KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA DENGAN
DISTRICT ENCLAVE OEKUSI
WERENFRIDUS TAENA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwasegala pernyataan dalam thesis saya yang berjudul : Kajian Pengembangan Ekonomi Wilayah Perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara dengan District Enclave Oekusi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Taena W. Study on the Economic Development ini Border Area of Timor Tengah Utara Regency and Oecusi Enclave District. Under the direction of Rustiadi E and Hariyoga H
Border areas have unique characteristics as the community economy of the region and that of the neighboring country are often interconnected. As a consequence, the areas need a specific management effort that is more comprehensive, which takes into consideration not only sovereignty and safety aspects but also economic aspect to improve welfare of the communities. Therefore, it is necessary to determine participative development priority that involving stakeholder to formulate appropriate regional development strategy and regional economic development model in order to improve the welfare. The research,s objectives are: (1) to study stakeholder and society perception about Timor Leste independent effect to Timor Tengah Utara regency, (2) to study stakeholder perception concering determination of economic development priority for the boundary area, (3) to identify leading sectors in Timor Tengah Utara regency. The study employ following analysis: descriptive analysis, AHP and LQ analysis, SSA, I-O analysis. The analysis result shows that separation of Timor Leste will restrict socio-cultural and economic interaction between the two areas and reduce potential income for the community. Therefore, stakeholder consider that the boundary area need to be developed as agropolitan area with development priority on human resources development, production capacity building for economic activities, artificial and social resources development, respectively. Agropolitan area development should be implemented by promoting leading sectors development in Timor Tengah Utara regency such as production of corn, poultry, food and beverages industries with development centre in subdistrict of Miomafo Timur.
Kabupaten Timor Tengah Utara dengan District Enclave Oekusi. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan HIMAWAN HARIYOGA
Wilayah perbatasan merupakan wilayah yang unik karena aktivitasnya dipengaruhi oleh wilayah lainnya yang berbatasan. Pisahnya Timor Leste dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1999 menyebabkan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang berbatasan darat dengan Timor Leste memperoleh dampak baik dalam bidang sosial dan budaya maupun dalam bidang ekonomi, padahal Kabupaten TTU sendiri memiliki sumberdaya yang terbatas. Oleh karena itu, pembangunan di wilayah perbatasan tersebut perlu direncanakan secara baik sehingga tidak terjadi ketimpangan wilayah yang besar antara wilayah perbatasan dengan negara lain maupun dengan wilayah lainnya di Indonesia. Wilayah perbatasan yang merupakan kesatuan geografis beserta sumberdaya yang terkandung di dalamnya, perlu dikembangkan berdasarkan prioritas pembangunan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pembangunan yang tersedian baik berupa sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, maupun sumberdaya sosial, serta pengembangan kapasitas produksi dari berbagai aktivitas ekonomi. Pemanfaatan sumberdaya pembangunan tersebut perlu diarahkan pada suatu model pengembangan ekonomi wilayah perbatasan yang tepat agar dapat memaksimalkan kesejahteraan masyarakat. Model pengembangan ekonomi wilayah perbatasan tersebut perlu didasarkan pada sektor unggulan dan leading sector di Kabupaten TTU.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji persepsi stakeholder dan masyarakat terhadap pengaruh pisahnya Timor Leste terhadap Kabupaten TTU, (2) mengkaji persepsi stakeholder terhadap prioritas pengembangan ekonomi wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi, (3) menganalisis sektor-sektor ekonomi yang dapat dijadikan sektor unggulan dan leading sector di Kabupaten TTU. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif berupa analisis deskriptif dan analisis hierarchical process (AHP), dan analisis kuantitatif yang terdiri dari analisis LQ, SSA, analisis I-O yang dilengkapi dengan analisis kuadran.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pisahnya Timor Leste menyebabkan Kabupaten TTU memperoleh dampak negatif pada bidang sosial dan budaya mencakup antara lain hubungan kekerabatan dan acara adat bersama yang semakin berkurang, serta pengangguran yang semakin tinggi. Sedangkan dampak pada bidang ekonomi berupa biaya interaksi yang semakin tinggi, transaksi perdagangan antara kedua wilayah yang berkurang, kepemilikan sumberdaya lahan yang juga semakin berkurang sehingga menyebabkan pendapatan masyarakat semakin rendah.
Oleh karena itu, perlu revitalisasi pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan Kabupaten TTU yang dimulai dengan mengembangkan sumberdaya pembangunan dengan prioritas berturut-turut adalah pengembangan sumberdaya manusia melalui pendidikan dengan stakeholder yang paling berperan adalah akademisi. Sumberdaya manusia yang meningkat akan dapat meningkatkan aktivitas ekonomi produktif dengan
aturan penunjang yang menjamin terjadinya interaksi secara lebih produktif dan saling menguntungkan antar stakeholder dan antar wilayah. Dalam hal ini stakeholder yang paling berperan adalah pemerintah. Pengembangan sumberdaya-sumberdaya pembangunan tersebut perlu diarahkan pada suatu model pengembangan ekonomi wilayah perbatasan, dan dalam hal ini stakeholders di Kabupaten TTU memilij agropolitan sebagai model yang paling layak dikembangkan di wilayah perbatasan.
Agropolitan tersebut dapat dikembangkan di seluruh kecamatan di Kabupaten TTU yang disesuaikan dengan pewilayahan komoditas dimana pusat pengembangan agropolitan dengan leading sector jagung yang dalam pengembangannya dapat ditumpangsarikan dengan ubi kayu dan kacang tanah, sayuran dan buah-buahan serta diintegrasikan dengan peternakan yang semuanya memiliki keterkaitan dengan industri makanan dan minuman sehingga dapat memberikan nilai tambah bruto yang besar. Sedangkan sektor-sektor unggulan seperti perkebunan, kehutanan dan perikanan perlu dikembangkan keterkaitannya sehingga tidak bersifat enclave. Dengan demikian lokasi pengembangan agropolitan dengan potensi unggulan leading sector tersebut adalah di Kecamatan Miomafo Timur.
Dengan demikian pengembangan wilayah perbatasan Kabupaten TTU perlu memperhatikan beberapa hal berikut, (1) Masyarakat Kabupaten TTU memperoleh dampak terhadap aspek sosial, budaya dan ekonomi maka perlu kembali menjalin hubungan kerjasama antara Indonesia–Timor Leste dengan melegalkan pasar perbatasan, pemberlakuan pas lintas batas (PLB), kerjasama adat antar kedua negara (2) Sumberdaya manusia wilayah perbatasan menjadi prioritas pengembangan sehingga perlu pengembangan model pendidikan yang menekankan pada penguasaan teknologi produksi aktivitas ekonomi seperti budidaya usahatani–ternak yang produktif, pelatihan-pelatihan agroindustri, manajemen usaha yang tepat dengan memperhatikan aspek kelayakan usaha yang dikembangkan serta keterkaitannya dengan sub sistem agribisnis lainnya sehingga mudah melakukan interaksi dengan pelaku ekonomi dari sektor lainnya ataupun wilayah lainnya dengan posisi tawar yang baik. (3) Pengembangan sektor-sektor unggulan dan
leading sector di Kabupaten TTU menjadi sebuah tuntutan yang mendesak sehingga dibutuhkan kebijakan yang dapat memacu perkembangan sektor-sektor ekonomi tersebut. (4) Pengembangan ekonomi wilayah perbatasan membutuhkan sinkronisasi kebijakan dari pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten serta mampu mengakomodir kearifan lokal di wilayah perbatasan.
©
Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA DENGAN
DISTRICT ENCLAVE OEKUSI
WERENFRIDUS TAENA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Enclave Oekusi Nama : Werenfridus Taena NRP : H 051 060 021
Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaaan (PWD)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu-Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Februari 1979 di Kefamenanu dari buah kasih bapak Aloysius Taena dengan ibu Sophia Sasi sebagai anak kedua dari 4 bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan SD dan SLTP di Kefamenanu, Kabupaten
TTU, sedangkan pendidikan SLTA diselesaikan di Kupang. Pada tahun 1997, penulis diterima sebagai mahasiswa Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang pada
Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Agribisnis dan menyelesaikan studi pada tahun 2002.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena kasih berlimpah yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesasikan tesis ini. Penelitian ini berjudul “Kajian Pengembangan Ekonomi Wilayah Perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara dengan District Enclave Oekusi”.
Penulis dapat menyelesaikan tulisan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh
karena itu perkenankanlah penulis pada kesempatan ini menghaturkan terimakasih yang berlimpah kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, MS sebagai Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaan (PWD) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menyusun tesis ini.
2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku pembimbing I yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Dr. Ir. Himawan Hariyoga, MSc selaku pembimbing II yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Pemerintah Indonesia melalui Bappenas, Pemprov NTT dan Pemkab TTU yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian tesis ini.
