• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keluarga Jepang Dalam Novel Kifujin A No

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keluarga Jepang Dalam Novel Kifujin A No"

Copied!
247
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

KELUARGA JEPANG DALAM NOVEL

KIFUJIN A NO SOSEI

,

HAKASE NO AISHITA SUUSHIKI

DAN

MIINA NO KOUSHIN

KARYA OGAWA YOKO

DISERTASI

RIMA DEVI

NPM 1106045752

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI ILMU SUSASTRA

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

KELUARGA JEPANG DALAM NOVEL

KIFUJIN A NO SOSEI

,

HAKASE NO AISHITA SUUSHIKI

DAN

MIINA NO KOUSHIN

KARYA OGAWA YOKO

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

RIMA DEVI

NPM 1106045752

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI ILMU SUSASTRA

(3)

Kemauan dan harapan tidak cukup kuat untuk menembus batas kemalasan. Keberanian untuk melawan diri sendirilah yang membawa ke tujuan.

(dari Sang Petualang di dunia mimpi)

(4)
(5)
(6)

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbilaalamin. Puji Syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya yang tiada putus-putusnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penyusunan disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan disertasi ini sangatlah tidak mungkin bagi penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bambang Wibawarta, M.A. sebagai promotor yang telah memberikan semangat yang menggelegar, arahan yang langsung ke sasaran, dan bimbingan dalam menyusun disertasi ini, serta menetapkan skedul yang jelas dalam tahapan ujian setelah mengetahui penelitian sudah layak uji. 2. Bapak Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono sebagai kopromotor yang telah

menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam menyusun disertasi ini tanpa menuntut sesuatu yang sempurna dan membiarkan proses penelitian mengalir apa adanya dalam kesederhanaan pemikiran penulis.

3. Bapak Dr. Fauzan Muslim sebagai Ketua Program Studi Ilmu Susastra FIB Universitas Indonesia beserta jajarannya Ibu Lisda Mitranda dan Mbak Rita yang telah membantu pengurusan administrasi yang berkaitan dengan proses penyelesaian disertasi ini.

(7)

disebut dengan penelitian sastra yang selama ini menjadi tanda tanya besar dalam pikiran penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia khususnya Ibu Mina Elfira, M.A., Ph. D yang telah mengajar, membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan disertasi.

6. Rektor Universitas Andalas, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Ketua Jurusan Sastra Jepang FIB Universitas Andalas dan rekan-rekan sejawat di Universitas Andalas, yang telah memberi izin dan memudahkan pengurusan administrasi sehingga penulis dapat menempuh studi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia hingga melewati tahap disertasi ini.

7. Mama Muryati dan Papa Amir Chatib dt. Garang (alm.) yang selalu memberikan dukungan untuk kemajuan karir penulis dan yang selalu mendoakan untuk kebaikan penulis, Ananda Ibnu Naufal pembangkit semangat dan motivasi, Kakanda Mira Dewi, Adinda Amri Chatib dt. Panduko dan Adinda Imra Chatib yang memberikan dukungan finansial sepenuh hati, dan Adinda Irma Amir yang setia mendengar curhat, serta duo anak pisang lucu Malika Syauqina dan M. Bariq Chatib yang menemani penulis di saat jenuh dengan tangisan dan gelak tawanya di Dahlia 3 Depok I. 8. Teman-teman FIB UI angkatan 2011 yang telah sama-sama berjuang

menjalani studi dan saling memberi semangat untuk penyelesaian disertasi ini, terutama Tia, Andam, Mbak Pris, Pak Amri, Pak Surjadi, Pak Anas, Pak Sul, Pak Arif, dan lain-lain. Pada akhir penulisan Pak Amri sangat membantu dengan menerjemahkan abstrak ke dalam bahasa Inggris dengan bahasa yang jauh lebih bagus dari terjemahan penulis.

9. Ustad Andy Bangkit Setiawan yang banyak memberikan pandangan tentang Jepang, membantu merumuskan kata dalam bahasa Jepang mengenai inti dari disertasi, dan membantu mencarikan literatur di Jepang.

(8)

vi

11.Teman-teman di grup ODOJ 2326 yang setia menyemangati untuk khatam satu juz perhari.

12.Berbagai pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Penulis menyadari bahwa sebagai manusia yang tidak sempurna tentu disertasi ini juga tidak sempurna. Oleh karena itu penulis dengan senang hati akan selalu menerima kritikan dan saran untuk disertasi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.

Depok, 25 Juli 2015

(9)
(10)

viii

Nama : RIMA DEVI

Program studi : Ilmu Susastra

Judul : Keluarga Jepang dalam Novel Kifujin A No Sosei,

Hakase No Aishita Suushiki, dan Miina No Koushin Karya Ogawa Yoko

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap struktur keluarga Jepang yang dibangun oleh Ogawa Yoko dalam tiga novelnya yaitu Kifujin A No Sosei, Hakase no Aishita Suushiki, dan Miina No Koushin. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode kajian kepustakaan dengan analisis menggunakan konsep ruang sosial yang dikemukakan oleh Bourdieu dan konsep keluarga tradisional Jepang yaitu sistem ie. Dari penelitian diketahui bahwa Ogawa Yoko menangkap perubahan struktur keluarga yang terjadi dalam masyarakatnya dan menuangkan ke dalam novel. Struktur keluarga yang dibangun oleh Ogawa Yoko tidak sama dengan struktur keluarga tradisional Jepang, dan berbeda dengan struktur keluarga modern sehingga keluarga yang dibangun oleh Ogawa Yoko dapat disebut dengan hubungan keluarga interdependen atau interdependent family relantionship atau (sougoizonteki kazokukankei).

Kata kunci :

Keluarga Jepang, Struktur Keluarga, Sistem Ie, Ogawa Yoko, Ranah

ABSTRACT

Name : RIMA DEVI

Study Program : Literature

Title : Japanese Family in Ogawa Yoko’s Kifujin A No Sosei, Hakase No Aishita Suushiki, and Miina No Koushin

This research aims at uncovering the structure of Japanese family set up by Ogawa Yoko in her three novels, i.e. Kifujin A No Sosei, Hakase No Aishita Suushiki, and Miina No Koushin. It is a qualitative research using library research as its method. Social field proposed by Bourdieu and ie system of Japanese traditional family have been chosen to analyse the issue. This research has found out that Ogawa Yoko had caught the change of the family structure taking place in her society and has expressed it in her three novels. The family structure Ogawa Yoko has developed differs from both the structure of Japanese traditional family and modern family. Thus, Ogawa Yoko has developed interdependent family relationship / (sougoizonteki kazokukankei).

Keywords :

(11)

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ………. iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……… vii

ABSTRAK ………...……….……… viii

DAFTAR ISI……….. ix

DAFTAR GAMBAR………. x

BAB 1 PENDAHULUAN ………..……….. 1

1.1 Latar Belakang ………...…….…………... 1

1.2 Rumusan Masalah…...………..……….. 12

1.3 Tujuan Penelitian...………..………... 12

1.4 Ruang Lingkup………...………. 12

1.5 Tinjauan Pustaka………..………..………. 13

1.6 Kerangka Teori ….………..….………….……. 15

1.7 Metode Penelitian………..………….………… 31

1.8 Sistematika Penelitian…...………..……… 34

BAB 2 KELUARGA JEPANG ... 35

2.1 Sistem Kekerabatan dalam Masyarakat Jepang ... 35

2.2 Ie dalam Keluarga Jepang Modern ... 42

2.3 Sistem Ie ... 45

2.4 Kachou dalam Sistem Ie ... 51

BAB 3 STRUKTUR KELUARGA DALAM NOVEL…... 59

3.1 Novel KAS……….. 59

3.2 Novel HAS………. 106

3.3 Novel MNK………. 144

3.4 Keluarga dalam Ketiga Novel ……… 187

BAB 4 KESIMPULAN………. 209

DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN

SINOPSIS NOVEL

DAFTAR KARYA OGAWA YOKO

(12)

x

hal. Gambar 1.1 Susunan Keanggotaaan dalam Struktur Ie ... 20 Gambar 1.2 Gambar Ruang Sosial ... 30 Gambar 1.3 Ruang Sosial Tokoh Frederic dalam Novel Sentimental

Education .... 33

Gambar 3.1 Ruang Sosial Bibi Yuli Ketika Tuan H Masih Hidup……... 66 Gambar 3.2 Ruang Sosial Bibi Yuli Setelah Tuan H Meninggal Dunia... 75 Gambar 3.3 Ruang Sosial Bibi Yuli Setelah Diduga Sebagai Putri

Anastasia……… 89

Gambar 3.4 Struktur Keluarga dalam Novel KAS……… 100 Gambar 3.5 Ruang Sosial Kaseifu Sebagai Pengurus Rumah………….. 118 Gambar 3.6 Ruang Sosial Kaseifu Ketika Menjadi Pengurus Rumah

Hakase……… 121

(13)

1.1 Latar Belakang

Biografi novelis-novelis perempuan Jepang sejak tahun 1900 sampai 1993 dirangkum dalam sebuah buku yang ditulis oleh Sachiko Shibata Schierbeck berjudul Japanese Women Novelists in the 20th Century: 104 Biographies, 1900-1993, yang diterbitkan pada tahun 1994. Di dalam buku ini pada beberapa halaman di bagian akhir tertulis seorang novelis bernama Ogawa Yoko (1962- sekarang). Mengenai Ogawa Yoko dan karya-karyanya tidak banyak dibahas oleh Schierbeck selain dari penghargaan yang diperoleh Ogawa Yoko yaitu Kaienshinjin Bungakushou ‘ “ € E  e ¹ Q ¹ (Penghargaan bagi

pendatang baru di dunia sastra dari majalah Kaien) atas novel berjudul Agehacho ga Kowareru Toki {¥¬Z,+ƒ(Ketika Sayap Kupu-kupu Patah) pada

tahun 1988 dan penghargaan Akutagawashou ¨ n ¹ (Penghargaan

Akutagawa) yang diperolehnya pada tahun 1990 atas novel berjudul Ninshin Karendaa_a1?@6B(Kalender Kehamilan). Wajar saja bila Ogawa

Yoko dan karya-karyanya tidak banyak dijelaskan pada buku kumpulan biografi novelis perempuan Jepang ini dikarenakan pada saat buku ini diterbitkan karya Ogawa Yoko masih sedikit.

