di Jawa Barat. Bahkan, sekolah umum pada tingkatan pendidikan dasar, yakni SD-SMP, masih menghadapi minimnya fasilitas pendidikan. Jadi, BHP mestinya diprioritaskan untuk perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri terlebih dahulu.

Perguruan tinggi negeri relatif lebih siap berubah menjadi Badan Hukum Pendidikan sesuai amanat UU BHP. Hal yang dianggap paling berat adalah menjaga agar otonomi luas pendidikan tinggi tidak identik dengan komersialisasi.

Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Bedjo Suyanto mengatakan, siap tidak siap, perguruan tinggi harus mengarah menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Kalau ada pihak-pihak yang tidak setuju pasal-pasal dalam UU BHP, dapat mengupayakan perubahan lewat Mahkamah Konstitusi.66

Saat ini Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sedang menjalani proses menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Perubahan itu, merupakan transisi menuju BHP, karena yang langsung menjadi BHP hanya perguruan tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara.

Mengenai proporsi maksimal sepertiga dana yang dapat ditarik dari peserta didik, saat ini anggaran UNJ dalam setahun sekitar Rp 200 miliar. Sumber dana dari mahasiswa sekitar Rp 50 miliar. Adapun sumber dari pemerintah sekitar Rp 100 miliar dan sisanya usaha UNJ.67

66

Ibid., hal. 1

67

Bagi Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Herry Suhardiyanto, perguruan tinggi berstatus BHMN mempunyai landasan yuridis lebih kuat dengan adanya UU BHP. Namun, transformasi tersebut bagaimanapun dirasa berat. Institusi itu harus melakukan perubahan-perubahan dan melaksanakan berbagai pelatihan, mulai dari mengubah pola pikir pegawai, merancang sistem operasi manajemen kampus yang lebih efektif, sampai melatih sumber daya manusia. Tugas paling berat ialah menjaga image otonomi pendidikan tinggi agar tidak missleading bahwa otonomi pendidikan itu identik dengan penggalangan dana dari mahasiswa.68

Institut Teknologi Bandung (ITB) juga mulai mempersiapkan diri berubah haluan menjadi BHP. Menurut Rektor ITB Djoko Santoso, sejauh ini proporsi anggaran dana dari kegiatan riset dan pengabdian masyarakat di ITB masih paling besar. Beliau mencontohkan, tahun 2007 di luar kegiatan berbagai unit komersial (perusahaan) proporsi anggaran sebesar 21 persen berasal dari pemerintah, 37 persen dari dana mahasiswa, dan 42 persen dari dana-dana berbagai kegiatan riset dan pengabdian masyarakat. Pada 2008, proporsinya berubah menjadi 22 persen dana pemerintah, 37 persen dari mahasiswa, serta 41 persen dana dari kegiatan riset dan pengabdian masyarakat.69

Selanjutnya ketidaksinkronan antara UU BHP dan UU Yayasan, yang menyebabkan terjadinya judicial review terhadap ketentuan UU BHP tersebut.

68

Ibid., hal. 1.

69

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), Selasa tanggal 17 Nopember 2009 lalu, di Ruang Sidang Pleno MK dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah, Saksi, dan Ahli Pemohon serta Pemerintah.

Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 126/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh 14 Pemohon yang tergabung dalam Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (disingkat Asosiasi BPPTSI atau ABPPTSI).

Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Luhut M. P. Pangaribuan, dkk, mengajukan empat orang Ahli, yakni Fadjroel Falaakh, Djoko Prayitno, Milly Karmila dan Abdul Hakim Garuda Nusantara. Dalam keterangannya, Pakar Hukum Tata Negara UGM Fadjroel Falaakh mengemukakan bahwa yayasan sebagai penyelenggara pendidikan telah diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 juncto UU Nomor 28 Tahun 2004 (UU Yayasan). UU Yayasan, bahwa yayasan tidak digunakan sebagai kegiatan usaha maupun tidak dapat melakukan kegiatan usaha. Secara jelas, UU Yayasan menegaskan bahwa sebuah yayasan berbentuk badan hukum nirlaba seperti yang tercantum pada Pasal 4 ayat (1) UU BHP. Lalu, kalau sudah berbentuk badan hukum nirlaba. Lantas, apa yang mau diatur lagi oleh UU BHP.70

Fadjroel mengungkapkan adanya masalah sinkronisasi internal dalam setiap pasal dalam UU BHP, sebagai contoh Pasal 10 UU BHP yang menyatakan satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang-Undang ini berlaku, wajib berbentuk

70

“Inkonsistensi antara UU BHP dan UU Yayasan”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, hal. 1.

badan hukum pendidikan. Pasal 10 UU BHP melarang yayasan untuk menyelenggarakan pendidikan. Padahal yayasan seperti yang tercantum dalam UU Yayasan dan badan hukum pendidikan seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) memiliki definisi sama, yakni bersifat nirlaba.

Hal ini menyebabkan adanya ketidaksinkronan antara UU BHP dengan UU Yayasan yang mengatur yayasan sebelumnya. Padahal seharusnya UU Yayasan menjadi konsideran dalam UU BHP. Hal ini menyebabkan ketidakpastian dan kekacauan internal yang tampak nyata pada pengakuan terhadap eksistensi yayasan penyelenggara pendidikan sebagai BHPM dengan hak-hak badan hukum.

Sementara itu, Abdul Hakim Garuda Nusantara menjelaskan bahwa yayasan sebagai badan hukum juga memiliki hak dasar yang dilindungi dan diakui oleh UUD 1945. Pengakuan hak asasi manusia juga dapat diperluas bagi badan hukum dan telah disetujui oleh PBB.71

UU BHP telah mendelegitimasi dan mengeliminasi hak yayasan sebagai badan hukum. Tidak hanya itu, UU BHP justru mempersempit hak rakyat mendapat pendidikan serta melanggar hak rakyat mendapatkan pendidikan seperti yang tercantum dalam UUD 1945.

