• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Kekerabatan dalam Masyarakat Jepang

Dalam dokumen Keluarga Jepang Dalam Novel Kifujin A No (Halaman 47-54)

BAB 2 KELUARGA JEPANG

2.1 Sistem Kekerabatan dalam Masyarakat Jepang

Setiap masyarakat di belahan bumi mana pun di dunia ini hidup berkelompok membentuk keluarga sehubungan dengan keluarga adalah satu unsur terkecil dalam struktur masyarakat. Dalam keluarga bernaung individu-individu yang memperoleh dukungan dari individu lain agar dapat bertahan hidup dalam lingkungan kecil kemudian dalam lingkungan yang lebih besar yaitu masyarakat. Kelompok masyarakat di muka bumi ini membentuk satu sistem kekerabatan atau sistem kekeluargaan tersendiri dengan menunjukkan ciri khas masing-masing. Pada belahan bumi bagian Barat dan Timur terdapat perbedaan sistem kekeluargaan bahkan perbedaan itu terlihat bertolak belakang. Seperti pada negara-negara Barat, bila sepasang anak muda sudah diikat dalam satu ikatan perkawinan yang sah, biasanya mereka akan hidup berdua, memisahkan diri dari orang tua mereka masing-masing dan membentuk satu keluarga kecil yang dikenal dengan istilah keluarga batih atau nuclear family. Anggota keluarga batih ini hanya terdiri dari suami istri dan anak-anak yang belum menikah. Pada negara bagian Timur ada kebiasaan yaitu pasangan suami istri yang sudah menikah tetap hidup satu atap bersama orang tua mereka, apakah itu di rumah orang tua laki-laki atau di rumah orang tua perempuan. Pasangan ini tergabung dalam satu keluarga yang disebut dengan keluarga besar atau extendedfamily. (Goode, 2007, p. 90) Mengenai keluarga secara umum didefinisikan oleh Morioka sebagai berikut.

f}"^b½@/\˜°c0(i{! µ°ª/5¯…vV,sq¬R y *-Ÿ1‡• š¶Œ!¿Z,.

Keluarga adalah satu kelompok yang didasari oleh hubungan suami istri, dengan tujuan mencari kesejahteraan yang didukung oleh jalinan rasa kasih sayang sesama anggotanya yang terdiri dari orang tua dan anak-anak, saudara kandung dan beberapa kerabat dekat. (Morioka, 1993, p.1)

Pengertian keluarga yang dijelaskan oleh Morioka ini mengacu pada kelompok yang didasari oleh ikatan suami istri dan yang menjadi anggota dari keluarga

Universitas Indonesia

selain suami istri dan anak-anaknya juga terdapat saudara kandung dan kerabat dekat. Sementara seorang ahli sosiologi Jepang terkemuka Toda Teizo (dalam Torigoe, 1988, p. 8) menjelaskan pengertian keluarga sebagai berikut.

Keluarga adalah kelompok kecil yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai hubungan khusus yaitu suami istri dan anak-anak, yang didasari oleh ikatan emosional yang kuat dari anggotanya.

Toda yang mendapat pengaruh kuat dari pemikir Barat mendefinisikan keluarga sebagai kelompok kecil yang anggotanya hanya terdiri dari suami istri dan anak-anak. Bentuk keluarga seperti yang didefinisikan oleh Toda ini mengacu pada bentuk keluarga batih.

Masyarakat Jepang sebagai masyarakat Timur, pada awalnya juga menjalankan sistem kekerabatan dengan bentuk keluarga besar. Sistem ini sudah berjalan pada zaman Tokugawa (1603-1868) dan dikukuhkan dalam Meiji Minpo yaitu undang dasar negara Jepang pada Zaman Meiji (1868-1912). Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa sistem ie adalah bentuk sistem kekeluargaan Jepang dan menetapkan Jepang sebagai negara keluarga atau kazoku kokka serta menjadikan kaisar sebagai kepala keluarga tertinggi.

Sistem ie ini dilaksanakan dengan penuh ketaatan oleh masyarakat Jepang. Mereka menjaga ie dengan tujuan utama adalah demi kesinambungan ie yang telah ada pada masa lalu dan dijaga pada masa sekarang untuk dipersiapkan bagi anak cucu di masa mendatang. Bangsa Jepang mempertahankan identitasnya melalui sistem ie ini walaupun yang menjadi anggotanya silih berganti dari generasi ke generasi. Namun seiring dengan bergemanya modernisasi pada negara-negara Barat, mulai terdengar pula keinginan dari segelintir kaum reformis Jepang yang menginginkan sistem ie ini dihapuskan dari undang-undang dasar negara. Kaum reformis yang mendapat pengaruh dari Barat tidak dapat berbuat apa-apa selain mendiamkan saja sistem ie tetap berlaku. (Dore, 1971, p. 92).