5. Pemerintah Timor Leste terutama district enclave Oekusi atas segala dukungan dan kerjasama yang baik selama penelitian berlangsung.
6. Universitas Timor yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana.
7. Ayah, ibu, semua saudara/i (Erna, Dima, Angel, Thomas), ipar (Bas, Dami), keponakan (Fiore) serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan. 8. Rekan-rekan mahasiswa PWD atas semangat social capital.
9. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dengan caranya masing-masing.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini.
Januari 2009
DAFTAR ISI
Halaman
Prakata... i
Daftar Isi ...ii
Daftar Tabel ...v
Daftar Gambar ... viii
Daftar Lampiran... ix
I PENDAHULUAN ...1
1.1. Latar Belakang ...1
1.2. Permasalahan ...6
1.3. Perumusan Masalah ...12
1.4. Tujuan dan Manfaat ...13
II TINJAUAN PUSTAKA...14
2.1. Pembangunan dan Pengembangan ...14
2.2. Wilayah ...15
2.3. Wilayah Perbatasan...17
2.4. Kebijakan Pengembangan Wilayah Perbatasan...19
2.5. Perencanaan Pengembangan Ekonomi Wilayah...23
2.6. Perencanaan Partisipatif...26
2.7. Teori Pusat Pertumbuhan...28
2.8. Model Pengembangan Ekonomi Wilayah Perbatasan ...29
2.9. Agropolitan ...33
2.10. Sektor Basis, Sektor Unggulan dan Leading Sektor...36
2.11. Interaksi Spasial ...37
III METODE PENELITIAN...42
3.1. Kerangka Pemikiran...42
3.2. Hipotesis ...47
3.3. Kerangka Pendekatan Operasional ...47
3.4. Tempat dan Waktu Penelitian...49
3.5. Metode Penarikan Sampel ...49
3.6. Metode Pengumpulan Data...50
3.7. Pengamatan dan Pengukuran Variabel ...51
3.8. Model Analisa Data ...52
3.8.1. Analisis Statistik Deskriptif ...52
3.8.2. Analisis Deskriptif Persespsi Stakeholder...52
3.8.3. Analisis Hierarky Proses (AHP) ...52
3.8.4. Analisis Sektor Unggulan dan LeadingSector...57
3.8.5. Analisis Deskripsi Ketersediaan Sumberdaya ...64
IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN...65
4.1. Gambaran Wilayah Administratif...65
4.2. Kondisi Fisik Wilayah ...66
4.3. Potensi Pengembangan Wilayah...67
4.4. Sumberdaya Manusia...72
4.5. Sumberdaya Sosial...78
4.6. Sumberdaya Buatan ...82
4.7. Gambaran Umum Perekonomian Wilayah ...89
V. PERSEPSI STAKEHOLDER ...93
5.1. Persepsi Stakeholder Mengenai Pengaruh Pisahnya Timor Leste terhadap Kabupaten TTU...93
VI. Sektor Unggulan dan Leading Sektor di Kabupaten TTU...110
6.1. Sektor Unggulan ...110
6.2. LeadingSector...117
6.2.1. Struktur Perekonomian Kabupaten TTU ...117
6.2.2. Struktur Output dan Nilai Tambah Bruto ...123
6.2.3. Analisis Keterkaitan Antar Sektor ...127
6.2.4. Analisis Pengganda...136
6.3. Deskripsi Analisis Sektor Unggulan dan Leading Sector...144
VII. Perencanaan Pengembangan Ekonomi Wilayah PerbatasanKabupaten TTU dengan District Enclave Oekusi sebagai Kawasan Agropolitan...147
7.1. Kriteria Utama(Kapasitas Produksi Aktifitas Ekonomi) ...151
7.2. Kriteria Tambahan ...158
7.2.1. Kriteria Sumberdaya Manusia ...158
7.2.2. Kriteria Sumberdaya Buatan...160
7.2.3. Kriteria Sumberdaya Sosial ...160
VIII. KESIMPULAN dan SARAN...166
8.1. Kesimpulan ...166
8.3. Saran ...168
Daftar Pustaka...170
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten TTU, Provinsi NTT, Indonesia dan
TL Tahun 1995-2005 --- 3
Tabel 2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten TTU dan Propinsi NTT tahun 1999 dan 2005 --- 7
Tabel 3. Peranan Sektor terhadap PDRB Kab. TTU tahun 1999-2006 --- 9
Tabel 4. Peran pemerintah dan pihak lainnya dalam pengembangan kawasan perbatasan --- 20
Tabel 5. Berbagai konsep wilayah beserta tujuan dan contoh penggunaan --- 30
Tabel 6. Variabel - variabel yang diamati dan dianalisa--- 51
Tabel 7. Sistem urutan (ranking) Saaty untuk hierarki proses --- 53
Tabel 8. Matriks perbandingan berpasangan--- 55
Tabel 9. Penyebaran desa dan luasannya per kecamatan --- 65
Tabel 10. Potensi bahan tambang golongan A dan B di Kabupaten TTU --- 67
Tabel 11. Potensi bahan galian C di Kabupaten TTU --- 68
Tabel 12. Luas lahan dan produksi tanaman pangan di Kabupaten TTU berdasarkan kecamatan tahun 2006--- 70
Tabel 13. Luas lahan dan produksi tanaman perkebunan di Kabupaten TTU,2006 --- 70
Tabel 14. Populasi ternak menurut jenis ternak di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 71
Tabel 15. Jenis dan jumlah ternak yang diekspor dari Kabupaten TTU --- 71
Tabel 16. Produksi perikanan di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 72
Tabel 17. Jumlah dan kepadatan penduduk di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 73
Tabel 18. Klasifikasi penduduk menurut kelompok umur di Kab.TTU tahun 2006 ---- 74
Tabel 19. Komposisi penduduk berdasarkan status ketenagakerjaan di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 74
Tabel 20. Penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja menurut pekerjaan utama di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 75
Tabel 21. Klasifikasi penduduk umur 10 tahun ke atas yang bekerja per sektor ekonomi di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 76
Tabel 22. Jumlah pencari kerja menurut tingkat pendidikan di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 76
Tabel 24. Prosentase penyakit yang diderita oleh masyarakat Kabupaten TTU
dan Provinsi NTT tahun 2006 --- 78
Tabel 25. Sarana pelayanan kesehatan di Kabupaten TTU dan rata-rata Provinsi NTT tahun 2006 --- 83
Tabel 26. Jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten TTU dan rata-rata Provinsi NTT tahun 2006 --- 84
Tabel 27. Klasifikasi jalan propinsi menurut jenis permukaan di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 84
Tabel 28. Klasifikasi jalan kabupaten menurut jenis permukaan di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 85
Tabel 29. Klasifikasi daerah irigasi berdasarkan luas lahan sawah di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 86
Tabel 30. Inventaris embung-embung di Kab. TTU tahun 2005 dan 2006 --- 87
Tabel 31. Inventaris sumber mata air di Kabupaten TTU tahun 2006--- 87
Tabel 32. Inventaris desa penerima program pembangkit listrik tenaga surya di Kabupaten TTU --- 89
Tabel 33. Peranan sektor ekonomi di Kabupaten TTU tahun 2006--- 91
Tabel 34. Posisi tabungan dan kredit BRI Cabang Kefamenanu pada tahun 2006 --- 92
Tabel 35. Persepsi stakeholder mengenai pengaruh pisahnya Timor Leste dalam bidang sosial dan budaya di Kabupaten TTU--- 94
Tabel 36. Program-program pemerintah yang telah dilaksanakan di Kab.TTU dan Kab.Belu sebagai Kabupaten perbatasan tahun 2006-2008--- 95
Tabel 37. Persepsi stakeholder mengenai pisahnya Timor Leste dalam bidang ekonomi di Kabupaten TTU --- 97
Tabel 38. Alasan melakukan interaksi ke wilayah Timor Leste--- 98
Tabel 39. Jenis komoditi ekspor Kabupaten TTU ke Timor Leste --- 99
Tabel 40. Jenis komoditi impor Kabupaten TTU dari Timor Leste --- 100
Tabel 41. Hasil analisis persepsi gabungan AHP terhadap pemilihan kriteria sumberdaya pembangunan wilayah perbatasan --- 105
Tabel 42. Hasil analisis gabungan terhadap stakeholder yang paling berperan terhadap pengembangan sumberdaya pembangunan --- 106
Tabel 43. Peran masing-masing stakeholder dalam pengembangan wilayah perbatasan berdasarkan analisa AHP --- 107
Tabel 45. Hasil analisis LQ dan SSA di Kabupaten TTU--- 113
