• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumberdaya air di DAS Citarum yang memiliki peran strategis dalam banyak aspek kehidupan masyarakat luas sangat memerlukan perencanaan yang tepat dalam praktek pengelolaannya, sehingga pemenuhan kebutuhan air dapat dilakukan secara adil, baik menurut skala prioritas, jumlah maupun lokasinya. Pengelolaan sumberdaya air berbasis metode neraca air merupakan sebuah pendekatan yang mendasarkan perencanaan sumberdaya air secara komprehensif dengan mengidentifikasikan secara cermat potensi sumberdaya air yang ada sebagai supply dan memperkirakan kebutuhan masyarakat akan air sebagai demand, sehingga dapat diprediksi kebutuhan masyarakat akan sumberdaya air dan potensi sumberdaya air tetap terjaga dengan baik.

4 Dalam konteks ilmu hidrologi, neraca air merupakan suatu penjelasan tentang hubungan antara aliran masuk (inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah untuk suatu periode tertentu dari proses sirkulasi air. Apabila dapat diketahui besarnya aliran masuk dan keluar maka akan dapat diketahui besarnya simpanan air, yang mencerminkan potensi sumberdaya air yang ada di dalam suatu wilayah.

Dalam penelitian ini neraca air diperhitungkan sebagai perbandingan antara dua komponen, yaitu ketersediaan air di hulu DAS Citarum dan kebutuhan air di daerah hilirnya. Perhitungan neraca air dilakukan untuk tiga subyek dan sasaran yang agak berbeda, yaitu neraca air lahan, neraca air Waduk Jatiluhur dan neraca air Sungai Citarum. Neraca air lahan digunakan untuk menggambarkan kondisi potensi sumberdaya air di daerah penelitian secara keseluruhan, sementara neraca air Waduk Jatiluhur dan neraca air Sungai Citarum secara khusus dihitung untuk mengetahui potensi air dari Sungai Citarum yang tersimpan di Waduk Jatiluhur.

Neraca air lahan disusun menurut konsep klimatologi dan bermanfaat untuk mengetahui berlangsungnya periode basah (surplus air) dan periode kering (kekurangan air) pada suatu wilayah secara umum. Dalam penelitian ini, neraca air lahan dianalisis untuk memberikan gambaran potensi sumberdaya air secara hidroklimatologis di DAS Citarum bagian hulu dan di daerah hilirnya, yang merupakan daerah irigasi Jatiluhur di daerah Pantura Jawa Barat. Jumlah aliran yang masuk dapat dianalisis dari curah hujan yang diterima dan aliran yang keluar dianalisis dari besarnya evapotranspirasi potensial yang terjadi pada wilayah tersebut. Besarnya jumlah aliran masuk dan aliran keluar dalam konteks neraca air lahan diperhitungkan dengan menggunakan metode Thornthwaite-Mather dengan bantuan program neraca air yang berbasis bahasa program Visual Delphi 5.

Secara lebih spesifik, neraca air lahan pada lahan pertanian irigasi Waduk Jatiluhur di daerah Pantura Jawa Barat juga dihitung dengan membandingkan selisih antara jumlah air yang diterima oleh tanaman dan kehilangan air dari tanaman beserta tanah melalui proses evapotranspirasi. Dalam penelitian ini, analisis neraca air lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur dihitung dengan menggunakan metode Penman – Monteith dengan bantuan program CropWat for Windows versi 8.0.

Program CropWat for Windows versi 8.0 juga digunakan untuk menghitung total kebutuhan air tanaman dan air irigasi pada lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur. Hasil perhitungan kebutuhan air tersebut nantinya akan dibandingkan dengan potensi air yang tersimpan di Waduk Jatiluhur dari hasil analisis neraca air waduk.

5 Neraca air Waduk Jatiluhur dihitung dari perbandingan selisih antara debit inflow dan outflow waduk. Debit inflow yang digunakan dalam analisis merupakan total aliran air yang masuk ke dalam Waduk Jatiluhur, yang berasal dari outflow Waduk Cirata yang dialirkan masuk ke inlet Waduk Jatiluhur dan ditambah dengan inflow lokal yang berasal dari curah hujan yang jatuh di Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Jatiluhur dan baseflow yang masuk menjadi aliran ke dalam Waduk Jatiluhur. Debit outflow Waduk Jatiluhur sendiri merupakan total air yang dikeluarkan dari outlet Waduk Jatiluhur untuk digunakan berbagai kebutuhan air baku dan air irigasi di daerah hilir. Selisih antara debit inflow dan outflow waduk dapat mencerminkan volume potensi simpanan/ketersediaan air dari Sungai Citarum yang tersimpan di Waduk Jatiluhur.

