TESIS
Oleh :
NURPANCA SITORUS 127005071/ HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
PENGEMBANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DALAM PENYEDIAAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG
PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN
TESIS
(Disusun Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)
Oleh
NURPANCA SITORUS 127005071/ HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Telah diuji pada
Tanggal : 28 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.
Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
2. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum.
3. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum.
ABSTRAK
Pengembang perumahan sebagai yang bertanggungjawab dalam melaksanakan pembangunan PSU tidak lepas dari tanggungjawab pidana jika lalai atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya. Pengembang perumahan sebagai subjek hukum pidana dapat dimaknai sebagai korporasi dalam arti sempit yaitu suatu perusahaan berbadan hukum, sebab hanya perusahaan berbadan hukumlah yang dapat melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman; 2. Bagaimana tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum dalam pembangunan perumahan dan kawasan perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman; 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dalam melakukan pengkajian pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dan kawasan perukiman dalam penyediaan sarana, Prasarana, dan Utilitas Umum berdasarkan Undang-undang Perumahan dan permukiman. Sifat penelitian adalah preskriptif, yaitu dengan mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Kemudian penelitian ini dibantu dengan ilmu terapan. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan sesuai dengan substansi yang di atur dengan mempertimbangkan relevansinya terhadap rumusan masalah dan tujuan penelitian. Melalui sistematisasi terhadap bahan hukum yang kompleks akan dapat ditemukan norma hukumnya dan menerapkannya guna menyelesaikan problema hukum yang dihadapi.
dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman, yaitu mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya, menjual satuan permukiman, sebelum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan hunian atau Lisiba terlebih dahulu, menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan, membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman, membangun perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasaran, sarana dan utilitas umum berdasarkan Pasal 162 ayat (1) dan (2), Pasal 163, dan Pasal 155 Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat dimintakan kepada pengembang perumahan, pengurus pengembang perumahan, dan pengembang perumahan beserta pengurus pengembang perumahan secara bersama-sama.
Terhadap hal di atas, perlu segera dibuat Peraturan Pelaksana tentang Penyediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum. Sehingga dengan peraturan tersebut para Pengembang perumahan dapat mematuhi dan menjalankannya agar tidak ada lagi perbedaan penafsiran terhadap Penyediaan Prasarana, sarana dan utilitas umum yang menyeret tindakan pengembang perumahan ke perbuatan pidana. Belum adanya peraturan pelaksana juga memberi peluang kepada pengembang perumahan yang nakal untuk memanfaatkannya yang akhirnya mengakibatkan kerugian pada masyarakat. Perlu juga dirumuskan dalam Peraturan Perundang-undangan tentang pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan secara jelas dan terperinci. Perumusan itu baik berupa pemisahan tindak pidana yang dikategorikan perbuatan Korporasi atau pribadi pengurus maupun sanksinya. Khususnya tentang Pertanggungjawaban Pidana pengembang perumahan dalam penyediaan Prasarana, Sarana, dan utilitas umum dalam penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan dan permukiman.
ABSTRACT
As a housing developer who is responsible for carrying out the construction of the PSU is not free from criminal responsibility if negligent or intentionally does not perform its obligations. Housing developers as the subject of criminal law can be interpreted in a narrow sense as a corporation that is a legal entity, because the only company that can legally punish implement perukiman residential development and the region. The problems discussed in this thesis are as follows: 1 How does the legal regulation of the obligations of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities under the Law of Settlement Housing and Regions; 2 How is the crime of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities in the construction of residential and settlement region based on the Law of housing and residential areas; 3 How does the criminal responsibility of housing developers in providing infrastructure, facilities and public utilities pursuant to an Law of housing and residential areas.
This type of research is conducted legal research by using the approach of legislation in assessment of criminal responsibility and the housing developer settlement region in the provision of facilities, infrastructure, and the Public Utilities Law is based on the Housing and settlements. The character of research is prescriptive, i.e. by studying law purposes, the values of justice, the validity of the rule of law, legal concepts and legal norms. Then this research assisted with applied science. As an applied science, the science of law set the standard procedures, rules and guidelines in implementing the rule of law. The primary legal materials which be gathered in advance in accordance with the substance systematized set to consider its relevance to the formulation of the problem and research objectives. Systematization through the complex legal material would be found legal norms and apply them to solve problems faced by law.
place that could potentially pose a danger to people or goods. Criminal responsibility of housing developers in providing infrastructures, facilities and public utilities pursuant to Article 162, paragraph (1) and (2), Article 163, and Article 155 of Law No. 1 of 2011 on Housing and Settlement Areas may be requested to housing developers, administrators developer housing, and developers of housing and housing developer board together.
Gainst the above, needs to be created Implementing Regulation on the Provision of Infrastructure, Facilities, and Public Utilities. So with these regulations can adhere to the developer housing and run it so that there is no longer a difference of interpretation of the provision of infrastructure, facilities and public utilities are dragging action housing developers to criminal acts. The absence of implementing regulations also provide opportunities for housing developers to use the naughty which eventually resulted in a loss to the community. It should also be formulated in legislation concerning the criminal responsibility of housing developers clearly and in detail. The formulation in the form of separation is considered a criminal offense or private corporation board actions or sanctions. Especially on Criminal Liability of housing developers in the provision of Infrastructure, Facilities, and public utilities in the administration of Housing and Regions and settlements.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena hanya dengan
rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada
waktunya. Adapun judul tesis ini adalah “Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban
Pidana Pengembang Perumahan Dan Kawasan Permukiman Dalam Penyediaan
Prasarana, Sarana Dan Utilitas Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman”. Penulisan tesis ini merupakan
suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam
bidang Ilmu Hukum (MH) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan
dorongan baik berupa arahan, masukan ataupun saran, sehingga penulisan tesis ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr.
Alvi Syahrin, S.H., M.S., selaku Pembimbing utama penulis, Bapak Prof. Dr. Suhaidi,
S.H., M.H., selaku Pembimbing II penulis, dan Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,
M.Hum., selaku Pembimbing III penulis yang telah dengan tulus ikhlas memberikan
bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga kepada Dosen Penguji yang terhormat Bapak Dr. Hasim
Purba, S.H., M.Hum., dan Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S., yang telah
sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga
penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.
Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H. Sp. A (K),
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan
dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
ini.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembimbing II penulis yang
telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan
membimbing penulis.
