• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

1.4 Kerangka Pikir Studi

Bukit Cimanggu City merupakan salah satu perumahan terbesar di kota Bogor yang menerapkan konsep green. Konsep green diaplikasikan dengan banyaknya ruang terbuka hijau berupa taman dan jalur hijau. Bukit Cimanggu City memiliki fungsi-fungsi penting dari perumahan yaitu berupa hunian, fasilitas umum, fasilitas sosial dan infrastruktur. Beberapa fungsi tersebut memiliki ruang terbuka hijau (RTH) yang luas dan bentuknya disesuaikan dengan bentuk perumahan. Faktor- faktor yang menentukan akan berpengaruh dalam merencanakan kawasan Bukit Cimanggu City sebagai habitat burung. Gambar 1 adalah kerangka pikir dalam studi ini.

RTH Komunitas RTH RT RTH Halaman Rumah RTH Infrastruktur RTH Drainase Evaluasi RTH Menurut PU - RTH Komunitas - RTH RT - RTH Halaman Rumah

Evaluasi Kriteria Ekologis • Pola ruang habitat burung

- Area Bersarang - Area Transisi - Koridor • Biofisik

Perencanaan RTH

Gambar 1. Kerangka pikir

Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang diakibatkan meningkatnya pembangunan papan menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidakseimbangan ekologis. Salah satu dampaknya yaitu berkurangnya habitat burung. Oleh karena itu, diperlukan adanya perencanaan Ruang Terbuka Hijau ekologis sebagai habitat burung dengan mempertimbangkan aspek peraturan pemerintah, fisik dan biofisik tapak. Pertama luas RTH perlu dievaluasi supaya dapat diketahui kesesuaiannya dengan standard Peraturan Menteri Pekejaan Umunu No.5 Tahun 2008. RTH yang dievaluasi yaitu RTH komunitas, RTH RT atau ketetanggaan dan RTH halaman rumah. Kedua dievaluasi menurut kriteia ekologis yaitu pola ruang habitat burung untuk bersarang dan evaluasi secara

+

RTH Permukiman Ketidakseimbangan Ekologis

biofisik. Analisis kesesuaian RTH untuk tempat besarang dilakukan dengan membandingkan luas eksisting RTH dengan standard luas habitat burung ideal berdasarkan standard The University of Montana (2010). Ruang-ruang yang dibutuhkan sebagai habitat burung yaitu area bersarang, area transisi dan koridor. Analisis biofisik dilakukan dengan membandingkan jenis tanah, vegetasi, iklim dan hidrologi eksisting dengan teori Van Hoeve (1989) mengenai iklim, jenis tanaman dan jenis makanan yang dihasilkan (Hails et al., 1990), bentuk tajuk (Halle, dalam Rusilawati, 2002) dan tinggi tanaman (Handayani, 1995). Selanjutnya dilanjutkan dengan tahap perencanaan RTH.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Lanskap Ekologi

Menurut Forman dan Godron (1986) bahwa lanskap mempunyai sifat yang heterogen dengan struktur yang berbeda pada distribusi spesies, energi, dan material pada elemen patches, koridor dan matriks. Ekologi dapat disebut sebagai bagian dari ekosistem yang menunjuk kepada organisme atau makhluk hidup yang berada di suatu tempat dan berinteraksi dengan lingkungan.

Lanskap ekologi mempunyai teori dasar ekologi yang kuat antara perencana lanskap dan ekologis yang berhubungan dengan bagian-bagian lanskap antara tiga pandangan yaitu aspek visual, aspek kronologi dan aspek ekosistem. Kesepahaman pada kerja lanskap menggambarkan struktur, proses dan lokasi. Dengan struktur, komposisi biologi dan elemen alami dengan lingkungan manusia. Hubungan fungsional antara elemen seperti, iklim, bentukan lahan, tanah, flora dan fauna. Proses menggambarkan pergerakan energi, material, dan organisme di lanskap. Sedangkan lokasi menunjuk pada distribusi elemen dan proses di lanskap dan hubungannya dengan iklim dan bentukan lahan (Thompson, 1997). Taman ekologi memiliki definisi bahwa heterogenitas, atau pola-pola spasial yang berbeda, terdiri atas inti pertanyaan penelitian dalam lanskap ekologi. Tema utama yang terdiri dari lanskap ekologi meliputi:

pola spasial atau struktur lanskap, mulai dari padang gurun ke kota

hubungan antara proses pola dan lanskap, termasuk implikasi ekologis pola populasi, komunitas, dan ekosistem