Sungai Citarum mengalir dari arah selatan masuk ke Waduk Saguling. Aliran dari Waduk Saguling kembali lagi ke Sungai Citarum dan masuk ke Waduk Cirata, untuk kemudian dialirkan lagi melalui Sungai Citarum ke Waduk Jatiluhur. Dari Waduk Jatiluhur air mengalir lagi ke Sungai Citarum menuju bagian hilir. Aliran ini akan bertambah dengan masuknya anak-anak sungai di sepanjang aliran tersebut hingga sampai ke bagian hilir, dan kemudian didistribusikan ke tiga buah saluran, yaitu Tarum Barat, Tarum Timur dan Tarum Utara. Saluran Tarum Barat memberikan pasokan air ke wilayah DKI Jakarta dan Bekasi untuk kebutuhan air baku PDAM dan kawasan industri serta irigasi pertanian di sekitar daerah tersebut. Saluran Tarum Timur memberikan pasokan air irigasi bagi daerah Subang dan Indramayu, sedangkan saluran Tarum Utara memberikan pasokan air irigasi bagi daerah Subang dan Karawang. Pemecahan air menuju Tarum Barat dan Tarum Timur dilakukan di Bendung Curug, adapun untuk Tarum Utara dilakukan di Bendung Walahar. Bila air di Waduk Jatiluhur melebihi kebutuhan ketiga saluran, maka air akan mengalir ke Bendung Walahar dan akhirnya bermuara di Laut Jawa. Skema aliran air Sungai Citarum mulai dari hulu hingga ke hilir dapat dilihat dalam Peta Lokasi Daerah Penelitian pada Lampiran 1.

Dalam analisis supply and demand untuk pasokan air irigasi di daerah hilir, pasokan air diperhitungkan dari aliran Sungai Citarum yang dikeluarkan dari Waduk Jatiluhur yang kemudian dialirkan ke arah saluran Tarum Barat, Timur dan Utara. Aliran pada ketiga saluran ini akan ditambahkan dengan aliran yang masuk dari beberapa anak sungai (sumber lokal) yang ada di sepanjang lintasan saluran Tarum. Total aliran ini akan dibandingkan dengan total kebutuhan air di daerah irigasi Jatiluhur, sehingga dapat diketahui adanya kelebihan ataupun kekurangan air irigasi pada daerah tersebut.

6 Curah hujan bulanan dianalisis untuk mengetahui saat dimana kebutuhan air irigasi di daerah irigasi Jatiluhur tersebut tercukupi dan juga saat terjadinya kekurangan air. Suatu wilayah dapat mengalami surplus air untuk periode tahunan, namun bila dianalisis untuk periode bulanan mungkin pada bulan-bulan tertentu wilayah tersebut mengalami defisit air. Hal ini terjadi karena hujan tidak pernah merata penyebarannya baik dari unsur tempat, jumlah maupun waktu, sehingga tingkat ketersediaan air antara daerah satu dengan lainnya juga akan berfluktuasi.

Kekeringan dan kemarau panjang yang terjadi secara ekstrim seperti pada kondisi El-Nino menyebabkan cadangan air semakin berkurang dan sementara itu hujan yang menjadi sumber air utama tidak ada. Jika keadaan ini berlangsung dalam waktu lama akan menyebabkan tanaman pertanian mengalami kekurangan air. Kekeringan merupakan salah satu bencana alam yang dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat terutama petani. Bencana kekeringan selain diakibatkan oleh kurangnya curah hujan juga dapat disebabkan oleh kurangnya daya serap lahan akan air. Menurunnya daya serap lahan dapat disebabkan oleh perubahan tata guna lahan seperti kawasan hutan yang berubah menjadi kawasan industri dan perumahan, sehingga ketersediaan air pada satu kawasan tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pertanian dan kebutuhan air bersih sehari-hari.

