• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Tindak Pidana menurut Wirjono Projodikoro yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Pelaku itu dikatakan sebagai subjek

tindak pidana.32

32

E.Y Kanter, dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannnya, Storia Grafika, Jakarta 2002, halaman 209.

sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana.33

Tindak pidana terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.34 Unsur subjektif

adalah unsur yang berasal dari diri pelaku yaitu kesalahan dari orang yang melanggar aturan-aturan pidana artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sipelanggar. Unsur objektif merupakan unsur dari luar pelaku. Unsur objektif

tersebut meliputi :35

1. Perbuatan manusia yaitu perbuatan yang positif atau suatu perbuatan yang

negatif yang menyebabkan pidana.

2. Akibat perbuatan manusia yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan atau

membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum.

3. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa terdapat pada

waktu melakukan perbuatan.

4. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu melawan

hukum, jika bertentangan dengan undang-undang.

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana meliputi:36

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacthe raad seperti yang misalnya

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan

tindak pidana menurut Pasal 380 KUHP.

33

M. Hamdan, Tindak Pidana Suap dan Money Politic, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, halaman 8.

34

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Gradika, Jakarta, 2005, halaman 9.

35

M. Hamdan, Op Cit, halaman 10. 36

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Halaman 194.

Ada dua aliran berbeda pandangan terhadap unsur-unsur tindak pidana yaitu

aliran monisme dan aliran dualisme. Aliran monisme memandang antara unsur

subjektif (pelaku/pembuat pidana) dengan unsur objektif (perbuatan) tidak perlu

dilakukan pemisahan sedangkan aliran dualisme memandang perlu untuk

dipisahkan.37

Perbedaan mendasar dari pertentangan antara monisme dan dualisme tentang

delik terletak dalam pembahasan mengenai perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana. Aliran monisme sepakat menyatakan bahwa kesengajaan

merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari perbuatan. Perbuatan itu adalah kelakuan yang dikendalikan secara sadar oleh kehendak yang diarahkan kepada

akibat-akibat tertentu.38

Moeljatno menganut pandangan dualisme yaitu pengertian perbuatan pidana

tidak meliputi pertanggungjawaban pidana, Moeljatno memebedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidana orangnya dan beliau memisahkan

pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.39

Kemampuan bertanggung jawab melekat pada unsur subjektif, dan tidak pada unsur objektif, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya

37 PrayitnoImanSantos 38

Arfan Efendi, dimensilmu.blogspot.com/2013/07/unsur-unsur-tindak-pidana, di akses pada tanggal 4 juli 2014, pkl 17.00 WIB.

39

Edi Setiadi. dan Dian Andriasari, Perkembangan Hukum Pidana DI Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013, Halaman 62.

memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan (adanya)

pembuatnya, atau dapat dipidana pembuatnya. Dari padangan demikian, kemampuan

bertanggungjawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana.40

Penganut monoisme tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana

dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Unsur yang mengenai diri orangnya

bagi penganut dualisme, yakni kesalahan dan adanya pertanggungjawaban pidana

sebagai bukan unsur tidak pidna melainkan syarat untuk dapat dipidananya,

sedangkan menurut paha monoisme juga merupakan unsur tindak pidana.41

Paham monoisme ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan

syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana.

42

oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang)

tidak dipisah sebagaimanamenurut paham dualism.43

Aliran dualisme membedakan antara perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, kesalahan merupakan unsur subjektif yang menjadi unsur pertanggungjawaban pidana. Karena itu, kesalahan

40

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan batas berlakunya hukum pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, halaman 73.

41Ibid, halaman 76. 42Ibid.

tidak mungkin dimasukkan dalam perbuatan pidana yang hanya mengandung unsur objektif saja sehingga perbuatan pidana hanya dapat dilarang. Adapun pemidanaan ditujukan kepada pembuat atau subjek hukum pidana yang dinyatakan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan dilakukannya.