Ogawa Yoko termasuk salah seorang novelis perempuan Jepang yang produktif. Hingga saat ini terhitung lebih dari 40 buah karya Ogawa Yoko sudah diterbitkan baik berupa novel maupun esai. Karya-karya Ogawa Yoko dalam kesusastraan Jepang memang tidak termasuk ke dalam karya junbungaku ¢

eatau karya sastra murni/serius melainkan karya sastra tsuuzoku shousetsu

½Ij³yaitu sastra populer/novel populer. Walaupun demikian

(14)

Universitas Indonesia

Selain dua penghargaan di atas, Ogawa juga mendapatkan empat penghargaan

sekaligus pada tahun 2004 yang terdiri dari tiga penghargaan atas novel berjudul

Hakase no Aishita Suushiki P[!u~p(Rumus yang Dicintai Sang Profesor) yaitu Yomiuri Bungakushou ´\e¹(penghargaan sastra dari

harian Yomiuri), Daiikai Honya Daishou ¡CV…l]¹(penghargaan

bagi buku terlaris) dan penghargaan Daiikkai Nihon Suugakukai Shuppanshou ¡CV‚…~eFL”¹(penghargaan untuk penerbitan buku dari asosiasi

matematika Jepang), dan satu penghargaan atas novel berjudul Burafuman no Maisou (Pemakaman Brahmana) yaitu Izumi Kyouka BungakushouŽÄ©e¹(penghargaan sastra dari Izumi Kyouka). Masih

ada dua penghargaan lagi yaitu pada tahun 2006 dari Tanizaki Ichiroshou·m

’C¹(penghargaan Tanizaki Ichiro) atas novel Ogawa berjudul Miina no

Koushin :B8!®¿(Parade Miina) dan pada tahun 2008 Ogawa

mendapatkan Shirley Jackson Award atas karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang diberi judul Diving Pool.

Kisah-kisah yang dituliskan oleh Ogawa Yoko dalam novelnya menurut seorang penggemar Ogawa Yoko dalam blognya, ogawayouko.blog.shinobi.jp menyatakan bahwa Ogawa dapat merangkai kata-kata sedemikian rupa sehingga terasa indah seperti alunan musik Mozart, keburukan atau kebencian digambarkan secara tersembunyi, dan akhir dari cerita sering tidak terduga sehingga membuat novel-novelnya terlihat cantik. Ogawa Yoko pada sebagian besar novelnya tidak memberikan nama tokoh utama selain dengan sebutan aku. Cerita-cerita dalam novel Ogawa tidak bersifat dramatis sehingga sering terlupakan setelah selesai membacanya. Namun berdasarkan pengalaman penggemar Ogawa ini, bila membaca untuk kedua kalinya maka akan muncul perasaan janggal dan aneh seolah-olah menarik kita untuk terus melanjutkan membacanya.

(15)

seperti mengupas sendiri buah-buahan dan langsung memakannya (Suga, 2004). Mengenai tokoh utama yang dimunculkan dalam novel Ogawa menurut Hasebe (2004), Ogawa dengan gaya tulisan yang acuh dan tak peduli menampilkan tokoh-tokoh yang aneh. Seperti diungkapkan oleh Takahara (2004), tokoh-tokoh-tokoh-tokoh tersebut mempunyai kekurangan secara fisik dan keterbatasan secara mental. Ito (2004) menambahkan tokoh utama dalam karya Ogawa kebanyakan adalah seorang perempuan, selain itu ada tokoh lansia, anak-anak dan ilmuwan laki-laki. Para tokoh utama Ogawa juga digambarkan tokoh yang kehilangan anggota keluarganya seperti kematian ayah, suami atau saudara laki-laki. Para lelaki yang digambarkan dalam karya Ogawa kebanyakan mempunyai kekurangan fisik atau penyakitan. Kecendrungan Ogawa menampilkan tokoh-tokoh seperti ini disimpulkan oleh Ito setelah menganalisis 13 karya Ogawa Yoko yang diantaranya adalah Ninshin Karenda _a1?@6B(Kalender Kehamilan),

Koori Tsuita Kaori K* Ê*(Aroma yang Membeku), Mabuta % $(Kelopak Mata) dan lain-lain.

Dalam keadaan para tokohnya yang hampir semuanya serba terbatas, mempunyai kekurangan baik fisik maupun mental, tak berdaya, tidak ada tempat bergantung secara finansial ataupun emosional, penyakitan, usia lanjut dan lain sebagainya, Ogawa mempertemukan mereka pada novel-novelnya dalam satu ruang atau tempat yang disebut rumah. Mereka ditampilkan saling bahu- membahu, saling membantu, saling melindungi, saling menyayangi satu sama lain. Bukan itu saja, para tokoh cerita ini juga diberikan peran masing-masing sesuai dengan usia mereka seperti anak-anak, orang dewasa dan lansia. Hal ini dapat

dilihat dalam tiga novel Ogawa Yoko yaitu Kifunjin A no Sosei¸bEA«˜

(Kebangkitan Bangsawan A), Hakase no Aishita Suushiki P[!u~p (Rumus yang Dicintai Sang Profesor), dan Miina no Koushin :B8!®¿

(Parade Miina).

(16)

Universitas Indonesia

menggantungkan hidup setelah ayahnya meninggal dunia. Dua bulan sebelumnya Gadis juga kehilangan pamannya yaitu kakak laki-laki dari ibunya. Pamannya yang tidak mempunyai anak meninggalkan seorang istri yang sudah lansia.

Gadis kemudian diberi amanat untuk merawat bibinya dengan imbalan biaya kuliah Gadis akan diambil dari warisan peninggalan pamannya. Gadis bersedia merawat bibinya yang dipanggil dengan Bibi Yuli bukan karena uang semata. Keinginan untuk merawat Bibi Yuli dibarengi pula oleh rasa kasih dan sayang kepada bibinya. Gadis merawat dan menjaga bibinya dengan sangat baik sebagaimana seorang anak merawat dan menjaga orang tuanya. Bukan hanya sekedar menjaga dari serangan penyakit namun juga menjaga dari rongrongan pihak luar yang ingin menguasai harta bibinya berupa kepala binatang buas yang diawetkan.

Gadis juga waspada terhadap pihak luar yang ingin mengorek keterangan apakah bibinya ini benar-benar Putri Anastasia, anak Raja Nicholas II dari Rusia. Untuk membantunya mengatasi masalah ini, Gadis tanpa ragu meminta kekasihnya Niko menghadapi jurnalis dan para tamu yang datang ke rumahnya. Bibi Yuli yang merasa senang akan kehadiran Niko di rumahnya juga memperlakukan Niko seperti anaknya sendiri. Demikian juga dengan Ohara, seorang kolumnis yang mendaulat dirinya menjadi manajer Bibi Yuli, diperlakukan sebagai bagian dari anggota keluarga Bibi Yuli. Mereka berempat terlihat sebagai satu keluarga yang saling bahu-membahu untuk menjaga citra Bibi Yuli yang telah dikenal oleh masyarakat sekelilingnya sebagai Putri Anastasia.

(17)

matematika. Terlebih Hakase memberikan perhatian khusus kepada anak laki-lakinya yang berumur 10 tahun sebagaimana seorang ayah kepada anaknya. Bukan itu saja, Hakase juga memberikan nama panggilan yang baik untuk anak Kaseifu yaitu Ruto.

Kutipan berikut memperlihatkan bagaimana senangnya hati Kaseifu ketika anaknya disambut gembira oleh Hakase.

Dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri anak laki-lakiku dipeluk oleh seseorang seperti ini merupakan kebahagian yang tiada tara. (Ogawa, 2003, p. 44)

Bagi Kaseifu yang orang tua tunggal, merawat Ruto semenjak lahir seorang diri merupakan tugas yang berat. Dengan hadirnya Hakase dalam kehidupan mereka, figur ayah yang selama ini kosong dalam hidup Ruto dapat terpenuhi berkat perhatian dan kasih sayang Hakase. Ruto yang sering rendah diri bila berhadapan dengan teman-temannya, akhirnya dapat menyelesaikan sekolahnya dengan baik dan kemudian menjadi guru matematika di salah satu SMP di kotanya. Keberhasilan yang dicapai Ruto tak terlepas dari dorongan dan semangat belajar yang selalu didapatkannya dari Hakase. Dalam novel ini tergambar dengan jelas bagaimana perhatian dan kasih sayang dalam keluarga terhadap anak dan lansia membawa kebahagian tersendiri dalam kehidupan anggota keluarga tersebut. Walaupun Kaseifu dan Ruto tidak dapat selalu bersama dengan Hakase karena keterbatasan memorinya, mereka dapat menjalin ikatan rasa kasih sayang sebagaimana sebuah keluarga.

