• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN PAKAIAN BEKAS DULU DAN KIN

A. Ngrombeng Dulu

A.2. Motif dan Pelaku Ngrombèng

Dalam kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, ngrombèng muncul ke permukaan sebagai salah satu model konsumsi yang banyak dilakukan masyarakat

9 Lihat, “Januari-Juni Yogya Inflasi 44,88 Pct: Sembako Naik Terus, Super Market Sepi”,

Kedaulatan Rakyat, 7 Juli 1998, hlm.2.

43

Yogyakarta. Sebuah model pemenuhan kebutuhan yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kalangan menengah-bawah. Para pegawai negeri golongan rendah seperti pesuruh dan penjaga malam; para penjaga kios atau toko kelontong, petugas kebersihan rumah sakit atau hotel, pelayan rumah makan, kuli bangunan, tukang becak, para pekerja domestik seperti pembantu rumah tangga, serta para pelajar dan mahasiswa miskin, merupakan pelaku utama aktivitas ngrombeng. Pada masa itu dengan sangat mudah orang bisa menyaksikan aksi mereka dalam mengkonsumsi pakaian bekas atau pakaian “awul-awul”. Pada waktu- waktu tertentu secara rutin mereka membelanjakan sebagian uangnya untuk membeli pakaian bekas atau rombengan yang mereka butuhkan.

Tanpa bermaksud mereduksi fenomena ngrombèng sebagai pengalaman personal, saya akan memasukkan unsur pengalaman saya sebagai saksi sekaligus pelaku ngrombèng ke dalam narasi ini. Sebagaimana mahasiswa indekost-an pada umumnya yang akrab dengan problem keuangan, tidak pelak menggiring saya untuk tercerap dalam aktivitas ngrombèng. Dalam seminggu saya bisa dua sampai tiga kali ngrombèng. Hal itu saya lakukan untuk mencari pelbagai jenis pakaian yang saya perlukan. Ngrombèng semakin intensif saya lakukan seiring keterlibatan saya dengan organisasi kemanusiaan seperti search and rescue (SAR) dan kepecintalaaman di lingkup intra kampus yang kerap memerlukan penggunaan jenis pakaian sesuai standard tertentu saat berada di lapangan. Selain pakaian seragam, saya masih memerlukan pakaian hangat seperti jumper, pull-over, celana atau jaket. Ketika membeli pakaian baru sebagaimana yang dimaksudkan menjadi sebuah kemustahilan, secara mati-matian saya pun berusaha memenuhinya dengan cara ngrombèng.

44

Bagi saya, penggunaan pakaian bekas bukan merupakan pengalaman yang sama sekali baru. Sebelumnya saya sudah cukup familiar dengan pakaian bekas. Debut pertama saya berhubungan dengan pakaian bekas bermula sejak masih kecil. Pengalaman yang saya maksudkan adalah pengalaman nglungsur (melungsur).11

Nglungsur menjadi salah satu cara orang berhubungan dengan pakaian bekas (dan aksesoris lainnya) yang cukup lazim dilakukan orang pada jaman dulu. Nglungsur yang saya alami berada di dalam ruang sosial terbatas atau bersifat internal batih (family) yakni hanya melibatkan antar-anggota dalam satu keluarga. Dalam konteks ini kebutuhan akan pakaian bisa langsung dicukupi secara terbatas dan cuma-cuma. Nglungsur kadang juga berkembang secara eksternal atau antar-keluarga dalam arti masing-masing orang tidak mengenal sama sekali. Nglungsur dalam pengertian kedua salah satinya bisa dilihat dalam kegiatan sosial kemanusiaan seperti bakti sosial atau bantuan kemanusiaan.12

Di tengah situasi keterpaksaan akibat krisis semacam itu ngrombèng menjadi tumpuan pemenuhan kebutuhan sebagian besar masyarakat yang paling terpengaruh oleh adanya krisis. Ngrombèng menjadi aktivitas rutin dalam mengakses pakaian yang mereka butuhkan. Lewat cara ngrombèng mereka bisa mendapatkan pelbagai jenis pakaian seperti kaos, kemeja celana, baju hangat seperti pull-over dan jumper, jaket, selimut-selimut tebal, seprei, bedcover (kain penutup tempat tidur), hingga gorden. Lewat cara ngrombèng masyarakat Yogyakarta pada umumnya bisa

11 Pemindahtanganan pakaian oleh seseorang kepada orang lain (hand something down). Departemen Pendidikan Nasional (2008). Op.cit., hlm. 442.