Tabel 46. Struktur permintaan akhir menurut komponennya di Kabupaten TTU --- 119
Tabel 47. Struktur permintaan akhir per sektor Kabupaten TTU tahun 2006 --- 120
Tabel 48. Kontribusi penyusun input total Kabupaten TTU tahun 2006 --- 121
Tabel 49. Kontribusi sektoral terhadap komponen NTB di Kab.TTU tahun 2006 ---- 122
Tabel 50. Struktur output sektoral Kabupaten TTU tahun 2006 --- 124
Tabel 51. Struktur nilai tambah bruto sektoral Kabupaten TTU tahun 3006 --- 126
Tabel 52. Keterkaitan langsung ke belakang setiap sektor ekonomi di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 128
Tabel 53. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang setiap sektor ekonomi di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 129
Tabel 54. Keterkaitan ke depan langsung setiap sektor ekonomi di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 131
Tabel 55. Keterkaitan ke depan langsung dan tidak langsung setiap sektor ekonomi di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 132
Tabel 56. Pengganda output masing-masing sektor di Kabupaten TTU tahun 2006--- 137
Tabel 57. Pengganda pendapatan masing-masing sektor di Kabupaten TTU tahun 2006--- 139
Tabel 58. Pengganda nilai tambah bruto masing-masing sektor di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 141
Tabel 59. Struktur penerimaan keuangan menurut jenis penerimaan daerah otonom Kabupaten TTU tahun 2006--- 142
Tabel 60. Pengganda pajak tak langsung masing-masing sektor di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 143
Tabel 61. Alokasi anggaran untuk belanja pembangunan Kab. TTU tahun 2006 --- 149
Tabel 62. Rangkuman sektor unggulan dari hasil AHP, Analisis LQ, SSA, Analisis Input-Output --- 151
Tabel 63. Hasil analisis LQ sub sektor pertanian per kecamatan tahun 2006 berdasarkan harga konstan tahun 2000 --- 152
Tabel 64. Alokasi kredit di Kabupaten TTU per kecamatan tahun 2006 --- 158
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta wilayah batas administrasi Timor Leste dengan NTT --- 2
Gambar 2. Pertumbuhan ekonomi Kab. TTU, Prov.NTT, Timor Leste--- 5
Gambar 3. Bagan tipologi kawasan agropolitan--- 35
Gambar 4. Bagan kerangka pemikiran --- 46
Gambar 5. Bagan kerangka pendekatan operasional --- 47
Gambar 6. Struktur hierarki AHP wilayah perbatasan --- 56
Gambar 7. Kontribusi setiap sektor ekonomi terhadap PDRB Kab.TTU tahun 2006 --- 90
Gambar 8. Hasil analisa persepsi gabungan AHP dalam penentuan sumberdaya pembangunan wilayah perbatasan --- 103
Gambar 9. Hasil analisis kuadran LQ dan DS di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 116
Gambar 10. Hasil analisis kuadran keterkaitan langsung ke depan dan ke belakang di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 133
Gambar 11. Hasil analisis kuadran keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan dan ke belakang di Kabupaten TTU tahun 2006 --- 134
Gambar 12. Pemetaaan potensi tanaman pangan dan palawija di Kabupaten TTU per kecamatan tahun 2006 --- 153
Gambar 13. Pemetaaan potensi tanaman hortikultuta di Kabupaten TTU per kecamatan tahun 2006 --- 154
Gambar 14. Pemetaaan potensi tanaman perkebunan di Kabupaten TTU per kecamatan tahun 2006 --- 154
Gambar 15. Pemetaaan potensi peternakan di Kabupaten TTU per kecamatan tahun 2006 --- 155
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal kegiatan penelitian --- 174 Lampiran 2. Identitas stakeholder yang dijadikan sampel penelitian --- 175 Lampiran 3. Identitas masyarakat yang dijadikan sampel penelitian --- 176 Lampiran 4. Hasil pembobotan AHP untuk sumberdaya pengembangan
ekonomi wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district
enclave Oekusi --- 176 Lampiran 5. Hasil pembobotan AHP untuk kriteria pengembangan
sumberdaya manusia dalam pengembangan ekonomi wilayah
perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi --- 177 Lampiran 6. Hasil pembobotan AHP untuk kriteria pengembangan sumber
daya buatan dalam pengembangan ekonomi wilayah
perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi --- 178 Lampiran 7. Hasil pembobotan AHP untuk kriteria pengembangan sumberdaya
sosial dalam pengembangan ekonomi wilayah perbatasan
Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi--- 178 Lampiran 8. Hasil pembobotan AHP untuk kriteria pengembangan kapasitas
produksi aktifitas ekonomi dalam pengembangan ekonomi
wilayah perbatasan Kab. TTU dengan district enclave Oekusi --- 179 Lampiran 9. Hasil pembobotan AHP untuk stakeholder yang paling
berperan terhadap pengembangan SDM dalam
pengembangan ekonomi wilayah perbatasan Kabupaten TTU
dengan disrict enclave Oekusi--- 180 Lampiran 10. Hasil pembobotan AHP untuk stakeholder yang paling
berperan terhadap pengembangan SDB dalam
pengembangan ekonomi wilayah perbatasan Kabupaten TTU
dengan disrict enclave Oekusi --- 180 Lampiran 11. Hasil pembobotan AHP untuk stakeholder yang paling
berperan terhadap pengembangan SDS dalam
pengembangan ekonomi wilayah perbatasan Kabupaten TTU
dengan disrict enclave Oekusi --- 181 Lampiran 12. Hasil pembobotan AHP untuk stakeholder yang paling
berperan terhadap pengembangan kapasitas produksi aktifitas ekonomi dalam pengembangan ekonomi wilayah
Lampiran 13. Hasil pembobotan AHP terhadap manfaat terbesar yang akan diperoleh stakeholder akademisi dari alternatif
pengembangan ekonomi wilayah perbatasan Kabupaten TTU
dengan disrict enclave Oekusi --- 167
Lampiran 14. Hasil pembobotan AHP terhadap manfaat terbesar yang akan diperoleh stakeholder pemerintah dari alternatif pengembangan ekonomi wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan disrict enclave Oekusi --- 182
Lampiran 15. Hasil pembobotan AHP terhadap manfaat terbesar yang akan diperoleh stakeholder swasta dari alternatif pengembangan ekonomi wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan disrict enclave Oekusi --- 183
Lampiran 16. Hasil pembobotan AHP terhadap manfaat terbesar yang akan diperoleh stakeholder masyarakat madani dari alternatif pengembangan ekonomi wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan disrict enclave Oekusi --- 183
Lampiran 17. PDRB Kabupaten TTU tahun 2004 --- 184
Lampiran 18. PDRB Kabupaten TTU tahun 2006 --- 185
Lampiran 19. PDRB Provinsi NTT tahun 2004 --- 186
Lampiran 20. PDRB Provinsi NTT tahun 2006 --- 187
Lampiran 21. Tabel Input-Output Kabupaten TTU tahun 2006 transaksi domestik berdasarkan harga produsen--- 188
Lampiran 22. Tabel Input-Output Kabupaten TTU tahun 2006 koefisien input domestik berdasarkan harga produsen --- 194
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional dimaksudkan untuk membangun manusia Indonesia agar memperoleh kehidupan yang lebih layak dengan cara menggerakkan perekonomian dalam arti meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan equity (keadilan, dan pemerataan pembangunan) serta secara ekologis tetap memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya bagi generasi berikutnya. Pembangunan pada kawasan perbatasan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis nasional karena dapat dijadikan pintu gerbang perdagangan serta merupakan gambaran wajah negara Indonesia di mata negara lain.