(18)

Universitas Indonesia

memasuki sekolah menengah pertama. Ibu Tomoko berbuat demikian karena dia akan melanjutkan pendidikan di kota besar agar mendapat pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan layak untuk menghidupi Tomoko sementara dia tidak mempunyai biaya yang cukup untuk menyewa apartemen sehingga terpaksa tinggal di asrama yang tidak memungkinkan baginya membawa Tomoko ikut serta.

Tomoko yang menumpang di rumah kerabatnya mendapatkan perhatian dan perlakuan yang sama dengan Miina karena selisih usia mereka hanya satu tahun. Perhatian dan kasih sayang yang tulus dari semua anggota keluarganya membuat Miina yang sakit-sakitan dapat terlindungi dan terjaga hingga akhirnya dia dewasa dan mandiri. Begitu juga dengan Nenek Rosa, seorang wanita keturunan Yahudi, yang terhindar dari peristiwa holocaust di Jerman. Nenek Rosa yang dinikahi oleh pria berkebangsaan Jepang kemudian dibawa tinggal menetap di Jepang, dapat menjalani kehidupannya dengan bahagia pada usianya yang sudah lansia hingga akhirnya meninggal dengan tenang dikelilingi oleh keluarganya. Kebaikan dari keluarga yang dipimpin oleh Erich, tidak sebatas menjaga anggota keluarganya yang masih memiliki hubungan kekerabatan saja. Erich juga memperlakukan dengan baik pembantunya Yoneda yang tidak menikah dan telah bekerja di rumahnya sebelum Erich lahir. Erich memberikan perhatian kepada Yoneda yang seusia dengan Nenek Rosa, sama dengan perhatiannya kepada ibunya sendiri. Pada ketiga novel Ogawa Yoko di atas yaitu novel KAS, HAS dan MNK, terlihat bahwa ketiganya sama-sama menyinggung persoalan keluarga. Para tokoh cerita dalam ketiga novel Ogawa Yoko bertemu dalam sebuah rumah yang mempunyai susunan anggota sebagaimana halnya sebuah keluarga. Menurut Morioka, yang disebut dengan keluarga dijelaskan dalam kutipan berikut ini.

“h"^bÆH-Y°cA( k~! »°¦-D¯‡xT+vs­R }),¡C‰›  Ÿ¼Œ!ÇW+.”

(19)

Mengenai susunan anggota keluarga yang digambarkan Ogawa dalam ketiga novel di atas agak berbeda dengan susunan anggota keluarga dalam definisi keluarga yang dikemukakan oleh Morioka.

Pada novel KAS anggota keluarganya terdiri dari Gadis, Bibi Yuli dan Niko yang merupakan kekasih Gadis serta Ohara yang mendaulat dirinya sebagai manajer Bibi Yuli. Pada novel HAS anggota keluarganya terdiri dari Mibojin, Hakase, Kaseifu dan Ruto. Pada kedua novel ini hubungan anggota keluarganya tidak didasari oleh hubungan suami istri. Hanya pada novel MNK yang digambarkan adanya suami istri yaitu Erich dan Hiromi. Namun dalam keluarga ini, anggota keluarganya cukup banyak, selain pasangan suami istri Erich dan Hiromi, dan anak mereka yaitu Miina dan Ryuuichi, juga ada Nenek Rosa, pembantu rumah Yoneda, tukang kebun Takahashi dan Tomoko.

Dari beragam susunan anggota keluarga yang digambarkan oleh Ogawa Yoko pada ketiga novel ini, ada persamaan mendasar sebagaimana yang disebutkan oleh Morioka dalam definisi sebuah keluarga yaitu upaya mencapai tujuan sebuah keluarga yaitu mencari kesejahteraan yang didukung oleh jalinan rasa kasih sayang sesama anggotanya. Melihat susunan anggota keluarga yang tergambar dalam ketiga novel Ogawa Yoko di atas, menimbulkan pertanyaan bagaimanakah struktur keluarga Jepang saat ini dan apakah sama dengan yang tergambar dalam novel Ogawa Yoko.

Selain itu pada tiga novel ini, Ogawa Yoko juga mengisahkan tentang keluarga dalam novelnya seperti novel Ninshin Karenda _a1?@6B (Kalender Kehamilan) yang bercerita tentang proses kehamilan seorang kakak perempuan yang dipantau secara seksama oleh adik perempuannya yang masih lajang. Karena kedua orang tua mereka sudah meninggal dunia, maka sang kakak mengajak suaminya tinggal di rumah peninggalan orang tuanya, sehingga pasangan suami istri ini tinggal serumah dengan adik perempuannya. Pada novel

(20)

Universitas Indonesia

oleh adik laki-lakinya yang merupakan anak bawaan dari ayah tirinya ketika menikah dengan ibunya. Ada pula kisah tentang seorang gadis yang sudah tidak mempunyai ayah dan tinggal bersama ibunya mengurus hotel dan kemudian jatuh cinta dan tergila-gila pada seorang penerjemah yang hidup di sebuah pulau kecil di seberang pulau tempat tinggalnya. Kisah tentang gadis ini digambarkan oleh Ogawa Yoko pada novel Hotel Airisu97>/0=4(Hotel Irish) dan masih banyak lagi karya Ogawa Yoko yang di dalamnya menggambarkan tentang keluarga.

Struktur keluarga Jepang saat ini pada umumnya adalah keluarga batih yaitu keluarga yang anggotanya terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum menikah. Suami dan istri mempunyai hak yang sama di dalam rumah tangga dan anak-anak mempunyai kebebasan untuk berpendapat. Kesamaan hak di dalam keluarga membuat istri juga mempunyai hak untuk bekerja, menentukan apakah akan mengandung dan melahirkan anak atau tidak. Anak-anak yang belum menikah tetapi sudah mempunyai penghasilan sendiri juga berhak menentukan apakah akan tetap tinggal serumah dengan orang tuanya atau hidup sendiri terpisah dari orang tua. Kebebasan yang dimiliki oleh masing-masing anggota keluarga di Jepang membuat setiap anggotanya bebas menentukan hidup mereka sehingga tak jarang ditemui orang yang tidak menikah seumur hidup, pasangan yang bercerai karena berbagai alasan dan orang tua tunggal yang merawat dan membesarkan anaknya seorang diri tanpa istri bagi laki-laki dan tanpa suami bagi perempuan. Kebebasan setiap individu di Jepang dalam menentukan pilihan hidup mereka membawa pengaruh kepada susunan anggota keluarga di Jepang. Jumlah anggota keluarga menjadi bervariasi yaitu keluarga yang anggotanya terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum menikah, suami dan istri saja, ayah dengan anak saja, ibu dengan anak saja, dan satu keluarga terdiri dari satu orang saja. (Rebick, 2006).

(21)

dan menyuruh para wanita, lansia dan anak-anak tetap di rumah mengurus rumah tangga mereka. Ketika Jepang kalah pada perang dunia kedua, perintahan Meiji mengubah undang-undang dasarnya dan menghapuskan sistem kekeluargaan yang berlaku di Jepang.

Sistem kekeluargaan yang dihapuskan tersebut adalah sistem keluarga Jepang tradisional yang dikenal dengan sistem ie. Struktur keluarga yang ada di dalam sistem ie adalah struktur keluarga besar atau extended family yaitu di dalam satu rumah tinggal tiga generasi atau lebih yang anggotanya terdiri dari suami, istri, anak-anak, orang tua, kerabat yang memiliki hubungan darah maupun yang tidak. Keluarga ini dipimpin oleh pasangan suami istri yang mengatur seluruh anggota keluarganya berikut harta kekayaan dan usaha keluarga. Satu keluarga besar ini disebut dengan ie yang dipimpin oleh kepala ie yaitu suami yang disebut dengan kachou dan dibantu oleh istrinya yang disebut dengan shufu. Kachou dan shufu bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan anggota ie-nya mulai dari pemenuhan kebutuhan hidup, penentuan pekerjaan hingga jodoh dari setiap anggotanya. Kachou juga bertanggung jawab atas kesinambungan ie-nya sehingga diperlukan untuk menentukan calon pewaris dari ie tersebut bila kachou pensiun atau meninggal dunia. Pewaris dari kachou biasanya adalah anak laki-laki tertua yang disebut dengan chounan. Bila chounan tidak mampu atau tidak ada chounan dari keluarga tersebut maka kachou dapat menunjuk calon penggantinya dengan mengangkat anak atau youshi. Kachou juga dapat menerima anggota untuk masuk menjadi bagian dari keluarganya tanpa melihat apakah anggota tersebut memiliki hubungan darah atau tidak dengannya.

(22)

Universitas Indonesia

kata chounan sebagai pewaris, oyome sebagai sebutan bagi pengantin wanita yang akan tinggal di rumah keluarga suaminya, uchi no mago yaitu cucu dari anak laki-laki sendiri atau soto no mago yaitu cucu dari anak perempuan yang tinggal di rumah suaminya dan berbagai istilah lainnya.

