• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencegahan Tindak Pidana Narkotika

Dalam dokumen PULI SIREGAR /HK (Halaman 45-0)

BAB II PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN

B. Bentuk-bentuk Peran Serta masyarakat Dalam Penanggulangan

1. Pencegahan Tindak Pidana Narkotika

Suatu motto di bidang kesehatan menyatakan bahwa “pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan.” Bertitik tolak dari pemikiran ini, pertanyaan kita ialah bagaimana upaya masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap semua aktifitas warga masyarakat agar tidak mengalahgunakan penggunaan obat-obatan narkotika secara illegal.

Kata-kata kunci peran serta masyarakat dalam kaitan dengan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, tujuannya ialah bagaimana upaya untuk membangun sistem pengendalian sosial tersebut melalui proses belajar. Masyarakat sebagai suatu sistem sosial, yaitu suatu sistem yang hidup dipastikan akan menghadapi sejumlah masalah dan harus dapat diatasi untuk memungkinkan sistem sosial tersebut bisa melangsungkan kehidupannya.74

2. Kewajiban Melaporkan Tindak Pidana Narkotika

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dipandang sebagai suatu ancaman dan akan dapat menghancurkan sistem sosial masyarakat tersebut. Bentuk-bentuk kegiatan pencegahan yang dilakukan masyarakat antara lain; kampanye anti penyalahgunaan narkotika, penyuluhan seluk-beluk narkotika, pendidikan dan pelatihan kelompok sebaya (peer group)

Sesuai rumusan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 dalam Pasal 107 dikatakan bahwa:

masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Kewajiban melaporkan ini merupakan salah satu bentuk atau wujud peran serta masyarakat dalam pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini apabila dilanggar dikenakan sanksi pidana, oleh sebab itu diperlukan pemahaman terhadap hak dan kewajiban masyarakat dalam pencegahan kejahatan ini.75

74Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal.311.

75Undang-undang No. 35 Tahun 2009, pasal 107.

3. Jaminan Keamanan dan Perlindungan Hukum

Penggunaan orang-orang yang terlibat atau dilibatkan secara langsung oleh penegakan hukum, baik sebagai informan maupun yang terlibat dalam pembelian terselubung dan/ atau penyerahan yang diawasi, perlu mendapatkan prioritas jaminan keamanan dan perlindungan hukum oleh penegak hukum. Dalam hal ini perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan jaminan keamanan dan perlindungan.

Keamanan yang berasal dari kata “aman”, yang memberikan makna, terbebas dari perasaan takut dari gangguan baik fisik dan psikis, adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran keragu-raguan, ketakutan, perasaan dilindungi dari segi macam bahaya dan perasaan kedamaian, ketentraman lahiriah dan batiniah.

Sebenarnya kondisi aman seperti tersebut di atas itulah yang merupakan kendala masyarakat dalam berkomunikasi dengan aparat penegakan hukum, khususnya dengan aparat kepolisian, berkaitan dengan kewajiban melaporkan tentang suatu peristiwa tindak pidana. Secara empiris masyarakat yang melapor ke polisi justru menimbulkan rasa kekhawatiran, kejenuhan, dan proses yang bertele-tele sehingga menyita waktu si pelapor.

4. Pengembangan Kelembagaan Masyarakat.

Manusia dapat dipandang sebagai suatu organisme, dan manusia selalu melakukan beberapa aktivitas tertentu dalam kaitan dengan kehidupan sosialnya, yakni untuk mempertahankan diri (self maintenance), melakukan pengawasan dan pengendalian diri (self control), terkait dengan proses timbal balik (processof feed – back) serta melakukan komunikasi informasi (communication of information) yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan (equilibrium) secara homeostatis dalam tatanan kehidupan sosialnya.76

76Siswantoro Sunarso¸ Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 163.

Hubungan organisme manusia dengan manusia lainnya dapat dilihat dalam tatanan kehidupan sibernetika. Usaha mempertahankan diri, melakukan pengawasan dan pengendalian, proses timbal balik, melakukan komunikasi informasi merupakan suatu faktor menciptakan kondisi.