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berbatasan baik darat maupun laut dengan beberapa negara termasuk Timor Leste. Timor Leste yang semula menjadi bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menjadi negara yang merdeka sejak tanggal 20 Mei 2002 yang diawali dengan jajak pendapat pada tahun 1999. Wilayah Timor Leste berbatasan laut dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Maluku, sedangkan batas darat dengan Timor Barat (Provinsi Nusa Tenggara Timur), bahkan district enclave Oekusi secara geografis berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penentuan batas Indonesia dan Timor Leste yang ditandatangani pada tanggal 3 September 2005 antara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Hasan Wirayudha dan Menlu Timor Leste Ramos Horta di Motaain telah menetapkan batas administratif secara geografis meskipun masih meninggalkan permasalahan pada beberapa titik. Batas darat wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Timor Leste secara keseluruhan sepanjang 268,8 km. Perbatasan darat ini terdiri atas batas sektor timur yakni Kabupaten Belu dengan district Covalima (153,8 km) sedangkan sektor barat yang berbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Kupang dengan district Oekusi
Wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste terdapat pada 3 kecamatan dan
tersebar di 24 desa. Panjang lintas batas antara Kabupaten TTU dengan Timor Leste adalah sepanjang 104,5 km. Sedangkan 53 desa lainnya dikategorikan oleh pemerintah Kabupaten TTU sebagai desa/kelurahan pendukung kawasan perbatasan serta 86 desa/kelurahan sebagai penyangga kawasan perbatasan. Adapun batas administratif Timor Leste dengan Timor Barata (Provinsi Nusa Tenggara Timur) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta batas administratif Timor Leste dengan Timor Barat (Provinsi NTT)
Tabel 1. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten TTU, Provinsi NTT, Indonesia dan Timor-Timur (RDTL) tahun 1994 – 2005
Pertumbuhan Ekonomi (%)
No Tahun Kab. TTU Prov. NTT Tim-Tim (TL) Indonesia
1 1994 7,59 8,64 9,95 8,2
1 1995 2,9 8,94 9,43 8,2
2 1996 7,08 8,22 10,81 7,8
3 1997 7,32 5,62 4,14 4,7
4 1998 -6,28 -2,73% * -13,1
5 1999 6,02 2,73% * 0,8
6 2000 4,1 4,17 2,3 6,92
7 2001 3,27 5 2,3 4,92
8 2002 6,28 5 2,3 3,83
9 2003 5,18 4,57 2,3 4,5
10 2004 4,57 4,77 2,3 5,05
11 2005 3,39 3,1 2,3 5,61
Sumber (BPS Provinsi NTT, BPS Provinsi TimTim, 2006) Keterangan : *) : data tidak tersedia
Data pada Tabel 1. menunjukkan bahwa aktivitas perekonomian Kabupaten TTU, Provinsi NTT dan Timor Leste sebelum pisah menunjukkan adanya pertumbuhan
ekonomi yang tinggi sejak tahun 1994-1999 yakni berturut-turut 7,59%; 2,90%; 7,08%; 7,32% ; -6,28% ; 6,02% untuk Kabupaten TTU. Sedangkan data pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1994-1999 berturut-turut adalah 8,64%; 8,94%; 8,22%; 5,62%; -2,73%; 2,73%. Adapun pertumbuhan yang negatif terjadi karena adanya krisis ekonomi dan moneter yang melanda wilayah Indonesia secara menyeluruh bahkan di seluruh Asia (BPS TTU, 2000). Sedangkan data BPS Provinsi Timor-Timur (1997) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Provinsi Timor Timur pada tahun 1994–1997 berturut–turut adalah 9,95%; 9,43%; 10,81%; 4,14%.
pembangunan Timor Leste ke wilayah NTT karena kedekatan secara geografis, sosial
ekonomi, budaya dan politik. Selain itu, wilayah NTT memperoleh pendapatan berupa
share dari pemasaran produk baik dari Timor-Timur maupun ke Timor–Timur karena kemudahan akses antar kedua wilayah. Adapun share pemasaran yang dimaksud adalah berasal dari aktivitas perdagangan dari Oekusi adalah berupa asam jawa 34.533 kg, nener 3.800.000 ekor, kayu cendana 30.725 kg, sapi 935 ekor, kambing 835 ekor, bawang putih 4,5 ton, sedangkan data perdagangan barang yang dipasok dari luar Oekusi adalah beras 1.107.880 ton, tepung terigu 2.876.000 zak, gula pasir 31.085.000 kg, semen 19.556.000 zak untuk memenuhi kebutuhan 53.020 jiwa. Aktivitas perdagangan ini melalui wilayah Kabupaten TTU dan melibatkan pedagang dari wilayah Kabupaten TTU (BPS Ambenu, 1995).
dengan cara meningkatkan sumberdaya manusia dan menjalin kembali hubungan
bilateral yang baik dengan Indonesia.
Adapun perbandingan pertumbuhan ekonomi Kabupaten TTU, Provinsi NTT dan Timor–Timur sebelum dan setelah Timor-Timur berpisah dapat ditampilkan pada Gambar 2.
Pertumbuhan Ekonomi
0 2 4 6 8 10 12
1995 1996 1997 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
P
ro
s
en
ta
se Kab.TTU
Prop.NTT Tim-Tim (TL)
Indonesia
Gambar 2. Pertumbuhan ekonomi Kab. TTU, Prov. NTT, Indonesia dan Prov. Tim-Tim (RDTL) tahun 1994-2005
Kegiatan perekonomian di wilayah perbatasan semakin rendah dengan ditutupnya pasar perbatasan sehingga aktivitas perdagangan tradisional antar kedua wilayah yang hanya menggunakan pas lintas batas (PLB) tidak dapat berlangsung karena belum diberlakukan. Aktivitas perdagangan umumnya harus mengeluarkan biaya transaksi yang lebih tinggi karena harus melalui bea cukai dan keimigrasian. Aktivitas perdagangan ini hanya meningkatkan kesejahteraan pada kelompok-kelompok elit masyarakat baik yang memiliki modal ataupun yang memiliki kekuatan pengambilan keputusan. Sedangkan, penduduk di Oekusi sejumlah 57.616 jiwa (perempuan 28.968 dan laki-laki 28.648) yang mendiami 62 dusun, 18 desa dan 4 kecamatan (Direccao Nacional de Estatistica, 2008) maupun masyarakat TTU secara keseluruhan belum memperoleh manfaat dari interaksi antar kedua wilayah tersebut.
tinggi dimana manfaat ekonomi hanya diperoleh pihak-pihak tertentu sedangkan
masyarakat umum dari kedua wilayah secara keseluruhan tidak dapat mengambil manfaat dari aktivitas perdagangan tersebut. Dampak selanjutnya akan terjadi konflik sosial yang dapat tumbuh menjadi ancaman terhadap berbagai aspek kepentingan nasional.
1.2. Permasalahan
Wilayah perbatasan merupakan wilayah yang unik karena aktivitas masyarakatnya selalu dipengaruhi oleh negara lainnya sehingga memerlukan penanganan khusus yang lebih komprehensif dimana tidak hanya memperlakukan wilayah perbatasan dari aspek pertahanan dan keamanan tetapi juga dari aspek ekonomi demi peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Pendekatan pembangunan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat di wilayah perbatasan selama ini lebih menekankan wilayah perbatasan sebagai wilayah belakang dari negeri ini sehingga menyebabkan kesenjangan pembangunan. Sebagaimana dikemukakan Bappenas (2005) bahwa permasalahan pembangunan di perbatasan yang membutuhkan penanganan adalah bukan hanya berkaitan dengan aspek demarkasi dan deliniasi batas, aspek politik, hukum dan keamanan. Akan tetapi juga berkaitan dengan aspek kesenjangan pembangunan baik dengan wilayah lainnya di Indonesia maupun dengan negara tetangga.
Menyadari adanya kesenjangan pembangunan dan kemiskinan antara wilayah perbatasan dengan wilayah lainnya maka pemerintah merubah konsep pembangunan wilayah perbatasan yakni dengan memandang wilayah perbatasan sebagai halaman depan wilayah NKRI. Oleh karena itu, aktivitas perekonomian wilayah perbatasan harus dikelola dengan baik karena wilayah perbatasan merupakan kawasan strategis nasional
Terdapat 20 kabupaten perbatasan yang menjadi prioritas pembangunan dalam
RPJM nasional tahun 2004-2009, dimana Kabupaten TTU merupakan salah satu kabupaten perbatasan yang diprioritaskan pembangunannya. Namun kenyataannya, wilayah perbatasan masih termarginalkan dimana jumlah keluarga (KK) miskin di Kabupaten TTU sebagai salah satu kabupaten yang berbatasan darat dengan Timor Leste pada tahun 2005 adalah sebanyak 27.854 KK dengan penduduk miskinnya sebanyak 114.769 jiwa atau 55,40% dari seluruh penduduk Kabupaten TTU dimana terdapat 16.233 jiwa (4.072 KK) yang mengungsi dari Timor Leste dan tidak ingin kembali lagi ke Timor Leste. Sedangkan masyarakat miskin yang berada di wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste sebanyak 16.789 jiwa (BPS TTU,2005). Meskipun pendapatan per kapita rata-rata mengalami peningkatan yakni dari Rp 1.157.770,- pada tahun 1999 menjadi Rp 2.371.937,- pada tahun 2005. Namun belum setara dengan pendapatan per kapita rata-rata Provinsi NTT pada tahun 2005 yakni sebesar Rp 3.235.699,- ataupun pendapatan per kapita rata-rata secara nasional yang sebesar Rp 12.450.000,-.
