• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTITAS DAN SUBJEK PAKAIAN BEKAS

A. Pakaian Bekas dan Identitas

A.1. Konsumsi Mutakhir dan Estetisasi Mode

Sebagaimana disinggung pada awal pembicaraan, selama satu dasawarsa terakhir wajah Yogyakarta telah sedemikian berubah menjadi sebuah sanctuaria konsumsi. Perubahan wajah Yogyakarta kontemporer tidak lagi didasarkan pada hal-hal yang untuk beberapa waktu sebelumnya dipandang merepresentasikan kreativitas dan keluhuran atau keadiluhungan nilai, melainkan lebih ditentukan oleh faktor konsumsi sebagaimana ditandai dengan pelipatgandaan dan pergerakan objek- objek konsumsi atau komoditas. Seiring perjalanan waktu objek-objek konsumsi

179

atau komoditas yang semakin banyak itupun secara eksesif telah mengintrusi kehidupan masyarakat dalam pelbagai matra. Membayangkan sebuah ruang yang kebal atau imun dari pelbagai desakan objek-objek konsumsi atau komoditas pada zaman sekarang seolah-olah menjadi sesuatu yang mahal dan mustahil terpenuhi. Desakan objek-objek konsumsi atau komoditas yang sangat intensif dalam perkembangan kemudian secara gemilang berhasil mengubah wajah Yogyakarta kontemporer secara radikal.

Salah satu objek konsumsi atau bentuk komoditas yang ikut menentukan warna, arah, dan pembentukan wajah Yogyakarta kontemporer itu adalah pakaian bekas. Kemunculan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer itu sendiri bisa ditempatkan sebagai suatu paradoks atau ambiguitas. Hal yang demikian karena di tengah multiplikasi dan pergerakan objek-objek konsumsi atau komoditas yang menekankan pada bentuk dan citarasa modern, kemunculan pakaian bekas merupakan satu hal yang berada di luar “nalar umum” konsumsi masyarakat. Lebih mengherankan lagi, melalui mekanisme perdagangan keberadaan pakaian bekas justru berhasil mendapatkan animo dan antuasisme publik yang tinggi dan memantik hasrat konsumsi pelbagai kalangan secara luas. Selama rentang waktu lebih dari satu dasawarsa pakaian bekas berhasil mendapatkan akseptabilitas publik sehingga menjadi bagian dari way of life masyarakat Yogyakarta kontemporer. Secara pelan dan pasti pakaian bekas berhasil memantapkan dirinya sebagai salah satu dari sekian banyak situs konsumsi masyarakat Yogyakarta.

Mendekatnya pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi baik yang bersifat material maupun jasa secara massif dan massal dalam kehidupan sosial dan budaya pada perkembangan selanjutnya ikut menentukan arah dan pembentukan

180

masyarakat sebagaimana diistilahkan oleh Jean Baudrillard dengan consumer society. Sebuah masyarakat yang di dalamnya berkembang suatu suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, memaksa, dan menggiring orang-orang yang ada di dalamnya untuk senantiasa berpartisipasi dalam aktivitas konsumsi alih- alih produksi, dan memuja kenikmatan (enjoyment, pleasure) alih-alih melakukan pelbagai pilihan rasional atas pelbagai komoditas yang hadir secara massif dan massal.1 Dalam masyarakat semacam itu proses konsumsi yang berlangsung sudah

sedemikian rupa sampai pada tahap -- meminjam istilah Jean Baudrillard -- “general hysteria.”2

Pergerakan dan multiplikasi objek konsumsi sebagaimana dikemukakan di atas dengan demikian sejatinya bukan hanya merepresentasikan lahirnya sebuah consumer society, tetapi sekaligus merepresentasikan terbentuknya sebuah consumer culture. Dalam pengertian ini pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi yang ada tidak hanya mempenetrasi proses dan aktivitas sosial dan ekonomi rumah tangga masyarakat secara umum, melainkan juga telah mengintrusi atau merembes hingga pada proses pemaknaan atas pengalaman psikologis orang baik secara individual maupun kelompok. Dengan kata lain, konsumsi sebagaimana berkembang dalam masyarakat saat ini memiliki kekuatan besar dalam pembentukan identitas, komunikasi antar-personal, dan pengategorisasian peristiwa. Keadaan semacam ini bisa diilustrasikan sebagai sebuah proses dalam mana masyarakat konsumen telah sedemikian rupa tergantikan oleh masyarakat konsumeris. Dari aras ini, konsumsi yang terjadi di dalam masyarakat modern secara signifikan memainkan peran sosial

1 Jean Baudrillard (1998), The Consumer Society: Myths and Structure. London: Sage Publication. 2 Jean Baudrillard (1996),“The Consumer Society” dalam Mark Poster (ed.), Jean Baudrillard:

181

formatif yang bersifat fundamental, yakni sebagai bagian dari cara hidup (way of life).