Dalam bidang pertanian, informasi spasial tentang indeks kekeringan sangat diperlukan, terutama untuk menentukan pola tanam atau varietas yang cocok untuk ditanam. Informasi indeks kekeringan dapat dibuat berdasarkan karakteristik iklim seperti pola hujan bulanan, suhu udara, penguapan dan sifat tanah itu sendiri. Informasi lain yang penting adalah informasi ketersediaan air tanah. Dengan informasi ini dapat direncanakan budidaya tanaman dan tataguna lahan, sehingga dapat dihitung kebutuhan air tanaman, luas areal tanaman dan volume air yang dibutuhkan selama periode masa tanam secara keseluruhan.

Hasil analisis data curah hujan, perhitungan neraca air lahan dan indeks kekeringan ini nantinya akan digambarkan dalam bentuk peta. Dari hasil analisis spasial ketiga peta tematik tersebut akan dapat ditentukan daerah-daerah yang perlu mendapatkan prioritas pemberian air irigasi.

7

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, secara garis besar permasalahan yang akan dianalisis adalah :

1. Dengan pola musim yang tidak menentu sebagai dampak dari pemanasan global yang terjadi saat ini, perlu diidentifikasi secara klimatologis lokasi dan waktu terjadinya kondisi surplus air maupun defisit air di DAS Citarum Hulu yang merupakan Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Jatiluhur dan daerah irigasinya pada bagian hilir di wilayah Pantura Jawa Barat melalui pendekatan analisis neraca air. Hasil analisis neraca air ini akan mampu memberikan gambaran mengenai potensi sumberdaya air yang ada di Waduk Jatiluhur selaku daerah yang memberikan supply air irigasi, maupun kondisi sumberdaya air di wilayah Pantura Jawa Barat itu sendiri sebagai wilayah yang membutuhkan (demand) air irigasi untuk lahan pertanian di daerah tersebut.

2. Kekeringan yang terjadi pada daerah irigasi Jatiluhur di wilayah Pantura Jawa Barat perlu diidentifikasi melalui analisis indeks kekeringan, untuk mengetahui potensi kekeringan yang mungkin terjadi di wilayah tersebut.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis neraca air dan indeks kekeringan di DTA Waduk Jatiluhur dan daerah irigasinya di wilayah Pantura Jawa Barat.

2. Menghitung kebutuhan air tanaman, kebutuhan air irigasi dan efisiensi penyaluran air irigasi pada lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur untuk periode waktu tertentu. 3. Mengidentifikasi dan memetakan daerah yang perlu mendapat prioritas pasokan air

8

TINJAUAN PUSTAKA

Neraca Air

Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu. Menurut Doorenbos dan Pruitt (1977) dalam perhitungan neraca air, hujan satu titik dan hujan wilayah dapat menggunakan nilai rata-rata selama beberapa tahun pengamatan atau menggunakan peluang melampaui nilai tertentu. Setelah sampai di permukaan perjalanan air hujan akan ditentukan oleh karakteristik permukaan yang meliputi sifat fisik tanah, penutupan vegetasi dan karakteristik air permukaan pada badan air seperti sungai dan cekungan yang menyimpan air. Akhirnya, sebagai keluaran dalam perhitungan neraca air adalah limpasan dan evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah kombinasi antara evaporasi dan penguapan oleh vegetasi. Evapotranspirasi disebut juga pemakaian konsumtif air untuk menunjukkan jumlah air yang dikonsumsi oleh tanaman. Berdasarkan ketersediaan energi dan air, evapotranspirasi yang terjadi pada permukaan tanah terbagi atas evapotranspirasi potensial (PE) dan evapotranspirasi aktual (AE).

Konsep neraca air dalam suatu DAS dirumuskan oleh Seyhan (1977) sebagai berikut :

P = R + AE ± Δ St ...(1) dimana ; P = curah hujan

R = limpasan permukaan AE = evapotranspirasi aktual Δ St = perubahan simpanan

Apabila neraca air tersebut diterapkan untuk periode rata-rata tahunan, maka Δ St dapat dianggap nol, sehingga surplus air yang tersedia adalah :

R = P – AE ...(2)

Jika tanah dalam keadaan cukup air dan vegetasi yang tumbuh di atasnya menutupi seluruh permukaan, maka evapotranspirasi yang terjadi disebut evapotranspirasi potensial (PE). Dalam keadaan demikian besarnya evapotranspirasi ditentukan oleh keadaan cuaca (atmosfer). Keadaan tanah yang makin kering menyebabkan kecepatan evapotranspirasi berada di bawah evapotranspirasi potensial dan disebut evapotranspirasi aktual (AE). Selanjutnya evapotranspirasi pada setiap tanaman dan fase pertumbuhan berbeda-beda akibat kekasaran aerodinamik dan proporsi penutupan tanah, maka dikenal istilah evapotranspirasi acuan (ET0).

