• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagaimana disebutkan di awal tulisan, penelitian ini menempatkan fenomena pakaian bekas dalam tiga dimensi: ekonomi (perubahan nilai), psikologi (pemenuhan kebutuhan) dan budaya (pemaknaan kolektif). Terkait dengan tiga perspektif tersebut, sebagai alat bantu penelitian ini selanjutnya memergunakan sejumlah konsep dan (atau) teori sebagaimana lazim dikembangkan oleh para teoretisi dalam kajian budaya (cultural studies). Kerangka konseptual atau teori yang dimaksudkan selanjutnya diuraikan dalam paparan-paparan berikut.

E.1. Teori Masyarakat Konsumen dan Teori Konsumsi Jean Budrillard

Sebagai bakcground penelitian ini dalam batas-batas tertentu akan memergunakan teori masyarakat konsumen sebagaimana dikemukakan oleh Jean Baudrillard dalam The Consumer Society. Preposisi “dalam batas-batas tertentu” mengacu pada “kompatibilitas” teoretik. Artinya, ada hal penting dari teori masyarakat konsumen yang ternyata tidak bisa diterapkan secara langsung untuk menganalisis permasalahan sebagaimana diintensikan dari kajian ini. Secara singkat bisa dijelaskan bahwa dari keseluruhan gagasannya -- mulai dari teori objek, teori konsumsi atau teori ekonomi politik tanda, hingga teori masyarakat konsumen – Baudrillard sama sekali tidak memertimbangkan persoalan pakaian bekas (atau barang bekas pada umumnya). Seluruh teori tentang masyarakat konsumen berangkat dari asumsi bahwa konsumsi sebagaimana berlangsung dalam masyarakat modern identik dengan konsumsi atas barang dan nilai kebaruan. Dengan kata lain

19

identitas kebaruan suatu barang dipahami sejajar dengan kebaruan konsumsi modernitas itu sendiri.

Meskipun secara formal kajian ini dikembangkan berdasarkan pada teori masyarakat konsumen, karena di dalam buku itu Baudrillard sendiri lebih banyak mengaplikasikan gagasan teoretik sebelumnya yakni teori objek9 dan teori konsumsi atau teori ekonomi politik tanda10, maka pemakaian konsep kunci (key concepts) seperti objek konsumsi (consumption object), bentuk komoditas (commodity form), dan nilai tanda (sign function) sebagaimana termaktub dalam kedua buku yang belakangan disebut menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Konsep-konsep tersebut sudah barang pasti tidak akan ditempatkan dalam posisi yang sama atau sejajar dengan teori pertama disebut, melainkan hanya semacam penghubung atau bersifat melengkapi. Dengan demikian, kajian ini selanjutnya akan menggunakan teori masyarakat konsumen disertai dengan konsep-konsep kunci atas gagasan Jean Baudrillard sebagaimana ia utarakan dalam kedua buku sebelumnya.

Menelusuri gagasan Baudrillard tentang masyarakat konsumen akan mengantarkan kita pada pengakuannya tentang kekuatan komoditas dalam mempengaruhi arah dan proses pembentukan masyarakat (social formation).11

Sebuah gagasan yang merepresentasikan milestone intelektual Baudrillard yang bergerak dari bidang kajian budaya ke sosiologi konsumsi, sebelum pada akhirnya bergerak lagi ke post-modernisme. Fungsi formatif sosial komoditas lewat konsumsi

9 Jean Baudrillard (1996),The Sistem of Objectsdalam Mark Poster (ed.), Jean Baudrillard:

Selected Writings, Stanford: California University Press,hlm. 10-28.

10 Jean Baudrillard (1981), For a Critique of the Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin, USA: Tellos Press Ltd. Juga, Jean Baudrillard, “For a Critique of the Political Economy of the Sign,”

dalam Mark Poster, (ed.), (1988), Op. cit., hlm. 57-07.

11 Madan Sarup (1993), An Introductory Guide to Post-Structuralism and Posmodernism, 2nd Edition, Athens: The University of Georgia Press, hlm. 276-280.