Dalam kaitan dengan peran serta masyarakat dalam penanggulangan narkotika, polisi mengakui masyarakat enggan melaporkan narkotika kepada petugas.77

5. Pelaksanaan Program Kuratif

Pandangan masyarakat ini disebabkan karena kurang adanya tanggapan dari kepolisian, padahal selama ini masyarakat telah memberikan informasi dan penanggalangan kekuatan untuk bertindak sendiri memberantas narkotika. Merasa tidak ditanggapi masyarakat menjadi curiga bahwa polisi ikut terlibat atau mengambil keuntungan material dari penyalahgunaan narkotika tersebut. Berdasarkan fenomena di atas, diperlukan sistem penyebaran atus informasi dan penguatan untuk membangkitkan motivasi masyarakat.

Program ini disebut juga dengan program pengobatan. Program kuratif dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk peran serta dalam penanggulangan tindak pidana narkotika yang ditujukan kepada pemakai narkotika. Tujuannya adalah untuk mengobati ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari pemakaian narkotika, sekaligus memberhentikan pemakaian narkotika. Bentuk kegiatan pengobatan pemakai narkotika antara lain: menghentikan pemakaian narkotika, pengobatan gangguan kesehatan, pengobatan terhadap kerusakan organ tubuh, pengobatan terhadap penyakit ikutan lain seperti HIV dan AIDS, Hepatitis B/C, dan lain-lain.78

77Ibid,.

78Badan Narkotika Nasional, Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Lembaga/Instansi, (Jakarta: BNN RI, 2010), hal. 36.

6. Melaksanakan Program Rehabilitatif

Rehabilitatif adalah upaya pemulihan kesehatan fisik dan psikis yang ditujukan kepada pemakai narkotika yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya adalah agar dia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkotika.

Banyak masyarakat yang membuka usaha rehabilitasi korban narkotika untuk menolong pemulihan mereka. Usaha yang dilakukan masyarakat ini sangat baik karena membantu pemerintha untuk mengatasi permasalahan narkoba. Rehabilitasi ini dapat dilakukan oleh masyarakat dan tentu saja ini akan mengurangi tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh pemakai narkotika.79

7. Mengawasi upaya penangkapan adanya pelanggaran, penahanan tersangka, jalannya penuntutan (persidangan/pengadilan) dan jalannya eksekusi hukuman.

Masyarakat dapat membantu proses penegakan hukum tindak pidana narkotika dengan cara mengawasi adanya penangkapan pelanggaran tentang narkotika, penahanan tersangka, jalannya penuntutan dan eksekusi hukuman. Upaya ini sangat efektif bila dilakukan sehingga tidak ada permainan yang dapat dilakukan antara personil aparat dengan pelaku pelanggaran hukum pidana narkotika.

Selain itu masyarakat juga akan paham mengenai proses peradilan tindak pidana narkotika dan bersama-sama melakukan pemantauan peradilan narkotika (drugs judicial watch). Apabila ini bisa dijalankan dengan baik, maka sebagian dari permasalahan narkotika dapat teratasi dengan baik.

8. Mengawasi Pemusnahan Barang Bukti Narkotika.

Bentuk lain dari peran serta masyarakat adalah dengan melakukan pengawasan terhadap pemusnahan barang bukti narkotika yang dilakukan oleh instansi terkait seperti pihak kepolisian dan BNN. Pengawasan ini perlu dilakukan oleh masyarakat untuk menghindari adanya permainan dalam

79Ibid, hal. 38.

pemusnahan barang bukti. Contohnya barang bukti ditukar dengan yang lain atau barang buktinya tidak sesuai jumlahnya dengan yang ditangkap.

Bila ada pengawasan dari masyarakat tentu saja hal ini tidak akan terjadi. Dan inilah yang telah dilakukan masyarakat khususnya PIMANSU dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika.

Agar masyarakat mau berpartisipasi aktif, diperlukan syarat:80

1. Adanya aparat penegak hukum yang akomodatif, simpatik, dan mampu mengajak masyarakat berpartisipasi

2. Instasni pmerintah terkait harus dapat bekerja sama secara transparan dengan LSM atau lembaga sosial terkait lainnya.

3. Perilaku aparat penegak hukum yang terpuji dan bekerja dengan jujur, profesional, serta kebal terhadap sogok dan suap.

4. Penerapan hukum secara tegas, konsekuen, konsisten dan transparan

5. Adanya petunjuk atau pedoman untuk berpartisipasi bagi masyarakat dari semua instasi terkait agar partisipasi masyarakat terarah dan efektif.