Sejak kekalahan Jepang pada perang dunia kedua dan dihapuskannya sistem kekeluargaan tradisional Jepang dari undang-undang dasar negara Jepang, dalam kurun waktu relatif singkat telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat Jepang terutama dari struktur keluarga dari keluarga besar menjadi keluarga batih. Perubahan struktur keluarga ini tidak serta merta terjadi dalam masyarakat. Hal pertama yang sangat terlihat dalam masyarakat Jepang atas perubahan ini menurut Aruga (1980, p. 189-190) adalah melemahnya otoritas kepala keluarga atau kachou, adanya kesetaraan antara suami dan istri dalam rumah tangga, dan harta warisan dibagikan kepada setiap anak tanpa kecuali.

Perubahan struktur keluarga dalam masyarakat Jepang yang diarahkan dari keluarga besar menjadi keluarga batih, tidak semuanya mengarah pada muara yang sama. Hal ini terlihat dari kategori keluarga Jepang yang dirumuskan oleh Sugimoto Yoshio (1997, p. 165-166) yang membagi tipe keluarga Jepang ke dalam empat kategori yaitu, kategori A adalah tipe keluarga yang masih kuat menjalankan sistem ie dan pasangan yang telah menikah tinggal di rumah orang tua laki-laki, kategori B adalah tipe keluarga yang tinggal dua generasi dewasa dalam satu rumah yang sama tetapi dalam menjalankan kesehariannya mereka seperti keluarga batih dikarenakan tingginya biaya hidup terutama di kota besar seperti Tokyo, sehingga mereka hanya dipisahkan oleh dinding pembatas dan mereka tetap masih bisa saling membantu, kategori C adalah tipe keluarga batih yang meyakini hubungan garis seketurunan, walaupun mereka berdomisili jauh dari keluarga asal karena alasan pekerjaan dan lainnya, mereka masih menghadiri acara tradisional yang diselenggarakan keluarga besarnya seperti pesta pernikahan tradisional, acara pemakaman, festival daerah, pemujaan arwah leluhur dan lain sebagainya, dan kategori D adalah tipe keluarga batih modern yang menjalankan ideologi keluarga modern.

(23)

dalam diri individu. Bourdieu menganggap keluarga adalah produk dari institusionalisasi yang bertujuan membuat setiap anggotanya merasa bagian dari satu unit yang eksis dan kokoh. Bourdieu menambahkan tujuan keluarga adalah untuk mewujudkan kesatuan entitas yang terintegrasi, stabil, konstan, dan tidak memikirkan fluktuasi dari perasaan individu yang menjadi bagian dari satu keluarga.

Dari pernyataan ini terlihat Bourdieu tidak mengkategorikan keluarga sebagai keluarga batih atau keluarga besar dan tidak mempermasalahkan apakah keluarga tersebut dibangun atas dasar hubungan suami istri atau tidak. Bourdieu malah menyatakan bahwa keluarga cendrung berfungsi sebagai ranah yang di dalamnya terdapat hubungan fisik, ekonomi, kasih sayang, perhatian, simbol kekuasaan, dan lain-lain, sehingga di dalam keluarga terdapat volume dari struktur modal yang dimiliki oleh setiap anggotanya. Bourdieu juga menambahkan bahwa di dalam keluarga juga terjadi perjuangan untuk mendapatkan posisi yang dominan.

Berkenaan dengan pernyataan Bourdieu (1996) di atas bahwa di dalam keluarga terjadi perjuangan untuk mendapatkan posisi dominan. Anggota keluarga yang menempati posisi dominan akan memiliki otoritas untuk mengatur anggota keluarga yang menempati posisi terdominasi. Pengaturan anggota keluarga ini merupakan hak yang dimiliki oleh kepala keluarga dalam keluarga batih dan kachou pada keluarga tradisional. Oleh karena itu dari pendapat Bourdieu ini dapat dikatakan bahwa keluarga adalah ruang sosial bagi para anggotanya.

Ogawa Yoko (2009) sendiri menyatakan bahwa sebelum menulis cerita untuk novelnya, atau membangun struktur di dalam novelnya maka dia akan menentukan terlebih dahulu ruang yang akan ditempati oleh para tokohnya. Setelah ditentukan ruang seperti apa yang akan dijadikan tempat berinteraksi para tokohnya, Ogawa kemudian menentukan posisi tiap-tiap tokoh di dalam ruang tersebut dan membuat alur cerita sesuai dengan posisi para tokoh.

(24)

Universitas Indonesia

terikat pada kelompok sosial tertentu baik dalam hal pendidikan, agama, adat istiadat, dan lembaga sosial yang ada disekitarnya. Peristiwa-peristiwa yang dituliskan oleh pengarang dalam karyanya merupakan pantulan dari hubungan pengarang dengan masyarakatnya.

1.2 Rumusan Masalah

Pembacaan atas tiga karya Ogawa Yoko memperlihatkan adanya kesamaan mendasar dari ketiga novel yaitu penggambaran struktur keluarga. Keluarga yang dibangun oleh Ogawa Yoko mempunyai kemiripan dengan struktur keluarga tradisional Jepang namun tidak sama dengan struktur keluarga batih atau modern. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan pada penelitian ini difokuskan pada struktur keluarga yang dibangun oleh Ogawa Yoko di dalam tiga novelnya yaitu KAS, HAS, dan MNK.

Selain struktur keluarga di dalam ketiga novel yang memiliki struktur tersendiri juga menggambarkan adanya pemimpin atau kepala keluarga dari setiap keluarga. Penentuan siapa yang menjadi kepala keluarga atau kachou di dalam keluarga yang dibangun dalam ketiga novel ini dan bagaimana perjuangan tokoh-tokohnya untuk mendapatkan posisi di dalam ruang sosial juga menjadi bahasan dalam penelitian ini.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan struktur keluarga yang dibangun oleh Ogawa Yoko dalam tiga novelnya yaitu KAS, HAS, dan MNK. Kemudian untuk mengetahui penentuan kepala keluarga atau kachou serta perjuangan tokoh-tokohnya di dalam ruang sosial mereka.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah tiga novel karya Ogawa Yoko yang berjudul Kifunjin A no Sosei¸bE A «˜ (Kebangkitan Bangsawan A)

cetakan tahun 2002, Hakase no Aishita Suushiki P[!u~p(Rumus yang Dicintai Sang Profesor) cetakan tahun 2003, dan Miina no Koushin :B

(25)

Ogawa Yoko pada penelitian ini berdasarkan atas tema keluarga yang dimunculkan oleh Ogawa. Pada novel MNK secara jelas disebutkan pada ulasan mengenai novel ini di amazon.co.jp. bahwa novel MNK adalah novel yang menceritakan tentang keluarga. Sementara novel HAS adalah novel best seller yang banyak mendapatkan penghargaan hingga dibuatkan filmnya dan telah diteliti oleh Devi (2010) dengan kesimpulan bahwa novel ini mengisahkan tentang keluarga alternif yang ditawarkan Ogawa Yoko kepada masyarakat pembaca novelnya. Sedangkan novel KAS memiliki kemiripan dengan novel HAS dalam penggambaran bentuk keluarga. Selain itu ketiga novel ini memiliki tahun terbit yang hampir bersamaan mulai dari novel KAS tahun 2002, novel HAS tahun 2003 dan novel MNK tahun 2006 sehingga penggambaran keluarga Jepang dalam ketiga novel ini berada pada kisaran waktu yang berdekatan yaitu antara tahun 2003-2006. Tambahan lagi dari sekian banyak karya Ogawa Yoko, novel KAS, HAS, dan MNK adalah tiga karya yang paling dominan berbicara tentang keluarga mulai dari awal penceritaan hingga tamat sehingga ketiga novel ini dapat menjadi wakil dari penggambaran keluarga Jepang yang dituangkan oleh Ogawa Yoko ke dalam novel.

1.5 Tinjauan Pustaka

Pada tinjauan pustaka ini diulas beberapa hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan novel-novel Ogawa Yoko, penelitian karya sastra yang menggunakan konsep keluarga Jepang atau sistem ie dan penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

Ito Ujitaka (2004) menulis dengan judul Sonzai To Hisonzai no Aida No Tamerai: Ogawa Yoko No Aishita Suushiki dXÈdX!Å!&) Ì

j n  c ! u ~ p (Keraguan Antara Ada dan Tiada: Rumus yang Dicintai Ogawa Yoko). Tujuan dari penelitiannya tidak dinyatakan secara eksplisit, begitu juga metode yang digunakan. Ito langsung saja memulai pendahuluan dengan menganalisis motif-motif yang sering muncul dalam karya Ogawa Yoko, sehingga dapat terbaca bahwa pendekatan struktural lebih tepat dikenakan pada tulisan ini. Ito meneliti beberapa novel Ogawa dengan menjadikan novel Hakase

(26)

Universitas Indonesia

Profesor) sebagai acuan utama dan kemudian menelaahnya dengan 13 karya Ogawa lainnya. Dalam penelitian ini dapat diketahui motif-motif yang muncul dalam karya Ogawa Yoko dan diketahui pula kecendrungan fetisisme pada Ogawa.

Wada (2008) dalam tesisnya meneliti karya Ogawa dengan meminjam istilah ilmu biologi yaitu kata gen yang muncul dalam beberapa karya Ogawa dan memberi judul penelitiannya Ogawa Yoko Ron jnc¶(Konsep Ogawa).