20

merupakan pintu masuk yang dipergunakan Baudrillard, mengikuti jejak seniornya Louis Althusser, untuk mempersoalkan hal fundamental di dalam kapitalisme yang hampir selalu berjaya dan sulit sekali dipatahkan dalam mempengaruhi gerak dan kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Melalui sudut pandang konsumsi Baudrillard melihat aspek multiplikasi dan pergerakan objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas dan implikasinya secara psikologis, sosial, dan kultural.

Melalui teori masyarakat konsumen Jean Baudrillard menggambarkan pelbagai trend atau kecenderungan yang muncul dalam masyarakat kontemporer yang telah sedemikian rupa dipenetrasi oleh kekuatan pasar. Masyarakat konsumen oleh Jean Baudrillard diilustrasikan sebagai sebuah masyarakat yang di dalamnya mengalami “general hysteria” – sebuah suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, mengondisikan, dan menggiring anggota-anggotanya untuk secara terus menerus mengkonsumsi (ubiquiotus) alih-alih memproduksi dan memfetishkan kenikmatan (satisfaction) pelbagai barang dan jasa sebagaimana direproduksi secara terus menerus oleh pasar dalam skala yang bersifat massif dan massal.12 Barang dan jasa sebagaimana berkembang dalam masyarakat saat ini diproduksi pertama-tama bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk -- meminjam istilah Karl Marx – mereproduksi sarana-sarana produksi, sebagaimana ditandai dengan penciptaan pelbagai bentuk kebutuhan baru.13

Berkenaan dengan kajian ini, teori masyarakat konsumen akan dipakai untuk menggambarkan trend atau kecenderungan umum sebagaimana berkembang luas dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Yogyakarta kontemporer. Sebuah situasi

12 Jean Baudrillard (1996),“The Consumer Society” dalam Mark Poster (ed.), Op. cit, hlm. 45. 13 M. Gottdiener (1995), Postmodern Semiotics. Material Culture and the Forms of Posmodern Life. London: Blackwell.

21

yang mengerangkai, menggerakkan, dan menghabituasi kebiasaan hidup masyarakat Yogyakarta kontemporer dalam melahirkan pelbagai kode, norma, peraturan dan hukum, atau ekspektasi social mereka bersama objek-objek konsumsi. Sebuah sistem bahasa sebagaimana kemudian berkembang luas dan tertancap dalam keyakinan masyarakat pada umumnya. Sebuah kekuatan yang memiliki andeel (peran) sangat besar atau signifikan dalam menstrukturkan persepsi, sikap dan tindakan masyarakat baik secara individual maupun kolektif; terutama berkenaan dengan cara mereka memaknai dan berhubungan dengan komoditas lewat pemenuhan kebutuhan atau konsumsi.

Terkait erat dengan persoalan masyarakat konsumen adalah komodifikasi -- proses perubahan nilai sebuah objek konsumsi atau bentuk komoditas lewat proses produksi. Proses itu menempatkan objek konsumsi atau bentuk komoditas memiliki nilai fungsi (sign function). Dalam pengertian ini suatu objek konsumsi atau bentuk komoditas yang di lempar ke pasar selain memiliki kegunaan (function) dan nilai tukar, juga memiliki nilai tanda (sign). Dengan demikian proses komodifikasi atau produksi setiap objek konsumsi atau bentuk komoditas pada dasarnya selain dimaksudkan untuk menaikkan nilai guna dan nilai tukar, juga untuk menaikkan nilai tanda. Dalam konteks konsumsi setiap objek konsumsi atau bentuk komoditas digunakan tidak saja karena nilai fungsional (nilai guna) dan nilai tukarnya, melainkan juga karena nilai tandanya. Implikasinya, saat seseorang mengkonsumsi suatu objek konsumsi atau bentuk komoditas tertentu, ia tidak tidak saja mengkonsumsi nilai guna dan nilai tukar, tetapi juga nila tanda. Nilai tanda ini memiliki peran yang cukup penting, karena ia akan dipergunakan untuk menjawab

22

kebutuhan dasar para konsumen atau pembeli pakaian bekas akan prestige. yang bisa dicukupi dengan hal-hal bermakna.