efek skala pada lanskap

proses yang terlibat dalam pembentukan pola, seperti fisik (abiotik) lingkungan hidup, tanggapan demografis ini, dan gangguan rezim

hubungan antara aktivitas manusia untuk lanskap pola, proses dan perubahan (misalnya aplikasi dalam perencanaan penggunaan lahan) Lansekap ekologi terjadi pada berbagai skala, sehingga sebuah "pemandangan" dapat mencakup wilayah yang terdiri dari beberapa ekosistem, atau mungkin merupakan rumah berbagai serangga yang memanjang beberapa meter di

seberang. Daripada ukuran tertentu, lanskap didefinisikan oleh pola spasial (heterogenitas) dan proses-proses yang terjadi di atasnya yang berada di bawah pertimbangan. Dengan demikian, resolusi, gandum, dan sejauh mana konsep-konsep penting dalam ekologi lansekap. Ini juga berarti bahwa tingkat organisasi, berbeda dari skala, adalah konsep yang penting, yang berasal dari jenis interaksi di bawah pertimbangan dalam usaha penelitian tertentu. Dengan penentuan aspek-aspek studi, pola dapat dinilai, yang biasanya digambarkan sebagai suatu mosaik tambalan.

Lanskap memiliki beberapa hal yang tidak diharapkan:

a Kumuh (slum [slúm]) yaitu lanskap dengan sarana dan prasarana lingkungan yang inferior.

b Squatter [skówtu(r)] yaitu liar, hunian liar.

c Urban sprawl [sprol] yaitu menyebar tidak teratur

Berakibat pada penurunan kualitas estetika dan penyediaan sarana dan prasarana (jejaring lintas wilayah, penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dll) menjadi tidak layak.

d Konurbasi (conurbation [‘kónur’beyshun]), agregasi atau jejaring yang kontinyu komuniti kota, tidak ada jeda kota-desa.

Relevan dengan efisiensi sarana dan prasarana. e Lapuk (blight [blIt]), integritas lanskap rusak

Satu atau beberapa sentra prasarana dan sarana permukiman dengan aksesibilitas tertinggi secara internal (dengan seluruh bagian di kawasan urban) dan secara eksternal (dengan pusat-pusat perkotaan lainnya lainnya) dengan standard memadai.

2.2. Kawasan Permukiman

Populasi penduduk yang secara alami meningkat dan terjadinya pemusatan penduduk di kota-kota pulau Jawa menyebabkan masalah pembangunan permukiman semakin mendesak terutama di pulau Jawa. Perumahan dan prasarana lingkungan merupakan kebutuhan dasar setiap keluarga dalam masyarakat Indonesia dan merupakan faktor yang sangat penting dalam

peningkatan stabilitas sosial, dinamika dan produktivitas masyarakat. (Batubara, 1982)

Permukiman kota dihadapkan dengan permasalahan penggunaan lahan yang sangat padat disebabkan mahalnya lahan dan ruang yang terbatas (Carpenter dan Walker, 1975). Hal ini menciptakan suasana kota yang menekan. Skala yang terbentuk dalam pembangunan kota dan ruang kota seringkali gagal mencapai skala manusia. Oleh karena itu, kekurangan ruang menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan kota.

Dalam UU No. 4 tahun 1992, disebutkan pula bahwa ciri–ciri utama dari permukiman adalah sebagai berikut:

• Mayoritas peruntukan adalah hunian

• Fasilitas yang dikembangkan lebih pada pelayanan skala lingkungan (neighbourhood)

• Luas kawasan yang dikembangkan lebih kecil dari 1000 Ha

• Kebutuhan fasilitas perkotaan bagi penduduk kawasan hunian skala besar masih tergantung atau memanfaatkan fasilitas perkotaan yang berada di pusat kota

2.3. Ruang Terbuka Hijau

Dinas Tata Kota DKI, membagi Ruang Terbuka Hijau menjadi tiga yaitu : a) Ruang Terbuka Hijau Makro, seperti kawasan pertanian, perikanan, hutan lindung, hutan kota dan landasan pengaman bandar udara.

b) Ruang Terbuka Hijau Medium, seperti kawasan area pertamanan (city park), sarana olah raga, sarana pemakaman umum.

c) Ruang Terbuka Hijau Mikro, lahan terbuka yang ada di setiap kawasan permukiman yang disediakan dalam bentuk fasilitas umum seperti taman bermain (play ground), taman lingkungan (community park), lapangan olah raga.