Hal ini berimplikasi pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia di wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi karena dengan pendapatan tersebut masyarakat tidak mampu memperoleh pendidikan formal yang baik sehingga SDM masyarakat masih rendah dan kondisi kesehatan masyarakat yang buruk. Sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten TTU yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 1999, 2002, 2004 dan 2005 Kab. TTU, Prov. NTT dan Indonesia
IPM No Wilayah
1996 1999 2002 2004 2005
1 Kab.TTU 59,6 53,7 59,5 62,4 63,1
2 Prop. NTT 61 60,4 60,3 62,7 63,6
3 Indonesia 68 64,3 65,8 68,7 69,8
Sumber: Laporan Pembangunan Manusia (UNDP et al., 2004) dan IPM (1996, 2005)
(tahun 2005), namun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Meskipun mengalami peningkatan, namun dalam urutan kabupaten/ kota berada pada urutan 402 dari 440 kabupaten/kota se-Indonesia.
Hal ini mengindikasikan bahwa peran pemerintah sebagai lembaga yang membuat kebijakan pengembangan ekonomi wilayah perbatasan belum optimal karena belum dapat menentukan prioritas pembangunan dengan tepat. Orientasi pembangunan masih menggunakan pendekatan keamanan dibanding pendekatan kesejahteraan sehingga berimplikasi pada semakin meningkatnya kesenjangan pembangunan antara wilayah perbatasan dengan wilayah lainnya.
Namun demikian, tidak berarti wilayah perbatasan tidak memiliki potensi untuk dikembangkan. Meskipun sumberdaya pembangunan wilayah perbatasan umumnya terbatas, namun bila dimanfaatkan melalui perencanaan pembangunan yang tepat akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Adapun potensi yang dimiliki wilayah perbatasan berupa bahan tambang dan galian baik golongan A,B maupun C. Potensi yang telah dieksploitasi adalah marmer dan batu aji, sedangkan potensi pertambangan lainnya yang bernilai ekonomis tinggi belum dimanfaatkan.
Selain itu, potensi pertanian lahan kering juga belum dimanfaatkan seluruhnya. Data potensi desa tahun 2006 menunjukkan bahwa luas pertanian lahan kering (ladang) di Kabupaten TTU seluas 52.049,3 ha, sedangkan ladang yang belum dimanfaatkan seluas 37.344,5 ha atau sekitar 71,75% belum diolah. Sedangkan lahan sawah yang belum diusahakan seluas 3.053 ha. Selain itu, potensi perikanan, perkebunan dan kehutanan meskipun sedikit namun masih dapat ditingkatkan.
Hal yang sama terjadi pula pada aktivitas ekonomi yang lain seperti home industry maupun usaha perdagangan input maupun output serta kebutuhan lainnya belum berkembang dengan baik di wilayah perbatasan. Hal ini diperparah oleh minimnya sarana-prasarana ekonomi di wilayah perbatasan misalnya pasar, koperasi, bank termasuk sarana dan prasarana transportasi sehingga menyulitkan masyarakat dalam melakukan interaksi spasial ke wilayah lainnya.
Tabel 3. Peranan sektor terhadap PDRB Kabupaten TTU tahun 1996–2005 berdasarkan harga konstan tahun 1993
Peranan lapangan usaha (%) Tahun
Pertanian PP IP LGA K PRH PK KPJP Jasa Total 1996 51,27 1,78 2,05 0,39 7,68 5,89 9,99 3,83 17,13 100 1997 53,31 1,68 1,92 0,41 7,24 6,11 9,75 3,78 15,80 100 1998 48,67 2,12 2,14 0,70 6,26 6,95 10,93 3,73 18,49 100 1999 51,55 1,36 2,00 0,57 6,01 6,03 10,44 3,38 18,67 100 2000 55,71 1,46 1,63 0,43 6,33 6,58 7,10 2,64 18,11 100 2001 52,69 1,42 1,64 0,48 6,32 7,03 7,46 2,65 20,32 100 2002 51,41 1,57 1,65 0,57 6,12 7,04 7,21 2,86 21,09 100 2003 50,96 1,73 1,67 0,67 6,55 7,12 7,16 3,08 24,17 100 2004 47,91 1,67 1,67 0,67 6,55 7,12 7,16 3,08 24,17 100 2005 47,80 1,65 1,58 0,68 6,58 7,17 7,18 3,23 24,13 100
Sumber : Pendapatan Regional Kabupaten TTU 1995-2005 (2005)
*) Keterangan: PP=Pertambangan dan penggalian IP=Industri pengolahan
K=Konstruksi
LGA=Listrik, gas dan air bersih PRH=Perdagangan, hotel dan restoran PK=Pengangkutan dan komunikasi
KPJP=Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
Berdasarkan data tersebut, peranan sektor pertanian terhadap PDRB di Kabupaten TTU masih tinggi yakni 51,55% pada tahun 1999, lalu mengalami peningkatan pada tahun 2000 yakni mencapai 55,71%, namun terus mengalami penurunan pada tahun 2001 yakni kontribusinya sebesar 52,69% hingga tahun 2005 kontribusi sektor pertanian hanya sebesar 47,80%. Apabila dihubungkan dengan persentase tenaga kerja berdasarkan sektor maka sektor pertanian menjadi tumpuan mata percaharian dari masyarakat di Kabupaten TTU secara umum. Hal ini ditunjukkan oleh persentase tenaga kerja per sektor pada tahun 1999 sebesar 83,15 % sedangkan sektor sekunder hanya sebesar 7,35% dan sektor tersier sebesar 9,49%. Pada tahun 2004 terjadi sedikit pergeseran menjadi sebesar 78,60% sedangkan sektor sekunder sebesar 8,74% dan sektor tersier sebesar 12,66%. Hal ini berarti pada saat terjadi krisis sosial, ekonomi dan politik di wilayah perbatasan, masyarakat memilih mengelola lahan usahataninya demi mempertahankan hidup. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, sektor pertanian terus mengalami penurunan karena sektor-sektor lainnya mulai menunjukkan perbaikan dalam kinerjanya. Meskipun demikian transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor sekunder dan sektor tersier tidak terjadi karena jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian terus
umumnya berasal dari kelompok penduduk yang selama ini tidak termasuk angkatan
kerja (sedang sekolah).
Merujuk pada kondisi tersebut, Kabupaten TTU sebagai sebuah daerah otonom yang berbatasan dengan district enclave merumuskan berbagai permasalahan di Kabupaten TTU yang selanjutnya akan menjadi prioritas penanganan. Permasalahan tersebut mencakup: (1) terbatasnya sarana ekonomi; (2) pengelolan sumber daya alam belum optimal; (3) kualitas SDM masih rendah; (4) keterkaitan wilayah yang masih terbatas; (5) kemiskinan dan kesenjangan ekonomi; (6) konflik sosial di 6 lokasi yang masih bermasalah; (7) permasalahan yang berkaitan dengan pengungsi dari Timor Leste.
Oleh karena itu, dalam RPJMD Kabupaten TTU tahun 2005–2010 dinyatakan bahwa pengembangan sumber pendapatan daerah Kabupaten TTU dapat diperoleh melalui peningkatan potensi peternakan, agroindustri dengan memanfaatkan produk dari jambu mete dan kemiri, pengembangan pasar perbatasan dengan district enclave Oekusi dan pertambangan daerah. Akan tetapi dalam penyusunan RPJMD ini tidak dilakukan survei pemetaan sumberdaya sehingga diperlukan beberapa kajian yang dapat digunakan sebagai referensi tambahan dalam pengambilan kebijakan pengembangan wilayah.
Pengembangan wilayah perbatasan hanya akan berhasil bila didasarkan pada sumberdaya yang dimiliki di wilayah perbatasan. Sumberdaya pembangunan yang dimaksud adalah sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial. Pengembangan sumberdaya pembangunan tersebut dapat dilakukan dengan menentukan prioritas pembangunan terhadap sumberdaya-sumberdaya tersebut sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembangunan di wilayah perbatasan.
Penentuan prioritas pembangunan dilakukan melalui proses perencanaan yang
diharapkan dapat menjamin hak-hak masyarakat wilayah perbatasan untuk terbebas dari
kemiskinan dan keterbelakangan.
Proses melibatkan stakeholder juga dimaksudkan untuk dapat mengurangi gap
antara kekurangan informasi dari pengambil kebijakan terutama dari stakeholder yang selama ini berinteraksi dengan masyarakat dari wilayah Timor Leste sehingga diharapkan keputusan yang diambil dapat lebih komprehensif karena memadukan antara aspek rasionalitas dengan aspek kompromi yang dikaji secara ilmiah. Sebagaimana dikatakan oleh Rustiadi et al. (2007) bahwa partisipasi masyarakat dimaksudkan untuk (a) menambah informasi dalam upaya meningkatkan efektivitas keputusan perencanaan, (b) mengorganisir persetujuan dan dukungan terhadap tujuan dari suatu perencanaan, dan (c) perlindungan terhadap individu dan kelompok.