Kekalahan Jepang atas sekutu pada perang dunia kedua tahun 1945 membuat Jepang bertekuk lutut dan terpaksa merelakan sistem ie dihapuskan dalam sistem kekerabatan Jepang dengan disahkannya undang-udang dasar pada tahun 1947. Penghapusan sistem ie dari peri kehidupan masyarakat Jepang seolah-olah menjawab keinginan kaum reformis yang tidak puas dengan sistem ie. Dalam undang-undang dasar tahun 1947 pada pasal 24 disebutkan sebagai berikut,

Article 24. Marriage shall be based only on the mutual consent of both sexes and it shall be maintained through mutual cooperation with the equal rights of husband and wife as a basis. With regard to choice of spouse, property rights, inheritance, choice of domicile, divorce and other matters pertaining to marriage and the family, laws shall be enacted from the standpoint of individual dignity and the essential equality of the sexes. Pasal 24. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak dan dijaga melalui azas kerjasama yang setara antara suami dan istri. Berkenaan dengan memilih pasangan, hak milik, warisan, pilihan domisili, perceraian dan hal lainnya yang berkaitan dengan perkawinan dan keluarga diberlakukan hukum dari sudut pandang martabat individu dan kesetaraan gender.

Pasal 24 ini secara tegas mengatur hak azasi individu baik laki-laki dan perempuan dalam membentuk keluarga. Dasar pembentuk sebuah keluarga berlandaskan pada keinginan individu tanpa campur tangan anggota keluarga yang lain. Mengenai hal ini sangat bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku dalam sistem ie yaitu pernikahan ditentukan oleh kepala keluarga tanpa meminta persetujuan mempelai terutama mempelai perempuan. Perempuan memang diperlakukan sebagai warga kelas dua yang harus taat dan patuh pada perintah kepala keluarga. Pada pasal ini juga tergambar adanya penyetaraan antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sementara dalam keluarga tradisional Jepang hak dan kewajiban laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Begitu pula mengenai pewarisan yang diberlakukan setara antara laki-laki dan perempuan, padahal dalam sistem ie warisan jatuh ke tangan anak laki-laki yang sulung. Disahkannya pasal 24 dalam undang-undang dasar negara Jepang secara otomatis telah menghapuskan keabsahan dari sistem kekeluargaan tradisional Jepang dan menerapkan sistem kekeluargaan modern yang mengacu kepada Barat.

Universitas Indonesia

Dihapuskannya sistem ie dalam tatanan masyarakat Jepang merupakan satu titik tolak perubahan besar dalam sistem kekerabatan masyarakat Jepang. Berdasarkan pemaparan singkat mengenai kondisi masyarakat Jepang di atas, maka sistem kekerabatan Jepang dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu sistem kekerabatan tradisional dan sistem kekerabatan modern.

Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Jepang sebelum berakhirnya perang dunia kedua adalah sistem ie. Kekerabatan yang terbentuk berdasarkan sistem ie ini adalah keluarga besar atau dalam bahasa Jepang disebut dengan daikazoku. Pengertian kazoku atau keluarga dalam sistem ie berbeda dengan pengertian keluarga pada umumnya yaitu selain bermakna sebagai keluarga, ie juga mempunyai makna sebagai kebiasaan atau adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Jepang. Sementara pengertian kazoku dalam bahasa Jepang dapat disamakan dengan pengertian family dalam bahasa Inggris dan mengacu pada keluarga modern.

Keberadaan ie diakui secara hukum oleh pemerintah Jepang pada zaman Meiji. Para anggota keluarga tercatat dalam catatan pemerintah. Anak-anak yang lahir dalam ie secara otomatis menjadi anggota dari ie tersebut. Anggota lain dari ie adalah yang masuk melalui pernikahan, adopsi, atau mendirikan cabang ie. (Dore, 1971, p.103). Mengenai sistem ie ini dijelaskan lebih lanjut pada sub bab yang membahas mengenai sistem ie.

Sesudah berakhirnya perang dunia kedua dan dihapuskannya sistem ie dari undang-undang dasar negara Jepang, masyarakat Jepang tidak serta merta meninggalkan tradisi mereka yang telah kuat mengakar. Pada masyarakat pedesaan terutama yang menjalankan usaha pertanian masih terlihat adanya penerapan sistem ie. Sementara pada masyarakat perkotaan yang mulai menggiatkan industri, sistem kekerabatan tradisional mulai terkikis sehubungan dengan tuntutan dari industrialisasi. Selain dari tuntutan industrialiasasi, penghapusan sistem ie di Jepang mempermudah penyerapan modernisasi sehingga mempermudah transisi dari sistem keluarga tradisional ke sistem keluarga modern. (Vogel, 1971, p. 91).