E.2. Teori Identitas dan Subjek Jacques Lacan

Kerangka konseptual kedua yang akan dipergunakan dalam kajian ini adalah teori identitas atau teori subjek sebagaimana dikemukakan oleh Jacques Emile Lacan lewat teori Tahap Cermin (mirrror stage theory).14 Dalam konteks penelitian ini teori tahap cermin Lacanian berfaedah untuk melihat proses identifikasi atau pembentukan ego dan subjektivitas yang dialami oleh para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam kaitannya dengan aktivitas konsumsi mereka terhadap pakaian bekas. Melalui teori tahap cermin analisis tidak hanya terbatas pada fenomena kemanusiaan yang berada di permukaan, tetapi dimungkinkan masuk hingga level terdalam dan sejauh ini banyak terabaikan saat kita melihat persoalan manusia. Dengan kata lain melalui teori ini dimungkinkan menguak dan memahami struktur internal atau struktur psikis, kejiwaan, atau mental para pengguna pakaian bekas.

Lewat teori Tahap Cermin Lacan mengemukakan dua hal pokok terkait dengan persoalan subjek: penemuan Ego (identitas) dan kekuatan yang berbicara dan menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu (speaking subject, subjek ketidaksadaran) melalui bahasa (wacana). Melalui teori Tahap Cermin tersebut, Jacques Lacan merumuskan proses pembentukan subjek manusia ke dalam tiga tahap atau fase, yakni: Pra-Cermin, Cermin, dan Pasca-Cermin. Terkait erat dengan

14 Jacques Lacan (2006), “The Mirror Stage as Formative of the I Function and Revealed in Psychoanalytic Experience,” dalam Ecrits, terj. Bruce Fink, N.Y.-London: W.W. Norton & Company Inc., hlm. 75-81.

23

ketiga fase atau tahap pembentukan subjek tersebut Lacan mengemukakan enam elemen penting yang dominan mewarnai setiap tahapan. Elemen yang dimaksudkan adalah: gairah hidup (desire), persepsi (kemampuan untuk mengenali diri sendiri), identifikasi (penyamaan atau idealisasi), hubungan subjek dengan wacana, serta hubungan subjek dan dunia luar -- baik dalam pengertian Innenwelt (dunia kecil) maupun Umwelt (dunia besar).15

Berdasarkan hipotesisnya tentang adanya Tahap Cermin, Lacan selanjutnya merumuskan adanya proses penemuan Ego (identitas) seseorang berjalan dalam tiga tahap: Pra-Cermin, Cermin dan Pasca-Cermin. Tahap Pra-cermin (yang dialami seorang anak saat berumur 0-6 bulan) sang anak sepenuhnya tenggelam dalam kondisi kepenuhan dan kenikmatan primordial, yakni menjadi satu dengan ibunya. Berkaitan dengan persepsi, penemuan diri Sang Anak masih bersifat proprioseptif (proprioceptive) – yakni berjalan sesuai dengan rangsangan yang berasal dari sumber bio-fisik sang anak sendiri.16 Dalam situasi dan kondisi ini Sang Anak masih mengeksplorasi persepsi sensoris (censory perception) yang bersumber pada bio- fisiknya. Demikian halnya gambar (images) tentang dirinya yang ia terima dari ibunya mengalir begitu saja tanpa berhasil ia kendalikan. Persatuan primordial dengan ibunya juga ditandai dengan belum adanya identitas diri, karena diri Sang Anak masih dalam keadaan terfragmentasi. Berkaitan dengan bahasa, ia sudah menerimanya namun belum bisa menggunakannya.