Menurut PERMENDAGRI no.1 tahun 2007 tentang penataaan RTH kawasan perkotaan, ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas balk dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjangljalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang

selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung

manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Ruang Terbuka Hijau mempunyai fungsi sebagai berikut:

a sebagai area perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan

b sebagai area untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan

c sebagai sarana rekreasi

d sebagai sarana pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik di darat, perairan maupun udara,

e sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan

f sebagai tempat perlindungan plasma nutfah

g sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro, h sebagai sarana pengatur tata air.

Hernowo dan Prasetyo (1989) menyatakan bahwa bentuk RTH kota dapat berupa taman lingkungan, jalur hijau, kebun pekarangan, areal rekreasi, lapangan rumput, makam, tepian sungai, kanal dan lain-lain.

Kriteria penataan RTH menurut Supriyanto (1996) adalah merupakan keterkaitan hubungan antara bentang alam dengan jenis pemanfaatan ruang serta kriteria vegetasi. Alokasi RTH : (1) rencana RTH dikembangkan sesuai dengan jenis pemanfaatan ruang kotanya, (2) pada lahan yang bentang alamnya bervariasi menurut keadaan lereng dan kegiatan di atas permukaan laut serta kedudukannya terhadap jalur sungai, jalur jalan dan jalur pengaman utilitas.

Menurut Peraturan Menteri Pekerjan Umum No.5 tahun 2008 mengenai penyediaan dan pemanfaatan RTH di kawasan perkotaan, RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat. Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut:

2. proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat;

3. apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

Pembagian jenis-jenis RTH publik dan RTH privat adalah sebagaimana Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kepemilikan RTH

No Jenis Area Publik Area Privat

1 RTH Pekarangan

a. Pekarangan rumah tinggal V

b. Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat

usaha V

c. Taman atap bangunan V

2 RTH Taman dan Hutan Kota

a. Taman RT v V b. Taman RW v V c. Taman kelurahan v V d. Taman kecamatan v V e. Taman kota v f. Hutan kota v

g. Sabuk hijau (green belt) v 3 RTH Jalur Hijau Jalan

a. Pulau jalan dan median jalan v V

b. Jalur pejalan kaki v V

c. Ruang dibawah jalan layang v

4 RTH Fungsi Tertentu

a. RTH sempadan rel kereta api v

b. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi v

c. RTH sempadan sungai v

d. RTH sempadan pantai v

e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air v

f. Pemakaman v

2.4. Ruang Terbuka Hijau pada Pemukiman

Proses kehidupan di kota, menuntut manusianya berkompetisi dan terlibat dalam aktivitas rutin yang menyebabkan stress dan kejenuhan sehingga manusia yang hidup di lingkungan perkotaan memerlukan lingkungan yang sehat dan bebas polusi. RTH memberikan manfaat kehidupan yang nyaman dengan berperan sebagai penyumbang ruang bernapas yang segar dan memberikan keindahan visual (Simonds, 1983). Carpenter, Lanphear dan Walker (1975) mengatakan bahwa manusia membutuhkan lingkungan hijau di tengah-tengah lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, RTH berfungsi untuk melembutkan kesan keras dari struktur fisik, menolong manusia mengatasi tekanan- tekanan dari kebisingan, udara panas dan polusi di sekitarnya sebagai pembentuk kesatuan ruang.

Menurut Peraturan Menteri Perumahan Rakyat no.34 tahun 2006

mengenai penyelenggaraan prasarana, sarana dan utilitas kawasan perumahan, kawasan perumahan perlu menyediakan ruang terbuka hijau yang bermanfaat untuk menjaga kualitas dan keseimbangan lingkungan di sekitar kawasan. Ruang terbuka hijau bermanfaat tidak langsung seperti perlindungan tata air, dan konservasi hayati atau keaneka-ragaman hayati, dan bermanfaat langsung seperti kenyamanan fisik (teduh, segar) dan mendapatkan bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), tempat wisata (bermain) serta bangunan umum yang bersifat terbatas (WC umum, pos polisi, lampu taman, gardu listrik, dan lain-lain). Persyaratan ruang terbuka hijau didasarkan luas wilayah dan berdasarkan jumlah penduduk. Bentuk tipologi ruang terbuka hijau berupa ruang terbuka hijau taman lingkungan dan taman kota, jalur hijau, jalur hijau sempadan sungai, jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau tegangan tinggi, RTH pemakaman, dan RTH pekarangan (Tabel 2).