C. Pengaturan Mengenai Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

1. Istilah Perbuatan Pidana

Perbuatan Pidana adalah suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana harus memenuhi dua unsur, yakni (1) adanya unsur actus reus atau unsur esensial dari kejahatan dan means rea (mental element), yakni keadaan sikap batin. 81

Berkaitan dengan tindak pidana narkotika, bahwa dalam rumusan perbuatan pidana dalam undang-undang narkotika mengalami kesulitan untuk merumuskan pidana bagi para pengguna Lebih lanjut, Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa actus reus merupakan unsur suatu delik, sedangkan mens rea termasuk pertanggungjawaban pembuat.

80Ibid, hal. 119.

81Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 19950, hal. 35.

narkotika, apabila diukur dari maksud melakukan perbuatan tersebut. Rumusan pidana menurut undang-undang narkotika telah jelas menetapkan bahwa barang siapa tanpa hak, memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika merupakan tindak pidana. Pengertian tanpa hak disini ialah tidak memenuhi ketentuan tentang suatu keharusan melakukan perbuatan tersebut.

Berkaitan dengan asas mens rea (pertanggungjawaban pelaku atas perbuatannya) dalam hubungannya dengan tindak pidana narkotika bahwa pengguna narkotika secara tidak sah, tetap dipandang bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan. Sedangkan yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum, undang-undang narkotika secara normatif, telah menetapkan bahwa jenis perbuatan yang secara tegas dilarang oleh undang-undang tersebut. Hal ini dipertegas dengan rumusan bahwa tindak pidana di bidang narkotika adalah kejahatan. Percobaan atau bantuan untuk melakukan tindak pidana dianggap sebagai kejahatan.

2. Pengertian Tentang Narkotika dan Jenis-jenisnya

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.82

82Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 1

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Pengertian narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan Menteri Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan menteri kesehatan sebagai narkotika.83

1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contohnya antara lain: Kokain, Amphetamine, Ganja,Methamphetamine, Tanaman papaver somniverum, Opium Masak seperti Candu, jicing dan jicingko, Tanaman Koka, Daun Koka, Kokain Mentah, Kokaina, dan lainnya. Narkotika Golongan I ini ada 65 (enam puluh lima) macam.

Berdasarkan rumusan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa tanaman atau barang ditetapkan sebagai narkotika atau bukan setelah melalui uji klinis dan labotarium oleh Depertemen Kesehatan.Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan Pasal 6 ayat 1:

2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.Contoh Narkotika Golongan II antara lain: Morfin, Metadone,Petidin, Alfasetilmetadol,

83Ibid,.

Alfametadol, Betamedtadol, Betaprodina, Dekstromoramida, Diapromida, Hidromorfinol, Isometadonia, Fenazosina, Fentatil, Hidromorfina, Fentanil, Klonitazena, dan lainnya.

Narkotika Golongan II ini berjulumlah 86 (delapan puluh enam) macam.

3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh Narkotika Golongan III antara lain:

Buprenorfin,kodeina, Asetildihidrokodeina, polkodina, Etilmorfina, Nikokodina, Polkodina dekstromoramida, Diampromida, propiram dan lainnya. Termaksud Narkotika Golongan III ini ada 14 ( empat belas ) macam termaksud beberapa campuran lainnya.

Sistem hukum di Indonesia, penyalahgunaan narkotika dikualifikasi sebagai kejahatan di bidang narkotika yang diatur dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika. “Khusus dalam masalah penyalahgunaan narkotika ketentuan-ketentuan hukum yang sudah ada belum dapat menjangkaunya, sebab ketentuan-ketentuan yang masih lama memiliki beberapa kelemahan, antara lain”:84

1. Tidak adanya keseragaman dalam pengertian narkotika.

2. Sanksi yang terlalu ringan dibanding dengan penyalahgunaan narkotika.

3. Ketidaktegasan dalam pemberantasan penjual, pemilik, pemakai, pengedardan penyimpanan narkotika.

4. Ketidakserasian antara ketentuan hukum pidana mengenai narkotika.

Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika disamping mengatur penggunaan narkotika,juga mengatur secara khusus ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 yang berjumlah 37 pasal. Semua tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan, alasannya adalah bahwa narkotika dipergunakan untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan

84Ibid, hal. 12.

diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah.