5. Para Pegawai/Karyawan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam
Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis
juga turut menghaturkan salam sayang dan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada Ayahanda Bapak Muadi Sitorus dan Ibunda Animah Saragih yang telah
melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis. Terima kasih juga
penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT., agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,
namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan
manfaat kepada semua pihak.
Medan, Agustus 2014
Penulis,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Nurpanca Sitorus
Tempat/Tgl. Lahir : Medan/ 30 Desember 1990
Alamat : Jl. Bunga Wijaya Kusuma, Psr 4, No. 10, Padang
Bulan, Medan.
Agama : Islam
Status Pribadi : Belum Menikah
Pendidikan : SD Negeri Simp. Pete ; Tahun 1996
SMP Negeri 1 Bandar ; Tahun 2002
SMA Negeri 1 Bandar ; Tahun 2005
S-1 Fakultas Hukum USU ; Tahun 2008
Nama Orang Tua Laki-Laki : Muadi Sitorus
Nama Orang Tua Perempuan : Animah Saragih
Anak Ke : 1 dari 5 bersaudara
Tahun Masuk Di Prog. Studi
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... ……… i
ABSTRACT ……….. ……… iii
KATA PENGANTAR ……… ……… v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……….. ……… viii
DAFTAR ISI ……… ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penulisan ... 16
E. Keaslian Penulisan ... 17
F. Kerangka Teori dan Konsep ... 18
1. Kerangka Teori ... 18
2. Kerangka Konsep ... 44
G. Metodologi Penelitian ... 45
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 45
2. Sumber Bahan Hukum ... 47
3. Pengumpulan Bahan Hukum ... 49
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG KEWAJIBAN PENGEMBANG PERUMAHAN DALAM PENYEDIAAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN
A. Pengembang Perumahan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman ... 52
B. Kewajiban Pengembang Perumahan dalam Penyediaan Perasarana,
sarana dan utilitas umum rumah umum dan rumah komersil ... 58
C. Pengaturan hukum tentang Kewajiban Pengembang Perumahan
dalam Penyediaan Perasarana, sarana dan utilitas umum rumah
umum dan rumah komersil ... 71
BAB III TINDAK PIDANA PENGEMBANG PERUMAHAN DALAM
PENYEDIAAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN
A.Pengertian Tidak Pidana dan unsur-unsur tindak pidana korporasi ... 76
B. Sifat Melawan Hukum Tindak Pidana Korporasi ... 85
C. Alasan Pembenar Bagi Korporasi ... 89
D. Tidak Pidana Pengembang Perumahan Dalam penyediaan prasarana,
sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang Perumahan
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGEMBANG PERUMAHAN DALAM MENYEDIAKAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERMUKIMAN
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 102
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 102
2. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana ... 107
3. Korporasi Mampu Bertanggungjawab ... 114
4. Penentuan Kesalahan Korporasi ... 118
5. Alasan Pemaaf bagi Korporasi ... 123
B. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 126
1. Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat dan Penguruslah Yang bertanggungjawab ... 127
2. Korporasi sebagai Pembuat dan Penguruslah yang harus bertanggung jawab ... 130
3. Korporasi sebagai Pembuat Pengurus dan Koperasilah Yang bertanggungjawab ... 132
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 144
B. Saran ... 145
ABSTRAK
Pengembang perumahan sebagai yang bertanggungjawab dalam melaksanakan pembangunan PSU tidak lepas dari tanggungjawab pidana jika lalai atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya. Pengembang perumahan sebagai subjek hukum pidana dapat dimaknai sebagai korporasi dalam arti sempit yaitu suatu perusahaan berbadan hukum, sebab hanya perusahaan berbadan hukumlah yang dapat melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman; 2. Bagaimana tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum dalam pembangunan perumahan dan kawasan perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman; 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dalam melakukan pengkajian pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dan kawasan perukiman dalam penyediaan sarana, Prasarana, dan Utilitas Umum berdasarkan Undang-undang Perumahan dan permukiman. Sifat penelitian adalah preskriptif, yaitu dengan mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Kemudian penelitian ini dibantu dengan ilmu terapan. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan sesuai dengan substansi yang di atur dengan mempertimbangkan relevansinya terhadap rumusan masalah dan tujuan penelitian. Melalui sistematisasi terhadap bahan hukum yang kompleks akan dapat ditemukan norma hukumnya dan menerapkannya guna menyelesaikan problema hukum yang dihadapi.
dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman, yaitu mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya, menjual satuan permukiman, sebelum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan hunian atau Lisiba terlebih dahulu, menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan, membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman, membangun perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasaran, sarana dan utilitas umum berdasarkan Pasal 162 ayat (1) dan (2), Pasal 163, dan Pasal 155 Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat dimintakan kepada pengembang perumahan, pengurus pengembang perumahan, dan pengembang perumahan beserta pengurus pengembang perumahan secara bersama-sama.
Terhadap hal di atas, perlu segera dibuat Peraturan Pelaksana tentang Penyediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum. Sehingga dengan peraturan tersebut para Pengembang perumahan dapat mematuhi dan menjalankannya agar tidak ada lagi perbedaan penafsiran terhadap Penyediaan Prasarana, sarana dan utilitas umum yang menyeret tindakan pengembang perumahan ke perbuatan pidana. Belum adanya peraturan pelaksana juga memberi peluang kepada pengembang perumahan yang nakal untuk memanfaatkannya yang akhirnya mengakibatkan kerugian pada masyarakat. Perlu juga dirumuskan dalam Peraturan Perundang-undangan tentang pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan secara jelas dan terperinci. Perumusan itu baik berupa pemisahan tindak pidana yang dikategorikan perbuatan Korporasi atau pribadi pengurus maupun sanksinya. Khususnya tentang Pertanggungjawaban Pidana pengembang perumahan dalam penyediaan Prasarana, Sarana, dan utilitas umum dalam penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan dan permukiman.
ABSTRACT
As a housing developer who is responsible for carrying out the construction of the PSU is not free from criminal responsibility if negligent or intentionally does not perform its obligations. Housing developers as the subject of criminal law can be interpreted in a narrow sense as a corporation that is a legal entity, because the only company that can legally punish implement perukiman residential development and the region. The problems discussed in this thesis are as follows: 1 How does the legal regulation of the obligations of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities under the Law of Settlement Housing and Regions; 2 How is the crime of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities in the construction of residential and settlement region based on the Law of housing and residential areas; 3 How does the criminal responsibility of housing developers in providing infrastructure, facilities and public utilities pursuant to an Law of housing and residential areas.