Novel yang ditelitinya adalah Kanpekina Byoushitsu f—šg(Ruang Perawatan yang Sempurna), Ninshin Karendaa _ a 1 ? @ 6 B (Kalender Kehamilan), Hisoyakana Kesshou i ' £ „ (Kristal yang Diam), Rokkakei no Kobeya J±q!jÃl(Kamar Mungil Persegi Enam),

Kusuriyubi no Hyouhon ªz!ˆ…(Spesimen Jari Manis) dan Chinmoku HakubutsukanËP•É (Museum yang Sunyi). Wada menganalisis makna

kata gen pada setiap novel untuk memahami secara mendalam metafora-metafora yang muncul. Penelitian kata gen berdasarkan strukturnya tidak mengaitkan dengan keadaan sosial masyarakat Jepang yang menjadi latar penceritaan dari enam novel di atas.

Ito Ken (2000) dalam artikelnya berjudul The Family and the Nation in Tokutomi Roka's Hototogisu, meneliti bagaimana hubungan keluarga Jepang dalam sistem ie dikaitkan dengan negara dalam novel karya Tokutomi Roka. Tujuan penelitiannya untuk melihat bagaimana novel ini menegosiasikan wacana mengenai konstruksi keluarga pada masa pemerintahan Meiji dan di luar pemerintahan tersebut dalam merepresentasikan keluarga, gender dan kelas sosial. Pada penelitian ini sistem ie memang dijadikan salah satu konsep untuk menganalisis karya dengan pendekatan sosiologi sastra, namun hanya untuk menunjukkan bagaimana sistem ie ini tidak membawa kebahagiaan bagi individu yang menjadi bagian dari satu keluarga besar malah menjadikan individu tersebut bersikap sinis dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Konsep ie yang digunakan mengacu pada Kawashima Takeyoshi yang menulis buku berjudul Ideorogii to shite no Kazoku Seido (Sistem Kekeluargaan sebagai Ideologi).

(27)

pada Novel Hakase no Aishita Shuushiki Karya Ogawa Yoko. Tujuan penelitian tesis ini adalah untuk melihat perjuangan simbolik yang dilakukan oleh tokoh dalam membentuk keluarga alternatif. Pada bagian analisis dijelaskan bagaimana tokoh cerita berhasil mencapai tujuannya yaitu menjadi ayah alternatif. Penelitian ini memberikan pemahaman baru mengenai keberadaan keluarga alternatif dalam masyarakat Jepang dewasa ini. Metode yang dilakukan adalah dengan melihat struktur internal novel dan menentukan posisi para tokohnya dalam ruang sosial mereka. Teori yang digunakan adalah sosiologi sastra mengacu pada teori-teori yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu yaitu ruang sosial, habitus, kapital dan perjuangan simbolik. Penelitian ini memang mengkaji masyarakat Jepang dari segi sosiologinya, khususnya keluarga namun hanya diaplikasikan pada satu karya saja.

Bowen-Struyk (2004) menulis artikel yang merupakan inti sari dari disertasinya berjudul Revolutionizing the Japanese Family: Miyamoto Yuriko’s “The Family of Koiwai”. Sama halnya dengan Ken Ito, yang sudah disebut sebelumnya, Bowen-Struyk juga meneliti novel Jepang dengan menggunakan konsep keluarga yang dikemukakan oleh Kawashima Takeyoshi. Namun Bowen-Struyk lebih menekankan penelitiannya pada kelas sosial yang mengacu pada teori Marx dengan melihat bagaimana keluarga Jepang yang dilihat sebagai golongan proletar dalam naungan sistem ie berjuang mempertahankan ideologinya dalam melawan kapitalisme dan perburuhan. Karya Miyamito Yuriko yang berjudul The Family of Koiwai dijadikan sumber utama dalam penelitiannya. Di dalam analisisnya juga disinggung mengenai gender dan feminis terkait dengan sekuen yang muncul dalam karya yang dibahasnya.

1.6 Kerangka Teori

(28)

Universitas Indonesia

berdasarkan kepada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Yang dilihat dari sebuah karya adalah faktor-faktor yang berkaitan di luar sastra dengan mengabaikan teks sastra itu sendiri dan menjadikan teks tersebut sebagai gejala kedua atau epiphenomenon. Kelompok kedua bertolak belakang dengan yang pertama yaitu lebih menekankan teks sastra sebagai bahan analisis. Hal terpenting dan utama sekali dilakukan pada pendekatan ini adalah menganalisis teks untuk melihat strukturnya dan hasilnya digunakan untuk memahami lebih dalam gejala sosial yang tampak di luar sastra (p.3).

Wellek dan Warren (1993) mengklasifikasikan sosiologi sastra menjadi tiga kelompok yaitu pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Kedua isi karya sastra, tujuan serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra (p. 111). Namun kedua perumus teori ini lebih menekankan kepada analisis sastra secara intrinsik ketimbang ekstrinsik yang merupakan ciri khas dari pendekatan sosiologi sastra. Klasifikasi sosiologi sastra yang sesuai dengan tujuan penelitian adalah yang dirumuskan oleh Ian Watt yang mengatakan bahwa adanya hubungan timbal balik antara pengarang, karya dan masyarakat. Pengklasifikasian ini hampir sama dengan yang dibuat Wellek dan Warren yaitu terdiri dari tiga hal, pertama konteks sosial pengarang, kedua, sastra sebagai cermin masyarakat dan ketiga, fungsi sosial sastra. (dalam Damono, 2013).

(29)

Karya sastra yang merupakan bagian dari masyarakat, dapat dikaji atau ditelaah dengan sosiologi sastra. Untuk mengkaji karya sastra secara sosiologi sastra maka digunakan teori yang berhubungan dengan sastra dan sosiologi. Untuk teori yang berhubungan dengan sosiologi akan digunakan konsep ie dalam masyarakat Jepang dan konsep ruang sosial yang dikemukakan oleh sosiolog asal Perancis bernama Pierre Bourdieu.

1.6.1 Konsep Ie

(30)

Universitas Indonesia

Menurut Aruga (1959, p.6) tidak mudah untuk menentukan siapa yang pertama kali membuat ie dan atas dasar apa sebuah ie dibentuk. Ie yang ada dalam masyarakat Jepang diterima secara turun temurun, dijalankan oleh pewaris untuk kemudian diteruskan pada generasi setelahnya. Menurut Aruga (dalam Torigoe, 1988, p. 8) yang disebut dengan ie adalah,

Ie adalah adat istiadat khusus yang terdapat dalam masyarakat Jepang, yang maknanya berbeda dengan keluarga pada umumnya. … Ie adalah satu kelompok yang menjalankan usaha dari harta milik keluarga (kasan) dan merupakan usaha keluarga (kagyou). Melalui pemahaman mengenai hal ini maka sebagai satu unit di dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, maka tujuannya adalah kesinambungan dari ie dan setiap anggotanya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia secara turun-temurun.

Aruga menganggap ie adalah satu adat kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat Jepang dan memiliki ciri khas sendiri. Walaupun sepertinya ie terlihat sebagai sebuah keluarga, ie berbeda dengan pengertian keluarga pada umumnya sebagaimana pengertian keluarga yang berlaku pada masyarakat Barat. Ciri khas ie dan perbedaan ie dengan keluarga terletak pada sistem yang berjalan pada ie tersebut.

(31)

Pengelolaan harta ie dipimpin oleh seorang kepala keluarga yang disebut dengan kachou yang memiliki kekuasaan penuh atas kekayaan dan bisnis keluarga, demikian juga terhadap anggota yang tergabung di dalamnya. Kekuasaan yang dimiliki kachou terhadap ie-nya tidak membuat kachou dapat bertindak sewenang-wenang atas harta maupun anggota ie-nya karena ada aturan sendiri di dalam ie yang harus dipatuhi oleh kachou. Aturan tersebut terdapat dalam hak dan kewajiban kachou atau lebih dikenal dengan kachouken.

Kachou dibantu oleh istrinya yang disebut dengan shufu dalam pengelolaan ie. Kachou dan shufu sebagai inti atau dasar pembentuk dari ie memimpin kelompok yang disebut dengan seikatsu shudan yaitu kelompok yang bersama-sama menjalani kehidupan dan seikatsu kyoudoutai yaitu kelompok yang saling bekerja sama dalam menjalani kehidupan tersebut. Anggota yang tergabung dalam ie terdiri atas anggota yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan kachou, yaitu ayah dan ibu kachou, anak-anak dan cucu-cucu kachou serta saudara-saudara kachou beserta anak-anaknya, dan ada pula anggota yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan kachou. Anggota keluarga yang tidak memiliki hubungan darah dan hubungan kekerabatan disebut dengan houkounin atau orang yang mengikut pada ie. Walaupun setiap anggota ie mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan peraturan yang berlaku di dalam ie, kedudukan houkounin lebih rendah bila dibandingkan dengan anggota yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan kachou.

(32)

Universitas Indonesia

Gambar 1.1. Susunan Keanggotaan dalam Struktur Ie

(33)

kekerabatan dengan kelompok (A), sementara kelompok (C) sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan.

Untuk kelompok (C) ada yang tinggal serumah dengan kachou ada pula yang tinggal terpisah dan hanya datang untuk melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan bisnis ie-nya. Keluarga yang tergabung dalam kelompok (C) ini tidak selalu orang yang tidak dikenal sama sekali. Ditemukan juga houkounin pada satu ie adalah kerabat jauh dari kelompok (A).