Mengenai kaitan industrialisasi dan keluarga dijelaskan oleh Goode (2007) bahwa, seiring dengan perkembangan industrialisasi dan modernisasi baik di negara Barat maupun Timur, bentuk keluarga mengalami perubahan yang cukup drastis terutama di negara belahan Timur. Mereka yang kebanyakan menganut sistem keluarga besar beralih pada sistem keluarga batih sebagaimana bentuk keluarga dalam masyarakat Barat. Keberadaan keluarga batih ini bersesuaian dengan tuntutan kemajuan industri yaitu adanya seorang kepala keluarga atau suami yang mencari nafkah di luar rumah sementara istri yang mengasuh dan membesarkan anak-anak di dalam rumah. Dalam keluarga batih ini, kepentingan sanak saudara berkurang secara luas dan seseorang dapat dengan bebas mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya serta dapat mendedikasikan diri sepenuhnya untuk pekerjaan. (p. 171)

Dihapuskannya ie dari undang-undang dasar Jepang membuat goncangan dalam masyarakat Jepang dan timbul kekhawatiran akan bagaimana nasib mereka dalam keluarga. Goncangan ini ditunjang oleh banyaknya keluarga yang bercerai-berai setelah Jepang kalah perang. Hal yang mendasar yang berubah dalam tantanan keluarga Jepang dengan dihapuskannya ie adalah hancurnya kesinambungan ie, hilangnya kachouken yaitu hak dan kewajiban kepala keluarga, diakuinya kesetaraan antara suami istri di dalam rumah tangga, dihapuskannya sistem pewarisan tunggal, dan harta kekayaan keluarga dibagikan secara merata kepada setiap anak tanpa terkecuali karena semua anak mempunyai hak yang sama dalam menerima warisan. (Aruga, 1981, p. 5).

Penghapusan sistem ie di Jepang menimbulkan berbagai dampak baik yang bersifat positif seperti berkembangnya perindustrian Jepang maupun yang berdampak negatif. Dampak negatif yang terlihat diantaranya adalah mengubah basis ekonomi tradisional dan menghapus fungsi produktif dari keluarga bahkan melemahkan otoritas kepala keluarga sebab adanya kemandirian mencari nafkah dari anggotanya. Norma-norma yang berlaku dalam masyarakat mulai berubah akibat migrasi penduduk, semakin bertambahnya pekerja wanita, berkembangnya pemikiran individualistik akibat pendidikan populer yang lebih mementingkan individu dan ketidakpedulian pada orang tua. (Dore, 1971, p. 93)

Universitas Indonesia

Selain itu kesadaran terhadap ie berkurang pada masyarakat perkotaan dikarenakan jenis pekerjaan yang ditekuni tidak bisa diwariskan seperti dokter, guru, pengrajin seni dan lain sebagainya. Mereka juga tidak mempunyai kewajiban apapun pada ie asalnya. Dan di perkotaan terdapat kesulitan dalam membuka cabang ie yang berkaitan dengan ekonomi. (Dore, 1971, p. 103)

Dampak negatif lainnya dari penghapusan sistem ie adalah ketika anggota keluarga di kota lebih kaya daripada yang di desa, maka mereka akan saling sungkan meminta bantuan. Anggota keluarga di desa enggan meminta bantuan ketika akan panen sementara anggota keluarga di kota tidak memberitahukan bila mengalami kesulitan keuangan. Bila mereka sesama anggota ie saling membantu dalam kesulitan, bantuan tersebut tidak lagi berdasarkan kewajiban sesama anggota ie melainkan karena sentimen pribadi. (Vogel, 1965, p.172). Sebagaimana mekanisme yang berjalan dalam sistem ie bahwa hubungan kekerabatan dalam ie berdasarkan pada aturan yaitu para anggotanya bersikap, bertindak dalam kelompoknya dijalankan sebagai satu kewajiban dan lepas dari sentimen maupun kenyamanan pribadi. Hal ini dikarenakan masing-masing anggota ie mempunyai posisi dan kedudukan tertentu dalam ie-nya. Setelah aturan ini tidak berlaku lagi, hubungan antara anggota keluarga berjalan berdasarkan sentimen, kekuasaan dan kenyamanan. (Vogel, 1965, p. 180)

Mengenai menantu perempuan yang tinggal dalam keluarga batih menjadi lebih berani terlebih mereka terbebas dari pengawasan mertua. Mereka mendapatkan uang saku dan uang untuk keperluan pribadi seperti untuk membeli baju dari suami. Penghasilan mereka juga diperoleh dari laba ie-nya yang diatur berdasarkan persamaan hak antara saudara laki-laki dan perempuan. (Fukutake, 1967, p. 57)