3. Pengaturan Peran Serta Masyarakat Menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Selain memberikan kewenangan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam undang-undang ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika.85

Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 104 dan Pasal 54 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menegaskan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta membantu pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor Narkotika.86

Peran serta masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.87Hak masyarakat dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk:88

a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada

85Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika pada Bab XIII pasal 104-108

86Ibid,.

87Siswantoro Sunanto, Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 157.

88Ibid, pasal 106.

penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;

e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.

Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan:89

1. Aspek Model Moral Dennis L.Thombs. Aspek lebih kepada teori yang memandang penyebab terjerumusya seseorang menjadi pecandu karena terjadi degradasi moral,maka untuk penyembuhannya harus melalui tempatan yang disertai dengan penanaman nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, antara lain dengan memberikan hukuman penjara.

2. Aspek pendekatan Disease Model (model Penyakit), menggap kecanduan sebagai penyakit adksi yang bersifat kronis, progresif, dan fatal, oleh karenanya penyembuhannya melalui terapi dan rehabilitasi medis. Menurut Dr. Elfrin Jellineck melalui penelitiannya telah mengembangkan dasar medis dari paradigm dan ruang lingkup efek penyakit bukan sekadar proses biokimia dalam diri pecandu, namun merambahi ke aspek spiritual sehinga penyembuhannya pun membutuhkan pendekatan spiritual.

3. Pengalaman empiric di berbagai pelososk negeri ini terhadap stigma pecandu telah mengakar kuat. Bahkan kini telah tumbuh menjadi gagasan dan keyakinan masyarakat yang telah menghubungkan pecandu Narkoba dengan perilaku jahat, telah berkembang lama dan mendunia menjadi pengalaman masyarakat dalam memperlakukana pecandu. Stigma ini pula yang membuat banyak pecandu yang menjadi korban, mengucilkan diri dan takut berobat ke fasilitas rehabilitasi.

4. Aspek kehidupan sosial. Peran serta masyarakat di bidang kehidupan sosial dalam mencegah peredaran gelap Narkoba perlu mencermati hal-hal yang berkaitan dengan gangguan penggunaan zat narkotika dan psikotropika. Masalah ini dapat menimbulkan berbagai problem sosial, antara lain; dalam upaya untuk mendapatkan zat karena dorongan yang begitu besar mereka akan berbuat “apa saja”, untuk mendapatkannya seperti; pemaksaan sampai pada tindak kekerasan atau pembunuhan; pencurian, perampokan; perampasan;

jambret; menjual diri; korupsi; penggelapan uang perusahaan, dan lain-lain. Akibat perilaku di atas akan terjadi hubungan dengan anggota keluarga, teman, pasangan akan terganggu, misalnya: pertengkaran; keretakan dalam rumah tangga dan perceraian; diberhentikan dari

89 Badan Narkotika Nasional RI, Buku P4GN Bidang Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: BNN RI, 2010), hal. 37.

pekerjaan, dikeluarkan dari sekolah, dan lain-lain. Dalam kondisi intoksikasi, dimana dijumpai tingkah laku yang maladaptif, kendala emosi terganggu, mudah tersinggung sehingga menimbulkan tindak kekerasan dan perilaku kriminal, seperti; pembunuhan, pemerkosaan, dapat juga terjadi kecelakaan lalu lintas yang tidak hanya membahayakan dirinya, tetepi juga tehadap lingkungannnya.

5. Dari aspek agama. Narkoba merupakan masalah nasional yang merupakan hal yang terjadi akibat kelakuan remaja yang ingin merasakan keenakan sesaat. Pada saat ini pemerintah bersama tokoh-tokoh agama dan kalangan masyarakat masih berusaha untuk menghilangkan kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh masyarakat khususnya oleh para remaja. Dalam masalah ini agama memberikan arahan tentang hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh masyarakat karena menggunakan narkotika melawan hidup. Orang-orang yang menyalahgunakan obat-obatan hamper selalu diakibatkan oleh pelarian dari tanggungjawab yang sebenarnya dapat dihindari dan ia tidak memahami atau kehilangan makna dan nilai hidup.

6. Aspek pengurangan pemasukan BNN sebagai focal point dalam pemberantasan Narkoba membutuhkan peran serta aktif masyarakat termasuk dalam aspek pengawasan peredaran Narkoba. Permasalahan yang terus cenderung terjadi adalah bahwa dengan penutupan salah satu jalur pemasukan berakibat membuka jalur-jalur pemasukan yang lain. Demikian juga dengan menyingkirkan satu pemasok mengakibatkan sejumlah pemasukan lain muncul.

