• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori …

Dalam dokumen Keluarga Jepang Dalam Novel Kifujin A No (Halaman 27-43)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.6 Kerangka Teori …

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai tiruan dari semesta atau alam ini yang ditulis oleh seorang pengarang dengan tujuan dinikmati oleh para pembacanya. Bila melihat gambaran masyarakat yang ditiru dalam sebuah karya maka sebuah karya sastra dapat ditelaah dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang dikenal dengan sosiologi sastra. Oleh Damono (2013) pendekatan ini dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu pertama adalah pendekatan yang

Universitas Indonesia

berdasarkan kepada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Yang dilihat dari sebuah karya adalah faktor-faktor yang berkaitan di luar sastra dengan mengabaikan teks sastra itu sendiri dan menjadikan teks tersebut sebagai gejala kedua atau epiphenomenon. Kelompok kedua bertolak belakang dengan yang pertama yaitu lebih menekankan teks sastra sebagai bahan analisis. Hal terpenting dan utama sekali dilakukan pada pendekatan ini adalah menganalisis teks untuk melihat strukturnya dan hasilnya digunakan untuk memahami lebih dalam gejala sosial yang tampak di luar sastra (p.3).

Wellek dan Warren (1993) mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi tiga kelompok yaitu pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Kedua isi karya sastra, tujuan serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra (p. 111). Namun kedua perumus teori ini lebih menekankan kepada analisis sastra secara intrinsik ketimbang ekstrinsik yang merupakan ciri khas dari pendekatan sosiologi sastra. Klasifikasi sosiologi sastra yang sesuai dengan tujuan penelitian adalah yang dirumuskan oleh Ian Watt yang mengatakan bahwa adanya hubungan timbal balik antara pengarang, karya dan masyarakat. Pengklasifikasian ini hampir sama dengan yang dibuat Wellek dan Warren yaitu terdiri dari tiga hal, pertama konteks sosial pengarang, kedua, sastra sebagai cermin masyarakat dan ketiga, fungsi sosial sastra. (dalam Damono, 2013).

Berdasarkan dua kecendrungan pendekatan sosiologi sastra maka dalam penelitian ini teks akan dijadikan acuan utama sebagai bahan analisis dengan menggunakan klasifikasi kedua yang telah dirumuskan oleh Ian Watt yaitu sastra sebagai cermin masyarakat. Walaupun pengertian dari cermin masyarakat itu sendiri mengalami ambivalensi karena gambaran masyarakat yang ditampilkan tidak berlaku pada saat karya ditulis, keunikan dari pengarang yang lebih menonjolkan tampilan masyarakat yang berbeda dari yang lain, sifat eksklusif pengarang atas kelompok tertentu, bukan masyarakat secara keseluruhan, dan kemungkinan karya tersebut tidak valid untuk dijadikan cerminan masyarakat. Untuk itu tidak bisa diabaikan pandangan sosial pengarang untuk menilai sebuah karya sebagai cermin masyarakat (Damono, 1978, p. 4).

Karya sastra yang merupakan bagian dari masyarakat, dapat dikaji atau ditelaah dengan sosiologi sastra. Untuk mengkaji karya sastra secara sosiologi sastra maka digunakan teori yang berhubungan dengan sastra dan sosiologi. Untuk teori yang berhubungan dengan sosiologi akan digunakan konsep ie dalam masyarakat Jepang dan konsep ruang sosial yang dikemukakan oleh sosiolog asal Perancis bernama Pierre Bourdieu.