Persepsi melibatkan aspek sikap, motivasi, kepentingan dan harapan dari
stakeholder dalam memandang kawasan perbatasan dalam situasi sebelum dan setelah pisahnya Timor Leste serta upaya-upaya yang dilakukan dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Upaya-upaya yang dilakukan di wilayah perbatasan dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah, seharusnya direncanakan dalam suatu model pengembangan ekonomi wilayah sebagaimana dikatakan Rustiadi et al. (2007) bahwa model ekonomi secara umum dapat berupa kapet, kawasan agropolitan, kawasan cepat tumbuh. Selanjutnya menurut Hamid dan Alkadri (2003) menyatakan bahwa model pengembangan ekonomi wilayah perbatasan dapat berupa kawasan cepat tumbuh, kawasan agropolitan, kawasan transito dan kawasan wisata. Pengembangan model ekonomi tertentu di wilayah perbatasan dapat mempermudah interaksi antar sumberdaya pembangunan di wilayah perbatasan dan dapat mengarahkan setiap komponen yang
terlibat dalam peran tertentu yang saling mendukung.
kepentingan, keinginan dan aspirasi seluruh stakeholder lokal sehingga perlu penelitian yang mengkaji persepsi stakeholder di wilayah perbatasan.
Pengembangan wilayah perbatasan juga dapat diprioritaskan melalui supply side strategy yakni menentukan leading sector yang mampu menggerakkan perekonomian di wilayah perbatasan bahkan wilayah lainnya yang berinteraksi dengan wilayah perbatasan. Penentuan leading sector perlu dilakukan di Kabupaten TTU yang berada di wilayah perbatasan sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah tidak hanya mengoptimalkan produksi sektor unggulan yang belum tentu memberikan nilai tambah bruto yang besar terhadap wilayah tersebut, namun kebijakan-kebijakan pemerintah diharapkan dapat meningkatkan peran dari stakeholder lainnya untuk mengurangi kebocoran wilayah dengan melakukan usaha-usaha yang berkaitan dengan sektor-sektor unggulan tersebut.
Interaksi yang dimaksud adalah berupa pemasaran output suatu sektor ekonomi yang akan digunakan oleh sektor lainnya di wilayah perbatasan tersebut maupun ke wilayah lainnya sehingga dapat mendatangkan pendapatan bagi masyarakat perbatasan. Dampak selanjutnya akan meningkatkan daya beli masyarakat wilayah perbatasan terhadap produk lainnya yang dapat digunakan menjadi input bagi usahanya. Permintaan tersebut dapat dipenuhi dari sektor lainnya yang berada pada wilayah perbatasan tersebut maupun dari wilayah lainnya. Hal ini akan mengurangi kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pengembangan. Untuk itu, perlu didukung dengan penataan ruang wilayah dan penyediaan infrastruktur di wilayah perbatasan yang lebih memadai sehingga memudahkan interaksi antar sektor dan antar wilayah.
Beberapa penelitian telah dilaksanakan terutama berkaitan dengan pengembangan potensi ekonomi dan sosial budaya untuk meningkatkan standar hidup di wilayah
perbatasan. Penelitian–penelitian terdahulu hanya mengeksplorasi potensi ekonomi sehingga perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan penentuan prioritas pembangunan dalam rangka pengembangan ekonomi di wilayah perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dengan district enclave Oekusi yang berbasis pada persepsi
stakeholder, model pengembangan ekonomi wilayah dan penentuan leadingsector.
1.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya maka rumusan masalah penelitian yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana persepsi stakeholder mengenai pengaruh pisahnya Timor Leste terhadap Kabupaten TTU?
2. Bagaimana persepsi stakeholder terhadap penentuan prioritas pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi? 3. Sektor-sektor ekonomi apa yang menjadi sektor unggulan dan leading sector di
Kabupaten TTU sebagai wilayah yang berbatasan dengan district enclave Oekusi?
1.4. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji revitalisasi pengembangan ekonomi lokal dan penentuan prioritas pembangunan di wilayah perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara dengan district enclave Oekusi. Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui persepsi stakeholder mengenai pengaruh pisahnya Timor Leste terhadap Kabupaten TTU.
2. Untuk menganalisis persepsi stakeholder terhadap prioritas pengembangan ekonomi wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi.
3. Untuk menganalisis sektor-sektor ekonomi yang dapat dijadikan sebagai sektor unggulan dan leading sector di Kabupaten TTU.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
1. Bahan acuan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pembangunan di
wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi.
2. Bahan acuan bagi stakeholder dalam melakukan aktivitas perekonomian di wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi.
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan dan Pengembangan
Pembangunan merupakan suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Sedangkan Saefulhakim (2003) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang terencana (terorganisasikan) ke arah tersedianya alternatif-alternatif/pilihan-pilihan yang lebih banyak bagi pemenuhan tuntutan hidup yang paling manusiawi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Menurut Siagian dalam Riyadi dan Bratakusumah (2003) pembangunan sebagai suatu upaya perubahan untuk mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang.
Selain itu, Bappenas (1999) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek
kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumberdaya, informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumberdaya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan layanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan.
Sedangkan pengembangan mengandung konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan dan atau proses meningkatkan. Pengembangan berarti melakukan sesuatu yang tidak dari nol atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan. Jadi dalam hal pengembangan ekonomi masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat di suatu kawasan telah memiliki kapasitas tetapi perlu ditingkatkan lagi. Meskipun demikian secara hakiki pengertian pengembangan dengan pembangunan umumnya sama dan dapat dipertukarkan. Kedua istilah tersebut diterjemahkan dari kata
Dengan demikian, dalam penelitian ini istilah pembangunan dan pengembangan
dapat dipertukarkan yang dimaknai sebagai upaya untuk mengembangkan ekonomi wilayah perbatasan yang selama ini telah ada, meskipun belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat wilayah perbatasan. Pembangunan atau pengembangan merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk melakukan perubahan dalam arti meningkatkan kapasitas ekonomi melalui penentuan prioritas sumberdaya pembangunan (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial dan sumberdaya buatan) agar dapat mengurangi kesenjangan pembangunan dan kemiskinan di wilayah perbatasan.
2.2. Wilayah
Istilah “wilayah”, “kawasan” atau “daerah” sering dipertukarkan penggunaannya dalam beberapa literatur, namun berbeda dalam cakupan ruang, dimana “wilayah” digunakan untuk pengertian ruang secara umum, sedangkan istilah “daerah” digunakan untuk ruang yang terkait dengan batas administrasi pemerintahan (Rustiadi et al., 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa wilayah sebagai satu kesatuan ruang secara geografis yang mempunyai tempat tertentu tanpa terlalu memperhatikan soal batas dan kondisinya, sedangkan daerah dapat didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai batas secara jelas berdasarkan juridiksi administratif. Definisi ini hampir sejalan dengan Murty (2000) yang menyatakan bahwa wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan satu kesatuan ekonomi, politik, sosial administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian.
Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah didefinisikan sebagai ruang yang mempunyai kesatuan geografis beserta segenap unsur
Pengertian wilayah berdasarkan tipologinya diklasifikasikan atas 3 bagian, yakni
(1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional; dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programing region). Ketiga kerangka konsep wilayah ini dianggap lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang telah dikenal selama ini (Rustiadi et al., 2007).
Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Wilayah fungsional atau wilayah sistem ditunjukkan oleh adanya saling ketergantungan antar wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, misalnya saling ketergantungan ekonomi (Hoover, 1985). Hal ini dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan (Rustiadi et al.,
2007). Kemudian konsep wilayah administratif politis didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu, sehingga wilayah administratif sering disebut sebagai wilayah otonomi artinya suatu wilayah memiliki otoritas dalam proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan sendiri untuk mengelola sumberdaya-sumberdaya di dalamnya. Misalnya negara, provinsi, kabupaten dan desa/kelurahan. Selain itu, wilayah nasional dipilah berdasarkan fungsi-fungsi tertentu, misalnya: kawasan pengembangan ekonomi terpadu, kawasan perbatasan, dll.
Berdasarkan deskripsi dan definisi wilayah dan pembangunan wilayah/daerah seperti seperti di atas, maka wilayah pembangunan dapat didefenisikan sebagai wilayah
Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan konteks tipologi wilayah, wilayah
perbatasan dipandang sebagai salah satu wilayah perencanaan, namun karena belum ada lembaga formal yang menangani kawasan perbatasan dan kebijakan-kebijakan lain yang menyertainya masih dalam pembahasan sehingga dalam pelaksanaan pembangunan wilayah perbatasan masih dipandang sebagai wilayah homogen. Oleh karena wilayah di sepanjang perbatasan memiliki kesamaan dalam berbagai aspek terutama dalam aspek politik dan pertahanan keamanan sehingga pembangunannya perlu dilakukan secara bersama di sepanjang perbatasan.