Subjek tindak pidana adalah pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut. Subjek hukum pidana dalam KUHP adalah manusia. Pandangan klasik ini

berpendapat bahwa subjek tindak pidana adalah orang pribadi. Namun, menurut perkembangan zaman subjek tindak pidana dirasakan perlu diperluas termasuk badan

hukum.44

Korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan dikalangan ahli hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasa dalam hukum lain khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa belanda disebut rechts person, dan dalam bahasa inggris disebut legal entities atau corporation.

Badan hukum itu juga disebut dengan korporasi dalam arti sempit, sedangkan korporasi dalam arti luas juga meliputi badan tidak berbadan hukum. Pengembang perumahan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman harus berbadan hukum, dalam hal ini berarti pengembang perumahan adalah korporasi berbadan hukum (selanjutnya disebut korporasi/pengembang perumahan) yang merupakan subjek hukum pidana.

45

44

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, halaman 54. 45

Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi (buku 1), Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008, halaman14.

Pengembang Perumahan merupakan pelaku usaha berbadan hukum yang statusnya adalah subjek tindak pidana.

Korporasi merupakan badan hukum yang beranggotakan, tetapi mempunyai hak dan kewajiban anggota masing-masing. Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak lepas dari modernisasi social. Modernisasi sosial

dampaknya pertama harus diakui bahwa semakin modern masyarakat itu dan semakin kompleks sistem sosial, ekonomi dan politik yang terdapat disitu, maka kebutuhan

akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula.46

J.C. Smith dan Brian Hogan berpendapat bahwa korporasi tidak bisa melakukan tindakan-tindakan hukum tanpa melalui orang-orang tertentu sedangkan Chidir Ali menyatakan bahwa hukum memberi kemungkinan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang pembawa hak, dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa serta dapat dipertanggunggugatkan. Namun demikian, badan hukum (korporasi) bertindak harus dengan perantara orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu

tidak untuk dirinya sendiri melainkan untuk dan atas pertanggunggugatan korporasi.47

Badan hukum secara hukum pada prinsipnya harta bendanya terpisah dari harta benda pendirinya/pemiliknya. Karena itu tanggungjwab secara hukum juga dipisah dari harta benda pribadi pemiliknya. Dalam hukum dikenal beberapa teori

46

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, halalaman 43.

47

tentang suatu badan hukum yang menyebabkan eksistensinya terpisah dari pendirinya/pemiliknya dengan berbagai konsekuensi yuridis dari keterpisahan

tersebut.48 Beberapa teori tantang badan hukum perusahaan yang relevan dengan

penelitian ini, yaitu sebagai berikut :49

48

Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Halaman 3.

49Ibid, Halaman 4. 1. Teori fiksi

Teori fiksi (fiction theory) disebut juga sebagai teori kesatuan semu (artificial

sntity theory). Teori ini mengajarkan bahwa perusahaan hanya ciptaan dan khayalan manusia, dan dianggap ada oleh manusia. Jadi, tidak terjadi secara alamiah. Badan hukum hanyalah sebagai makhluk yang diciptakan oleh hukum (creature of law)

2. Teori realistis

Teori realistis (realist theory) ini sering juga disebut sebagai teori organ (organ

theory) yang menganggap bahwa keberadaan badan hukum dalam tata hukum sama saja dengan keberadaan manusia sebagai subjek hukum. Jadi, badan hukum bukanlah khayalan dari hukum sebagaimana diajarkan oleh teori fiksi,

melainkan benar (realist) ada dalam kehidupan hukum.

Sealiran dengan teori realistis, maka teori ciptaan diri sendiri ini, (Self ceating)

atau autopoietic, merupakan teori yang mengajarkan bahwa perusahaan

hanyalah merupakan 1 (Satu) “unit” yang tercipta dengan sendirinya, bukan ciptaan hukum dan bukan juga fiksi, melainkan benar-benar ada dalam

kenyataan (real personality).