Bila seorang kachou sudah merasa tidak mampu lagi memimpin ie-nya atau meninggal dunia maka yang berhak menjadi pengganti kachou adalah anak laki-lakinya yang sulung. Bila kachou tidak mempunyai anak laki-laki, maka ie tersebut dapat mengangkat anak atau youshi untuk dijadikan calon kachou, dan tidak ditentukan apakah yang dicalonkan menjadi pengganti kachou tersebut memiliki hubungan darah atau tidak dengannya. Kachou juga dapat mengangkat menantu laki-lakinya untuk menjadi penggantinya yang dikenal dengan istilah mukoyoushi. Dengan berjalannya sistem pewarisan di dalam ie, maka akan terjamin kesinambungan dari ie. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Aruga bahwa tujuan ie adalah menjaga kesinambungan ie dan anggotanya yang sudah meninggal dunia, yang masih hidup, dan yang akan lahir.

1.6.2 Konsep Ruang Sosial

(34)

Universitas Indonesia

Bourdieu menganalisisnya dengan menggunakan model struktur imanen yaitu menganalisis ruang sosial dalam karya sastra secara tekstual. Analisis yang dilakukan oleh Bourdieu sangat berhasil dan membawa pencerahan dalam pembacaan sebuah karya sastra. Berikut ini dijelaskan lebih jauh mengenai Bourdieu dan teorinya.

Bourdieu dikenal sebagai seorang filsuf, sosiolog, etnolog, dan antropolog. Ketika ditanyakan kepadanya apakah dirinya seorang sosiolog atau antropolog, Bourdieu malah menjawab bahwa dia adalah seorang filsuf. Dari pernyataan Bourdieu tersebut dapat dikatakan bahwa Bourdieu memperhatikan dan meneliti banyak hal secara mendasar sebagaimana yang dilakukan oleh para filsuf kemudian memikirkan secara kritis hingga melahirkan pemikirannya sendiri. Karya Bourdieu memiliki cakupan yang luas dalam berbagai bidang mulai dari politik, pendidikan, budaya, seni, media, hingga sastra. Pemikiran-pemikiran Bourdieu dipengaruhi oleh beragam ilmu dari pemikir besar seperti Aristoteles, Hegel, Marx, Durkheim, Max Weber, Husserl, Ferdinand de Saussure dan lain-lain. Bourdieu menggabungkan pemikiran-pemikiran besar tersebut kemudian merumuskan pemikirannya sendiri.

Sebagai seorang sosiolog Bourdieu juga melakukan penelitian untuk menjawab permasalahan besar di dalam sosiologi yaitu bagaimana masyarakat terbentuk. Pertanyaan besar ini diteliti, dirumuskan, dan dijawab oleh banyak ahli sejak zaman Sokrates hingga sekarang ini. Teori yang dirumuskan oleh Bourdieu disebutnya bukan sebagai teori melainkan sebuah metode untuk menganalisis praktik sosial. Pemikiran Bourdieu unik dan berbeda dengan pemikiran para ahli sebelumnya. Pemikiran Bourdieu didasarkan pada pemikiran pendahulunya yang memperdebatkan dualisme yang saling bertentangan, yaitu subjektivisme dan objektivisme, strukturalisme dan kulturalisme, struktur dan agensi, kesadaran dan ketidaksadaran, material dan simbolik, dan lain sebagainya.

(35)

dalam memberikan persepsi tentang dunia sosial berdasarkan ego, rasionalitas dan kerangka ideologis yang dimilikinya.

Sedangkan objektivisme adalah cara pandang yang terlalu menekankan struktur objektif dan mematikan peran subjek yang dapat merasa, menerangkan, dan membangun struktur. Pada objektivisme struktur objektif adalah prioritas utama dan meniadakan tindakan dan pengalaman individu sehingga terdapat pemisahan antara pengamat dengan yang diamati. Pemisahan ini mengakibatkan juga terjadinya pemisahan antara pengetahuan teoritis dengan praktis sehingga struktur objektif lepas dari kesadaran dan keinginan individu. Bila individu merepresentasikan perasaan dan kesadarannya maka dinilai sebagai sesuatu yang tidak objektif. Pada objektivisme, sesuatu yang dapat terukur dan bersifat ajeg, universal, dan stabil dari satu tatanan objektif menjadi titik tolak dalam memahami realitas sosial.

Bourdieu menilai dualisme antara subjektivisme dan objektivisme tidak mampu lagi untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah sosial. Diperlukan penjelasan relasional yang dapat menunjukkan hubungan saling mempengaruhi antara agen (individu) dan struktur karena agen dan struktur bukanlah dua hal yang dapat dipisahkan begitu saja karena keduanya saling mempengaruhi dalam satu proses yang kompleks sehingga terjadi satu praktik sosial. Baik agen maupun struktur sama pentingnya dalam menjelaskan realitas sosial sehingga tidak ada pemisahan antara teori dan praktik. Oleh Bourdieu, agen dan struktur dipertemukan dalam interaksi dialektis yang melahirkan praktik sosial. Bourdieu merumuskan pemikirannya sendiri yang melibatkan kedua aspek tersebut dalam konsep antara lain habitus, field, modal, kekerasan simbolik, dan strategi. Pada bagian selanjutnya dijelaskan tiga konsep yang dikemukakan Bourdieu yaitu habitus, ranah (field) dan modal.

(36)

Universitas Indonesia

bebas untuk bertindak dan bersikap dalam keseharian kita, sementara secara sosial kita bertindak berdasarkan aturan dan norma yang berlaku dalam lingkungan sosial tersebut. (Grenfell, 2010, p. 50). Habitus yang dimaksud oleh Bourdieu dijelaskan sebagai berikut,

The habitus is a set of dispositions which incline agents to act and react in certain ways. The dispositions generate practices, perceptions and attitudes which are ‘reguler’ without being consciously co-ordinated or governed by any ‘rule’. The dispositions which constitute the habitus are inculcated, structured, durable, generative and transposable.

Habitus adalah serangkaian kecendrungan (disposisi) yang mendorong pelaku sosial (agen) untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Kecendrungan-kecendrungan ini menumbuhkan praktik-praktik, persepsi-persepsi dan perilaku yang ‘teratur’ tanpa dikoordinasikan secara sadar atau tanpa diatur oleh ‘peraturan’. Kecendrungan-kecendrungan yang terdapat dalam habitus bersifat tertanam, terstruktur, bertahan lama, berkembang dan dapat berpindah-pindah. (Thompson, 2007, p. 12).

Habitus yang dimaksudkan oleh Bourdieu ini merupakan satu kencendrungan yang dimiliki oleh agen. Habitus ini dapat disebut sebagai interior atau atribut yang melengkapi diri seorang agen, yang digunakan ketika berinteraksi di dalam dunia sosial atau ketika melakukan praktik sosial. Habitus tidak serta merta melekat dalam diri agen melainkan tertanam di dalam dirinya berdasarkan pengalaman dan pendidikan yang dimulai dari masa kecil. Penanaman habitus terlihat dalam pengasuhan dan pendidikan seorang anak dalam tata krama sehari-hari pada keluarga seperti bagaimana bersikap ketika makan yaitu duduk yang manis dan tidak boleh berbicara dalam keadaan mulut penuh terisi makanan, ketika bertemu dengan orang yang lebih tua dengan memberikan salam dan mencium tangan, ketika akan tidur menyikat gigi, dan lain sebagainya. Dengan penanaman tata krama seperti dijelaskan di atas kepada agen maka akan membentuk tubuhnya secara spontan bereaksi bila berada di dalam situasi tersebut sehingga membuat kecendrungan tersebut terlihat alami.

(37)

masyarakat tertentu yang memiliki latar belakang yang sama seperti latar budaya, ekonomi, dan sosial. Kecendrungan pada masyarakat kelas menengah akan berbeda dengan masyarakat ekonomi lemah. Sehingga perbedaan dan persamaan yang tercermin dalam habitus seorang agen dapat menentukan dari mana agen tersebut berasal.

Kecendrungan yang telah terstruktur di dalam diri agen bersifat tahan lama dan mendarah daging di dalam tubuh agen sehingga kecendrungan tersebut akan muncul secara spontan tanpa disadari oleh agen tersebut. Kecendrungan ini tidak bersifat menetap karena dapat berkembang dan berubah-ubah seiring dengan berkembang dan berubahnya praktik-praktik sosial dan persepsi agen terhadap lingkungan sekelilingnya. Hal ini dapat terjadi karena habitus melengkapi agen dengan perasaan bagaimana bertindak dan merespon berbagai hal dalam kehidupannya sehari-hari. (Thompson, 2007, p. 13).

Habitus adalah kepunyaan dari agen sosial baik itu individu, grup maupun institusi, yang terstruktur dan berstruktur. Struktur dibentuk oleh kondisi masa lalu dan sekarang, seperti pengasuhan dalam keluarga dan pengalaman pendidikan yang dilalui atau dijalankan. Habitus tidak bekerja sendiri. Praktik adalah hasil dari relasi habitus situasi atau kondisi saat ini. Habitus berlaku di tempat yang nyaman untuk melakukannya dan akan terus dilakukan dalam situasi tertentu. (Grenfell, 2010).