2.3. Wilayah Perbatasan
Nurdjaman dan Rahardjo (2005) menyatakan bahwa perbatasan negara adalah wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbatasan dengan negara lain, dan batas-batas wilayahnya ditentukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan Bappenas (2005) menyatakan bahwa wilayah perbatasan adalah wilayah geografis yang berhadapan dengan negara tetangga, dimana penduduk yang bermukim di wilayah tersebut disatukan melalui hubungan ekonomi, dan sosio-budaya dengan cakupan wilayah administratif tertentu setelah ada kesepakatan negara yang berbatasan. Kawasan perbatasan Indonesia terdiri atas perbatasan kontinen yang berbatasan langsung dengan negara lain yakni: Malaysia, Papua New Guniea (PNG) dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) serta perbatasan maritim yang berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietam, Filipina, Repulik Palau, Australia, RDTL, dan PNG.
Selanjutnya dikatakan bahwa pengelolaan perbatasan negara adalah kegiatan
yang hampir luput dari perhatian pemerintah dalam proses pembangunan sehingga
masyarakat wilayah perbatasan menjadi masyarakat yang termarginalkan.
Namun demikian, masih menurut Nurdjaman dan Rahardjo (2005), secara umum kebutuhan dan kepentingan percepatan pembangunan wilayah perbatasan menghadapi tantangan antara lain mencakup delapan aspek kehidupan sebagai berikut: (1) aspek geografis yang meliputi kebutuhan jalan penghubung, landasan pacu dan sarana komunikasi yang memadai untuk keperluan pembangunan wilayah perbatasan antar negara. (2) aspek demografis, yang meliputi pengisian dan pemerataan penduduk untuk keperluan sistem hankamrata termasuk kekuatan cadangannya melalui kegiatan transmigrasi dan pemukiman kembali penduduk setempat; (3) aspek sumberdaya alam (SDA), yang meliputi survei dan pemetaan sumberdaya alam guna menunjang pembangunan dan sebagai obyek yang perlu dilindungi pelestarian dan keamanannya; (4) aspek ideologi, yang meliputi pembinaan dan penghayatan ideologi yang mantap untuk menangkal ideologi asing yang masuk dari negara tetangga; (5) aspek politik, yang meliputi pemahaman sistem politik nasional, terselenggaranya aparat pemerintahan yang berkualitas sebagai mitra aparat hankam dalam pembinaan teritorial setempat; (6) aspek ekonomi, yang meliputi pembangunan kesatuan wilayah ekonomi yang dapat berfungsi sebagai penyangga wilayah sekitarnya; (7) aspek sosial budaya, yang meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan yang memadai untuk mengurangi kerawanan di bidang keamanan, serta nilai sosial budaya setempat yang tangguh terhadap penetrasi budaya asing; (8) aspek hankam, yang meliputi pembangunan pos-pos perbatasan, pembentukan sabuk pengamanan (security belt), dan pembentukan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai serta perangkat komando dan pengendalian yang
mencukupi.
Pengelolaan wilayah perbatasan belum terencana dengan baik sehingga
menimbulkan kesenjangan pembangunan dan kemiskinan masyarakat wilayah perbatasan. Oleh karena itu, kajian terhadap aspek-aspek tersebut di atas akan memberikan kontribusi yang berarti terhadap pengembangan wilayah perbatasan yang merupakan halaman depan wilayah NKRI. Penelitian ini menekankan pada pengembangan aspek ekonomi wilayah perbatasan sebagai katalisator utama di wilayah perbatasan dengan memanfaatkan aspek SDM, sumberdaya alam, sosial budaya, sumberdaya buatan yang selanjutnya akan dapat menggerakkan dan meningkatkan aspek lainnya di wilayah perbatasan sehingga dapat menjadi solusi bagi pengurangan kesenjangan pembangunan dan kemiskinan di wilayah perbatasan.
Kondisi wilayah kawasan perbatasan darat NTT umumnya masih terbelakang. Hal ini ditunjukkan oleh terbatasnya infrastruktur di wilayah perbatasan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, banyaknya masyarakat miskin di wilayah perbatasan. Dampak selanjutnya adalah terjadinya aktivitas ekonomi lintas batas illegal yang merugikan perekonomian setempat. Selanjutnya menurut Pemerintah Daerah Provinsi NTT isu dan permasalahan pengelolaan perbatasan negara di NTT dan Timor Leste adalah berkaitan dengan beberapa hal, yakni (1) kebijakan dan pendekatan pembangunan, (2) kemiskinan, (3) keterbatasan sarana dan prasarana, (4) hukum dan kelembagaan, (5) pengelolaan daerah aliran sungai dan keamanan, dan (6) kerjasama ekonomi yang belum terjalin dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan pengembangan ekonomi wilayah perbatasan yang dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antara wilayah perbatasan dengan wilayah lainnya dan mengurangi kemiskinan di wilayah perbatasan.
2.4. Kebijakan Pengembangan Wilayah Perbatasan
Tabel 4. Peran pemerintah dan pihak lainnya dalam pengembangan kawasan perbatasan
No Pihak Terkait Peranan
1 Pemerintah pusat Penyusunan kebijakan umum dan fasilitasi dalam hal : -Perluasan jaringan informasi dan telekomunikasi -Pengembangan kerjasama dengan negara tetangga
-Pengembangan infrastruktur & tata ruang wilayah perbatasan
-Pemetaan potensi wilayah perbatasan -Pemasangan patok-patok perbatasan negara 2 Pemerintah
provinsi
Mengkoordinasikan semua rencana kerjasama pengembangan kawasan perbatasan antar kabupaten/kota yang memiliki wilayah perbatasan
3 Pemerintah kabupaten/kota
-Menyusun perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian operasional di kawasan perbatasan yang disesuaikan dengan RTRW nasional.
-Meningkatkan kemampuan masyarakat di kawasan perbatasan
-Merencanakan dan menyelenggarakan forum perencanaan lintas batas antarnegara sesuai dengan kewenangannya -Melaksanakan kegiatan pengelolaan perbatasan antar
negara sesuai dengan kewenangannya
4 Pihak lainnya -Perguruan tinggi diharapkan dapat menjembatani kepentingan pemerintah dengan masyarakat
-LSM diharapkan dapat melakukan pengontrolan demi kepentingan umum
-Swasta diharapkan turut berperan dalam investasi di wilayah perbatasan
-Meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan
Sumber : Hamid dan Alkadri, (2003)
Berdasarkan peran dari setiap tingkatan pemerintahan dan tentunya didasarkan pada kondisi serta permasalahan di wilayah perbatasan tersebut maka dalam RPJM nasional tahun 2004–2009 direncanakan akan dilaksanakan kegiatan-kegiatan pokok untuk memfasilitasi pemerintah daerah di wilayah perbatasan yakni:
2. Peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan terutama
untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil melalui, antara lain, penerapan berbagai skema pembiayaan pembangunan seperti: pemberian prioritas dana alokasi khusus (DAK), public service obligation (PSO) untuk telekomunikasi, program listrik masuk desa; 3. Percepatan pendeklarasian dan penetapan garis perbatasan antar negara dengan
tanda- tanda batas yang jelas serta dilindungi oleh hukum internasional;
4. Peningkatan kerjasama masyarakat dalam memelihara lingkungan (hutan) dan mencegah penyelundupan barang, termasuk hasil hutan (illegal logging) dan perdagangan manusia (human trafficking). Namun demikian perlu pula diupayakan kemudahan pergerakan barang dan orang secara sah, melalui peningkatan penyediaan fasilitas kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan;
5. Peningkatan kemampuan kerjasama kegiatan ekonomi antar kawasan perbatasan dengan kawasan negara tetangga dalam rangka mewujudkan wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang lintas negara. Selain itu, perlu pula dilakukan pengembangan wilayah perbatasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sumberdaya alam lokal melalui pengembangan sektor-sektor unggulan;
6. Peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat, dan penegakan supremasi hukum serta aturan perundang-undangan terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah perbatasan.