Pada Tahap Cermin (yang dialami seorang anak pada usia6-18 bulan) Sang Anak menemukan ke-diri-annya (self) dalam image ibu atau sosok lain yang

15 Loc. Cit., hlm. 78.

16 John M. Verhaar (1989), “Aku Yang Semu: Jacques Lacan”, dalam John M. Verhaar, Identitas

Manusia Menurut Psikologi dan Psikiatri Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, hlm. 57.

24

berfungsi sebagai sumber kenikmatan. Dengan kata lain ke-diri-an Sang Anak bersifat imajiner. Berkenaan dengan persepsi, dikarenakan pengenalan diri Sang Anak masih terfragmentasi, maka ia belum bisa membedakan mana self ibunya dan mana self-nya sendiri. Pengalaman menyolok pada fase ini adalah munculnya perasaan bangga (narsistik) saat untuk kali pertama seorang anak menemukan dirinya (sejajar dengan konsep Aha Erlebnis sebagaimana dikemukakan oleh Wolgang Kohler).17 Dikarenakan diri yang ditemukan masih bercampur baur dengan

diri ibunya, ia mengalami misrecognition atau miscognition – salah kenal. Berkaitan dengan bahasa, pada tahap ini Sang Anak mulai belajar menggunakan bahasa, tetapi belum mengetahui maksudnya.

Pada Tahap Pasca-Cermin kesatuan primordial yang dinikmati seorang anak terhadap ibunya mulai retak. Retaknya hubungan antara anak dan ibu berkaitan dengan kehadiran sosok Sang Ayah (Name-of-the-Father) yang merupakan metafor pelbagai hukum dan aturan sosial dan budaya yang muncul sebagai akibat penggunaan bahasa dalam masyarakat. Pengalaman paling mencolok pada tahap ini terletak pada pengalaman Sang Anak saat mulai menggunakan bahasa. Dalam hal ini pengalaman ke-aku-an Sang Anak tidak lagi dibangun berdasarkan pada images, tetapi dalam bentuk penggunaan bahasa (simbolik). Pada tahap ini ke-aku-an Sang Anak sepenuhnya ditentukan oleh hubungan sosial yang muncul sebagai konsekuensi dari penggunaan bahasa. Dalam tahap ini Sang Anak diajarkan untuk menerima pelbagai perintah dan larangan dari orang lain. Perubahan yang menimpa Sang Anak ini pada akhirnya melahirkan trauma dalam dirinya. Implikasinya, gairah

17 Lihat, “Aha Erleibnis” dalam www.english.hawai.edu/criticalink/lacan/terms/ahha.html diakses pada 22 Novermber 2010.

25

hidup (desire) Sang Anak senantiasa diarahkan pada kesatuan primordial atau dalam bentuk apa saja yang bisa mengembalikan pada situasi ini.

Selain proses pembentukan subjek di atas Lacan juga menjelasan tentang struktur (dunia) subjek seseorang yang mencakup tiga tatanan, yakni: Imajiner, Simbolik, dan Real. Ketiga struktur tersebut merepresentasikan kedewasaan subjek seseorang dalam menapaki proses sosialisasi dan pembudayaan. Sebuah konsekuenasi yang harus ditemui manakala harus berhubungan dengan realitas atau kehidupan masyarakat dan budaya. Struktur real adalah dunia subjek seseorang sebelum didefinisikan dalam pelbagai istilah. Dunia kepenuhan, dunia pra bahasa, dunia pra-sejarah yang berjalan dalam prinsip kenikmatan sebagaimana digambarkan dunia anak saat sepenuhnya tergantung dengan ibunya. Dalam hal ini pengalaman Sang Anak sepenuhnya adalah pengalaman Sang Ibu. Struktur imajiner adalah dunia subjek seseorang sebelum memasuki dunia simbolik, bahasa, sosial, atau masyarakat. Di dalamnya disarati dengan gambar atau imej (imago) sebagaimana dipantulkan oleh sumber kenikmatan yang digambarkan oleh sosok ibu atau apapun yang diasumsikan mampu memberikan kenikmatan. Struktur simbolik adalah dunia ditapaki oleh subjek seseorang yang telah memasuki situasi sosial yang berjalan berdasarkan pada prinsip keteraturan.

