• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wilayah perbatasan merupakan wilayah yang unik karena aktivitas masyarakatnya selalu dipengaruhi oleh negara lainnya sebagaimana dikemukakan Bappenas (2005) bahwa permasalahan pembangunan di perbatasan yang membutuhkan penanganan bukan hanya berkaitan dengan aspek penetapan batas, aspek politik, hukum dan keamanan. Akan tetapi juga berkaitan dengan aspek kesenjangan pembangunan baik dengan wilayah lainnya di Indonesia maupun dengan negara tetangga.

Sebelum Timor Leste merdeka interaksi spasial dengan wilayah NTT berlangsung dengan lancar karena kedekatan geogafis dan sosial budaya. Hal ini berdampak baik terhadap mobilisasi penduduk dan arus perdagangan barang dan jasa antar kedua wilayah tersebut sehingga dapat meningkatkan pembangunan pada kedua wilayah. Akan tetapi setelah Timor Leste merdeka, interaksi spasial antar kedua wilayah mulai jarang terjadi karena dibatasi oleh berbagai aturan; kalaupun ada interaksi biasanya harus mengorbankan biaya transaksi yang tinggi. Dampak selanjutnya adalah hambatan terhadap pembangunan ekonomi kedua wilayah, meskipun ada beberapa pihak yang dapat mengambil keuntungan dari situasi ini tetapi pembangunan ekonomi secara keseluruhan dalam arti peningkatan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan kemudahan akses menjadi terhambat.

Pemerintah Provinsi NTT merespon kondisi tersebut dengan merumuskan permasalahan pengelolaan perbatasan negara di NTT dan Timor Leste adalah berkaitan dengan: (1) kebijakan dan pendekatan pembangunan, (2) kemiskinan, (3) keterbatasan sarana dan prasarana, (4) hukum dan kelembagaan, (5) pengelolaan daerah aliran sungai dan keamanan, (6) kerjasama ekonomi yang belum terjalin dengan baik. Sedangkan Kabupaten TTU sebagai sebuah daerah otonom merumuskan berbagai permasalahan yang menjadi prioritas penanganan masalah perbatasan. Permasalahan tersebut mencakup: (1) terbatasnya sarana ekonomi; (2) pengelolaan sumberdaya alam belum optimal; (3) kualitas SDM masih rendah; (4) keterkaitan wilayah yang masih terbatas; (5)

kemiskinan dan kesenjangan ekonomi; (6) konflik sosial di 6 lokasi yang masih bermasalah; (7) permasalahan yang berkaitan dengan pengungsi dari Timor Leste.

Merujuk pada kondisi wilayah perbatasan yang unik tersebut maka selayaknya memperoleh prioritas pembangunan agar kesenjangan pembangunan tidak mencolok baik antar wilayah dalam suatu negara maupun dengan negara lainnya. Kabupaten Timor Tengah Utara merupakan salah satu kabupaten dari 20 kabupaten perbatasan yang memperoleh prioritas pengembangan sesuai dengan RPJM nasional 2004-2009. Kabupaten TTU berbatasan darat dengan negara Timor Leste, khususnya district enclave

Oekusi (ada 24 desa di Kabupaten TTU yang berbatasan langsung) harus dikelola dengan baik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten TTU dengan memanfaatkan potensi wilayah perbatasan. Selain itu, district enclave Oekusi juga memperoleh manfaat dengan adanya pola kemitraan yang saling melengkapi.

Saefulhakim (2008) menyatakan bahwa perubahan ke arah kemajuan merupakan salah satu kunci penting dalam pembangunan. Perubahan dapat terjadi karena proses alamiah, mekanisme pasar, proses perencanaan, kombinasi antara berbagai proses tersebut. Perubahan dapat dikatakan sebagai suatu pembangunan manakala proses perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut.

Pengembangan ekonomi wilayah perbatasan dimaksudkan untuk memanfaatkan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial dan sumberdaya buatan. Walaupun wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi memiliki keterbatasan sumberdaya alam tetapi hal tersebut seharusnya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah di Indonesia dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada.

Kondisi wilayah perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dengan

district enclave Oekusi cukup memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah penduduk miskin di wilayah perbatasan yang masih tinggi (55,40%) karena keterbelakangan pendidikan dan akses terhadap kesehatan yang buruk serta daya beli masyarakat yang rendah. Kondisi ini terjadi karena perencanaan pembangunan wilayah perbatasan selama ini menggunakan pendekatan keamanan dan memperlakukan wilayah perbatasan sebagai wilayah belakang sebagaimana dirasakan oleh masyarakat perbatasan.

Namun demikian, dalam RPJM nasional tahun 2004-2009 telah menjadikan kawasan perbatasan sebagai prioritas pembangunan dengan program pengembangan kawasan perbatasan ditujukan untuk: 1) menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional; 2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan perbatasan dengan menggali potensi ekonomi, sosial budaya serta keuntungan letak geografis yang strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga.