This type of research is conducted legal research by using the approach of legislation in assessment of criminal responsibility and the housing developer settlement region in the provision of facilities, infrastructure, and the Public Utilities Law is based on the Housing and settlements. The character of research is prescriptive, i.e. by studying law purposes, the values of justice, the validity of the rule of law, legal concepts and legal norms. Then this research assisted with applied science. As an applied science, the science of law set the standard procedures, rules and guidelines in implementing the rule of law. The primary legal materials which be gathered in advance in accordance with the substance systematized set to consider its relevance to the formulation of the problem and research objectives. Systematization through the complex legal material would be found legal norms and apply them to solve problems faced by law.
place that could potentially pose a danger to people or goods. Criminal responsibility of housing developers in providing infrastructures, facilities and public utilities pursuant to Article 162, paragraph (1) and (2), Article 163, and Article 155 of Law No. 1 of 2011 on Housing and Settlement Areas may be requested to housing developers, administrators developer housing, and developers of housing and housing developer board together.
Gainst the above, needs to be created Implementing Regulation on the Provision of Infrastructure, Facilities, and Public Utilities. So with these regulations can adhere to the developer housing and run it so that there is no longer a difference of interpretation of the provision of infrastructure, facilities and public utilities are dragging action housing developers to criminal acts. The absence of implementing regulations also provide opportunities for housing developers to use the naughty which eventually resulted in a loss to the community. It should also be formulated in legislation concerning the criminal responsibility of housing developers clearly and in detail. The formulation in the form of separation is considered a criminal offense or private corporation board actions or sanctions. Especially on Criminal Liability of housing developers in the provision of Infrastructure, Facilities, and public utilities in the administration of Housing and Regions and settlements.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi manusia pada dasarnya mengatur hubungan antara
individu-individu dengan negara. Hak asasi manusia telah disepakati sebagai hukum
internasional yang dapat menjadi standar yang kuat bagaimana negara harus
memperlakukan individu-individu di dalam wilayah yurisdiksinya. Dengan kata lain
hak asasi manusia memberikan jaminan moral dan hukum kepada individu-individu
untuk melakukan kontrol dan mendorong aturan dalam praktik-praktik kekuasaan
negara terhadap individu-individu, memastikan adanya kebebasan individu dalam
kebutuhan-kebutuhan dasar individu-individu yang berada di dalam wilayah
yurisdiksinya. Disinilah negara menjadi pihak yang memiliki tugas dan kewajiban
(duty-bearer) untuk menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil) hak asasi
manusia dan individu-individu yang berdiam di wilayah yurisdiksinya sebagai
pemegang hak (right holder).1
Rumah merupakan hak setiap warga negara, hal ini tercermin dalam sila
kelima pancasila yaitu keadilan sosial dan dalam Undang-Undang Dasar 1945
tercermin dalam alinea ke empat pembukaan yang menyebutkan : “... memajukan
1
kesejahteraan umum....” serta Pasal 28 ayat (1) menyebutkan : “tiap-tiap warga
negara berhak ... penghidupan yang layak”.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, mengamanatkan bahwa
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.2 Tempat tinggal mempunyai peran yang sangat strategis dalam
pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun
manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif sehingga
terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap
manusia, yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus
kehidupan manusia.3
Kebutuhan akan perumahan yang dapat dipergunakan untuk berteduh bagi
manusia merupakan suatu kebutuhan yang primer disamping kebutuhan sandang dan
pangan.4 Sesuai dengan pendapat Maslow menyebutkan bahwa sesudah manusia
terpenuhi kebutuhan jasmaninya, yaitu sandang, pangan, dan kesehatan, kebutuhan
akan rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu motivasi untuk pengembangan
kehidupan yang lebih tinggi lagi.5
2
Lihat Pasal 28 H ayat (1), UUD RI Tahun 1945 amandemen ke 4. 3
Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Perukiman Bagian I Umum.
4
Al Rashid Harun, Upaya Penelesaian Sengketa Sewa Menyewa Perumahan Menurut Ketentuan Perundang-Undangan, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985, halaman 9.
5
Sastra Suparno, Dkk, Perencanaan Dan Pengembangan Perumahan, CV. Andi Offset, Yogyakarta, 2006, halaman 2.
salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan
harkat dan martabat manusia, maka perlu diciptakan kondisi yang dapat mendorong
pembangunan perumahan untuk menjaga kelangsungan penyediaan perumahan dan
permukiman.6 Hak atas perumahan dalam disiplin hak asasi manusia sering kali
disamakan dengan hak rakyat atas tempat untuk hidup.7
Perumahan, Rumah, rumah susun dan perukiman merupakan kebutuhan
dasar manusia yang struktural sifatnya dan mempunyai peranan yang sangat strategis
dalam pembetukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta
dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan
masyarakat.8 Perumahan, rumah, rumah susun, dan perukiman juga tidak dapat
dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu
merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk
memasyarakatkan diri dan menampakkan jati dirinya.9 Selain sebagai salah satu
kebutuhan dasar, rumah dan kelengkapannya merupakan faktor penentu indikator
kesejahteraan rakyat dan menjadi komitmen global sebagaimana dituangkan dalam
Agenda Habitat dan Millenium Development Goals (MDGs).10
6
Lihat Konsideran Dalam Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peumahan dan Kawasan Permukiman.
7
Supriyanto Dkk, Op Cit, halaman 61. 8
Moh. Hasan Wargakusumah, Analisis Dan Evaluasi Hukum Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Perukiman, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Ham RI Tahun 2003, halaman 1.
9Ibid
, halaman 2 10
Indonesia sebagai masyarakat internasional yang turut menandatangani
Deklarasi Rio de Janeiro selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh
United Nations Centre for HumanSettlements. Jiwa dan semangat yang tertuang
dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II adalah bahwa rumah merupakan
kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian
yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Dalam Agenda
21 ditekankan pentingnya rumah sebagai hak asasi manusia. Hal itu telah sesuai pula
dengan semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.11
Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan
kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan
dan kawasan perukiman serta keswadayaan masyarakat. Penyediaan dan kemudahan Negara bertanggungjawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui
penyelenggaraan perumahan dan kawasan perukiman agar masyarakat mampu
bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam
lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah
Indonesia. Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus
dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah
(selanjutnya disebut dengan MBR) dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat
penduduk di perkotaan.
j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CC4QFjAB&url=http%3A%2F%2Fpemb iayaan.kemenpera.go.id) di akses pada tanggal 24 maret 2014 pukul 11.30 WIB.