Dalam hal mengurus orang tua yang sudah lansia pada awalnya merupakan tanggung jawab kepala keluarga. Setelah ie dihapuskan, maka perawatan lansia dibebankan secara merata pada semua anak-anak. Namun tetap saja ada kecendrungan anak tertua mendapat porsi lebih banyak. Ada pula suami dari anak perempuan yang tidak bersedia direpotkan dengan merawat lansia. Dan ada pula lansia yang sebelumnya berprofesi sebagai pegawai satu perusahaan mendapatkan

sejumlah dana pensiun sehingga secara ekonomi mereka tidak menyulitkan anaknya. (Vogel, 1965, p. 173)

Berbagai dampak yang terlihat dari penghapusan sistem ie dan kecendrungan dari masyarakat Jepang di kota dan di desa yang tidak serta merta mengubah bentuk keluarga berdasarkan aturan yang baru maka menurut Fukutake (1967) sistem kekerabatan Jepang setelah perang dunia kedua dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok besar yaitu keluarga batih, keluarga besar yang terdiri dari setidaknya tiga generasi, dan keluarga yang anggotanya seketurunan. (p. 37) Kekerabatan di Jepang sekarang diketahui dari koseki yaitu catatan setiap individu yang menjadi anggota dari sebuah keluarga. Catatan tersebut berisikan diantaranya adalah nama, tempat tanggal lahir, nama orang tua, nama saudara kandung, status yaitu lajang, menikah, atau bercerai, alamat permanen, dan lain sebagainya. Unit terkecil dari koseki bukanlah individu melainkan keluarga dan koseki ini disimpan di kantor kecamatan di wilayah masing-masing. (Sugimoto, 1997, p. 136).

Koseki ini sendiri di dalamnya hanya diperbolehkan mencatat dua generasi saja yaitu orang tua dan anak-anak. Bila ada generasi ketiga, maka generasi pertama akan dibuatkan koseki terpisah. (Sugimoto, 1997, p.137). Di balik pemberlakuan koseki ini, masyarakat Jepang masih menjalankan sistem ie dan secara tidak langsung koseki melindungi keberadaan ie. (Sugimoto, 1997, p. 138).

Sugimoto Yoshio (1997, p. 165-166) membagi tipe keluarga Jepang ke dalam empat kategori yaitu, kategori A adalah tipe keluarga yang masih kuat menjalankan sistem ie dan pasangan yang telah menikah tinggal di rumah orang tua laki-laki. Kategori B adalah tipe keluarga yang tinggal dua generasi dewasa dalam satu rumah yang sama tetapi dalam menjalankan kesehariannya mereka seperti keluarga batih dikarenakan tingginya biaya hidup terutama di kota besar seperti Tokyo, sehingga mereka hanya dipisahkan oleh dinding pembatas dan mereka tetap masih bisa saling membantu. Kategori C adalah tipe keluarga batih yang meyakini hubungan garis seketurunan, walaupun mereka berdomisili jauh dari keluarga asal karena alasan pekerjaan dan lainnya, mereka masih menghadiri acara tradisional yang diselenggarakan keluarga besarnya seperti pesta pernikahan tradisional, acara pemakaman, festival daerah, pemujaan arwah leluhur dan lain

Universitas Indonesia

sebagainya. Kategori D adalah tipe keluarga batih modern yang menjalankan ideologi keluarga modern.

Munculnya empat kategori dalam masyarakat Jepang sebagaimana dikemukakan oleh Sugimoto Yoshio ini memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan struktur keluarga dalam masyarakat Jepang pada kurun waktu yang relatif cepat yaitu sejak Jepang kalah pada perang dunia kedua dan diberlakukannya undang-undang dasar baru tahun 1947 hingga sekitar tahun 1997 ketika Sugimoto membuat pengkategorian ini. Perubahan struktur keluarga yang di dalam perundang-undangan di arahkan menjadi struktur keluarga batih sebagaimana yang terdapat dalam masyakarat Barat tidak semuanya diikuti oleh keluarga Jepang. Perubahan tersebut mengarah ke berbagai bentuk keluarga dan salah satunya sebagaimana yang telah dikategorikan oleh Sugimoto di atas. Terlihatnya berbagai tipe struktur keluarga dalam masyarakat Jepang setelah dihapuskannya undang-undang mengenai bentuk keluarga Jepang ini, menimbulkan perdebatan diantara para pakar sosiologi terutama pemerhati keluarga Jepang. Aruga Kizaemon (1986) tetap bersikukuh bahwa bentuk keluarga Jepang tradisional adalah keluarga besar yang menjalankan sistem ie dan unsur-unsur dalam sistem tersebut masih diterapkan dalam keluarga Jepang beberapa waktu setelah sistem ie dihapuskan.

Dalam dokumen Keluarga Jepang Dalam Novel Kifujin A No (Halaman 47-54)

Dokumen terkait