Oleh karena itu, diharapkan terjadi perubahan paradigma pembangunan wilayah perbatasan yang dilakukan dengan pendekatan ekonomi dan memperlakukan wilayah perbatasan sebagai halaman depan dari negeri ini. Merujuk pada kondisi tersebut Pemerintah Kabupaten TTU dalam RPJM tahun 2005-2010 telah merencanakan untuk melakukan pengembangan terhadap pasar perbatasan dengan district enclave Oekusi namun belum diaktifkan karena pertimbangan keamanan, politik, hukum, sosial dan ekonomi. Wilayah perbatasan sebagai wilayah yang selalu berinteraksi dengan wilayah negara lainnya dalam perumusan kebijakan pembangunan dipengaruhi oleh hukum internasional, kebijakan nasional, provinsi dan kabupaten yang terkadang meninggalkan kearifan lokal. Hal ini berimplikasi pada kurang kondusifnya wilayah perbatasan karena masyarakatnya merasa kurang bertanggungjawab terhadap proses pembangunan di wilayah perbatasan.

Dengan demikian, perencanaan pengembangan wilayah perbatasan membutuhkan pengkajian yang sistematis tentang aspek fisik, sosial, budaya dan ekonomi yang dapat dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Proses perencanaan pengembangan wilayah perbatasan tersebut seharusnya lebih bersifat partisipatif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat sejak awal sehingga masyarakat lebih proaktif dalam proses pembangunan secara keseluruhan. Ini berarti memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh stakeholder untuk terlibat dalam proses mengidentifikasi masalah, membahas, menyampaikan persepsi mengenai kebutuhan dan tujuan-tujuan pembangunan. Stakeholder yang dimaksud adalah pemerintahan daerah, swasta, akademisi, masyarakat madani (LSM, tokoh masyarakat dan tokoh adat).

Selanjutnya, karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang berada di wilayah perbatasan perlu dianalisis sehingga dapat ketahui persepsi mereka mengenai

pengembangan ekonomi wilayah perbatasan terutama berkaitan dengan solusi untuk meningkatkan kesejahteraan, perlu dilakukan penentuan prioritas pembangunan dari alternatif pengembangan sumberdaya pembangunan (sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, sumberdaya sosial, pengembangan kapasistas produksi aktifitas ekonomi) di wilayah perbatasan yang dapat memberikan kontribusi terbesar dalam mengatasi kesenjangan pembangunan dan kemiskinan di wilayah perbatasan.

Sebagaimana dikemukakan Murty (2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan, tingkat industri, pola ekonomi atau kebutuhan ekonomi yang sama; akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan seoptimal mungkin dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh setiap wilayah sesuai kapasitasnya. Dengan demikian, membaiknya kinerja pembangunan ekonomi wilayah perbatasan secara keseluruhan merupakan sumbangan dari berbagai sumberdaya pembangunan di wilayah perbatasan.

Hal ini perlu ditunjang oleh adanya sektor unggulan dan leading sector di wilayah perbatasan yang mampu menggerakkan perekonomian dan meningkatkan interaksi spasial antara wilayah perbatasan dengan wilayah lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Rustiadi et al. (2007) bahwa setiap perencanaan pembangunan memiliki keterbatasan sumberdaya sehingga perlu menetapkan skala prioritas pembangunan ekonomi wilayah yang didasarkan pada pemahaman bahwa (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan seperti penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, pendapatan per kapita; (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran SDA, SDB, SDM dan SDS yang ada.

Dengan demikian, dibutuhkan revitalisasi pengembangan ekonomi lokal melalui perencanaan pengembangan wilayah yang memperhatikan keterpaduan dan keterkaitan antar sektor, pelaku, dan wilayah. Keterkaitan tersebut dapat diwujudkan dengan merencanakan ekonomi wilayah perbatasan dalam suatu model pengembangan ekonomi

tertentu, sebagaimana dikemukakan oleh Rustiadi et al. (2007) yang diperkuat oleh Hamid dan Alkadri (2003) bahwa wilayah perbatasan dapat dikembangkan sebagai kawasan cepat tumbuh, kawasan agropolitan, kawasan transito dan kawasan wisata. Kebijakan ekonomi semacam itu akan menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan sinergis antar wilayah. Perspektif pembangunan wilayah perbatasan seperti ini, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan pemerataan, keadilan, keberimbangan pembangunan antar wilayah dan antar generasi di wilayah perbatasan. Hal ini akan mempermudah pengambil kebijakan untuk menetapkan prioritas pembangunan. Kerangka pemikiran tersebut dapat diilistrasikan seperti Gambar 4. berikut. Dampak terhadap aspek sosial, budaya, ekonomi Analisis Masyarakat Kab. TTU kehilangan potensi pendapatan Persespsi stakeholder Kesenjangan wilayah

& tingkat kemiskinan tinggi

Kabupaten TTU menjadi wilayah perbatasan negara

Penetapan prioritas pembangunan dan revitalisasi PEL Kemerdekaan RDTL Pengembangan wilayah perbatasan: • Aspek ekonomi • Halaman depan Keterbatasan SD pembangunan & alternatif model pengembangan ekonomi wilayah Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengurangan kesenjangan Pengembangan wilayah perbatasan: • Aspek keamanan • Daerah belakang Evaluasi pengembangan wilayah perbatasan Pertumbuhan ekonomi rendah Sektor unggulan & leading sector

Dokumen terkait