12 Keberadaan pakaian bekas sebagai barang pemberian (lungsuran) masih bisa ditemui hingga kini. Dies natalis kampus-kampus di Yogyakarta selain diisi acara seminar juga diisi dengan pasar murah, donor darah, bakti sosial lewat pemberian pakaian lungsuran (dikenal sebagai “pakaian pantas pakai”) ke panti asuhan dan panti wreda. Dalam event kebencanaan seperti erupsi Merapi 2010, misalnya, pakaian bekas (lungsuran) merupakan item yang bisa ditemui di hampir setiap posko..

45

menemukan pelbagai jenis dan model pakaian dengan harga per item barang yang bervariasi, yakni antara Rp. 1.000 hingga Rp. 1.500 untuk pelbagai jenis dan model kaos dan kemeja, Rp. 2.000 hingga Rp. 2.500 untuk celana panjang dan jaket, dan Rp. 5.000 hingga Rp. 5.500 untuk selimut, seprei dan bedcover. Para pembeli itu juga kerap mendapatkan harga ekstra berupa rabat dari para penjual manakala mereka membeli pakaian lebih dari dua buah.13

Sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan secara rutin dan telah sedemikian rupa terintegrasi ke dalam aktivitas hidup keseharian, ngrombèng berbeda dari model penggunaan pakaian pada umumnya yang dilakukan secara spontan atau hanya bersifat sambil lalu. Dibandingkan dengan model konsumsi pada umumnya ngrombèng muncul dengan alasan yang lebih mendasar. Jika begitu, apa sejatinya alasan yang mendasari aktivitas ngrombèng pada masa lalu? Sebagaimana diutarakan pada bagian sebelumnya, ngrombèng merepresentasikan keterpaksaan konsumsi. Keterpaksaan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat kalangan menengah bawah dalam memenuhi kebutuhan mereka akan pakaian. Sebuah aktivitas pemenuhan kebutuhan (konsumsi) yang muncul karena kendala finansial seiring dengan semakin memburuknya keasdaan karena krisis ekonomi yang melemahkan daya beli. Dengan demikian pada masa ini ngrombèng merepresentasikan model konsumsi masyarakat yang tengah menghadapi keterjepitan keadaan; dalam hal ini adalah ekonomi finansial.

13 Harga ini diperhitungkan di awal krisis 1998. Sejak tahun 2002 penjualan dilakukan dengan sistem pagu yakni dengan menentukan harga terendah dan tertinggi setiap jenis pakaian. Dalam perkembangan kemudian, pagu yang ditetapkan mengalami peningkatkan dan semakin bervariasi. Pada tahun 2009, pagu terendah yang ditetapkan adalah sebesar Rp. 10.000 dan harga tertinggi Rp. 125.000. Uraian lebih jauh tentang hal ini akan dibahas pada Bab III.

46

Ngrombèng pada saat yang sama juga mengingatkan pada model pertukaran ekonomi sebagaimana berkembang dalam masyarakat pada umumnya. Dalam model pertukaran yang sedemikian rupa menekankan keuntungan, konsumsi yang berkembang dalam masyarakat cenderung menjadi bersifat fait a compli atau either/or. Dalam model pertukaran semacam ini relasi antara komoditas dan konsumen sedemikian rupa berjalan sesuai rumus yang sepenuhnya ditetapkan pasar: take it or leave it. Dalil ini mengasumsikan faktor nilai tukar ekonomi (uang) sebagai variabel pokok yang harus dicukupi oleh konsumen ketika harus berhubungan dengan barang dagangan atau komoditas. Dalam model pertukaran semacam itu proses pemenuhan kebutuhan konsumen sepenuhnya didasarkan pada kemampuan finansial mereka. Konsumsi sepenuhnya sangat ditentukan oleh kapasitas konsumen dalam menggenggam nilai tukar ekonomi. Ketika seorang konsumen mengkonsumsi suatu komoditas tertentu, dengan sendirinya orang itu memang memiliki kemampuan finansial untuk membelinya.

Bagi kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi dan finansial lebih kondisi semacam itu sudah barang pasti bukan merupakan persoalan. Akan tetapi sebaliknya, bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan finansial, konsumsi kemudian menjadi sesuatu yang dilematis. Hubungan antara konsumen dan komoditas kemudian menjadi sebuah armagedon (pertarungan); sebuah hubungan yang bersendikan pada dalil “harta atau nyawa”. Konsekuensi dalil itu mengerikan: memilih harta, nyawa hilang; memilih nyawa, harta hilang. Konsumen boleh jadi bisa memaksakan diri agar kebutuhannya terpenuhi dengan cara menggunakan lebih dulu uang makan atau mengutang pada kerabat. Hanya saja hal itu tentunya bukan opsi terbaik untuk diambil. Putusan itu hanya akan

47

melahirkan masalah baru, karena begitu satu kebutuhan tercukupi, kebutuhan lain justru akan tetap menganga karena tidak terpenuhi. Dilema yang ada pada akhirnya melahirkan perasaan ketidaknyamanan (unpleasure) di kalangan para konsumen.

