• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Peran Serta masyarakat Menurut

Dalam dokumen PULI SIREGAR /HK (Halaman 53-0)

BAB II PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN

C. Pengaturan Mengenai Peran Serta Masyarakat

3. Pengaturan Peran Serta masyarakat Menurut

Selain memberikan kewenangan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam undang-undang ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika.85

Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 104 dan Pasal 54 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menegaskan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta membantu pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor Narkotika.86

Peran serta masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.87Hak masyarakat dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk:88

a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada

85Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika pada Bab XIII pasal 104-108

86Ibid,.

87Siswantoro Sunanto, Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 157.

88Ibid, pasal 106.

penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;

e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.

Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan:89

1. Aspek Model Moral Dennis L.Thombs. Aspek lebih kepada teori yang memandang penyebab terjerumusya seseorang menjadi pecandu karena terjadi degradasi moral,maka untuk penyembuhannya harus melalui tempatan yang disertai dengan penanaman nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, antara lain dengan memberikan hukuman penjara.

2. Aspek pendekatan Disease Model (model Penyakit), menggap kecanduan sebagai penyakit adksi yang bersifat kronis, progresif, dan fatal, oleh karenanya penyembuhannya melalui terapi dan rehabilitasi medis. Menurut Dr. Elfrin Jellineck melalui penelitiannya telah mengembangkan dasar medis dari paradigm dan ruang lingkup efek penyakit bukan sekadar proses biokimia dalam diri pecandu, namun merambahi ke aspek spiritual sehinga penyembuhannya pun membutuhkan pendekatan spiritual.

3. Pengalaman empiric di berbagai pelososk negeri ini terhadap stigma pecandu telah mengakar kuat. Bahkan kini telah tumbuh menjadi gagasan dan keyakinan masyarakat yang telah menghubungkan pecandu Narkoba dengan perilaku jahat, telah berkembang lama dan mendunia menjadi pengalaman masyarakat dalam memperlakukana pecandu. Stigma ini pula yang membuat banyak pecandu yang menjadi korban, mengucilkan diri dan takut berobat ke fasilitas rehabilitasi.

4. Aspek kehidupan sosial. Peran serta masyarakat di bidang kehidupan sosial dalam mencegah peredaran gelap Narkoba perlu mencermati hal-hal yang berkaitan dengan gangguan penggunaan zat narkotika dan psikotropika. Masalah ini dapat menimbulkan berbagai problem sosial, antara lain; dalam upaya untuk mendapatkan zat karena dorongan yang begitu besar mereka akan berbuat “apa saja”, untuk mendapatkannya seperti; pemaksaan sampai pada tindak kekerasan atau pembunuhan; pencurian, perampokan; perampasan;

jambret; menjual diri; korupsi; penggelapan uang perusahaan, dan lain-lain. Akibat perilaku di atas akan terjadi hubungan dengan anggota keluarga, teman, pasangan akan terganggu, misalnya: pertengkaran; keretakan dalam rumah tangga dan perceraian; diberhentikan dari

89 Badan Narkotika Nasional RI, Buku P4GN Bidang Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: BNN RI, 2010), hal. 37.

pekerjaan, dikeluarkan dari sekolah, dan lain-lain. Dalam kondisi intoksikasi, dimana dijumpai tingkah laku yang maladaptif, kendala emosi terganggu, mudah tersinggung sehingga menimbulkan tindak kekerasan dan perilaku kriminal, seperti; pembunuhan, pemerkosaan, dapat juga terjadi kecelakaan lalu lintas yang tidak hanya membahayakan dirinya, tetepi juga tehadap lingkungannnya.

