BAB I PENDAHULUAN
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsep
Kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu ataupun permasalahan, problem, yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan pasangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.29
Teori dan penelitian harus secara bersama berfungsi menambah pengetahuan ilmiah seorang peneliti ilmu hukum tidak boleh menilai teori terlepas dari kenyataan, fakta-fakta hukum yang ada ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan penelitian, seorang peneliti ilmu hukum senantiasa mendasarkan diri pada teori yang ada, kemudian hasil penelitian yang dilakukan dapat mendukung, memperluas atau mengkoreksi teori tersebut.30
Kompleksitas pelaku (baik individu maupun organisasi) menyebabkan kompleksitas modus yang digunakan. Kecanggihan dan “kreativitas” modus yang digunakan membuat kejahatan ini menjadi sangat sulit diidentifikasi. Pada akhirnya, kompleksitas pelaku dan modus menyebabkan Dalam konteks pembicaraan masalah penanggulangan kejahatandikenal istilah Politik Kriminal. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, merupakan kejahatan yang bersifat kompleks. Kompleksitas masalah dimulai dari pelaku, modus, hingga korban. Pelaku kejahatan ini terdiri dari individu dan kelompok yang terorganisir dengan rapi. Organisasi kejahatan peredaran gelap narkotika tidak hanya terbatas di dalam negeri saja, namun membentuk jaringan kejahatan terorganisir di level internasional.
29 Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.
30 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 139.
kompleksitas korban. Jangkauan pelaku dan modus terhadap korban sering lebih luas dari pada jangkauan upaya pencegahan dan penegakan hukum dari sistem peradilan pidana. Inilah yang menyebabkan korban penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak hanya terbatas pada level masyarakat tertentu. Namun telah lintas strata dan lintas generasi.
Politik Kriminal (Criminal Policy) sebagai usaha rasional masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, secara operasional dapat dilakukan baik melalui sarana penal maupun sarana nonpenal.
Penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tidak bisa hanya mengandalkan sarana penal tetapi juga harus menggunakan sarana nonpenal karena hukum pidana dalam bekerjanya memiliki kelemahan/keterbatasan.
Kelemahan/keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, yaitu:31
a. Sebab-sebab penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang demikian kompleks, tidak dapat diatasi dengan hukum pidana berada di luar jangkauan hukum pidana;
b. Hukum pidana adalah bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah masyarakat seperti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang sangat kompleks...;
c. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan
“pengobatan kausatif”;
d. Sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif;
e. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/ personal, tidak bersifat
struktural/fungsional; berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut "biaya tinggi".
Politik kriminal tidak dapat berdiri sendiri mencakup berbagai hal baik itu penegak hukum yang mencakup hukum pidana, hukum perdata maupun administrasi, semua hal tersebut adalah bagian dari kebijakan sosial (sosial policy), yaitu rasional dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Dikatakan sebahagian daripada kebijakan sosial (sosial policy), oleh karena
31Barda NawawiArief,“Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Korupsi”, disajikan pada Seminar CLC & FH UNSWAGATI Cirebon, 30 Juli 2005.
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat masih ada kebijakan sosial lainnya seperti kebijakan di bidang perekonomian, politik dan hankam sebagaimana termuat dalam GBHN.32
Usaha penanggulangan kejahatan melalui undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial defence). Kebijakan sosial (sosial policy) dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “sosial politic”
mencakup di dalamnya “sosial walfare politic”. Jadi tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.33
Apabila dilihat dari perspektif politik kriminal secara makro maka kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana atau nonpenal policy merupakan kebijakan yang paling strategis. Hal ini disebabkan karena nonpenal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya kejahatan, dimana sasaran utamanya adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.34
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. G. Peter Hoefnagels berpendapat bahwa kebijakan kriminal secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:35
1. Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) melalui criminal law application; dan
2. Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal policy) melalui influencing views of society on crimeand punishment (mass media) dan prevention without punishment.
32 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hal.24.
33 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 5.
34 Supriyadi, ”Beberapa Catatan Terhadap Kebijakan Legislatif Dalam Perundang-UndanganPidana di Indonesia.”,Mimbar Hukum No. 40/11/2002, Majalah Berkala FakultasHukum UGM,hal. 20.
35 Hoefnagels, G.P, The Other Side of Criminology, (Holland: Kluwer B.V., Deventer, 1973), hal. 56.
Kedua sarana ini (penal dan nonpenal) merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan kejahatan di masyarakat.36
2. Kerangka Konsep.
Sesuai dengan apa yang menjadi permasalahan makalah ini, maka dari lingkup kajian yang dikemukakan di atas, fokus perhatian akan lebih terarah pada kajian kebijakan nonpenal.
Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalah dan kerangka konsep teoretisnya telah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari apa yang diamati konsep menentukan antara variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.37
Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Salah satu fungsi logis dari konsep adalah memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu.38
a. PIMANSU adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang Pencegahan, Pemberantasan Penyalahggunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. PIMANSU merupakan lembaga yang dibentuk atas kerjasama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dengan Gerakan Anti Narkoba (GAN) Indonesia.
Konsep dasar dalam penelitian ini, yaitu:
39
36Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hal. vii.
37 Koentjorodiningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1997), hal. 21.
38 Jhonny Ibrahim, Theory dan Metodologi Penelitian Normatif (Malang: Bayu Media, Cet. Ke-2, 2006), hal.
306
39 Profile Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU), hal. 1
b. Peran serta masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.40 Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam hal pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Hak masyarakat dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk:41
a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.
c. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.42
d. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika.43
e. Penyalahgunaan Narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum.44
f. Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.45
40Siswantoro Sunanto, Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 157.
41Ibid, pasal 106.
42 Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
43 Pasal 1 angka (2) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
44 Pasal 1 angka (15) Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
g. Penanggulangan merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana narkotika. Penanggulangan Narkotika dalam penelitian ini dibatasi pada penanggulangan kejahatan lewat jalur nonpenal yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan/penangkalan/ pengendalian) sebelum terjadi kejahatan. 46
h. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Selanjutnya menurut wujudnya atau sifatnya tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat dari terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulan bahwa suatu perbuatan yang menjadi tindak pidana, apabila perbuatan itu melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana.47
i. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu perbuatan melawan hukum dan merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan dan pelakunya diancam dengan pidana, yang meliputi tindakan:48
(1) Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika (2) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika
(3) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menukar atau menyerahkan Narkotika (4) Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkotika
(5) Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.