Individu atau agen melakukan praktik sosial dalam konteks atau tatanan sosial tertentu yang disebut dengan ranah atau field. Ranah terbentuk didasari oleh habitus sementara ranah sendiri adalah tempat di mana habitus bekerja. Ranah ini terbentuk secara spontan sebagai hubungan yang terstruktur dan secara tak sadar mengatur posisi agen atau kelompok dalam masyarakat. Bourdieu mendefinisikan ranah sebagai berikut,

(38)

Universitas Indonesia

Dari segi analitik, ranah dapat didefinisikan sebagai jaringan atau konfigurasi dari hubungan obyektif antara posisi-posisi. Posisi ini secara obyektif didefinisikan di dalam keberadaannya dan ketentuannya yang memaksa penghuninya baik agen ataupun lembaga, berdasarkan situasi dan potensi mereka (situs) dalam struktur distribusi dari jenis kekuasaan (atau modal) yang memiliki akses untuk mengatur keuntungan khusus yang dipertaruhkan di dalam ranah, sebagaimana dengan relasi objektif pada posisi lain (dominasi, subordinasi, homologi, dll). (Bourdieu, 1992, p. 97)

Definisi mengenai ranah yang diungkapkan oleh Bourdieu dengan bahasa yang cukup rumit untuk diterjemahkan ini dapat dipahami bahwa ranah adalah satu jaringan yang terbentuk dari hubungan posisi-posisi dalam tatanan sosial. Di dalam ranah ini terjadi perebutan kekuasaan untuk mendapatkan posisi-posisi yang diinginkan. Agar dapat memperoleh posisi yang diinginkan, maka baik agen maupun kelompok atau lembaga akan berjuang dengan mempertaruhkan sejumlah modal yang mereka miliki. Di dalam ranah juga berlangsung perjuangan untuk memelihara atau mengubah distribusi dari modal khusus yang dapat memelihara atau mengubah posisi agen atau lembaga di mana mereka berlokasi di dalam struktur ruang posisi. (Thompson, 2007, p. 14).

Di dalam ranah terdapat sebuah permainan yang mempunyai peraturan yang mengikat. Permainan ini dilengkapi dengan perangkat yang digunakan sebagai taruhan yaitu modal. Modal ini digunakan untuk menentukan posisi para agen di dalam permainan tersebut. Setiap jenis modal memiliki keunggulan tertentu yang dapat menaikkan posisi agen pemilik modal tersebut. Modal adalah satu hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan karena dengan modal tersebut dapat menjadi alat bagi pemiliknya untuk memegang kekuasaan di dalam ranah tertentu. Agen-agen di dalam ranahnya akan bekerja untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda atau tidak sama dengan pesaingnya. Agen-agen ini berusaha meminimalisir persaingan agar mereka dapat memonopoli modal pada bidang tertentu. (Bourdieu, 1992, p.100). Ranah terbentuk berdasarkan sistem yang ada di dalam tatanan sosial sehingga terbentuk lapisan-lapisan dan di setiap lapisan tersebut terdapat posisi yang dominan dan terdominasi.

(39)

modal tersendiri yang khas di dalam ranahnya. Setiap agen bebas berjuang untuk memperebutkan posisi di dalam ranahnya berdasarkan modal yang dimilikinya. Agen di dalam permainannya tidak dikenakan peraturan yang berada di luar ranahnya. Agen dapat memasuki satu ranah karena memiliki modal khusus yang dapat dipertaruhkan di dalam ranah tersebut. Bourdieu (1992) menjelaskan lebih lanjut bahwa agen yang sudah mendapatkan posisi tertentu mempunyai habitus tertentu pula. Oleh karena itu sebelum agen menduduki satu posisi perlu diketahui sejarahnya atau trajektorinya dan bagaimana agen itu dapat mencapai posisi tersebut, apa modal yang dimiliki dan habitus yang digunakan sehingga berada dalam ranah. Hal ini dimungkinkan karena agen adalah produk sejarah.

Modal atau kapital yang telah disinggung pada bagian sebelumnya adalah satu istilah ekonomi yang digunakan oleh Bourdieu untuk menjelaskan konsepnya. Modal yang dimaksudkan oleh Bourdieu tidak hanya berupa modal yang kasat mata seperti yang umum dikenal di dalam istilah ekonomi, namun juga terdiri dari modal yang tidak bersifat materi. Modal yang dimaksud oleh Bourdieu adalah “semua jenis barang, baik material maupun simbolik, tanpa pembedaan, yang menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang langka dan berharga untuk dikejar dan dicari di dalam suatu formasi sosial tertentu” (Harker, 2009, p. 16). Modal tersebut terdiri dari empat kategori yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik.

Makna dari modal ekonomi ini sama dengan makna yang digunakan dalam istilah perekonomian yaitu benda materi yang bersifat ekonomis. Modal ekonomi berbentuk tanah, pabrik, mesin-mesin, dan kumpulan kekayaan ekonomi seperti keuntungan, warisan, saham, uang, alat pembayaran, gaji dan benda materi lainnya. Modal sosial adalah kumpulan relasi-relasi sosial yang mengatur para pelaku sosial yang terdiri dari individu atau kelompok seperti relasi, network, keluarga, agama, dan warisan budaya. Bentuk modal sosial ini adalah jaringan informasi, norma-norma sosial, dan kepercayaan yang menimbulkan kewajiban dan harapan.

(40)

Universitas Indonesia

berbusana. Bentuk berikutnya dari modal budaya ini adalah ilmu pengetahuan, selera, estetika, bahasa, dan kekayaan budaya seperti, buku-buku, instrumen musik, benda seni, mesin-mesin canggih dan sebagainya. Bentuk terakhir adalah yang bersifat institusional seperti gelar akademik, ijazah atau sertifikat beserta kualitas intelektual yang menyertainya.

Modal simbolik adalah akumulasi kehormatan dan penghargaan. Modal ini tidak terlihat dan dapat dimiliki dalam bentuk pengakuan dan otoritas. Seperti seseorang yang memiliki modal budaya yaitu gelar sebagai seorang profesor yang dalam penerapan keahliannya bersifat modal simbolik yaitu berhak dan memiliki otoritas untuk menentukan kebenaran dalam tingkat tertentu. Modal simbolik ini mencakup prestise, status dan otoritas. (Harker, 2009, p. 16) dan (Grenfell, 2010, p. 69).

Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa modal yang dimiliki agen dapat digunakan untuk menentukan posisi di dalam ranah, sehingga jumlah dan struktur modal yang dimiliki tidak hanya dilihat pada saat ini saja tapi juga mengacu pada trajektori modal (perjalanan memperoleh modal tersebut) dan disposisi atau habitus agen. Modal ini dapat ditambah, dipertahankan dan dapat disalingtukarkan dengan modal jenis lain. (Bourdieu, 1992, p. 99).

Pemikiran Bourdieu selanjutnya adalah ruang sosial yang terdiri dari kumpulan-kumpulan ranah yang memiliki hubungan satu sama lain. Bourdieu menjelaskan ruang sosial sebagai berikut,

!The social world can be represented in the form of (multidimensional) space constructed on the basis of principles of differentiation or distribution constituted by the set of properties active in the social universe under construction, that is, able to confer force or power on their possessor in the universe. Agents and group of agents are thus defined by their relative positions in this space. In so far as the properties chosen to construct this space are active properties, the space can also be described as a field of force: in other words, as a set of objective power relations imposed on all those who enter this field, relations which are not reducible to the intensions of individual agents or even to direct interactions between agents. (Bourdieu, 2007, p. 229-230)

(41)

mengubah kepemilikannya di semesta. Agen dan kelompok agen dinyatakan oleh hubungan kepemilikannya di dalam semesta. Benda-benda pilihan yang dibentuk di semesta, merupakan Benda-benda aktif, sehingga ruang dapat digambarkan sebagai kekuatan dari ranah, dengan kata lain Benda-benda ini adalah seperangkat relasi kekuatan objektif yang ditentukan oleh mereka yang memasuki ranah, yang hubungannya tidak dapat direduksi oleh keinginan agen atau bahkan oleh interaksi langsung antaragen (Bourdieu, 2007, p. 229-230).

Di dalam ruang sosial yang terdiri dari berbagai ranah ditempati oleh agen-agen atau kelompok agen yang memiliki aturan tertentu dan benda-benda tertentu. Benda-benda tertentu ini adalah kumpulan modal yang dimiliki oleh para agen. Modal-modal tersebut bermanfaat dalam ranah yang ditempati oleh agen seperti, ranah ekonomi, ranah pendidikan, ranah seni dan lain sebagainya. Ranah-ranah ini kemudian membentuk ruang sosial tertentu sehingga ruang sosial merupakan konstruksi yang dibuat manusia, yang di dalamnya disusun atau diatur keyakinan para penghuni ranah tersebut. Agen yang menempati satu posisi tertentu di dalam ranahnya, mengerti bagaimana seharusnya bersikap dalam ruang sosial tersebut. Dalam ruang sosial itu terbagi ke dalam kelompok yang dominan dan yang terdominasi. Agen yang memiliki berbagai modal dapat berada dalam multi ruang sekaligus. Agen dapat menempati lebih dari satu ruang sosial dalam satu waktu yang persamaan. (Grenfell, 2010, p.70)

(42)

Universitas Indonesia

Gambar 1.2. Gambar Ruang Sosial

Gambar 1.2. adalah ruang sosial yang digambarkan oleh Bourdieu. Gambar ini dibuat berdasarkan gambar yang terdapat dalam Grenfell, 2010, p. 72. Bourdieu menjelaskan bahwa pada ruang sosial terdapat dua kutub seperti yang terlihat pada gambar 1.2. Kutub tersebut terdiri dari dua poros yaitu poros vertikal dan horizontal. Poros ekonomi digambarkan secara vertikal, semakin banyak modal ekonomi yang dimiliki maka posisi agen akan mengarah ke atas atau wilayah positif, semakin sedikit modal ekonomi yang dimiliki maka posisi agen mengarah ke bawah atau wilayah negatif.