Sampai di sini bisa jelas kiranya bahwa alasan utama orang untuk mengkonsumsi pakaian bekas atau ngrombèng pertama-tama didasarkan pada alasan atau pertimbangan ekonomi, yakni demi kemurahan. Ngrombèng dengan kata lain merupakan wujud konkret dari sikap berhemat. Dengan mengkonsumsi rombengan atau pakaian “awul-awul” yang nota bene merupakan barang lama dan berharga murah, para konsumen merasa sangat tertolong. Bagi mereka yang memiliki keterbatasan finansial, ngrombèng menyodorkan kesempatan untuk mengatasi proses konsumsi yang terkendala oleh persoalan harga. Penghematan yang ditempuh dengan cara mengkonsumsi rombengan pada gilirannya juga berkaitan dengan elastisitas kemampuan mereka dalam hal konsumsi. Dengan demikian di samping akan mengatasi persoalan kendala harga untuk satu jenis kebutuhan, ngrombèng juga membuka kesempatan pada konsumen untuk memerluas jangkauan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup lainnya.

Hal lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah bahwa di dalam sistem pertukaran yang berorientasi profit, pemenuhan kebutuhan sebagaimana berlangsung di pasar modern cenderung berjalan menuju satu arah. Implikasinya, apa yang dilakukan konsumen dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka tidak lebih sekedar “menyetujui” setiap keputusan sebagaimana tekah ditentukan oleh pasar. Dalam situasi semacam itu apa yang dibayangkan sebagai kemungkinan atau alternatif berada dalam posisi marginal atau bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Ketentuan pasar sebagaimana mendasari sistem pertukaran ekonomi modern

48

semacam ini menjadikan proses konsumsi tidak lebih sebagai tindakan mengkonsumsi komoditas “yang harus dan yang hanya itu saja”. Ketiadaan kemungkinan atau alternatif menjadikan aktivitas membeli juga hanya memiliki satu arti, yakni membeli komoditas baru sebagaimana disodorkan oleh pasar dengan harga yang mahal.

Dihadapkan pada kecenderungan sebagaimana diutarakan di atas, bagi mereka yang memiliki keterbatasan finansial, ngrombèng merepresentasikan upaya atau kreativitas orang dalam menciptakan jalan keluar dari himpitan permasalahan yang muncul dalam hal konsumsi. Sebuah siasat yang dilakukan konsumen ketika menghadapi sebuah dilema tertentu. Akan tetapi, mengapa keputusan itu kemudian dikembangkan lewat cara ngrombèng? Mengapa ngrombèng menjadi tumpuan keputusan dan upaya itu? Dalam kondisi yang dilematis dan seolah-lah tidak terjembatani semacam itu, ngrombèng dipandang oleh sebagian besar orang sebagai aktivitas yang paling realistis dilakukan terutama konsumen kalangan menengah- bawah. Kata realistis adalah kata lain dari ideal. Idealitas ngrombèng terletak pada kekuatannya dalam mengurangi tensi atau tegangan yang berakar pada sistem dan mekanisme pertukaran modern yang ternyata berpotensi melahirkan banyak dilemma yang tidak mudah dipecahkan.

Ngrombèng memiliki kekuatan yang akan menjamin konsumen keluar dari dilema dan ketidaknyamanan konsumsi modern yang tidak memberi ruang gerak kepada mereka. Ngrombèng mereka tempatkan sebagai sesuatu yang bisa memulihkan proses konsumsi sehingga tidak menjadi sesuatu yang membebani hidup mereka sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan. Ngrombèng juga menegaskan bahwa ketika orang mengkonsumsi suatu komoditas, pertama-tama bukan karena

49

komoditas itu perse, tetapi karena alternatif yang ada di dalamnya. Dengan ngrombèng terbuka celah kemungkinan bagi para konsumen untuk berkelit atau mengelak dari keharusan pasar, bahwa mengkonsumsi suatu komoditas tidak semata-mata berarti mengkonsumsi sesuatu yang baru. Para konsumen itu juga mencoba untuk menghindar dari adagium pasar: ana dhuwit ana barang (ada uang ada barang) dan ana rupa ana rega (ada kualits ada harga) yang telah diterima dan berkembang sedemikian rupa sebagai semacam keyakinan dalam masyarakat pada umumnya.