1.6.1 Konsep Ie

Konsep ie adalah satu konsep mengenai keluarga tradisional Jepang yang dipopulerkan oleh Aruga Kizaeman. Konsep ie ini merupakan satu sistem yang disebut dengan sistem ie yang dikukuhkan dalam undang-undang dasar negara Jepang semasa pemerintahan Meiji (1868-1911). Aruga Kizaemon setelah menamatkan pendidikannya di Universitas Tokyo dengan menulis tesis tentang agama Budha di Korea, kemudian tertarik dengan folklor Jepang. Aruga kemudian bergabung dengan tim editor yang mengedit tulisan Yanagita Kunio yang membahas tentang folklor Jepang dan akhirnya mulai menulis artikel berkaitan dengan folklor Jepang seperti kehidupan di pedesaan dan oyabun kobun kankei (hubungan majikan dan anak didiknya). Aruga yang semula mempelajari seni Budha sambil mendalami folklor Jepang kemudian berpindah mempelajari sosiologi setelah mendapatkan pengaruh yang kuat dari pemikiran-pemikiran folklor Jepang yang ditulis oleh Yanagita Kunio. Tidak hanya menulis artikel mengenai masyarakat Jepang, Aruga melanjutkan meneliti masyarakat Jepang bahkan mulai mengkritik pemikiran Yanagita yang tidak memasukkan unsur ekonomi dan kemasyarakatan dalam pemikirannya. Menurut Aruga ekonomi dan kemasyarakatan adalah hal yang sangat penting karena kedua hal ini berkaitan erat dengan sistem keluarga. Prestasi Aruga yang pertama dan menonjol adalah monograf yang ditulisnya yang berjudul Nihon Kazoku Seido To Kosaku Seido (Sistem Keluarga Jepang dan Sistem Penyewaan Lahan Pertanian). Monograf ini menjadi dasar pemikiran Aruga sehingga dia dapat meraih gelar professor di Universitas Tokyo atas karyanya ini yang dinilai fenomenal oleh peneliti dan pemerhati masyarakat Jepang. (Kitano dan Okada, 1959).

Universitas Indonesia

Menurut Aruga (1959, p.6) tidak mudah untuk menentukan siapa yang pertama kali membuat ie dan atas dasar apa sebuah ie dibentuk. Ie yang ada dalam masyarakat Jepang diterima secara turun temurun, dijalankan oleh pewaris untuk kemudian diteruskan pada generasi setelahnya. Menurut Aruga (dalam Torigoe, 1988, p. 8) yang disebut dengan ie adalah,

Ie adalah adat istiadat khusus yang terdapat dalam masyarakat Jepang, yang maknanya berbeda dengan keluarga pada umumnya. … Ie adalah satu kelompok yang menjalankan usaha dari harta milik keluarga (kasan) dan merupakan usaha keluarga (kagyou). Melalui pemahaman mengenai hal ini maka sebagai satu unit di dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, maka tujuannya adalah kesinambungan dari ie dan setiap anggotanya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia secara turun-temurun.

Aruga menganggap ie adalah satu adat kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat Jepang dan memiliki ciri khas sendiri. Walaupun sepertinya ie terlihat sebagai sebuah keluarga, ie berbeda dengan pengertian keluarga pada umumnya sebagaimana pengertian keluarga yang berlaku pada masyarakat Barat. Ciri khas ie dan perbedaan ie dengan keluarga terletak pada sistem yang berjalan pada ie tersebut.

Satu kelompok dapat disebut dengan ie bila kelompok tersebut memiliki harta kekayaan (kasan) dan bisnis keluarga (kagyou) yang dikelola secara bersama-sama oleh anggota yang tergabung di dalam ie tersebut. Kagyou biasanya berupa usaha pertanian, perikanan, kerajinan tangan, dan perdagangan. Sementara kasan terdiri atas rumah, tanah, lahan pertanian, kebun, kolam ikan, peralatan pertanian dan pertukangan, perabotan rumah tangga, mesin, ternak, uang, berbagai barang berharga lainnya, baik yang dimiliki bersama dan digunakan bersama dalam satu desa, serta barang-barang atau alat-alat yang digunakan untuk bekerja juga disebut dengan kasan (Aruga, 1980, p.187).

Pengelolaan harta ie dipimpin oleh seorang kepala keluarga yang disebut dengan kachou yang memiliki kekuasaan penuh atas kekayaan dan bisnis keluarga, demikian juga terhadap anggota yang tergabung di dalamnya. Kekuasaan yang dimiliki kachou terhadap ie-nya tidak membuat kachou dapat bertindak sewenang-wenang atas harta maupun anggota ie-nya karena ada aturan sendiri di dalam ie yang harus dipatuhi oleh kachou. Aturan tersebut terdapat dalam hak dan kewajiban kachou atau lebih dikenal dengan kachouken.