Tabel 2. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk

No Unit lingkungan Tipe RTH Luas minimal /unit (m²) Luas minimal /kapita (m²) Lokasi

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 di tengah

2 2500 jiwa Taman RW 1.25 0,5 di pusat kegiatan

4 120000 jiwa

Taman 24 0,2 Dikelompokan

Pemakaman Disesuaikan 1,2 Tersebar

5 480000

jiwa

Taman kota 144 0,3 di pusat wilayah/

Hutan kota Disesuaikan 4,0 di dalam/ kawasan

Untuk fungsi-fungsi tertentu

Disesuaikan 12,5 disesuaikan dengan

kebutuhan Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 5 Tahun 2008

Beberapa kriteria RTH permukiman (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5 Tahun 2008)

1. RTH Pekarangan

Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di masing-masing kota. Untuk memudahkan di dalam pengklasifikasian pekarangan maka ditentukan kategori pekarangan sebagai berikut:

a. Pekarangan Rumah Besar

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah besar adalah sebagai berikut:

1) kategori yang termasuk rumah besar adalah rumah dengan luas lahan di atas 500 m2;

2) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;

3) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau rumput.

b. Pekarangan Rumah Sedang

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah sedang adalah sebagai berikut:

1) kategori yang termasuk rumah sedang adalah rumah dengan luas lahan antara 200 m² sampai dengan 500 m²;

2) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m²) dikurangi luas dasar bangunan (m²) sesuai peraturan daerah setempat;

3) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

c. Pekarangan Rumah Kecil

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah kecil adalah sebagai berikut:

1) kategori yang termasuk rumah kecil adalah rumah dengan luas lahan dibawah 200 m²;

2) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m²) dikurangi luas dasar bangunan (m²) sesuai peraturan daerah setempat;

3) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

4) keterbatasan luas halaman dengan jalan lingkungan yang sempit, tidak menutup kemungkinan untuk mewujudkan RTH melalui penanaman dengan menggunakan pot atau media tanam lainnya.

2. RTH Taman Rukun Tetangga

Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkup 1 (satu) RT, khususnya untuk melayani kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Luas taman ini adalah minimal 1 m² per penduduk RT, dengan luas minimal 250 m². Lokasi taman berada pada radius kurang dari 300 m dari rumah-rumah penduduk yang dilayani. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas taman. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman, juga terdapat minimal 3 (tiga) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.

3. RTH Taman Rukun Warga

RTH Taman Rukun Warga (RW) dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu RW, khususnya kegiatan remaja, kegiatan olahraga masyarakat, serta kegiatan masyarakat lainnya di lingkungan RW tersebut. Luas taman ini minimal 0,5 m² per penduduk RW, dengan luas minimal 1.250 m². Lokasi taman berada pada radius kurang dari 1000 m dari

rumah-rumah penduduk yang dilayaninya. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 10 (sepuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.

4. RTH Kelurahan

RTH kelurahan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kelurahan. Luas taman ini minimal 0,30 m² per penduduk kelurahan, dengan luas minimal taman 9.000 m2. Lokasi taman berada pada wilayah kelurahan yang bersangkutan. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 25 (dua puluh lima) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman aktif dan minimal 50 (lima puluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

5. RTH Kecamatan

RTH kecamatan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kecamatan. Luas taman ini minimal 0,2 m² per penduduk kecamatan, dengan luas taman minimal 24.000 m². Lokasi taman berada pada wilayah kecamatan yang bersangkutan.Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 50 (limapuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk taman aktif dan minimal 100 (seratus) pohon tahunan dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

6. Sabuk Hijau

Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak

saling mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya. Sabuk hijau dapat berbentuk:

- RTH yang memanjang mengikuti batas-batas area atau penggunaan lahan tertentu, dipenuhi pepohonan, sehingga berperan sebagai pembatas atau pemisah;

- Hutan kota;

- Kebun campuran, perkebunan, pesawahan, yang telah ada sebelumnya (eksisting) dan melalui peraturan yang berketetapan hukum, dipertahankan keberadaannya.

Fungsi lingkungan sabuk hijau:

- Peredam kebisingan;

- Mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh radiasi energy matahari;

- Penapis cahaya silau;

- Mengatasi penggenangan; daerah rendah dengan drainase yang kurang baik sering tergenang air hujan yang dapat mengganggu aktivitas kota serta menjadi sarang nyamuk.

- Penahan angin; untuk membangun sabuk hijau yang berfungsi sebagai penahan angin perlu diperhitungkan beberapa faktor yang meliputi panjang jalur, lebar jalur.

7. RTH Jalur Hijau Jalan

Untuk jalur hijau jalan, RTH dapat disediakan dengan penempatan tanaman antara 20–30% dari ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan kelas jalan. Untuk menentukan pemilihan jenis tanaman, perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu fungsi tanaman dan persyaratan penempatannya. Disarankan agar dipilih jenis tanaman khas daerah setempat, yang disukai oleh burung-burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah.