11
perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata
ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian
lingkungan hidup, sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan
keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.12
Penyelenggaraan kawasan perukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah
yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan
berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang. Penyelenggaraan kawasan perukiman
tersebut bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak
dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian
bermukim, yang wajib dilaksanakan sesuai dengan arahan pengembangan kawasan
perukiman yang terpadu dan berkelanjutan.13
Upaya pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat adalah pengembangan
dan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Yang pada prinsipnya
pembangunan tersebut bertujuan untuk menyiapkan lokasi bagi pembangunan
perumahan sejahtera yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas umum
(selanjutnya disebut dengan PSU) yang memadai dan terjangkau.
14
12Ibid
13Ibid 14
Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Perukiman Tahun 2013 Di Keluarkan Oleh Kementrian Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Halaman 1.
Rumah dalam
pengertian ini mencakup makna perumahan yang memadai (Adequate housing). Kata
menjadi tidak sekedar sebentuk bangunan persegi empat yang mempunyai atap. Dari
standart internasional hak asasi manusia, kita dapat meminjam makna rumah yang
memadai, yakni ketersediaan pelayanan, material, fasilitas, dan infrastruktur.
Memadai juga mengandung makna pemenuhan prinsip-prinsip seperti keterjangkauan
biaya (offordability). Selanjutnya memadai juga mempertimbangkan faktor-faktor
lokasi (location) dan layak secara budaya (cultural adequate).15
Membangun perumahan tidak dapat hanya dilihat dari sisi membangun
rumahnya saja, akan tetapi juga membangun satuan perukiman. Membangun satuan
perukiman tidak hanya membangun rumah-rumah dan sarana serta prasarananya saja,
akan tetapi juga membangun komunitasnya. Membangun komunitas berarti
memberdayakan untuk mandiri dan meningkatkan kepercayaan dirinya. Dengan
kepercayaan diri maka meningkat pula kemampuan untuk menanggapi masalah yang
dihadapinya.16
Rumah dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Kawasan Perukiman (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Perumahan dan
Kawasan Permukiman) diklasifikasikan berdasarkan jenisnya menjadi 5 (lima) yaitu
rumah komersial, rumah umum, rumah swadaya, rumah khusus dan rumah negara.
Rumah umum dan rumah swadaya dalam pembangunannya mendapatkan kemudahan
dan/atau bantuan dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah, rumah khusus dan
15
Supriyanto Dkk, Op Cit, halaman 61. 16
rumah negara disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sedangkan
rumah komersial diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.17
Komponen penting dari pembangunan perumahan dan kawasan perukiman
adalah penyediaan Prasarana,Sarana, dan Utilitas umum (Selanjutnya disebut dengan
PSU). PSU perumahan dan kawasan perukiman merupakan kelengkapan fisik untuk
mendukung terwujudnya perumahan yang sehat, aman dan terjangkau. Dengan
demikian, ketersediaan PSU merupakan kelengkapan dan bagian yang tidak
terpisahkan dari upaya pengembangan perumahan dan kawasan perukiman.
Dukungan PSU yang memadai diharapkan dapat menciptakan dan meningkatkan
kualitas lingkungan perumahan.18 Hal ini sejalan dengan Salah satu misi Kementrian
Perumahan Rakyat (Kemenpera) dalam usaha untuk merealisasikan "setiap keluarga
Indonesia menempatirumah yang layak huni" sebagai visi Kementrian adalah
meningkatkan ketersediaan rumah layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang
sehat dan aman serta didukung oleh prasarana, sarana dan utilitas yang memadai.19
Semua jenis rumah di atas dalam pelaksanaan pembangunannya haruslah
memenuhi PSU. Pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah bertanggungjawab
dalam pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan rumah Negara dengan
17
Pasal 21 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman 18
Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Perukiman Tahun 2013,Op Cit, halaman 2.
19
demikian juga bertanggungjawab mengadakan PSU rumah-rumah tersebut, sementara
khusus untuk rumah komersil badan hukum yang melaksanakannyalah yang
mempunyai kewajiban mengadakan PSU rumah komersil sedangkan rumah swadaya
karena inisiatifnya berasal dari masyarakat maka yang bertanggungjawab untuk
mengadakan PSU adalah masyarakat dan akan diberi kemudahan dan/atau bantuan
oleh pemerintah pusat/daerah. Selain Pemerintah pusat dan/atau daerah
bertangungjawab untuk jenis rumah umum, badan hukum juga dapat melaksanakan
pembangunan perumahan untuk MBR dan dalam pengajuan rencana tersebut
Pemerintah Daerah wajib memberikan kemudahan perizinan bagi badan hukum itu.
Penelitian ini hanya akan membahas 2 (dua) jenis rumah yaitu rumah
komersil dan rumah umum20
Badan hukum atau Pengembang perumahan berkewajiban disamping
membangun perumahan juga berkewajiban menyediakan PSU perumahan tersebut.
PSU harus memenuhi persyaratan yaitu kesesuaian antara kapasitas pelayanan dan
jumlah rumah, keterpaduan antara PSU dan lingkungan hunian, dan ketentuan teknis
pembangunan PSU.
saja. Pembangunan tersebut dalam pelaksanaanya ada
kaitanya dengan tanggungjawab badan hukum (pengembang perumahan) dalam
penyediaan PSU untuk kedua jenis rumah tersebut.
21
20
Rumah umum khusus yang dibangun oleh pengembang perumahan bukan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
21
perumahan untuk MBR mendapatkan bantuan dalam menyediakan PSU dari
Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas
peraturan presiden Nomor 54 Tahun 2012 tentang Penyediaan Barang/Jasa
Pemerintah, pada Pasal 38 ayat (5) huruf h menyatakan bahwa: “Pekerjaan pengadaan
prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan perumahan bagi masyarakat
berpenghasilan rendah yang dilaksanakan oleh pengembang/developer yang
bersangkutan”, maka untuk pelaksanaan pembangunan fisik bantuan dimungkinkan
untuk dilaksanakan dengan penunjukan langsung kepada pengembang/developer
yang bersangkutan.22
Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk:
Hal ini berarti pengembang perumahan yang akan membangun
jenis rumah umum dapat ditunjuk langsung untuk mengadakan PSU rumah yang
dibangunnya oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
23
1. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan
yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia;
2. Ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan
kebutuhan rumah, perumahan, perukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan;
3. Mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang
serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna;
4. Memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan
22
Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Perukiman Tahun 2013, Op Cit, halaman 3.