Dalam situasi semacam ini terjadi perubahan dan pergeseran dalam pengertian konsumsi. Jika pada mulanya konsumsi mengacu pada aktivitas orang dalam memenuhi kebutuhan, kini ia telah bergeser menjadi sejenis kebutuhan baru. Proses pemenuhan kebutuhan sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen telah bergeser menjadi aktivisme yang dalam realitas keseharian ditandai oleh aktivitas belanja. Dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi masyarakat semacam itu konsumen diarahkan sedemikian rupa menjadi homo economicus dala arti manusia yang mabuk untuk melakukan aktvitas konsumsi. Suatu aktivitas yang dalam bentuk keseharian direpresentasikan dalam aktivitas berbelanja. Di tengah masyarakat yang telah sedemikian dikepung atau dibanjiri oleh pelbagai komoditas secara berlimpah ruah, konsumsi telah menyeret para konsumen sedemikian rupa masuk dalam sebuah aktivitas berbelanja secara terus menerus tanpa berkesudahan. Ekspresi kebahasaan manusia masa kini secara eksistensial seolah-olah hanya akan tercapai lewat pelbagai komoditas sebagaimana dibawakan oleh pelbagai situs konsumsi perdagangan.

Bebelanja bagi manusia masa kini menjadi ritus yang akan selalu berulang- ulang dilakukan tanpa mengenal titik akhir kebersudahan. Demikian persis di sini sekali lagi kita menyaksikan bahwa konsumsi tidak lagi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan, melainkan menjadi sejenis kebutuhan baru. Ketika sesorang selesai dengan kebutuhan yang satu, orang segera akan berpindah dengan kebutuhan lainnya. karenanya, manakala seseorang telah mendapatkan bentuk komoditas tertentu, ia akan mencari bentuk komoditas lainnya. Gagasan bahwa sejatinya

182

dalam suatu komoditas atau objek konsumsi memiliki nilai substitusi telah sedemikian rupa terpinggirkan oleh dorongan untuk selalu mencari dan menumpuk pelbagai bentuk komoditas. Konsumen mengidap kesalahan persepsi dalam menempatkan pengertian konsumsi. Konsumsi tidak lagi dipahami sebagai penggunaan barang untuk memenuhi kebutuhan, tetapi lebih dekat dengan pengertian menumpuk barang. Kesalahan persepsi sebagaimana dialami oleh para konsumen dalam asumsi psikoanalisis Lacanian bukan bersifat ontologis, dalam arti berkaitan dengan persoalan benar dan salah, melainkan lebih bersifat primodial. Semacam bakat yang sudah melekat dalam diri para konsumen.

Perubahan arah dan makna konsumsi juga berimbas pada posisi konsumen dalam hubungannya dengan pelbagai bentuk komoditas yang ada di sekelilingnya. Dalam model konsumsi yang serba berkelebihan dan tidak mengenal ujung akhir, posisi konsumen dan komoditas atau objek-objek konsumsi mengalami paradoks. Di hadapan pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi, posisi konsumen sebagai terjadi sekarang bukan lagi sebagai subjek yang memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri. Sebaliknya, posisi konsumen telah mengalami objektivikasi. Konsumen sebagaimana berkembang dalam masyarakat konsumen sejauh ini telah dikebawahkan atau menjadi objek pelbagai bentuk komoditas atau objek konsumsi. Pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi saat ini berada pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan pengguna atau konsumennya. Pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi itu oleh para konsumen dianggap memiliki nilai fetish yang mengatasi bentuknya secara objektif. Di dalam pelbagai bentuk komoditas atau objek konsumsi itu – dalam terminologi sosiologi dan antropologi – telah dilumuri dengan mana atau kekuatan magis yang membuat konsumen atau

183

penggunanya melemparkan kediriannya di bawah duli komoditas karena merasa aman, nyaman, dan lengkap. Para konsumen dalam hal ini mengalami apa yang disebut fetish.3

Dalam masyarakat dan budaya konsumen sebagaimana diistilahkan Baudrillard tengah mengalami general hysteria pada dasarnya menggarisbawahi lahirnya subjek neurosis.4 Dalam kondisi seperti itu konsumsi menjadi jembatan yang menghubungkan subjek konsumen dengan bahasa atau langue, aturan, dan tatanan tertentu (baca: Law of the Father). Sebuah tatanan sosial yang menempatkan persoalan partisipasi orang dalam kehidupan masyarakat dan budaya berdasarkan intensivitas dalam berhubungan dengan pelbagai bentuk komoditas. Hubungan subjek dengan bahasa sebagaimana direpresentasikan lewat komoditas menjadi neraca partisipasi orang dalam masyarakat dan budaya (Other). Orang yang sangat intens berhubungan dengan komoditas akan mendapatkan pengakuan sosio-kultural tinggi. Sebaliknya, orang yang memiliki jarak yang cukup jauh dengan komoditas yang ada di sekelilingnya justru akan terpinggirkan, karena dianggap aneh atau berbeda dari yang lain. Orang dikatakan berhasil memasuki dunia sosial dan budaya dipandang berdasarkan sejauh mana ia berhubungan dengan pelbagai bentuk komoditas yang ada dalam masyarakat. Seleksi dan “kecerdasan konsumsi” orang sebagaimana ditandai dengan penggunaan barang atau komoditas sesuai kegunaan atau berusia panjang, saat ini justru menjadi suatu keanehan dan tidak bisa dipahami secara umum.

3 Objek menjadi fetish bukan dalam pengertian objek itu dalam dirinya sndiri (in situ), melainkan karena pemaknaan yang diberikan orang terhadapnya. Dengan kata lain karena pikiran orang yang masih dikuasai oleh falus maternal (maternal phallic).