Korporasi sebagai pelaku tindak pidana sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia mengatur hal tersebut. Beberapa teori hukum yang berpengaruh terhadap batas-batas penetapan badan hukum sebagai

pelaku tindak pidana dapat dikemukakan dari beberapa teori berikut :50

Ajaran yang bertendensi “psikologis” dari J. Remmelinkyang berpendapat

bahwa hukum pidana memandang manusia sebagai makhluk rasional dan

berasusila (redelijk zedelijk wezen). Remmelink memilih cara pendekatan atas

hukum pidana yang bersifat “psikologis”, maka hampir tidak mungkin dapat untuk menggariskan batas-batas penetapan badan hukum sebagai pelaku. Hal ini terjadi karena dengan pendekatan “psikologis”, permasalahan dapat atau tidaknya badan hukum dipidana tidak mungkin ditempatkan dalam rangka dogmatik hukum pidana yang berlaku. Hal ini juga menimbulkan permasalahan bahwa menurut pandangan ini, pemidanaan harus didasarkan pada unsur

1. Teori Remmelink

50

Priyanto Dwidjaya, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, 2004, halaman 59.

kehendak manusia. Hal ini dapat menimbulkan masalah apabila yang harus dipidana adalah badan hukum. Dapat ditemukan penulis-penulis yang mencoba menempatkanpemidanaan badan hukum, dalam konteks pendekatan hukum pidana yang “psikologis” ini dengan cara memanusiakan badan hukum hanya mengakibatkan timbulnya konstruksi hukum yang janggal.

2. Teori Ter Heide

Pandangan Ter Heide,memilih pendekatan hukum pidana yang lebih bernuansa

“sosiologis”. Di dalam bukunya yang berjudul “Vrijheid, over de zein van de

straf”, menyatakan “bahwa terdapat suatu kecendrungan dimana hukum pidana semakin lama semakin dilepaskan dari konteks manusia.” Karena hukum pidana telah terlepas dari konteks manusia, maka dapat disimpulkan bahwa hanya manusia yang pada prinsipnya dapat diperlakukan sebagai subjek hukum pidana dapat disimpangi. Alasan untuk memperlakukan badan hukum sebagai subjek hukum adalah berkaitan dengan badan hukum mampu untuk turut berperan dalam mengubah situasi kemasyarakatan (penetapan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana secara fungsional), yang mengimpikasikan bahwa badan hukum dapat dinyatakan bersalah (unsur kesalahan disini berarti

bertindak secara sistematis). Berdasarkan hal ini Te Heide, menarik kesimpulan

“bila hukumpidana dilepaskan dari konteks manusia, maka hal itu

mengimplikasikan dapat dipidanya badan hukum”. Berbeda dengan pendekatan

pandangan bahwa badan hukum dapat dipidana, dapat ditempatkan di dalam keseluruhan sistem hukum pidana, Meskipun beliau tidak merinci lebih lanjut tentang persyaratan badan hukum sebagai pelaku harus ditempatkan, cukup jelas bahwa berdasarkan wawasannya, penentuan batas harus dilakukan dengan memperhatikan makna sosial dari tindak badan hukum yang bersangsangkutan.

3. Teori ‘t Hart

Pandangan dari ‘t Hart,menyatakan bahwa hukum (pidana) harus dilihat

sebagai suatu bentuk penyaluran pengejawantahan kekuasaan, yang

dikarakteristikkan oleh aspek-aspek instrumen tujuan rasional dan aspek-aspek pembatas kekuasaan yang kritis. Kedua aspek ini, satu sama lain, saling terkait dengan erat. Di dalam persoalan penegakan hukum maka yang perlu

diperhatikan adalah penciptaan keseimbangan antara kedua aspek diatas yang tidak dapat dilepaskan dari aspek lainnya. Berbeda dengan pendekatan klasik

pandangan ‘t Hart tidak cukup menutup kemungkinan ditempatkannya

pemidanaan badan hukum di dalam sistem hukum pidana. Jika bersama-sama

dengan ‘t Hart berbicara tentang manusia di dalam hukum pidana, maka

manusia lebih diartikan sebagai keberadaan “yuridis” dari manusia sebagai

subjek hukum. Keberadaan yuridis ini tidak sama dengan pengertian manusia

sebagai makhluk yang terdiri dari daging dan darah. Menurut ‘t Harthal ini

akan memberikan ruang cukup untuk juga menerima konstruksi person lain selain dari manusia sebagai subjek hukum di dalam hukum (pidana).