Kachou dibantu oleh istrinya yang disebut dengan shufu dalam pengelolaan ie. Kachou dan shufu sebagai inti atau dasar pembentuk dari ie memimpin kelompok yang disebut dengan seikatsu shudan yaitu kelompok yang bersama-sama menjalani kehidupan dan seikatsu kyoudoutai yaitu kelompok yang saling bekerja sama dalam menjalani kehidupan tersebut. Anggota yang tergabung dalam ie terdiri atas anggota yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan kachou, yaitu ayah dan ibu kachou, anak-anak dan cucu-cucu kachou serta saudara-saudara kachou beserta anak-anaknya, dan ada pula anggota yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan kachou. Anggota keluarga yang tidak memiliki hubungan darah dan hubungan kekerabatan disebut dengan houkounin atau orang yang mengikut pada ie. Walaupun setiap anggota ie mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan peraturan yang berlaku di dalam ie, kedudukan houkounin lebih rendah bila dibandingkan dengan anggota yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan kachou.

Bagan atau gambar mengenai struktur sederhana dari keanggotaan ie tidak dibuat oleh Aruga Kizaemon. Ada beberapa bagan mengenai struktur keanggotaan ie pada beberapa tulisan Aruga, namun bagan tersebut merupakan salah satu contoh dari struktur keanggotan ie dari ie yang pernah diteliti Aruga, sehingga bagan tersebut tidak dapat mewakili keseluruhan gambaran ie secara ringkas dan sederhana. Seorang peneliti tentang keluarga Jepang bernama Torigoe Hiroyuki kemudian membuat bagan sederhana mengenai struktur keanggotaan ie berdasarkan penjelasan ie yang dirumuskannya dari berbagai pendapat para pakar tentang ie termasuk pendapat dari Aruga Kizaemon.

Universitas Indonesia

Gambar 1.1. Susunan Keanggotaan dalam Struktur Ie

Gambar atau bagan di atas adalah gambar dari susunan keanggotan dari struktur ie yang dibuat oleh Torigoe. (Torigoe, 1998, p. 16). Pada gambar 1.1. di atas terlihat ada tiga kelompok yang dibagi menjadi (A), (B) dan (C). Kelompok-kelompok ini disebut dengan setai atau rumah tangga dan masing-masing setai memiliki kepala rumah tangga yang dipegang oleh laki-laki. Pada kelompok (A) terlihat kachou memiliki tiga anak. Anak laki-laki sulung atau chounan menikah dan memiliki tiga anak pula. Kemudian chounannya juga menikah. Bila garis keturunan ini diteruskan dan hanya pada kelompok (A) saja maka disebut sebagai keluarga yang memiliki hubungan langsung dan memiliki hubungan darah. Anak-anak kachou yang lain akan pergi meninggalkan ie karena mengikuti ie suaminya bagi anak perempuan dan karena membuka cabang ie (bunke) bagi anak laki-laki. Kelompok (B) adalah keluarga yang mengikut pada ie, yang tidak memiliki hubungan secara langsung tapi memiliki hubungan darah. Sedangkan kelompok (C) adalah keluarga yang tidak memiliki hubungan langsung dan tidak pula memiliki hubungan darah. Keluarga yang mengikut pada ie ini disebut dengan houkounin. Di sini terlihat bahwa kelompok (B) masih memiliki hubungan

kekerabatan dengan kelompok (A), sementara kelompok (C) sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan.

Untuk kelompok (C) ada yang tinggal serumah dengan kachou ada pula yang tinggal terpisah dan hanya datang untuk melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan bisnis ie-nya. Keluarga yang tergabung dalam kelompok (C) ini tidak selalu orang yang tidak dikenal sama sekali. Ditemukan juga houkounin pada satu ie adalah kerabat jauh dari kelompok (A).

Bila seorang kachou sudah merasa tidak mampu lagi memimpin ie-nya atau meninggal dunia maka yang berhak menjadi pengganti kachou adalah anak laki-lakinya yang sulung. Bila kachou tidak mempunyai anak laki-laki, maka ie tersebut dapat mengangkat anak atau youshi untuk dijadikan calon kachou, dan tidak ditentukan apakah yang dicalonkan menjadi pengganti kachou tersebut memiliki hubungan darah atau tidak dengannya. Kachou juga dapat mengangkat menantu laki-lakinya untuk menjadi penggantinya yang dikenal dengan istilah mukoyoushi. Dengan berjalannya sistem pewarisan di dalam ie, maka akan terjamin kesinambungan dari ie. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Aruga bahwa tujuan ie adalah menjaga kesinambungan ie dan anggotanya yang sudah meninggal dunia, yang masih hidup, dan yang akan lahir.