Pengurangan permintaan dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan usia dini tentang bahaya Narkoba, sehingga tumbuh dan berkembangnya perilaku kebal terhadap Narkoba akan mengurangi permintaan, sehingga dari waktu ke waktu akan semakin berkurang terhadap permintaan Narkoba.

7. Aspek perubahan paradigma penanganan pecandu. Bahwa pergeseran paradigma masyarakat terhadap pecandu dari kriminalisasi menjadi humanis dan realistis telah terjadi seiring lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 telah mendorong terjadinya bagi perubahan dalam penanganan Narkoba terutama aspek pencegahan, pemberantasan dan penyalahgunaan. Lihat saja ancaman hukuman pelaku kejahatan narkotika kini jauh lebih keras penanganan korban lebih humanis, dan dalam aspek pencegahan yang melibatkan masyarakat. Lebih dari dua dasawarsa paradigm pecandu dikriminalisasi dan di-stigma negatif oleh masyarakat. Harapan terhadap paradigma baru adalah lahirnya cara pandang dan perlakuan terhadap pecandu bukan lagi kriminal, namun korban yang harus ditolong guna penyembuhannya. Paradigma ini menjadi lebih humanis dalam memperlakukan penyalahguna Narkoba. Kini pecandu mulai menghadapi respon dan dukungan kondusif lingkungan bukan penolakan.

8. Aspek stigma (stempel negative) untuk pecandu ditengah masyarakat. Kondisi pandangan masyarakat terhadap stigma pecandu Narkoba. (1). Pandangan masyarakat terhadap pelaku kejahatan pada umumnya sinis, dan skeptic. Misalnya saja terhadap residivis, eks tahanan politik, termasuk pecandu Narkoba. Pengalaman empirik menegaskan bahwa pecandu Narkoba merupakan korban yang diberikan stigma sebagai kriminal. Simak saja perundang-undangan yang berlaku kebanyakan menjatuhkan hukuman didalam penjara kepada pecandu.

(2). Masih rendahnya kepedulian terhadap pecandu. Pengalaman yang berkembang di masyarakat, pada umunya menutup diri untuk bergaul dengan pecandu meskipun mereka telah sembuh dan bertobat. (3). Stigma pecandu sebagai biang kerok terjadinya kriminalitas.

Pecandu selama ini hanya mendapatkan stigma hingga sebagian menggangap sebagi samapah masyarakat yang harus disingkirkan, dipenjara atau bila perlu dihapuskan dari makhluk bumi ini. (4). Pecandu belum sepenuhnya mendapatkan ruang pemulihan pecandu yang memadai. Kurang lebih 30 s/d 40% penjara di seluruh Indonesia kebanyakan kasus

Narkoba dan tidak tertutup kemungkinan angka ini akan terus meningkat jika pemerintah, aparat dan pihak-phak terkait tidak segera menanggapi, memutuskan dan merealisasikan tindakan langkah preventif disertai tindakan nyata untuk pemulihan si pecandu. (5).

Perlakuan yang diskriminatif. Sebagai kaum minoritas (minority society), pecandu sangat rentan akan pelanggaran hak asasi manusia. (6). Stigma negatif terus berkembang. Pecandu Narkoba, sekeras apa pun dia berusaha, tidak bisa sepenuhnya sembuh. Mereka selalu identik dengan kekerasan, bertingkah seenaknya, menggangu orang lain, dan merusak.

Bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat. Stigma negative itu yang akhirnya kembali membuat mantan pecandu Narkoba kembali terpuruk. Mereka kembali terbenam dalam gelimangan Narkoba.

4. Peran Serta Masyarakat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional.

Peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana narkotika juga terdapat dalam Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional Pasal 49: dalam rangka memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan serta dan membantu pelaksanaan P4GN, BNN dapat memfasilitasi dan mengkoordinasikan pembentukan wadah peran serta masyarakat.90

Pasal 50 menyebutkan: wadah peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat berupa forum koordinasi, pusat pelaporan dan informasi, serta wadah lainnya sesuai

Pasal 50 menyebutkan: wadah peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat berupa forum koordinasi, pusat pelaporan dan informasi, serta wadah lainnya sesuai

Dalam dokumen PULI SIREGAR /HK (Halaman 45-0)