5. Dari aspek agama. Narkoba merupakan masalah nasional yang merupakan hal yang terjadi akibat kelakuan remaja yang ingin merasakan keenakan sesaat. Pada saat ini pemerintah bersama tokoh-tokoh agama dan kalangan masyarakat masih berusaha untuk menghilangkan kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh masyarakat khususnya oleh para remaja. Dalam masalah ini agama memberikan arahan tentang hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh masyarakat karena menggunakan narkotika melawan hidup. Orang-orang yang menyalahgunakan obat-obatan hamper selalu diakibatkan oleh pelarian dari tanggungjawab yang sebenarnya dapat dihindari dan ia tidak memahami atau kehilangan makna dan nilai hidup.

6. Aspek pengurangan pemasukan BNN sebagai focal point dalam pemberantasan Narkoba membutuhkan peran serta aktif masyarakat termasuk dalam aspek pengawasan peredaran Narkoba. Permasalahan yang terus cenderung terjadi adalah bahwa dengan penutupan salah satu jalur pemasukan berakibat membuka jalur-jalur pemasukan yang lain. Demikian juga dengan menyingkirkan satu pemasok mengakibatkan sejumlah pemasukan lain muncul.

Pengurangan permintaan dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan usia dini tentang bahaya Narkoba, sehingga tumbuh dan berkembangnya perilaku kebal terhadap Narkoba akan mengurangi permintaan, sehingga dari waktu ke waktu akan semakin berkurang terhadap permintaan Narkoba.

7. Aspek perubahan paradigma penanganan pecandu. Bahwa pergeseran paradigma masyarakat terhadap pecandu dari kriminalisasi menjadi humanis dan realistis telah terjadi seiring lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 telah mendorong terjadinya bagi perubahan dalam penanganan Narkoba terutama aspek pencegahan, pemberantasan dan penyalahgunaan. Lihat saja ancaman hukuman pelaku kejahatan narkotika kini jauh lebih keras penanganan korban lebih humanis, dan dalam aspek pencegahan yang melibatkan masyarakat. Lebih dari dua dasawarsa paradigm pecandu dikriminalisasi dan di-stigma negatif oleh masyarakat. Harapan terhadap paradigma baru adalah lahirnya cara pandang dan perlakuan terhadap pecandu bukan lagi kriminal, namun korban yang harus ditolong guna penyembuhannya. Paradigma ini menjadi lebih humanis dalam memperlakukan penyalahguna Narkoba. Kini pecandu mulai menghadapi respon dan dukungan kondusif lingkungan bukan penolakan.

8. Aspek stigma (stempel negative) untuk pecandu ditengah masyarakat. Kondisi pandangan masyarakat terhadap stigma pecandu Narkoba. (1). Pandangan masyarakat terhadap pelaku kejahatan pada umumnya sinis, dan skeptic. Misalnya saja terhadap residivis, eks tahanan politik, termasuk pecandu Narkoba. Pengalaman empirik menegaskan bahwa pecandu Narkoba merupakan korban yang diberikan stigma sebagai kriminal. Simak saja perundang-undangan yang berlaku kebanyakan menjatuhkan hukuman didalam penjara kepada pecandu.

(2). Masih rendahnya kepedulian terhadap pecandu. Pengalaman yang berkembang di masyarakat, pada umunya menutup diri untuk bergaul dengan pecandu meskipun mereka telah sembuh dan bertobat. (3). Stigma pecandu sebagai biang kerok terjadinya kriminalitas.

Pecandu selama ini hanya mendapatkan stigma hingga sebagian menggangap sebagi samapah masyarakat yang harus disingkirkan, dipenjara atau bila perlu dihapuskan dari makhluk bumi ini. (4). Pecandu belum sepenuhnya mendapatkan ruang pemulihan pecandu yang memadai. Kurang lebih 30 s/d 40% penjara di seluruh Indonesia kebanyakan kasus

Narkoba dan tidak tertutup kemungkinan angka ini akan terus meningkat jika pemerintah, aparat dan pihak-phak terkait tidak segera menanggapi, memutuskan dan merealisasikan tindakan langkah preventif disertai tindakan nyata untuk pemulihan si pecandu. (5).