Masuknya korporasi sebagai subjek tindak pidana, sudah tentu timbul

konsekuensi khususnya tentang pertanggungjawaban pidananya.51 Dalam hukum

pidana konsep pertanggungjawaban pidana itu merupakan konsep sentral yang

dikenal dengan ajaran kesalahan.52 Berbicara tentan pertanggungjawaban pidana

maka tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana

hanya merujuk kepada dilarangnya suatu perbuatan.53

Tindak pidana tidak berdiri sendiri, tindak pidana baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada

pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya

celaan (verwijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai

tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi persaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut.54

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasikan karena adanya kerugian (harm)

yang menyebabkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal libility.

Persoalan yang mengundang perdebatan adalah bagaimana menerapkan

51

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, Halaman 129

52

Mahrus Ali (buku 1), Op Cit, halaman 39. 53

Priyanto Dwidjaya, Op Cit, halaman 30. 54Ibid.

pertanggungjawaban pada tindak pidana korporasi atau corporate liability, mengingat di dalam Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang di anggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi

biologis yang alami (naturlijk person).55

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault)

atau pada prinsipnya menganut asas kesalahan atau asas culpabilitas. Kemungkinan

dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas “strict liability” dan asas “vicarious

liability”, berdasarkan Naskah RUU KUHP, sebagaimana dalam Pasal 38 ayat (1), (2) dinyatakan bahwa:

Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan subjek hukum pidana. Subjek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan merupakan pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggungjawab karena kesalahannya terhadap orang lain (korban).

56

1. Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa

seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

55

Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi Dan Pertanggungjawabannya, (disampaikan dalam ceramah di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan, 2006), halaman 2.

56

Alvi Syahrin, http://alviprofdr .blogspot. com/2013/02/pertanggungjawabanpidana-korporasi-oleh.html di akses pada tanggal 26 februai 2014 pukul 15.00 wib

2. Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan unsur kesalahan terhadap korporasi bukan hal yang mudah, karena korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak mempunyai

sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk).

Korporasi sebagai pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Beberapa Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai berikut :57

Corporate Criminal Liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi yang pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari

1. Doktrin Identifikasi/DirectCorporateCriminalLiability

Menurut teori ini, korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui para agen yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi. Mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Syarat adanya pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung adalah tindakan-tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaan korporasi.

57

korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat

pertanggungjawaban pribadi.58

Ajaran identifikasi atau identificationdoctrine dianggap tidak cukup untuk

dapat digunakan mengatasi realitas proses pengambilan keputusan dalam banyak perusahaan modern.

Terkait dengan uraian tersebut, siapa yang dimaksud dengan agen atau orang-orang yang bila melakukan tindak pidana, sehingga yang bertanggungjawab adalah korporasi (tindakan) mereka sesungguhnya identik dengan (tindakan)

korporasi. Dalam teori Corporate Criminal Liability, orang-orang yang identik

dengan korporasi bergantung kepada jenis dan struktur organisasi suatu

korporasi, tapi secara umum meliputi the board of directors, the chief exscutive

officer, atau para pejabat atau pengurus korporasi pada level yang sama dengan kedua pejabat tersebut.

59

Strict liability diartikan sebagai suatu tindak pidana dengan tidak mensyaratkan

adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus reus.

Strict liability ini merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (libility

2. Doktrin Strict liability

58

Mahrus ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi (buku 2), PT. Raja Grafindo persada, jakarta, 2013, halaman 76.

59

withoutfault). Dengan substansi yang sama, konsep strictliability dirumuskan

sebagai the nature of strict libility offences is that they are crime wich do not

requere any means rea with regard to at least one element of their “actus reus” (konsep peretanggungjawaban mutlak merupakan suatu bentuk

pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahn, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbutan).