23
5. Mendorong iklim investasi asing.
Pertumbuhan pembangunan pada sektor perumahan dan kawasan perukiman
di tanah air terbilang sangat pesat. Pertumbuhan ini didorong oleh meningkatnya
permintaan masyarakat akan perumahan dan kawasan perukiman yang sesuai dengan
tingkat kebutuhanya. Hal ini merupakan isu permasalahan strategis yang dihadapi
pengembangan perumahan dan kawasan perukiman saat ini adalah masih tingginya
angka backlog24atau akumulasi kebutuhan rumah pertahunnya, yang merupakan
isyarat bahwa upaya-upaya penyiapan kawasan perumahan dan perukiman sangat
mendesak untuk dilakukan.25
Pemerintah dalam mewujudkan rumah murah bagi MBR masih menghadapi
sejumlah masalah internal dan eksternal di era otonomi daerah saat ini. Secara
internal, daerah menghadapi kendala dalam hal pembiayaan, kelembagaan, bahkan
keterbatasan sumber daya manusia, sedangkan di sisi lain, daya beli masyarakat
masih rendah. Namun demikian, pemerintah daerah mempunyai kekuatan dalam
penyediaan lahan dan kewenangan dalam hal perijinan. Pemerintah Pusat mempunyai
kekuatan pada sisi regulasi, termasuk regulasi terhadap sumber-sumber pembiayaan Serta keterbatasan tanah untuk kebutuhan perumahan
merupakan kendala yang sering dihadapi terutama di kota-kota besar, sehingga upaya
untuk memenuhi kebutuhan perumahan merupakan kebutuhan yang cukup mendasar.
24
Dalam bisinis Backlog adalah pesanan untuk barang ata Pesanan untuk barang atau jasa yang perusahaan belum sampaikan atau berikan kepada pelanggannya.
Jika dalam perumahan berarti kebutuhan perumahan untuk masyarakat. (http://kamusbisnis. com/arti/backlog/) di akses pada tanggal 24 Maret 2014 pukul 11.30 WIB.
25
maupun pendanaan yang dibutuhkan. Sementara itu mitra yang merupakan pelaku,
pemerhati, akademisi, dan pihak swasta lainnya diharapkan mempunyai komitmen
yang kuat untuk mendukung dan menggerakkan program pembangunan rumah murah
tersebut.26 Hal ini sejalan dengan pendapat Kemenpera yang menyadari bahwa
pembangunan perumahan bagi masyarakat tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh
pemerintah pusat dan daerah saja tetapi juga dibutuhkan peran sektor swasta seperti
para pengembang perumahan serta masyarakat itu sendiri.27
Pembangunan perumahan dan kawasan perukiman dalam rangka menjamin
menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki
rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur
dilaksanakan oleh Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau setiap orang atau
orang perseorangan atau badan hukum baik berupa koperasi, yayasan, lembaga
sewadaya masyarakat, maupun badan swasta baik pengembang/developer, mediator Penyelenggaraan perumahan dan kawasan perukiman harus memerhatikan
berbagai aspek yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011
Tentang Perumahan Dan Kawasan Perukiman yang di undangkan pada tanggal 12
Januari 2011 secara menyeluruh dan terpadu terkhusus untuk kewajiban penyediaan
PSU untuk jenis rumah umum dan komersil.
26
Pidato Menteri negara perumahan rakyat Republik indonesia Pada upacara Peringatan hari perumahan nasional Tanggal 25 agustus 2011.
27
maupun motivator pembangunan. Keikutsertaan orang perorangan dan/atau badan
hukum dalam melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman
dibarengi dengan kawajiban yang harus dipenuhi dan ditaati serta dilaksanakan
dengan baik berdasarkan Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman yang
tertuang di dalam pasal-pasalnya.
Pelaksanaan Pembangunan perumahan dan kawasan perukiman oleh orang
perseorangan atau badan hukum pada prakteknya berpeluang tidak menjalankan
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi malah justru mengabaikan bahkan
menyalahgunakannya sehingga berdampak kepada kepentingan masyarakat yang
sifatnya cenderung merugikan. Apalagi masyarakat belum sepenuhnya mengenal
secara utuh masalah-masalah dibidang perumahan dan perukiman, sehingga dirasa
perlu adanya aturan yang mengatur dalam pelaksanaanya dibidang perumahan dan
kawasan perukiman, berikut sanksi yang dikenakan atas pelanggaran yang terjadi
berdasarkan ketentuan undang-undang. Bantuan dana untuk PSU yang dikucurkan
oleh Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) bagi pengembang perumahan
MBRpun rentan terhadap penyelewengan dan tidak sesuai dengan tujuannya. Dana
bantuan tersebut seharusnya dapat dijadikan stimulus bagi pengembang MBR untuk
mau membangun rumah MBR sekaligus menekan harga rumah yang ada.28
28
Para pelaku pembangunan perumahan dan kawasan perukiman baik
perumnas, koperasi, badan swasta, seperti pengusaha realestate dalam menjalankan
usahanya kerap mendapat kritik dari yang bersumber dari pelaksanan yang keliru
mengenai usaha pembangunan yang dijalankan dibidang perumahan dan kawasan
permukiman. Hal ini menunjukkan ada peluang terjadi pelanggaran atas kewajiban
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Undang-undang Perumahan dan
kawasan permukiman telah mengatur sanksi yang akan diancamkan kepada pelaku
usaha yang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang diharuskan.
Pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman pada
perakteknya banyak mengalami masalah, mulai dari wanprestasi pihak pengembang
perumahan sampai ke penipuan pembeli perumahan. Hal ini sudah pasti bermuara
pada kerugian yang diderita masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai berita dari
berbagai media informasi, 130 kepala keluarga (KK) di Perumahan Bumi Nagara
Lestari (BNL) Desa Nagara, Kabupaten Serang, Banten, mengancam memboikot
pembayaran kredit rumah Bulan Februari. Penyebabnya warga kesal karena
keseringan banjir. Sementara pihak pengembang tidak terlihat berinisiatif
menyelesaikan masalah tersebut.29
29
Ramadhian Fadhillah,Minggu ,2 Februari 2014 04:30http://www.merdeka.com/peristiwa/ kesal-terus-kebanjiran-warga-tolak-bayar- kredit-rumah.html di akses pada tanggal 7 Februari 2014
Medan (Sumatera Utara) malah berbeda,
masyarakat disekitar lokasi Perumahan dan Kawasan Perukiman terkena imbas akibat
pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Akibat
lokasi kawasan perumahan yang biasanya tidak terkena banjir setelah adanya
pembangunan oleh pihak pengembang menjadi banjir, sehingga berujung
pemboikotan oleh masrakat terhadap pembangunan.30 Masyarakat sekitar komplek
Citra Land Bagdya City melaporkan pengembang perumahan ke Bupati Deli Serdang
diwakili oleh kuasa hukumnya Tim Advokasi Penyelaat Aset Sumatera Utara.31
Pengembang perumahan sebagai yang bertanggungjawab dalam
melaksanakan pembangunan PSU tidak lepas dari tanggungjawab pidana jika lalai
atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya. Pengembang perumahan sebagai
subjek hukum pidana dapat dimaknai sebagai korporasi dalam arti sempit yaitu suatu
perusahaan berbadan hukum, sebab hanya perusahaan berbadan hukumlah yang dapat
melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Dilatar belakangi
permasalahan penyediaan PSU oleh pengembang perumahan di atas maka sudah
seyogianyalah masalah ini diangkat sebagai suatu karya ilmiah.
Pelaku pembangunan perumahan dan kawasan perukiman baik perumnas,
koperasi, badan swasta, seperti pengusaha realestate (selanjutnya disebut dengan
pengembang perumahan) sebenarnya telah diancam dengan sanksi dalam rumusan
pasal-pasal Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bahkan bukan
hanya orang-perorangan selaku pengurus tetapi juga pengembang perumahan yang
dapat kita sebut sebagai korporasi.
30 Harian Analisa, “Minim resapan Air” Sabtu 21 Desember 2013, halaman 6. 31
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dirumuskan beberapa
permasalahan, sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan
dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan
Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman?
2. Bagaimana tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana,
sarana dan utilitas umum dalam pembangunan perumahan dan kawasan
perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman?
3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam
menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang
perumahan dan kawasan permukiman ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penilitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan
dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan
Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.
2. Mengetahui tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan
kawasan perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan
permukiman.
3. Mengetahui pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam
menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang
perumahan dan kawasan permukiman.
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan-tujuan diatas, penelitian ini juga diharapkan untuk berbagai hal
diantaranya :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara
teoritis terhadap penanganan pertanggungjawaban pidana pengembang
perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan
Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman.
2. Secara praktis :
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
a. Aparat penegak hukum agar mengetahui bagaimana konsep
pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan berdasarkan
Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman tersebut sehingga memudahkan
b. Bagi pemerintah sebagai sumbangan pemikiran terhadap pembaharuan hukum
pidana dalam perumusan undang-undang yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan
prasarana, sarana dan utilitas umum sehingga penegakan hukum yang
menyangkut tidak pidana yang dilakukan pengembang perumahan dapat
dilakukan dengan baik dan selain itu juga sebagai masukan dalam menyusun
Peraturan Pemerintah tentang PSU.
c. Bagi akademis sebagai langkah awal dalam pengembangan dan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui inventarisasi perundang-undangan khususnya
dalam hal ini mengetahui prinsip pertanggungjawaban pidana pengembang
perumahan dalam menyediakan prasarana, saran dan utilitas umum
berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.
E. Keasalian Penulisan
Penelitian dengan judul “Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana
Pengembang Perumahan Dan Kawasan Perukiman Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Perukiman” belum pernah
dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dilingkungan sekolah Pasca Sarjana Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara, akan tetapi isu hukum yang berkaitan dengan
1. Fauzi Chairul F, NIM: 982105009, dengan judul “Perlindungan Hak-Hak
Konsumen Perumahan atas ketentuan klausula baku dengan pelaku usaha di
kota madya Medan ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999”.
2. Denny Umri Butar-butar, NIM: 117005057, “Pertanggungjawaban pelaku
usaha perumahan dalam jual beli rumah yang mengandung cacat tersembunyi
dalam persfektif hukum perdata (study kasus perumahan di kota Medan)”.
Permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidak sama dengan
penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian-penelitian ini merupakan hasil
dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan pada referensi buku-buku dan
informasi dari media cetak serta elektronik. Mengacu pada alasan tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Tindak Pidana menurut Wirjono Projodikoro yaitu suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Pelaku itu dikatakan sebagai subjek
tindak pidana.32
32
E.Y Kanter, dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannnya, Storia Grafika, Jakarta 2002, halaman 209.
sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana.33
Tindak pidana terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.34 Unsur subjektif
adalah unsur yang berasal dari diri pelaku yaitu kesalahan dari orang yang melanggar
aturan-aturan pidana artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada sipelanggar. Unsur objektif merupakan unsur dari luar pelaku. Unsur objektif
tersebut meliputi :35
1. Perbuatan manusia yaitu perbuatan yang positif atau suatu perbuatan yang
negatif yang menyebabkan pidana.
2. Akibat perbuatan manusia yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan atau
membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum.
3. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa terdapat pada
waktu melakukan perbuatan.
4. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu melawan
hukum, jika bertentangan dengan undang-undang.
Unsur subjektif dari suatu tindak pidana meliputi:36
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging.
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacthe raad seperti yang misalnya
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan
tindak pidana menurut Pasal 380 KUHP.
33
M. Hamdan, Tindak Pidana Suap dan Money Politic, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, halaman 8.
34
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Gradika, Jakarta, 2005, halaman 9.
35
M. Hamdan, Op Cit, halaman 10. 36
Ada dua aliran berbeda pandangan terhadap unsur-unsur tindak pidana yaitu
aliran monisme dan aliran dualisme. Aliran monisme memandang antara unsur
subjektif (pelaku/pembuat pidana) dengan unsur objektif (perbuatan) tidak perlu
dilakukan pemisahan sedangkan aliran dualisme memandang perlu untuk
dipisahkan.37
Perbedaan mendasar dari pertentangan antara monisme dan dualisme tentang
delik terletak dalam pembahasan mengenai perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana. Aliran monisme sepakat menyatakan bahwa kesengajaan
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari perbuatan. Perbuatan itu adalah
kelakuan yang dikendalikan secara sadar oleh kehendak yang diarahkan kepada
akibat-akibat tertentu.38
Moeljatno menganut pandangan dualisme yaitu pengertian perbuatan pidana
tidak meliputi pertanggungjawaban pidana, Moeljatno memebedakan dengan tegas
dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidana orangnya dan beliau memisahkan
pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.39
Kemampuan bertanggung jawab melekat pada unsur subjektif, dan tidak pada
unsur objektif, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya
37
PrayitnoImanSantos
38
Arfan Efendi, dimensilmu.blogspot.com/2013/07/unsur-unsur-tindak-pidana, di akses pada tanggal 4 juli 2014, pkl 17.00 WIB.