Perlakuan yang diskriminatif. Sebagai kaum minoritas (minority society), pecandu sangat rentan akan pelanggaran hak asasi manusia. (6). Stigma negatif terus berkembang. Pecandu Narkoba, sekeras apa pun dia berusaha, tidak bisa sepenuhnya sembuh. Mereka selalu identik dengan kekerasan, bertingkah seenaknya, menggangu orang lain, dan merusak.

Bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat. Stigma negative itu yang akhirnya kembali membuat mantan pecandu Narkoba kembali terpuruk. Mereka kembali terbenam dalam gelimangan Narkoba.

4. Peran Serta Masyarakat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional.

Peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana narkotika juga terdapat dalam Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional Pasal 49: dalam rangka memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan serta dan membantu pelaksanaan P4GN, BNN dapat memfasilitasi dan mengkoordinasikan pembentukan wadah peran serta masyarakat.90

Pasal 50 menyebutkan: wadah peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat berupa forum koordinasi, pusat pelaporan dan informasi, serta wadah lainnya sesuai kebutuhan.91

Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu kekuatan tersendiri karena masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang. Pada Bab II tentang Peran Serta Masyarakat Pasal 2 disebutkan:92

(1) Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk:

a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekusor Narkotika; dan

90 Direktorat Hukum, Deputi Hukum dan Kerjasama Badan Narkotika Nasional, Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia, (Jakarta, BNN RI, 2011), hal.261.

91Ibid,.

92hal.384.

b. Melaporkan bila mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika.

(2) Selain bentuk peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diwujudkan dalam bentuk:

a. Mencari, memperoleh, memberikan informasi dan melaporkan adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Psikotropika, Prekusor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol; dan

b. Desiminasi informasi, advokasi, pemberdayaan alternatif, dan penjangkauan penyalahgunaan dan/atau pecandu Narkotika, Psikotropika, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan untuk tembakau dan alkohol.

Wadah peran serta masyarakat diatur dalam peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional No 6 Tahun 2012, pada Bab III Pasal 3 yang menyebutkan:93

(1) Wadah peran serta masyarakat dapat berupa forum koordinasi, pusat pelaporan dan informasi, serta wadah lainnya sesuai kebutuhan.

(2) Keanggotaan wadah peran serta masyarakat berasal dari Organisasi Non Pemerintahaan atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki visi dan misi di bidang pencegahan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan bahan adiktif lainnya. ( P4GN) Pasal 4

(1) Badan Narkotika Nasional (BNN) memfasilitasi dan mengkoordinasikan penentuan bentuk dan susunan organisasi, rincian tat kerja, penunjukan pemimpin, pengurus, dan keanggotaan wadah peran serta masyarakat.

(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada tingkat pusat dilakukan oleh Deputi Pemberdayaan Masyarakat.

(3) Pada tingkat Provinsi dilakukan oleh Kepala BNN Provinsi dan pada tingkat Kabupaten/kota dilakukan oleh Kepala BNN Kabupaten/kota.

Peran serta masyarakat dan dinaungi oleh suatu wadah yang difasilitasi oleh BNN RI akan semakin memperkuat keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana narkotika.

Pada konsepnya semua aturan yang ada sebagai pendukung tindakan masyarakat untuk menjalankan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredan gelap narkotika.

93Ibid, 385.

5. Peran Serta Masyarakat dalam Inpres No. 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011 – 2015

Pencapaian “Indonesia bebas Narkoba”, diperlukan Kebijakan dan Strategi nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN) sebagai bentuk komitmen bersama seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, maka presiden menginstruksikan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas dan kewenangan masing-masing instansi terkait dalam rangka pelaksanaan Jakstranas P4GN tahun 2011 – 2015.94

1. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II;

A. Subjek / Pelaksana:

2. Sekretaris Kabinet;

3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;

4. Jaksa Agung;

5. Panglima Tentara Nasional Indonesia;

6. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;

7. Para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian;

8. Para Gubernur; dan 9. Para Bupati/Walikota,

94 Inpres RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011 – 2015

B. Objek Kebijakan P4GN:

Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing, dalam rangka pelaksanaan Jakstranas P4GN 2011-2015, yang meliputi bidang :95