Mengenai tata kelola BHP, bahwa Pasal 15 sampai dengan Pasal 36 UU BHP membahas mengenai teknis pelaksanaan tata kelola. Padahal seharusnya UU BHP hanya membahas struktur dasar tata kelola. Hasilnya UU BHP seolah ingin menyeragamkan tata kelola pendidikan.

71

Keseragaman tersebut yang dianggap melanggar hak asasi dan kebhinekaan yang dijamin oleh UUD 1945. Dimana RRC yang merupakan negara komunis saja, sekarang menerapkan keberagaman dalam dunia pendidikannya dengan mengadaptasi pola pendidikan di Hongkong, tetapi di Indonesia yang menganut Pancasila dan paham demokrasi justru malah kembali pada keseragaman melalui UU BHP ini.72

Para pemohon meminta pengujian terhadap pasal-pasal dalam UU BHP, yakni Pasal 1 butir (5) sepanjang anak kalimat " ……. dan diakui sebagai badan hukum pendidikan", Pasal 8 ayat (3), Pasal 10, Pasal 67 ayat (2), (4) dan Pasal 62 ayat (1) sepanjang menyangkut pasal 67 ayat (2) tentang sanksi administratif, serta Bab IV tentang Tata Kelola (Pasal 14 sampai dengan Pasal 36) dari UU BHP beserta Penjelasan pasal-pasal tersebut. Pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal tersebut beserta penjelasannya bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2).

Yayasan sebagai badan hukum yang jauh sebelum diterbitkan UU BHP telah mengalami berbagai hambatan dalam kestatusannya sebagai badan hukum atau penyesesuaian terhadap anggaran dasarnya untuk diakui atau sahnya status badan hukum dari yayasan tersebut, yaitu diawali dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, sehingga yayasan yang ada sebelumnya harus melakukan

72

penyesuaian anggaran dasarnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut. Kemudian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 telah pula diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, dan juga diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, yang juga memberikan dampak bagi yayasan untuk menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang baru tersebut.

Selanjutnya, keberadaan Yayasan sebagai badan hukum kembali harus mengikuti ketentuan badan hukum pendidikan sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, yang mengharuskan setiap pelaksanaan pendidikan formal harus dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan. Akibatnya yayasan-yayasan yang berperan sebagai penyelenggara pendidikan selama ini harus kembali disesuaikan anggaran dasarnya agar tetap dapat menyelenggarakan pendidikan, baik sebagai BHPM maupun sebagai BHP Penyelenggara.

Berbagai permasalahan yang ditemui dalam penyesuaian anggaran dasar yayasan sesuai dengan tata kelola BHP, antara lain:

1. Yayasan didirikan sebelum berlaku UU 16/2001 atau UU 28/2004, mempunyai izin operasional penyelenggaraan pendidikan dari Dikti Depdiknas, belum menyesuaikan dengan UU Yayasan, terkena dampak Pasal 71 UU Yayasan dan Pasal 39 PP Nomor 63 Tahun 2009.

2. Yayasan didirikan setelah berlaku UU No. 16 Tahun 2001 atau UU Nomor 28 Tahun 2004 dan sebelum berlaku UU BHP, belum diurus pengesahan ke Departemen Hukum dan HAM (belum SK Menteri Hukum dan HAM) dan mempunyai izin operasional penyelenggaraan pendidikan dari Dikti Depdiknas. 3. Yayasan didirikan setelah berlaku UU No. 16 Tahun 2001 atau UU No. 28 Tahun

2004 dan sebelum berlaku UU BHP, telah diurus pengesahannya ke Departemen Hukum dan HAM, akan tetapi ada koreksi dan hasil koreksi tersebut dikirim kembali ke Departemen Hukum dan HAM setelah berlaku UU BHP (belum SK Menteri Hukum dan HAM) dan mempunyai izin operasional penyelenggaraan pendidikan dari Dikti Depdiknas.

4. Yayasan didirikan setelah berlaku UU No. 16 Tahun 2001 atau UU No. 28 Tahun 2004 dan setelah berlaku UU BHP, belum diurus pengesahannya ke Departemen Hukum dan HAM (belum SK Menteri Hukum dan HAM) dan mempunyai izin operasional penyelenggaraan pendidikan dari Dikti Depdiknas.

5. Yayasan didirikan sebelum berlaku UU No. 16 Tahun 2001 atau UU No. 28 Tahun 2004 dan sebelum atau setelah berlaku UU BHP, belum diurus pengesahannya ke Departemen Hukum dan HAM (belum SK Menteri Hukum dan HAM) terjadi pergantian anggota Pembina dan/atau anggota Pengurus dan/atau anggota Pengawas dan mempunyai izin operasional penyelenggaraan pendidikan dari Dikti Depdiknas.

6. Kemudian juga Yayasan yang didirikan oleh Pemerintah Daerah/Propinsi setelah berlaku UU No. 16 Tahun 2001 atau UU No. 28 Tahun 2004 dan sebelum atau setelah berlaku UU BHP, belum diurus pengesahannya ke Departemen Hukum dan HAM (belum SK Menteri Hukum dan HAM) dan mempunyai izin operasional penyelenggaraan pendidikan dari Dikti Depdiknas.

Dari uraian di atas terlihat bahwa Yayasan yang menyelenggarakan pendidikan sebelum maupun setelah diterbitkan Undang-Undang Yayasan adalah masih ada yang mempunyai izin operasional penyelenggaraan pendidikan dari Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Dikti Depdiknas).

Dokumen terkait