39
memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan (adanya)
pembuatnya, atau dapat dipidana pembuatnya. Dari padangan demikian, kemampuan
bertanggungjawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana.40
Penganut monoisme tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana
dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Unsur yang mengenai diri orangnya
bagi penganut dualisme, yakni kesalahan dan adanya pertanggungjawaban pidana
sebagai bukan unsur tidak pidna melainkan syarat untuk dapat dipidananya,
sedangkan menurut paha monoisme juga merupakan unsur tindak pidana.41
Paham monoisme ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan
syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan
menjadi unsur tindak pidana.
42
oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya
tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak
pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang)
tidak dipisah sebagaimanamenurut paham dualism.43
Aliran dualisme membedakan antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, kesalahan merupakan unsur
subjektif yang menjadi unsur pertanggungjawaban pidana. Karena itu, kesalahan
40
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan batas berlakunya hukum pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, halaman 73.
41Ibid
, halaman 76. 42Ibid
. 43Ibid
tidak mungkin dimasukkan dalam perbuatan pidana yang hanya mengandung unsur
objektif saja sehingga perbuatan pidana hanya dapat dilarang. Adapun pemidanaan
ditujukan kepada pembuat atau subjek hukum pidana yang dinyatakan dapat
mempertanggungjawabkan perbuatan dilakukannya.
Subjek tindak pidana adalah pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut.
Subjek hukum pidana dalam KUHP adalah manusia. Pandangan klasik ini
berpendapat bahwa subjek tindak pidana adalah orang pribadi. Namun, menurut
perkembangan zaman subjek tindak pidana dirasakan perlu diperluas termasuk badan
hukum.44
Korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan dikalangan ahli hukum
pidana untuk menyebutkan apa yang biasa dalam hukum lain khususnya dalam
bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa belanda disebut
rechts person, dan dalam bahasa inggris disebut legal entities atau corporation. Badan hukum itu juga disebut dengan korporasi dalam arti sempit,
sedangkan korporasi dalam arti luas juga meliputi badan tidak berbadan hukum.
Pengembang perumahan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman harus berbadan hukum, dalam hal ini berarti
pengembang perumahan adalah korporasi berbadan hukum (selanjutnya disebut
korporasi/pengembang perumahan) yang merupakan subjek hukum pidana.
45
44
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, halaman 54. 45
Pengembang Perumahan merupakan pelaku usaha berbadan hukum yang statusnya
adalah subjek tindak pidana.
Korporasi merupakan badan hukum yang beranggotakan, tetapi mempunyai
hak dan kewajiban anggota masing-masing. Penempatan korporasi sebagai subjek
dalam hukum pidana tidak lepas dari modernisasi social. Modernisasi sosial
dampaknya pertama harus diakui bahwa semakin modern masyarakat itu dan semakin
kompleks sistem sosial, ekonomi dan politik yang terdapat disitu, maka kebutuhan
akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula.46
J.C. Smith dan Brian Hogan berpendapat bahwa korporasi tidak bisa
melakukan tindakan-tindakan hukum tanpa melalui orang-orang tertentu sedangkan
Chidir Ali menyatakan bahwa hukum memberi kemungkinan dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu, suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang
yang pembawa hak, dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa
serta dapat dipertanggunggugatkan. Namun demikian, badan hukum (korporasi)
bertindak harus dengan perantara orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu
tidak untuk dirinya sendiri melainkan untuk dan atas pertanggunggugatan korporasi.47
Badan hukum secara hukum pada prinsipnya harta bendanya terpisah dari
harta benda pendirinya/pemiliknya. Karena itu tanggungjwab secara hukum juga
dipisah dari harta benda pribadi pemiliknya. Dalam hukum dikenal beberapa teori
46
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, halalaman 43.
47
tentang suatu badan hukum yang menyebabkan eksistensinya terpisah dari
pendirinya/pemiliknya dengan berbagai konsekuensi yuridis dari keterpisahan
tersebut.48 Beberapa teori tantang badan hukum perusahaan yang relevan dengan
penelitian ini, yaitu sebagai berikut :49
48
Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Halaman 3.
49Ibid
, Halaman 4. 1. Teori fiksi
Teori fiksi (fiction theory) disebut juga sebagai teori kesatuan semu (artificial
sntity theory). Teori ini mengajarkan bahwa perusahaan hanya ciptaan dan
khayalan manusia, dan dianggap ada oleh manusia. Jadi, tidak terjadi secara
alamiah. Badan hukum hanyalah sebagai makhluk yang diciptakan oleh hukum
(creature of law)
2. Teori realistis
Teori realistis (realist theory) ini sering juga disebut sebagai teori organ (organ
theory) yang menganggap bahwa keberadaan badan hukum dalam tata hukum
sama saja dengan keberadaan manusia sebagai subjek hukum. Jadi, badan
hukum bukanlah khayalan dari hukum sebagaimana diajarkan oleh teori fiksi,
melainkan benar (realist) ada dalam kehidupan hukum.
Sealiran dengan teori realistis, maka teori ciptaan diri sendiri ini, (Self ceating)
atau autopoietic, merupakan teori yang mengajarkan bahwa perusahaan
hanyalah merupakan 1 (Satu) “unit” yang tercipta dengan sendirinya, bukan
ciptaan hukum dan bukan juga fiksi, melainkan benar-benar ada dalam
kenyataan (real personality).
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana sebenarnya sudah ada peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia mengatur hal tersebut. Beberapa teori
hukum yang berpengaruh terhadap batas-batas penetapan badan hukum sebagai
pelaku tindak pidana dapat dikemukakan dari beberapa teori berikut :50
Ajaran yang bertendensi “psikologis” dari J. Remmelinkyang berpendapat
bahwa hukum pidana memandang manusia sebagai makhluk rasional dan
berasusila (redelijk zedelijk wezen). Remmelink memilih cara pendekatan atas
hukum pidana yang bersifat “psikologis”, maka hampir tidak mungkin dapat
untuk menggariskan batas-batas penetapan badan hukum sebagai pelaku. Hal
ini terjadi karena dengan pendekatan “psikologis”, permasalahan dapat atau
tidaknya badan hukum dipidana tidak mungkin ditempatkan dalam rangka
dogmatik hukum pidana yang berlaku. Hal ini juga menimbulkan permasalahan
bahwa menurut pandangan ini, pemidanaan harus didasarkan pada unsur
1. Teori Remmelink
50
kehendak manusia. Hal ini dapat menimbulkan masalah apabila yang harus
dipidana adalah badan hukum. Dapat ditemukan penulis-penulis yang mencoba
menempatkanpemidanaan badan hukum, dalam konteks pendekatan hukum
pidana yang “psikologis” ini dengan cara memanusiakan badan hukum hanya
mengakibatkan timbulnya konstruksi hukum yang janggal.