1. Pencegahan;

2. Pemberdayaan Masyarakat;

3. Rehabilitasi; dan 4. Pemberantasan.

C. Fokus Bidang Pencegahan adalah sebagai berikut:

1. Bidang Pencegahan, memfokuskan pada:

a. Upaya menjadikan siswa/pelajar pendidikan menengah dan mahasiswa memiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba;

b. Upaya menjadikan para pekerja memiliki pola pikir, sikap dan terampil menolak penyalahguna dan peredaran gelap Narkoba.

2. Bidang Pemberdayaan Masyarakat, memfokuskan pada:

a. Upaya menciptakan lingkungan pendidikan menengah dan Kampus bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba terutama ganja, shabu, ekstasi, dan heroin;

b. Upaya menciptakan lingkungan kerja bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba;

c. Upaya penyadaran dengan pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah yang secara sosiologis dan ekonomis melakukan penanaman ganja.

3. Bidang Rehabilitasi memfokuskan pada:

a. Upaya mengintensifkan wajib lapor pecandu narkotika;

95 Inpres RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011 – 2015

b. Upayamemberikan pelayanan rehabilitasi sosial kepada penyalahguna, korban penyalahgunaan dan pecandu Narkoba.

c. Upaya pembangunan kapasitas lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi secara sosial secara prioritas berdasarkan kerawanan daerah penyalahguna Narkoba;

d. Upaya pembinaan lanjut kepada mantan penyalahguna, korban penyalahgunaan, dan pecandu Narkoba.

4. Bidang pemberantasan, memfokuskan pada:

a. Upaya pengawasan ketat terhadap impor, produksi, distribusi, penggunaan (end user) ekspor, dan re-ekspor bahan kimia prekusor dan penegakan hukum terhadap jaringan tersangka yang melakukan penyimpangan;

b. Upaya pengungkapan pabrikan gelap Narkoba dan/ atau laboratorium rumahan dan jaringan sindikat yang terlibat;

c. Upaya pengungkapan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika secara tegas dan keras sesuai peraturan perundang-undangan;

d. Upaya penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, dan peradilan jaringan sindikat Narkoba baik dalam maupun luar negeri secara sinergi.

Dengan adanya Inpres No. 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011-2015 diharapkan upaya masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dapat terlaksana dengan baik dan didukung oleh berbagai pihak terkait.

D. Peran Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Dalam Pemberdayaan Masyarakat untuk Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

1. Sejarah Singkat Badan Narkotika Nasional

Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai Tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelligen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan Narkoba, penanggulangan penyeludupan, penanggulangan subversi, pengawasan orang asing.

Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya Narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah komando dan bertanggungjawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari APBN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.

Pada masa itu, permasalahan Narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan Narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamais. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya Narkoba, sehingga pada saat permasalahan Narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan Tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak Tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya Narkoba.

Menghadapi permasalahan Narkoba yang berkecenderungan terus meningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut, pemerintah (Presiden Abdurrahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan Narkoba yang beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.

BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio.

Sampai Tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.

BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk mengahadapi ancaman bahaya Narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Kepustusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengkoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi;

1). mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan Narkoba; dan 2). mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan Narkoba.

Mulai Tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan BNP dan BNK. Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memiliki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja

optimal dan tidak mampu menghadapi permasalahan Narkoba yang terus meningkat dan makin serius.

Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan anggota BNN terkait dalam satuan tugas, BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan srtuktural-vertikal dengan BNN.

Merespon perkembangan permasalahan Narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah

merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Berdasarkan undang-undang tersebut, status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke provinsi dan Kabupaten/Kota. Di provinsi dibentuk BNN Provinsi dan di Kabupaten/Kota dibentuk BNN Kabupaten/Kota. BNN dipimpin oleh seorang kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Kepala BNN dibantu oleh seorang Sekretaris Utama, Inspektur Utama, dan 5 (lima) Deputi yaitu Deputi Pencegahan, Deputi

Pemberdayaan Masyarakat, Deputi Rehabilitasi, Deputi Pemberantasan dan Deputi Hukum dan Kerja Sama.