9 Metode Thornthwaite-Mather merupakan salah satu metode yang umum digunakan untuk mengetahui neraca air lahan pada suatu DAS. Metode ini memperhitungkan beberapa parameter neraca air dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabular. Dengan metode ini fluktuasi ketersediaan air tanah dari bulan ke bulan dapat diketahui.

Nasir (1986, dalam Zulkarnaini, 1995) mengenalkan tiga model neraca air yang didasarkan pada tujuan penggunaannya sebagai berikut : (1) neraca air umum, disusun menurut konsep klimatologi dan bermanfaat untuk mengetahui berlangsungnya periode basah (surplus air) dan periode kering (kekurangan air) pada suatu wilayah secara umum; (2) neraca air lahan (pertanian), yaitu analisis dengan memperhatikan sifat dan perilaku tanah terhadap atmosfer, dan sebagai penunjangnya diperlukan data fisik tanah terutama kandungan air pada tingkat kapasitas lapang dan pada titik layu permanen; serta (3) neraca air lahan tanaman, ruang lingkup pemakaiannya lebih sempit, karena berlaku hanya untuk jenis tanaman tertentu selama periode pertumbuhannya.

Selanjutnya disebutkan pula oleh Zulkarnaini (1995) bahwa hasil perhitungan neraca air yang memberikan informasi berupa kadar air tanah, surplus dan defisit air serta limpasan permukaan dapat dimanfaatkan untuk perencanaan sistem usaha tani, yaitu : (1) mempertimbangkan kesesuaian pertanian lahan kering, berdasarkan kandungan air tanahnya; (2) mengatur waktu tanam dan pola tanam; (3) merencanakan pemberian air berdasarkan kebutuhan air dan pertumbuhan serta perkembangan tanaman.

Kekeringan dan Indeks Kekeringan

Pengertian kekeringan menurut Bapennas (2003) adalah kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air. Kekeringan merupakan suatu fenomena alam yang tidak bisa dielakkan yakni merupakan variasi normal dari cuaca yang perlu dipahami. Kekeringan menyangkut neraca air antara inflow dan ouflow atau antara presipitasi dan evapotranspirasi. Kekeringan tidak hanya dilihat sebagai fenomena fisik cuaca saja tetapi hendaknya juga dilihat sebagai fenomena alam yang terkait erat dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap air.

Lebih jauh, Bappenas juga mengklasifikasikan kekeringan menjadi beberapa kriteria sebagai berikut :

a. Kekeringan Meteorologis; berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan.

10 b. Kekeringan Hidrologis; berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan.

c. Kekeringan Pertanian; berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologi.

d. Kekeringan Sosial Ekonomi; berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti rusaknya tanaman, peternakan, perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran transportasi air, menurunnya pasokan air baku untuk industri domestik dan perkotaan.

e. Kekeringan Hidrotopografi; berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai antara musim hujan dan musim kering dan topografi lahan.

Menurut Sudibyakto (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi kekeringan adalah ketidakmampuan tanah untuk menahan air yang berasal dari air hujan untuk jangka waktu tertentu. Kemampuan tanah menahan air menurut Thornthwaite-Mather (1957, dalam Sudibyakto, 1985) sangat ditentukan oleh jenis tanah (terutama tekstur) dan jenis vegetasinya. Vegetasi yang jenisnya sama apabila tumbuh pada jenis tanah yang berbeda, maka akan mempunyai kedalaman zona perakarannya yang berbeda, sehingga nilai Water Holding Capacity (WHC) atau kapasitas lengas tanahnya juga berbeda. Perbedaan faktor inilah yang dapat menimbulkan kekeringan.