1.6.2 Konsep Ruang Sosial

Bourdieu mengemukakan bahwa untuk memahami interaksi antar manusia atau untuk menjelaskan kejadian ataupun fenomena sosial, tidak cukup hanya dengan memperhatikan apa yang dikatakan ataupun apa yang telah terjadi saja. Untuk memahaminya diperlukan pengujian ruang sosial di mana interaksi, transaksi dan peristiwa tersebut terjadi. (Grenfell, 2010, p. 67). Ruang sosial yang dimaksud oleh Bourdieu adalah field yang bisa diterjemahkan menjadi arena, medan ataupun ranah. Yang dimaksud dengan field oleh Bourdieu adalah, ruang semesta yang sebenarnya yang di dalamnya berlaku hukum-hukum tertentu yang merupakan bentuk pengejawantahan dari kapital dan hubungan kekuatan yang menyertainya (Bourdieu, 1993, p. 215). Mengenai penentuan posisi para pelaku sosial di dalam ruang sosialnya, oleh Bourdieu sendiri diujicobakan terlebih dahulu pada karya sastra yaitu novel yang berjudul Sentimental Education karya Gustave Flaubert.

Universitas Indonesia

Bourdieu menganalisisnya dengan menggunakan model struktur imanen yaitu menganalisis ruang sosial dalam karya sastra secara tekstual. Analisis yang dilakukan oleh Bourdieu sangat berhasil dan membawa pencerahan dalam pembacaan sebuah karya sastra. Berikut ini dijelaskan lebih jauh mengenai Bourdieu dan teorinya.

Bourdieu dikenal sebagai seorang filsuf, sosiolog, etnolog, dan antropolog. Ketika ditanyakan kepadanya apakah dirinya seorang sosiolog atau antropolog, Bourdieu malah menjawab bahwa dia adalah seorang filsuf. Dari pernyataan Bourdieu tersebut dapat dikatakan bahwa Bourdieu memperhatikan dan meneliti banyak hal secara mendasar sebagaimana yang dilakukan oleh para filsuf kemudian memikirkan secara kritis hingga melahirkan pemikirannya sendiri. Karya Bourdieu memiliki cakupan yang luas dalam berbagai bidang mulai dari politik, pendidikan, budaya, seni, media, hingga sastra. Pemikiran-pemikiran Bourdieu dipengaruhi oleh beragam ilmu dari pemikir besar seperti Aristoteles, Hegel, Marx, Durkheim, Max Weber, Husserl, Ferdinand de Saussure dan lain-lain. Bourdieu menggabungkan pemikiran-pemikiran besar tersebut kemudian merumuskan pemikirannya sendiri.

Sebagai seorang sosiolog Bourdieu juga melakukan penelitian untuk menjawab permasalahan besar di dalam sosiologi yaitu bagaimana masyarakat terbentuk. Pertanyaan besar ini diteliti, dirumuskan, dan dijawab oleh banyak ahli sejak zaman Sokrates hingga sekarang ini. Teori yang dirumuskan oleh Bourdieu disebutnya bukan sebagai teori melainkan sebuah metode untuk menganalisis praktik sosial. Pemikiran Bourdieu unik dan berbeda dengan pemikiran para ahli sebelumnya. Pemikiran Bourdieu didasarkan pada pemikiran pendahulunya yang memperdebatkan dualisme yang saling bertentangan, yaitu subjektivisme dan objektivisme, strukturalisme dan kulturalisme, struktur dan agensi, kesadaran dan ketidaksadaran, material dan simbolik, dan lain sebagainya.

Subjektivisme adalah cara pandang yang terlalu menekankan kebebasan individu (subjek atau agen) dan mengabaikan peran struktur objektif (norma dan aturan). Ilmu yang tercipta berdasarkan subjektivisme hanya bertumpu pada pengalaman hidup subjek dan hak-hak subjektivitas. Individu diberi kebebasan

dalam memberikan persepsi tentang dunia sosial berdasarkan ego, rasionalitas dan kerangka ideologis yang dimilikinya.