2.Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan BNN

Dalam pemberdayaan masyarakat melingkupi tujuan dengan sasaran sebagaimana diuraikan di bawah ini. Terciptanya lingkungan yang sehat yang meliputi:96

a. Lingkungan pendidikan yang bersih dari Narkoba. Selain upaya mewujudkan lingkungan pendidikan yang bersih dari Narkoba maka terjadinya proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan sejak usia dini hingga jenjang perguruan tinggi sehingga menghasilkan perilaku imun terhadap Narkoba. Dengan kondisi masyarakat yang imun tersebut maka dapat dijadikan ukuran keberhasilan pemberdayaan masyarakat.

b. Lingkungan kerja dan mayarakat yang rentan/beresiko tinggi terbebas dari Narkoba.

Lingkungan kerja yang sehat dan bebas dari penyalahgunaan anrkoba sangat berdampak positif dalam mendukung produktivitas kerja. Perlu memberdayakan mereka melalui berbagai pendekatan yang bertumpu pada penyadaran pentingnya pemberdayaan masyarkat sehingga masyarakat sehingga masyarakat tersebut memiliki daya tanggal yang tinggi.

c. Lingkungan keluarga yang harmonis dan bebas dari Narkoba. Keluarga yag utuh dan kuat akan menjadi penyangga bangsa yang kuat dalam mencegah bahaya Narkoba. Mewujudkan lingkungan keluarga yang bebas Narkoba sangan membutuhkan peran serta yang aktif berbagai instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat, bangsa dan Negara secara konsisten.

d. Pemberdayaan alternative. Menurunnya lahan ganja dan petani ganja di Nangroe Aceh Darussalam melalui program pengembangan alternatif, terjadinya perubahan kesadaran masyarakat di pemukiman tertentu seperti Kampong permata yang saat ini dilakukan program pembangunan komunitas yang bersih dari Narkoba.

e. Meningkatnya efektifitas pembangunan komunitas (community development) di berbagai tempat yang menjadi sasaran program pemberdayaan komunitas agar mampu menanggulangi bahaya Narkoba.

Pemberdayaan masyarakat sangat penting dalam bidang penanggulangan tindak pidana narkotika. Masyarakat turut bertanggung jawab untuk mewaspadai dan menghindari faktor-faktor yang dapt menjadi penyebab dan pencetus tindak pidana narkotikadi lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan dengan peran serta masyarakat dilaksanakan dalam bentuk:97

96 Badan Narkotika Nasional RI, Buku P4GN Bidang Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: BNN RI, 2010), hal. 35.

97Badan Narkotika Nasional RI, Buku P4GN Bidang Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: BNN RI, 2010), hal.

129.

1. Memahami masalah penyalahgunaan narkotika, upaya pencegahan dan penanggulangannya di masyarakat.

2. Mengadakan pengamatan situasi dan kondisi lingkungan di wilayahnya.

3. Menggalang potensi masyarakat untuk dapat membantu pelaksanaan penanggulangannya di lingkungannya.

4. Mendorong, mengarahkan dan mengendalaikan gerakan masyarakat untuk peduli pada upaya penanggulangan tindak pidana narkotika di lingkungannya, melalui beberapa pendekatan:

a. Pendekatan agama, mereka yang belum terkontaminasi narkotika senantiasa ditanamkan ajaran agama yang mereka anut, agar tidak terlibat dengan tindak pidana narkotika.

a. Pendekatan agama, mereka yang belum terkontaminasi narkotika senantiasa ditanamkan ajaran agama yang mereka anut, agar tidak terlibat dengan tindak pidana narkotika.

Dalam dokumen PULI SIREGAR /HK (Halaman 53-0)