Dari ketiga tahap perkembangan subjek itu, Lacan sejatinya tengah memfokuskan perhatian pada pengalaman seorang anak dalam menghadapi situasi Oediphus Complex. Perkembangan subjek dalam hal ini sepenuhnya sangat ditentukan oleh bagaimana seseorang mengatasi permasalahan Oediphus Complex. Tahap ini merupakan tahap yang sangat krusial dan menentukan dalam kehidupan psikis Sang Anak. Dikatakan sebagai hal krusial, karena dalam tahap ini Sang Anak

26

berada dalam situasi ambigu: apabila tetap mencintai Sang Ibu ia akan dikutuk dan dikebiri Sang Ayah sekaligus kehilangan identitasnya. Demikian halnya apabila Sang Anak patuh pada perintah Sang Ayah, ia akan kehilangan gairah hidupnya (desire) karena harus terpisah dengan ibunya yang selama ini menjadi sumber hidupnya. Bagi orang yang bersedia masuk ke dalam proses pendewasaan, sosialisasi, atau pembudayaan, mereka sama sekali tidak memiliki persoalan dengan ketiga tahapan dan struktur subjek yang dilaluinya.

Orang dikatakan tidak memiliki masalah (“normal”) secara kejiwaan apabila ia mampu menghadirkan ketiga struktur subjek itu secara bersamaan. Dengan kata lain, orang dikatakan normal secara psikis, jika memiliki kemampuan untuk menuntaskan problem oedipus compkex dengan cara menghadirkan dan mengintegrasikan ketiga struktur psikis tersebut secara bersama-sama. Sebaliknya apabila seseorang gagal menuntaskan problem Oediphus Complex dan tidak bisa mengintegrasikan ketiga struktur subjek tersebut secara bersama-sama dikatakan sebagai tidak normal atau mengidap gangguan mental (mental disturbance). Subjek yang mengalami problem psikis terentang antara: psikosis, neurosis, dan perversif. Suatu bentuk gangguan emosi dan mental yang akan ditanggung dan dampaknya bisa sangat membekas di dalam tahap perkembangan hidup seseorang kelak kemudian hari.

Luas dan rumitnya gagasan Lacan sebagaimana diutarakan lewat teori Tahap Cermin di atas, memungkinkan teori tersebut diturunkan atau di-breakdown ke dalam sejumlah konsep kunci. Adapun konsep-konsep turunan yang relevan dan akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: identifikasi primer (primary identification) atau identifikasi imajiner (imaginary identification), identifikasi

27

sekunder (secondary identification) atau identifikasi simbolik (symbolic identification), Ideal Ego (Ich Ideal), Ideal Ich (Ich ideal), ambiguitas dan alienasi sekunder, object a (libidinal drive), separasi, kastrasi, fantasi, dan sublimasi. Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep-konsep kunci dari teori Tahap Cermin tersebut selanjutnya disampaikan dalam paragraf-paragraf berikut.

[1] Identifikasi primer (primary identification) atau Imaginary identification.

Sesuai gagasan Lacan, identifikasi primer merupakan mekanisme penyamaan atau idealisasi diri yang dilakukan oleh seseorang yang tengah menapaki fase Cermin atau tahap Imajiner. Mekanisme psikis ini mengacu pada pengalaman seorang anak dalam melakukan idealisasi diri dengan pelbagaiimej sebagaimana dipantulkan oleh cermin, yang dalam hal ini dipersonifikasikan lewat sosok ibu atau sosok yang dianggap mampu memberikan pelbagai objek kenikmatan. Identifikasi primer dalam fase cermin sejatinya bersifat pra-sejarah. Hal ini dikarenakan bahwa kesadaran diri seorang anak sepenuhnya masih ditentukan oleh ibu. Kesadaran diri (kebertubuhan) seorang anak masih bersifat fragmentatif. Momen identifikasi dalam hal ini sebatas pada adanya pengembangan persepsi tentang keutuhan kebertubuhan lewat realitas lain (ibu). Dalam fase ini belum terbedakan antara tubuh Sang Anak dengan tubuh ibu. Identitas diri (ego) yang kelak akan diakui sebagai identitas personalnya (Ideal Ego, Ideal Ich) merupakan identitas khayalan (imagery) sebagaimana yang direfleksikan oleh liyan (other, ibu).