Selanjutnya dalam pengembangan wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara lain perlu dilakukan zonasi wilayah pengembangan yang didasarkan pada
Pemerintah dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) merespon dampak
pisahnya Timor Leste dengan menetapkan berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut dimuat dalam RPJM dan RTRW baik nasional, provinsi maupun kabupaten. a. Kebijakan Pemerintah Pusat
Kabupaten TTU ditetapkan sebagai salah satu dari 20 kabupaten yang menjadi prioritas pembangunan sebagaimana tertuang dalam RPJM Nasional tahun 2004–2009. Sedangkan dalam RTRWN dinyatakan tentang kawasan strategis nasional termasuk perbatasan darat NTT dengan Timor Leste dengan kategori E2 yang berarti lebih menekankan pada aspek keamanan. Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong kawasan strategis nasional, dan Kefamenanu sebagai ibu kota Kabupaten TTU termasuk dalam kategori tersebut yang dikelompokkan ke dalam kawasan pengembangan baru dari kawasan strategis nasional.
b. Kebijakan Pemerintah Provinsi
Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dalam Propeda dan Renstrada NTT tahun 2004-2008 telah menetapkan kawasan perbatasan sebagai kawasan yang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan. Perda Provinsi NTT No.9 tahun 2005 tentang RTRW Provinsi NTT tahun 2006-2020 pasal 20 menyatakan bahwa kawasan strategis daerah meliputi kawasan perbatasan negara yang pengembangannya dilakukan dengan cara (a) mendorong pengembangan kawasan perbatasan Republik Indonesia, Timor Leste dan Australia sebagai beranda depan Negara Indonesia di daerah; (b) percepatan pembangunan kawasan perbatasan negara yang berlandaskan pada pola kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan.
Provinsi NTT juga mengusulkan adanya kelembagaan formal yang bertugas mengelola
wilayah perbatasan sehingga dapat mengkoordinir kegiatan-kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan.
c. Kebijakan Pemerintah Kabupaten
Sedangkan dalam RPJM Kabupaten TTU tahun 2005–2010 telah ditegaskan bahwa potensi pendapatan di Kabupaten TTU dapat diperoleh dari dibukanya pasar perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi, meskipun belum difungsikan. Selanjutnya Kabupaten TTU juga telah mengembangkan Kota Wini sebagai kota satelit yang salah satu pertimbangannya karena letak Wini yang hanya berjarak 8 km dari Oekusi sehingga Wini dapat pula dijadikan kota transito. Sebagaimana dikemukakan oleh Hamid dan Alkadri (2003) bahwa wilayah perbatasan dapat dikembangkan sebagai model pengembangan kawasan transito, kawasan agropolitan, kawasan wisata. Sedangkan strategi yang dikembangkan dapat berupa pengembangan spasial dan infrastruktur, pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan investasi, pengembangan jaringan regional dan pengembangan komoditas unggulan. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian tentang penentuan komoditas unggulan dan jaringan regional yang dapat meningkatkan interaksi spasial di wilayah perbatasan.
Selain itu, pemerintah Kabupaten TTU sebagai daerah otonom merespon dengan melakukan pemekaran kecamatan dari 9 kecamatan menjadi 24 kecamatan sehingga kecamatan di wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste berjumlah 5 kecamatan (semula 3 kecamatan) dengan maksud mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran kecamatan juga secara ekonomi dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah dalam hal menciptakan daerah pertumbuhan baru yang dapat meningkatkan
interaksi antar sektor di wilayah tersebut sebagaimana dikatakan oleh Losch dalam Rustiadi et al.(2007).
2.5. Perencanaan Pengembangan Ekonomi Wilayah
kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental dan
spiritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa perencanaan pembangunan wilayah dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungan dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang menyeluruh, lengkap tetapi berpegang pada azas prioritas.
Perencanaan pembangunan terdiri dari empat tahapan, yakni: (a) perencanaan, (b) organizing, (c) pelaksanaan rencana, (d) pengendalian pelaksanaan rencana dan evaluasi pelaksanaan rencana. Suatu perencanaan pembangunan yang baik harus didasarkan pada data dan fakta yang tepat sehingga dapat menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan. Kondisi wilayah perbatasan sebagai bagian dari wilayah NKRI memiliki keunikan karena selalu dipengaruhi oleh wilayah negara lainnya sebagai dampak dari interaksi dengan wilayah negara lainnya baik legal maupun ilegal dengan berbagai tantangan pengembangan seperti aspek geografis, demografis, SDA, sosial budaya, ekonomi, ideologi, politik dan hankam.
Wilayah perbatasan umumnya termarginalkan dan masih terbelakang sehingga berdampak pada kesenjangan pembangunan dan kemiskinan di wilayah perbatasan yang diakibatkan oleh minimnya infrastruktur wilayah perbatasan, buruknya kinerja agribisnis akibat terbatasnya perkembangan sektor off-farm. Kesenjangan pembangunan merupakan suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah. Ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah lazim ditunjukkan dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah
geografik yang sangat bervariasi di Indonesia. Namun demikian, beberapa ukuran
kemiskinan yang dikembangkan dan digunakan di Indonesia, yakni: (1) Biro Pusat Statistik (BPS) yang mengukur tingkat kemiskinan berdasarkan jumlah rupiah yang dikeluarkan rumahtangga untuk konsumsi, yakni berupa konsumsi makanan kurang dari 2.100 kalori per orang per hari dan konsumsi non makanan. (2) Bank Dunia mengukur kemiskinan didasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US$1 per hari (3) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang mengukur kemiskinan berdasarkan kriteria keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I. (4) UNDP memperkenalkan pendekatan human development index (indeks pembangunan manusia) yang mencakup dimensi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan (UNDP et al., 2004).
Kesenjangan pembangunan dan kemiskinan tidaklah terjadi dengan sendirinya tetapi disebabkan oleh berbagai faktor, sebagaimana dikemukakan oleh Tambunan (2003) antara lain: (a) konsentrasi kegiatan ekonomi hanya berada pada wilayah tertentu, (b) alokasi investasi yang terkonsentrasi pada wilayah tertentu, (c) mobilitas faktor produksi yang rendah, (d) perbedaan sumberdaya alam pada setiap daerah, (e) perbedaan kondisi demografis/SDM antar wilayah, (f) perdagangan output yang terhambat. Sedangkan penyebab kemiskinan menurut USAID (2005) adalah karena (a) adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya dalam kuantitas dan kualitas, (b) adanya perbedaan kualitas sumberdaya manusia sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas, (c) adanya perbedaan akses terhadap modal.
Merujuk pada hal tersebut, penyebab kesenjangan pembangunan dan kemiskinan di wilayah perbatasan adalah karena sumber daya pembangunan yang terbatas, dalam arti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial dan sumberdaya buatan yang
terbatas. Selain itu, belum dikelolanya sumberdaya pembangunan dengan tepat karena perencanaan pembangunan yang kurang tepat.
perencanaan pengembangan ekonomi wilayah adalah bagaimana pengaruh kebijakan
pemerintah terhadap tingkat produksi dan distribusi pendapatan. Hal ini menjadi tugas dari analis pengembangan wilayah untuk membantu merumuskan kebijakan pengembangan ekonomi wilayah secara tepat.
Pembangunan wilayah perbatasan merupakan upaya spesifik dalam rangka mendorong pemanfaatan seluruh potensi wilayah yang ada. Oleh karena itu, dibutuhkan pembangunan infrastruktur di perdesaan yang memungkinkan bisnis di perdesaan mudah mengakses pasar input dan pasar output dengan biaya transaksi yang lebih rendah sehingga dapat meningkatkan perkembangan ekonomi. Selanjutnya melalui pembangunan infrastruktur juga dapat mengoptimumkan pemanfaatan dan mobilisasi sumberdaya sebagai wujud distribusi sumberdaya sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Selain itu, dapat pula meningkatkan pemerataan, keberimbangan, keadilan, dan keberlanjutan maka dibutuhkan penataan ruang (Rustiadi et al., 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang, yakni unsur pertama terkait dengan proses penataan fisik ruang dan unsur kedua adalah unsur institusional/kelembagaan penataan ruang (non fisik). Unsur fisik penataan ruang mencakup: (1) penataan pemanfaatan ruang; (2) penataan struktur/hirarki pusat-pusat wilayah aktivitas sosial ekonomi; (3) pengembangan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas; dan (4) pengembangan infrastruktur. Sedangkan unsur non fisik mencakup aspek-aspek organisasi penataan ruang dan aspek-aspek mengenai aturan-aturan main penataan ruang.
2.6. Perencanaan Partisipatif
Pembangunan wilayah perbatasan sebagaimana dimaksud belum mampu memberikan effect terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengelolaan wilayah perbatasan yang bersifat menyeluruh dan mengintegrasikan seluruh sektor, menekankan keterkaitan antar wilayah dan meningkatkan koordinasi antar pelaku ekonomi serta seluruh stakeholder
swasta, masyarakat madani (LSM, tokoh masyarakat dan tokoh adat di sepanjang
perbatasan), akademisi.
Dengan demikian, perlu perencanaan secara partisipatif yang dapat mengakomodir kepentingan perencanaan secara top-down