Sedangkan objektivisme adalah cara pandang yang terlalu menekankan struktur objektif dan mematikan peran subjek yang dapat merasa, menerangkan, dan membangun struktur. Pada objektivisme struktur objektif adalah prioritas utama dan meniadakan tindakan dan pengalaman individu sehingga terdapat pemisahan antara pengamat dengan yang diamati. Pemisahan ini mengakibatkan juga terjadinya pemisahan antara pengetahuan teoritis dengan praktis sehingga struktur objektif lepas dari kesadaran dan keinginan individu. Bila individu merepresentasikan perasaan dan kesadarannya maka dinilai sebagai sesuatu yang tidak objektif. Pada objektivisme, sesuatu yang dapat terukur dan bersifat ajeg, universal, dan stabil dari satu tatanan objektif menjadi titik tolak dalam memahami realitas sosial.

Bourdieu menilai dualisme antara subjektivisme dan objektivisme tidak mampu lagi untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah sosial. Diperlukan penjelasan relasional yang dapat menunjukkan hubungan saling mempengaruhi antara agen (individu) dan struktur karena agen dan struktur bukanlah dua hal yang dapat dipisahkan begitu saja karena keduanya saling mempengaruhi dalam satu proses yang kompleks sehingga terjadi satu praktik sosial. Baik agen maupun struktur sama pentingnya dalam menjelaskan realitas sosial sehingga tidak ada pemisahan antara teori dan praktik. Oleh Bourdieu, agen dan struktur dipertemukan dalam interaksi dialektis yang melahirkan praktik sosial. Bourdieu merumuskan pemikirannya sendiri yang melibatkan kedua aspek tersebut dalam konsep antara lain habitus, field, modal, kekerasan simbolik, dan strategi. Pada bagian selanjutnya dijelaskan tiga konsep yang dikemukakan Bourdieu yaitu habitus, ranah (field) dan modal.

Kata habitus berasal dari bahasa Latin yang berarti kebiasaan (habitual), penampilan diri (appearance), dan pembawaan yang terkait dengan tipikal tubuh. Sedangkan konsep habitus sendiri berasal dari tradisi pemikiran filsafat. Aristoteles mengartikan habitus sebagai kategori yang melengkapi subjek sebagai substansi. Bourdieu menjelaskan bahwa konsep habitus bermula dari dua hal yaitu eksperimen dan sosial. Secara eksperimen kita sebagai makhluk sosial merasa

Universitas Indonesia

bebas untuk bertindak dan bersikap dalam keseharian kita, sementara secara sosial kita bertindak berdasarkan aturan dan norma yang berlaku dalam lingkungan sosial tersebut. (Grenfell, 2010, p. 50). Habitus yang dimaksud oleh Bourdieu dijelaskan sebagai berikut,

The habitus is a set of dispositions which incline agents to act and react in certain ways. The dispositions generate practices, perceptions and attitudes which are ‘reguler’ without being consciously co-ordinated or governed by any ‘rule’. The dispositions which constitute the habitus are inculcated, structured, durable, generative and transposable.

Habitus adalah serangkaian kecendrungan (disposisi) yang mendorong pelaku sosial (agen) untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Kecendrungan-kecendrungan ini menumbuhkan praktik-praktik, persepsi-persepsi dan perilaku yang ‘teratur’ tanpa dikoordinasikan secara sadar atau tanpa diatur oleh ‘peraturan’. Kecendrungan-kecendrungan yang terdapat dalam habitus bersifat tertanam, terstruktur, bertahan lama, berkembang dan dapat berpindah-pindah. (Thompson, 2007, p. 12).

Habitus yang dimaksudkan oleh Bourdieu ini merupakan satu kencendrungan yang dimiliki oleh agen. Habitus ini dapat disebut sebagai interior atau atribut yang melengkapi diri seorang agen, yang digunakan ketika berinteraksi di dalam dunia sosial atau ketika melakukan praktik sosial. Habitus tidak serta merta melekat dalam diri agen melainkan tertanam di dalam dirinya berdasarkan pengalaman dan pendidikan yang dimulai dari masa kecil. Penanaman habitus terlihat dalam pengasuhan dan pendidikan seorang anak dalam tata krama sehari-hari pada keluarga seperti bagaimana bersikap ketika makan yaitu duduk yang manis dan tidak boleh berbicara dalam keadaan mulut penuh terisi makanan, ketika bertemu dengan orang yang lebih tua dengan memberikan salam dan mencium tangan, ketika akan tidur menyikat gigi, dan lain sebagainya. Dengan penanaman tata krama seperti dijelaskan di atas kepada agen maka akan membentuk tubuhnya secara spontan bereaksi bila berada di dalam situasi tersebut sehingga membuat kecendrungan tersebut terlihat alami.