[2] Identifikasi sekunder (secondary identification) atau symbolic identification.

Mekanisme penyamaan atau idealisasi diri yang dilakukan oleh seseorang yang telah menapaki fase Pasca Cermin atau tahap Simbolik. Mekanisme psikis semacam ini mengacu pada pengalaman seseorang dalam melakukan idealisasi diri pada tahap

28

simbolik; identifikasi seseorang dengan Name-of-the Father sebagaimana direpresentasikan dalam pelbagai macam tata aturan, larangan, atau hukum berpakaian sebagaimana berlaku dalam masyarakat (Law of the Father). Identitas diri (ego) sebagaimana dihasilkan dari proses identifikasi dalam struktur simbolik ini merupakan identitas yang sesungguhnya kelak akan dijadikan sebagai identitas sosialnya (Ego Ideal, IchIdeal).18

[2] Object a ataulibidinal drive. Istilah inimengacu pada keberadaan sesuatu yang memiliki arti penting khusus untuk hasrat subjek. Sesuatu yang memiliki kemampuan membangkitkan hasrat atau gairahhidup subjek seseorang (object cause

desire) untuk menemukan keutuhan atau kepenuhan. Sesuatu yang memiliki kemampuan menggerakkan subjek seseorang menemukan hasrat akan sesuatu yang hilang (loss) atau kekurangan (lack). Sesuatu yang senantiasa mendorong subjek seseorang menemukan kehidupan atau menariknya untuk menuju ke sana. Sesuatu yang dimetaforkan sebagai tempat kosong di meja makan yang menunjukkan adanya kekurangan pada seseorang yang biasanya menempati lokasi itu, atau bekas sayatan di wajah yang mengingatkan pada sebuah pisau tajam yang tidak lagi ada.19

[3] Fantasy. Momen yang menempatkan seseorang ketika menjadi subject of desire.

Momen yang berlangsung pada saat seseorang melakukan mekanisme identifikasi untuk kedua kalinya (secondary identification) atau identifikasi pada struktur simbolik (symbolic identification). Momen yang terjadi pada saat seseorang telah

18 Marc Darmon (2002), “Imaginary Identification/Secondary Identification” dalam Alain de Mijolla (ed.), (2005), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. hlm.798- 799.

19 Philip Hill (1997), Lacan for Beginners, London: Writers and Readers Inc., hlm. 77. Juga Valentin Nusinovici (2002), “Object a”, dalam Alain de Mijolla (ed.), (2005), International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. 1172-4. Juga, Dylan Evans (2006), An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London and New York: Routledge, 2006, hlm. 128.

29

menapaki fase pasca-cemin atau memasuki dunia nilai, dunia simbolik, dunia bahasa, atau dunia sosial. Fantasi sangat diperlukan untuk mengerjakan ulang pengalaman traumatik yang dialami oleh seseorang pada masa lalu yang direpresi sebagai bagian dari ketidaksadaran. Pemrosesan ulang ini diperlukan agar apa yang direpresi tidak akan berkembang menjadi imej yang menyakitkan dan memengaruhi kestabilan psikisnya.20

[4] Ideal Ich atau Ideal Ego. Konsep yang dipakai untuk menggambarkan

penemuan identitas (ego) seorang anak yang berada di tahap cermin lewat mekanisme identifikasi atau idealisasi. Konsep ini mengacu pada imej yang dipantulkan oleh sumber kenikmatan sebagaimana dipersonifikasikan dengan sosok ibu atau cermin. Dari serangkaian imej yang direfleksikan oleh cermin, ibu, atau sosok pengganti ibu, dalam perkembangan kemudian satu di antaranya oleh Sang Anak akan dinobatkan atau diakui sebagai ego atau identitas dirinya sebagaimana akan dibawakan untuk berkomunikasi dengan liyan (other). Ego atau identitas diri bentukan atau khayalan sebagaimana dipantulkan oleh cermin atau ibu inilah yang dinamai dengan ideal ich atau ideal ego.