Tabel 3. Standar kebutuhan RTH oleh umum (Simonds, 1983)

Hierarki ∑KK/wilayah RTH

(m²/jiwa)

Bentuk perumahan

Ketetanggaan 2500 12 •Pekarangan, taman rumah

•T. lingkungan skala kecil •Taman bermain

Komuniti 10000 20 •T. lingkungan skala besar

•Lapangan olah raga •Koridor lingkungan •Termasuk RT Ketetanggaan

Kota 40 Taman kota

•Jalur hijau

•Lapangan olah raga •Koridor, ada 2.

Wilayah 80 T. Rekreasi sekitar kota

•Jalur lingkar kota •Hutan kota •Sawah/kebun

Kriteria Vegetasi untuk RTH Pekarangan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, 2008):

a. Kriteria Vegetasi untuk RTH Pekarangan Rumah Besar, Pekarangan Rumah Sedang, Pekarangan Rumah Kecil, Halaman Perkantoran, Pertokoan, dan Tempat Usaha

Kriteria pemilihan vegetasi untuk RTH ini adalah sebagai berikut: a) memiliki nilai estetika yang menonjol;

b) sistem perakaran masuk ke dalam tanah, tidak merusak konstruksi dan bangunan;

c) tidak beracun, tidak berduri, dahan tidak mudah patah, perakaran tidak mengganggu pondasi;

d) ketinggian tanaman bervariasi, warna hijau dengan variasi warna lain seimbang;

e) jenis tanaman tahunan atau musiman; f) tahan terhadap hama penyakit tanaman;

g) mampu menjerap dan menyerap cemaran udara;

b. Kriteria Vegetasi untuk RTH Taman dan Taman Kota

Kriteria pemilihan vegetasi untuk taman lingkungan dan taman kota adalah sebagai berikut:

a) tidak beracun, tidak berduri, dahan tidak mudah patah, perakaran tidak mengganggu pondasi;

b) tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap;

c) ketinggian tanaman bervariasi, warna hijau dengan variasi warna lain seimbang;

d) perawakan dan bentuk tajuk cukup indah; e) kecepatan tumbuh sedang;

f) berupa habitat tanaman lokal dan tanaman budidaya; g) jenis tanaman tahunan atau musiman;

h) jarak tanam setengah rapat sehingga menghasilkan keteduhan yang optimal; i) tahan terhadap hama penyakit tanaman;

j) mampu menjerap dan menyerap cemaran udara;

k) sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang burung. c. Kriteria Vegetasi untuk Sabuk Hijau

Kriteria pemilihan vegetasi untuk RTH ini adalah sebagai berikut:

- Peredam kebisingan; untuk fungsi ini dipilih penanaman dengan vegetasi berdaun rapat. Pemilihan vegetasi berdaun rapat berukuran relatif besar dan tebal dapat meredam kebisingan lebih baik.

- Ameliorasi iklim mikro; tumbuhan berukuran tinggi dengan luasan area yang cukup dapat mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh radiasi energi matahari.

- Penapis cahaya silau; peletakan tanaman yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi dan menyerap cahaya.

- Mengatasi penggenangan.

- Tanaman yang ditanam didominasi oleh tanaman yang cukup tinggi, dengan dahan yang kuat namun cukup lentur;

- Memiliki kerapatan daun berkisar antara 70–85%. Kerapatan yang kurang, tidak dapat berfungsi sebagai penahan angin. Sebaliknya kerapatan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terbentuknya angin turbulen;

- Tanaman harus terdiri dari beberapa strata yaitu tanaman tinggi sedang dan rendah, sehingga mampu menutup secara baik.

2.5. Mengembangkan RTH Untuk Burung

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengembangkan RTH untuk pelestarian burung:

1. Lokasi, Luas dan Bentuk Habitat

Burung merasa betah tinggal di suatu tempat apabila terpenuhi tuntutan hidupnya seperti habitat yang mendukung dan aman dari gangguan. Lokasi yang direncanakan menjadi habitat burung harus mempunyai hubungan dengan daerah sumber populasi satwa burung (Gambar 4). Hubungan ini didasari bahwa populasi burung penyebarannya bersifat mosaic pada berbagai tipe di suatu tempat.

Menurut Hails et al. (1990), tipe habitat yang diperlukan untuk membentuk habitat burung di perkotaan adalah:

- Daerah alami yang merupakan “sumber burung” bagi taman-taman kota atau daerah yang berfungsi sebagai penampung.

- Taman-taman atau area lain yang dapat dikembangkan sebagai area

Dokumen terkait