Kecendrungan-kecendrungan yang telah terbentuk kemudian terstruktur menjadi satu respon yang tidak dapat terelakkan pada diri seorang agen. Kecendrungan-kecendrungan ini kemudian terlihat pada kelompok sosial

masyarakat tertentu yang memiliki latar belakang yang sama seperti latar budaya, ekonomi, dan sosial. Kecendrungan pada masyarakat kelas menengah akan berbeda dengan masyarakat ekonomi lemah. Sehingga perbedaan dan persamaan yang tercermin dalam habitus seorang agen dapat menentukan dari mana agen tersebut berasal.

Kecendrungan yang telah terstruktur di dalam diri agen bersifat tahan lama dan mendarah daging di dalam tubuh agen sehingga kecendrungan tersebut akan muncul secara spontan tanpa disadari oleh agen tersebut. Kecendrungan ini tidak bersifat menetap karena dapat berkembang dan berubah-ubah seiring dengan berkembang dan berubahnya praktik-praktik sosial dan persepsi agen terhadap lingkungan sekelilingnya. Hal ini dapat terjadi karena habitus melengkapi agen dengan perasaan bagaimana bertindak dan merespon berbagai hal dalam kehidupannya sehari-hari. (Thompson, 2007, p. 13).

Habitus adalah kepunyaan dari agen sosial baik itu individu, grup maupun institusi, yang terstruktur dan berstruktur. Struktur dibentuk oleh kondisi masa lalu dan sekarang, seperti pengasuhan dalam keluarga dan pengalaman pendidikan yang dilalui atau dijalankan. Habitus tidak bekerja sendiri. Praktik adalah hasil dari relasi habitus situasi atau kondisi saat ini. Habitus berlaku di tempat yang nyaman untuk melakukannya dan akan terus dilakukan dalam situasi tertentu. (Grenfell, 2010).

Individu atau agen melakukan praktik sosial dalam konteks atau tatanan sosial tertentu yang disebut dengan ranah atau field. Ranah terbentuk didasari oleh habitus sementara ranah sendiri adalah tempat di mana habitus bekerja. Ranah ini terbentuk secara spontan sebagai hubungan yang terstruktur dan secara tak sadar mengatur posisi agen atau kelompok dalam masyarakat. Bourdieu mendefinisikan ranah sebagai berikut,

In analytic terms, a field may be defined as a network, or a configuration, of objective relations between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in the determinations they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present and potential situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possession commands access to the specific profits that are at stake in the field, as well as by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology, etc.).

Universitas Indonesia

Dari segi analitik, ranah dapat didefinisikan sebagai jaringan atau konfigurasi dari hubungan obyektif antara posisi-posisi. Posisi ini secara obyektif didefinisikan di dalam keberadaannya dan ketentuannya yang memaksa penghuninya baik agen ataupun lembaga, berdasarkan situasi dan potensi mereka (situs) dalam struktur distribusi dari jenis kekuasaan (atau modal) yang memiliki akses untuk mengatur keuntungan khusus yang dipertaruhkan di dalam ranah, sebagaimana dengan relasi objektif pada posisi lain (dominasi, subordinasi, homologi, dll). (Bourdieu, 1992, p. 97)

Definisi mengenai ranah yang diungkapkan oleh Bourdieu dengan bahasa yang cukup rumit untuk diterjemahkan ini dapat dipahami bahwa ranah adalah satu jaringan yang terbentuk dari hubungan posisi-posisi dalam tatanan sosial. Di dalam ranah ini terjadi perebutan kekuasaan untuk mendapatkan posisi-posisi yang diinginkan. Agar dapat memperoleh posisi yang diinginkan, maka baik agen maupun kelompok atau lembaga akan berjuang dengan mempertaruhkan sejumlah modal yang mereka miliki. Di dalam ranah juga berlangsung perjuangan untuk

Dalam dokumen Keluarga Jepang Dalam Novel Kifujin A No (Halaman 27-43)

Dokumen terkait