Dalam tindak pidana yang bersifat strict libility yang dibutuhkan hanyalah

dugaan atau pengetahuan dari pelaku, dan hal itu sudah cukup menuntut

pertanggungjawaban pidananya. Jadi, tidak di persoalkan adanya men rea

karena unsur pokok strict libility adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang

harus dibuktikan adalah actus reus (perbutan), bukanlah mens rea (kesalahan).

Dilihat dari sejarah perkembangannya, prinsip pertanggungjawaban

berdasarkan kepada adanya unsur kesalahan (libility on fault or negligence atau

fault liability) merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori

pertanggungjawaban mutlak no fault liability atau absolute/strict liability yang

berlaku pada jaman masyarakat primitif. Pada masa itu berlaku rumus :”a man

acts at his peril”, bila merugikan orang lain, akan menyebabkan dia dipersalahkan telah melanggar hukum. Dengan perkataan lain, seseorang

bertanggungjawab untuk setiap kerugian untuk bagi orang lain sebagai akibat

perbuatannya.60

Dapat juga diartikan pertanggungjawaban korporasi semata-mata berdasarkan Undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Pelanggaran kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal

dengan istilah “companiesoffence”, “situasionaloffence”, atau “strictliability

offences”.61

Akan tetapi, istilah tanggungjawab tanpa kesalahan ini dapat menimbulkan kesan yang keliru karena banyak juga tanggungjawab terhadap perbuaatan, baik yang disengaja maupun kelalaian yang mengerogoti kepentingan orang lain. Kepentingan dilindungi oleh hukum, yang merupakan tanggungjawab tanpa

kesalahan secara moral.62

60

Ibid , halaman 105. 61Ibid, halaman 237. 62

Edi Yunara, Korupsi Dan Pertanggungjawban Pidana korporasi berikut studi kasus, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, halaman 23.

Seakan-akan pertanggungjawaban tanpa kesalahan

akan bertentangan dengan teori kesalahan normatif, pertanggungjawaban

pidana korporasi tetap atas dasar kesalahan, hanya saja isi kesalahan tersebut berbeda dengan subyek hukum manusia yang didasarkan (bertolak dari)

(korporasi) yaitu tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang

dimiliki badan hukum.63

Alvi Syahrin, berpendapat Strict liability merupakan pertanggungjawaban

terhadap pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus memperhatikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan membuktikan telah dilakukannya tindak

pidana. Fungsi strictliability yaitu berkenan dengan hukum acara dan bukan

hukum pidana materil. Strictliability dalam pertanggungjawaban pidana lebih

merupakan persoalan pembuktikan, yakni kesalahan dipandang ada sepanjang

telah dipenuhinya unsur tindak pidana.64

vicarious liablity, lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Barda Nawawi Arief

berpendapat bahwa vicarious libility adalah suatu konsep pertanggungjwaban

seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang

dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya (the legal

responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done whitin scope of employment).

3. Doktrin Vicarious Liablity

63Alviprofdr.blogspot.com/2014/03/penelitian-hukum-isu.html?m=1 diakses pada tanggal 2 maret 2014, pkl 13.30 wib.

vicarious liablity hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan (korporasi) hanya bertanggungjawab atas perbuatan salah pekerja yang masih

dalam ruang lingkup pekerjaannya. Rasionalitas penerpan teori ini adalah

karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).

Prinsip hubungan kerja dalam vicarious liablity disebut dengan prinsip delegasi,

yakni berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang untuk mengelola suatu usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung usaha tersebut, akan tetapi ia memberikan kepercayaan (mendelegasikan) secara penuh kepada seorang meneger untuk mengelola korporasi tersebut. Jika manager itu melakukan perbuatan melawan hukum, maka sipemegang izin (pemberi delegasi) bertanggungjawab atas perbuatan manager itu. Sebaliknya, apabila tidak terdapat pendelegasian maka pemberi delegasi tidak bertanggungjawab atas tindakan manager tersebut.

Doktrin-doktrin mengenai badan hukum/korporasi tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut di atas merupakan hal yang saling

Dokumen terkait