Menurut Thornthwaite-Mather (1957, dalam Sudibyakto, 1985) besarnya kekeringan di suatu daerah dirumuskan sebagai indeks kekeringan yang diperhitungkan berdasarkan besarnya curah hujan tahunan dengan besarnya evapotranspirasi potensial tahunan. ILACO (1981, dalam Sudibyakto et al, 1999) mengemukakan bahwa indeks kekeringan (aridity index) merupakan salah satu subvisi dari klasifikasi iklim Thornthwaite.

Kebutuhan Air Tanaman dan Irigasi

Tanaman membutuhkan air agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Air tersebut dapat berasal dari air hujan maupun air irigasi. Sosrodarsono dan Takeda (1987) mengatakan bahwa kebutuhan air tanaman memiliki pengertian yang sama dengan

11 konsumsi air oleh tanaman yang didefinisikan sebagai banyaknya air yang hilang dari area bervegetasi per satuan luas per satuan waktu yang digunakan untuk transpirasi atau pertumbuhan dan perkembangan serta evaporasi dari permukaan vegetasi dan tanah. Definisi lain kebutuhan air tanaman dikemukakan oleh Doorenbos dan Pruitt (1977), yaitu banyaknya air yang dibutuhkan untuk mengimbangi kehilangan air melalui evapotranspirasi dari tanaman yang tumbuh di lahan yang luas, pada kondisi air tanah dan kesuburan tidak dalam keadaan terbatas, serta dapat mencapai produksi potensial.

Kebutuhan air tanaman atau evapotranspirasi tanaman (ETc) dirumuskan oleh Doorenbos dan Pruitt (1977) sebagai perkalian antara evapotranspirasi acuan (ET0) dengan koefisien tanaman (Kc) yang besarnya tergantung dari jenis dan umur tanaman, atau :

ETc =Kc x ET0 ... (3)

dimana ; ETc = evapotranspirasi tanaman (mm) Kc = koefisien tanaman

ET0 = evapotranspirasi acuan (mm)

Menurut Brouwer dan Heibloem (1986, dalam Soehadi, 2005) nilai kebutuhan air tanaman yang tinggi akan ditemukan pada daerah yang suhunya tinggi, kelembaban udaranya rendah, berangin dan kondisi langit tidak berawan. Untuk nilai kebutuhan air tanaman yang rendah akan ditemukan pada daerah bersuhu rendah, kelembaban udaranya relatif tinggi, sedikit berangin dan kondisi langitnya berawan.

Tabel 1. Indikasi Kebutuhan Air Tanaman Pada Berbagai Kondisi Iklim

Faktor Iklim Kebutuhan Air Tanaman

Tinggi Rendah

Suhu Panas Dingin

Kelembaban Udara Rendah (kering) Tinggi (basah)

Kecepatan Angin Berangin Sedikit berangin

Lama Penyinaran Terang (tidak berawan) Gelap (berawan)

Sumber : Brouwer dan Heibloem (1986, dalam Soehadi, 2005)

Air irigasi menurut Suroso (2006) adalah sejumlah air yang umumnya diambil dari sungai atau waduk dan dialirkan melalui sistem jaringan irigasi, guna menjaga keseimbangan jumlah air di sawah. Keseimbangan air yang masuk dan keluar dari suatu lahan dapat dilihat dalam Gambar 1. Menurut Gambar 1, sumber air pada suatu lahan pertanian dapat berasal dari air hujan (R) maupun air irigasi (IR), dimana air tersebut kemudian ada yang merembes ke dalam tanah melalui proses perkolasi (P) dan infiltrasi (I), terpakai untuk pengolahan tanah (Pd) dan juga untuk evapotranspirasi (ET).