(43)

Modal ekonomi sebagai dasar dapat dipertukarkan dengan modal jenis lain termasuk dengan modal budaya. (Grenfell, 2010. p.72).

Sebagai contoh, seorang yang memiliki uang yang termasuk dalam modal ekonomi, dapat menempuh pendidikan tinggi hingga meraih gelar dan memperoleh ijazah yang termasuk dalam modal budaya. Modal ekonomi yang dipertaruhkan kemudian dapat digunakan untuk meraih modal budaya yaitu ijazah. Gelar dan ijazah yang diperoleh juga dapat digunakan untuk memperoleh modal ekonomi kembali yaitu dengan bekerja dan menerima gaji.

1.7 Metode Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kajian kepustakaan dan meneliti teks dari novel sebagai sumber data utama atau data primer dan teks-teks dari sumber lain yang terkait sebagai data penunjang. Langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah pertama menggambarkan perjuangan yang dilakukan oleh salah satu tokoh dari setiap novel sehingga diketahui posisi masing-masing tokoh di dalam ruang sosialnya. Kemudian menganalisis struktur keluarga yang dibangun oleh Ogawa Yoko di dalam ketiga novelnya dengan menggunakan konsep ruang sosial yang dikemukakan oleh Bourdieu dan konsep-konsep yang ada dalam sistem ie yang dikemukakan oleh Aruga Kizaemon. Bourdieu (1992, p.4-5) menjelaskan bahwa untuk menganalisis data termasuk karya sastra menggunakan teori ruang sosial yang dikemukakannya, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Menganalisis posisi dari ranah dan kekuatan ranah.

2. Menggambarkan relasi struktur objektif antara posisi yang ditempati oleh agen atau institusi yang kompeten untuk menentukan bentuk legitimasi yang memiliki otoritas khusus (modal khusus) di dalam ranah.

3. Menganalisis habitus agen, disposisi yang menentukan jenis modal ekonomi dan budaya, dan menemukan trajektori di dalam ranah.

(44)

Universitas Indonesia

diperlukan konsep-konsep dasar yang dikemukakan Bourdieu di dalam teori praktik sosialnya yaitu habitus, modal dan ranah. Mengenai penerapan teori Bourdieu pada karya sastra, telah dilakukan sendiri oleh Bourdieu pada karya sastra Perancis yang terkenal yaitu novel berjudul Sentimental Education yang ditulis oleh jawara sastra Perancis, Gustave Flaubert. Alasan Bourdieu (1993, p.145) memilih karya ini adalah novel ini adalah novel yang luar biasa, di dalamnya terkandung analisis ruang sosial di mana penulisnya juga berada sehingga dapat membantu memberikan instrumen-instrumen yang dibutuhkan untuk menganalisis pengarangnya sendiri.

Bourdieu memulai analisis karya sastra dengan memaparkan ringkasan cerita dari novel Sentimental Education yang dimuat di dalam buku pelajaran sastra di sekolah-sekolah di Perancis. Hal ini dilakukan Bourdieu untuk membedakan pembacaan dengan model Bourdieu dan pembacaan yang diterima secara umum oleh masyarakat Perancis. Dalam ringkasan cerita ini Bourdieu belum menggunakan analisisnya sama sekali.

Ringkasan cerita dari novel Sentimental Education diawali dengan tokoh ceritanya. Tokoh utama Frederic Moreau adalah seorang mahasiswa di Paris pada tahun 1840, yang tertarik dengan bidang seni. Kemudian Frederic berinteraksi dengan seniman-seniman di Paris. Sementara itu Frederic juga ingin menjadi orang kaya sehingga berhubungan dengan orang yang berkecimpung dalam dunia bisnis perbankan. Dalam interaksi dengan dunia seni Frederic jatuh cinta kepada Madame Arnoux yang merupakan istri dari seorang seniman. Dalam kekecewaanya karena sikap Madame Arnoux, Frederic kemudian menjalin hubungan dengan Madame Dambreuse yang merupakan istri bankir kaya (Bourdieu, 1995, p. 35-36).

(45)

Gambar 1.3. Ruang Sosial Tokoh Frederic dalam Novel Sentimental Education

(46)

Universitas Indonesia

orang-orang di sekelilingnya untuk mendapatkan posisi yang diinginkannya di dalam ruang sosial.

Kemudian Bourdieu menjelaskan mengenai ranah kekuatan yang menjadi arena perjuangan bagi para pelaku sosial. Ranah kekuatan ini adalah arena perjuangan untuk mendapatkan posisi dominan dalam ranahnya. Dalam analisis yang dilakukan Bourdieu terhadap novel Sentimental Education dapat dipahami adanya perjuangan simbolik antara seniman dan “borjuis” pada abad kesembilan belas guna mendapatkan posisi dominan.

Metode yang digunakan Bourdieu dalam menganalisis novel Sentimental Education di atas digunakan pula dalam analisis pada penelitian ini terutama dalam penggambaran ruang sosial dan perjuangan para tokoh menduduki satu posisi di dalam ruang sosialnya.

1.8 Sistematika Penelitian

(47)

2.1. Sistem Kekerabatan dalam Masyarakat Jepang

Setiap masyarakat di belahan bumi mana pun di dunia ini hidup berkelompok membentuk keluarga sehubungan dengan keluarga adalah satu unsur terkecil dalam struktur masyarakat. Dalam keluarga bernaung individu-individu yang memperoleh dukungan dari individu lain agar dapat bertahan hidup dalam lingkungan kecil kemudian dalam lingkungan yang lebih besar yaitu masyarakat. Kelompok masyarakat di muka bumi ini membentuk satu sistem kekerabatan atau sistem kekeluargaan tersendiri dengan menunjukkan ciri khas masing-masing. Pada belahan bumi bagian Barat dan Timur terdapat perbedaan sistem kekeluargaan bahkan perbedaan itu terlihat bertolak belakang. Seperti pada negara-negara Barat, bila sepasang anak muda sudah diikat dalam satu ikatan perkawinan yang sah, biasanya mereka akan hidup berdua, memisahkan diri dari orang tua mereka masing-masing dan membentuk satu keluarga kecil yang dikenal dengan istilah keluarga batih atau nuclear family. Anggota keluarga batih ini hanya terdiri dari suami istri dan anak-anak yang belum menikah. Pada negara bagian Timur ada kebiasaan yaitu pasangan suami istri yang sudah menikah tetap hidup satu atap bersama orang tua mereka, apakah itu di rumah orang tua laki-laki atau di rumah orang tua perempuan. Pasangan ini tergabung dalam satu keluarga yang disebut dengan keluarga besar atau extended family. (Goode, 2007, p. 90) Mengenai keluarga secara umum didefinisikan oleh Morioka sebagai berikut.

f}"^b½@/\˜°c0(i{! µ°ª/5¯…vV,sq¬R y *-Ÿ1‡• š¶Œ!¿Z,.

Keluarga adalah satu kelompok yang didasari oleh hubungan suami istri, dengan tujuan mencari kesejahteraan yang didukung oleh jalinan rasa kasih sayang sesama anggotanya yang terdiri dari orang tua dan anak-anak, saudara kandung dan beberapa kerabat dekat. (Morioka, 1993, p.1)

Gambar

Gambar 1.1. Susunan Keanggotaan dalam Struktur Ie
Gambar 1.2. Gambar Ruang Sosial
Gambar 1.3. Ruang Sosial Tokoh Frederic dalam Novel Sentimental Education
Gambar 3.1. Ruang Sosial Bibi Yuli Ketika Tuan H Masih Hidup.
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dalam rangka meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas pada Kantor Pengelolaan Taman Pintar Kota Yogykarta, sehingga berdaya guna dan berhasil guna serta

Komposisi musik yang tergolong ke dalam bentuk komposisi baru mengaplikasikan sebuah sastra kedalam sebuah musik dengan menggunakan beberapa teori penggarapan dari

Pada populasi standar sebesar 0.2 % dengan peluang penerimaan minimal 95%, maka dari 60 tanaman contoh jumlah maksimum tanaman tipe simpang yang diperbolehkan adalah tiga

Pronoyudo Areng-areng Dadaprejo Junrejo Batu M 0341-531400 Bahasa Inggris 48 MUHAMMAD MASALAKIN - MTs Persiapan Negeri batu Jl. Pronoyudo Areng-areng Dadaprejo Junrejo Batu

Untuk memahami perubahan panas total pada cooling tower, kita asumsi tower yang didesain untuk mendinginkan 120 gpm (1000lb/min) water dari 85 F ke 70 F dengan temperatur bola basah

Ketika akun medsos milik Kementerian Kominfo sedang melakukan postingan tentang kebijakan pemerintah pusat, pada waktu yang bersamaan akun medsos milik Pemerintah

Pada format eksplanasi survei, peneliti diwajibkan membangun hipotesis penelitian dan menguji di lapangan karena format penelitian ini bertujuan mencari hubungan sebab-akibat