[5] Ich Ideal atau ego-ideal. Konsep yang dipergunakan Lacan untuk menamai

identitas (ego) yang sebenarnya dari seorang subjek. Sebuah identitas yang

dihasilkan oleh seorang subjek manakala berhubungan dengan liyan (Other) atau berpartisipasi secara sosial. Ego seorang subjek yang dihasilkan pada tahap pasca- cermin atau sudah menapaki tatanan simbolik lewat mekanisme identifikasi sekunder (secondary identification). Sebuah penanda yang beroperasi sebagai sesuatu yang diidealkan (citra ideal), sesuatu yang diinternalisasi dari hukum dan

30

tata aturan, dan akan memandu atau mengarahkan posisi subjek dalam tatatan simbolik, dan selanjutnya mengantispasi identifikasi sekunder atau produk identifikasi sekunder itu sendiri. (The ego-idealis the signifier operating as ideal, an internalized plan of the law, the guide governing the subject's position in the symbolic order, and hence anticipates secondary (Oedipal) identification or is a product of that identification.)21

[6] Alienasi sekunder (Secondary alienation). Sebuah gangguan psikis yang

diidap oleh seseorang yang telah menapaki fase pasca-cermin. Hal itu karena subjek merasakan bahwa ego yang harus ia bawakan dalam berkomunikasi dengan orang lain saat ini dalam kenyataannya tidak sesuai dengan kenikmatan primordial yang pernah ia kenyam sebelumnya tanpa gangguan atau interupsi saat berada di tahap cermin. Dalam hal ini subjek seseorang terpisah atau terasing dari dirinya sendiri. Sebuah gejala yang tidak memiliki kesempatan untuk dihindari, atau kemungkinan disintesiskan sebagai satu keseluruhan (the subject is fundamentally split, alienated from himself, and there is no escape from this division, no possibility of "wholeness" or synthesis).22

[7] Ambiguitas sekunder (secondary ambiguity). Momen yang dalam teori tahap

cermin dialami seorang pada tahap pasca-cermin atau simbolik. Setelah sang anak dipisahkan dari ibunya sebagai sumber hasrat sang anak, sang anak harus mematangkan identitasnya dalam dunia sosial. Momen yang kemudian menempatkan subjek dalam kenyataan bahwa apa yang selama ini dipahami sebagai hasratnya ternyata tidak berasal dari dirinya sendiri melainkan dari Liyan. Hasrat

21 Sophie de Mijolla-Meller (2005a), “Ego Ideal /Ideal Ego” dalam Alain de Mijolla (ed.),

International Dictionary of Psychoanalysis, New York: Thomson Gale, hlm. .798-799.

22, Sophie de Mijolla-Meller (2005b), “Alienation”, dalam Alain de Mijolla (ed.), International

31

sang anak merupakan hasrat Liyan. Hasrat Sang Anak ditentukan oleh masyarakat dan budaya. Hal ini merupakan perulangan pengalaman ambiguitas pada akhir tahap cerrmin dan mulai masuk ke tahap awal pasca cermin, bahwa hasrat Sang Anak merupakan hasrat Sang Ibu (other).

[8] Struktur Real. Struktur subjek yang tidak termasuk dalam struktur Imajiner

maupun Simbolik. Struktur ini sebagian tersusun dari realitas subjek, meski tidak sungguh diketahui, ia dimediasi oleh dua tatanan Imajiner dan Simbolik, sehingga saat ia muncul, subjek yang ada secara inheren sudah di-other-kan dan teralienasikan. (The "real" stands for what is neither symbolic nor imaginary. It forms part of a subjects reality, however it is never truly known, it is mediated by the