12 Gambar 1. Keseimbangan air pada suatu lahan (Suroso, 2006)

Berdasarkan Gambar 1, maka keseimbangan air pada suatu lahan pertanian dapat dirumuskan sebagai berikut :

IR + R = ET + Pd + P&I... (4) atau,

IR = (ET + Pd + P&I) - R ...(5)

dimana ; IR = air irigasi (mm) ET = evapotranspirasi (mm)

Pd = kebutuhan air untuk pengolahan tanah (mm) P&I = perkolasi dan infiltrasi (mm)

R = curah hujan (mm)

Efisiensi penyaluran air irigasi (Ec) adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan besarnya prosentase air irigasi yang dapat digunakan secara efisien dengan sudah termasuk memperhitungkan kehilangan air selama penyaluran (seperti evaporasi, rembesan dan perkolasi). Menurut Schwab et al (1981, dalam Soehadi, 2005) nilai efisiensi penyaluran air irigasi dapat diperhitungkan sebagai berikut :

Ec = (Wf / Wr) x 100% ... (6) dimana ; Ec = efisiensi penyaluran air irigasi (%)

Wf = jumlah air yang sampai di areal pertanian (m3)

13

Musim Tanam dan Penyediaan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur

Dalam praktek pengelolaan jaringan irigasinya, PJT-II terbagi atas 3 divisi yaitu Divisi Barat, Utara dan Timur yang masing-masing bertanggungjawab atas jaringan irigasi pada Saluran Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur. Daerah irigasi (DI) Jatiluhur seperti yang tergambar dalam peta pada Gambar 2, terbagi atas 5 golongan, yaitu dari golongan I sampai dengan V. Seluruh petak sawah dalam satu golongan mendapatkan jatah air yang sama sesuai dengan kegiatan produksi. Pembagian golongan tersebut diputuskan dalam rapat panitia irigasi yang terdiri dari pihak PJT-II, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan dan wakil petani, dengan mempertimbangkan faktor ketersediaan air, kapasitas saluran irigasi dan kebutuhan air irigasi.

Gambar 2. Peta Daerah Irigasi Jatiluhur

Hingga saat ini konfigurasi pembagian air menjadi 5 golongan merupakan pilihan terbaik, karena sebelumnya telah pernah dicoba juga dengan 3 golongan, 4 golongan, 6 golongan dan 7 golongan. Saat konfigurasi 3 golongan dan 4 golongan digunakan, ternyata banyak petani yang tidak dapat mengikuti jadwal tanam, sedangkan pada penggunaan 6 golongan dan 7 golongan terjadi banyak pemborosan air irigasi. Setelah melalui berbagai pendekatan kepada petani, sejak tahun 2006 Daerah irigasi Jatiluhur terbagi menjadi 5 golongan seperti saat ini. Pembagian ini juga dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan petani untuk memulai musim tanam dan ketersediaan air irigasi. Dengan

14 diberlakukannya sistem golongan maka semua petak pertanaman dalam satu golongan harus melakukan kegiatan produksi yang sama.

Pembagian golongan menentukan perbedaan masa dimulainya pemberian air irigasi dengan selisih interval 15 hari dari satu golongan ke golongan yang selanjutnya. Sebagai contoh MT padi rendeng dimulai pada tanggal 1 Oktober untuk golongan I, tanggal 16 Oktober untuk golongan II, tanggal 1 November untuk golongan III, dan seterusnya. Begitu pula pada saat MT padi gadu.

Dengan demikian, masa tanam maupun masa panen padi di daerah irigasi Jatiluhur tidak dilaksanakan secara serempak. Luas lahan pertanian pada tiap golongan tersebut adalah sebagai berikut : golongan I seluas 47.153,5 ha, golongan II seluas 58.113,5 ha, golongan III seluas 56.662,6 ha, golongan IV seluas 64.115,8 ha, dan golongan V seluas 37.574,0 ha.

Dalam SK Direksi PJT-II Nomor:1/420/KPTS/2010 dijelaskan bahwa pemberian air irigasi untuk daerah irigasi Jatiluhur di wilayah Pantura Jawa Barat dijadwalkan untuk 3 kali musim tanam (MT) dalam setahun. Yang pertama adalah MT padi rendeng selama 4,5 bulan (awal Oktober sampai dengan pertengahan Pebruari), kemudian MT padi gadu selama 4 bulan (awal Maret sampai dengan akhir Juni) dan MT palawija selama 2 bulan (awal Juli sampai dengan akhir Agustus). Pemberian air akan dihentikan secara serempak pada hari terakhir bulan Agustus. Pengeringan jaringan irigasi ditetapkan selama bulan September dan pelaksanaannya diatur sesuai dengan kebutuhan dalam rangka pemeriksaan berkala, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi.

15

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta II yang mempunyai luas 1.364.072 ha, terutama pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu yang merupakan

Dokumen terkait