2. Teori Ter Heide
Pandangan Ter Heide,memilih pendekatan hukum pidana yang lebih bernuansa
“sosiologis”. Di dalam bukunya yang berjudul “Vrijheid, over de zein van de
straf”, menyatakan “bahwa terdapat suatu kecendrungan dimana hukum pidana
semakin lama semakin dilepaskan dari konteks manusia.” Karena hukum
pidana telah terlepas dari konteks manusia, maka dapat disimpulkan bahwa
hanya manusia yang pada prinsipnya dapat diperlakukan sebagai subjek hukum
pidana dapat disimpangi. Alasan untuk memperlakukan badan hukum sebagai
subjek hukum adalah berkaitan dengan badan hukum mampu untuk turut
berperan dalam mengubah situasi kemasyarakatan (penetapan badan hukum
sebagai pelaku tindak pidana secara fungsional), yang mengimpikasikan bahwa
badan hukum dapat dinyatakan bersalah (unsur kesalahan disini berarti
bertindak secara sistematis). Berdasarkan hal ini Te Heide, menarik kesimpulan
“bila hukumpidana dilepaskan dari konteks manusia, maka hal itu
mengimplikasikan dapat dipidanya badan hukum”. Berbeda dengan pendekatan
pandangan bahwa badan hukum dapat dipidana, dapat ditempatkan di dalam
keseluruhan sistem hukum pidana, Meskipun beliau tidak merinci lebih lanjut
tentang persyaratan badan hukum sebagai pelaku harus ditempatkan, cukup
jelas bahwa berdasarkan wawasannya, penentuan batas harus dilakukan dengan
memperhatikan makna sosial dari tindak badan hukum yang bersangsangkutan.
3. Teori ‘t Hart
Pandangan dari ‘t Hart,menyatakan bahwa hukum (pidana) harus dilihat
sebagai suatu bentuk penyaluran pengejawantahan kekuasaan, yang
dikarakteristikkan oleh aspek-aspek instrumen tujuan rasional dan aspek-aspek
pembatas kekuasaan yang kritis. Kedua aspek ini, satu sama lain, saling terkait
dengan erat. Di dalam persoalan penegakan hukum maka yang perlu
diperhatikan adalah penciptaan keseimbangan antara kedua aspek diatas yang
tidak dapat dilepaskan dari aspek lainnya. Berbeda dengan pendekatan klasik
pandangan ‘t Hart tidak cukup menutup kemungkinan ditempatkannya
pemidanaan badan hukum di dalam sistem hukum pidana. Jika bersama-sama
dengan ‘t Hart berbicara tentang manusia di dalam hukum pidana, maka
manusia lebih diartikan sebagai keberadaan “yuridis” dari manusia sebagai
subjek hukum. Keberadaan yuridis ini tidak sama dengan pengertian manusia
sebagai makhluk yang terdiri dari daging dan darah. Menurut ‘t Harthal ini
akan memberikan ruang cukup untuk juga menerima konstruksi person lain
Masuknya korporasi sebagai subjek tindak pidana, sudah tentu timbul
konsekuensi khususnya tentang pertanggungjawaban pidananya.51 Dalam hukum
pidana konsep pertanggungjawaban pidana itu merupakan konsep sentral yang
dikenal dengan ajaran kesalahan.52 Berbicara tentan pertanggungjawaban pidana
maka tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian
tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana
hanya merujuk kepada dilarangnya suatu perbuatan.53
Tindak pidana tidak berdiri sendiri, tindak pidana baru bermakna manakala
terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak
pidana tidak dengan sendirinya dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya
celaan (verwijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai
tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada
pembuat yang memenuhi persaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan
tersebut.54
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasikan karena adanya kerugian (harm)
yang menyebabkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal libility.
Persoalan yang mengundang perdebatan adalah bagaimana menerapkan
51
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, Halaman 129
52
Mahrus Ali (buku 1), Op Cit, halaman 39. 53
pertanggungjawaban pada tindak pidana korporasi atau corporate liability, mengingat
di dalam Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang di
anggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi
biologis yang alami (naturlijk person).55
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault)
atau pada prinsipnya menganut asas kesalahan atau asas culpabilitas. Kemungkinan
dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas “strict liability” dan asas “vicarious
liability”, berdasarkan Naskah RUU KUHP, sebagaimana dalam Pasal 38 ayat (1), (2)
dinyatakan bahwa:
Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan
subjek hukum pidana. Subjek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan
merupakan pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala
perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggungjawab karena
kesalahannya terhadap orang lain (korban).
56
1. Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa
seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur
tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
55
Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi Dan Pertanggungjawabannya, (disampaikan dalam ceramah di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan, 2006), halaman 2.
56
2. Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan unsur kesalahan terhadap korporasi bukan
hal yang mudah, karena korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak mempunyai
sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk).
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Beberapa Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai
berikut :57
Corporate Criminal Liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi yang
pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi,
selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari
1. Doktrin Identifikasi/DirectCorporateCriminalLiability
Menurut teori ini, korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung
melalui para agen yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak
untuk dan/atau atas nama korporasi. Mereka tidak sebagai pengganti dan oleh
karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban
pribadi. Syarat adanya pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung
adalah tindakan-tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup
pekerjaan korporasi.
57
korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti
dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat
pertanggungjawaban pribadi.58
Ajaran identifikasi atau identificationdoctrine dianggap tidak cukup untuk
dapat digunakan mengatasi realitas proses pengambilan keputusan dalam
banyak perusahaan modern.
Terkait dengan uraian tersebut, siapa yang dimaksud dengan agen atau
orang-orang yang bila melakukan tindak pidana, sehingga yang bertanggungjawab
adalah korporasi (tindakan) mereka sesungguhnya identik dengan (tindakan)
korporasi. Dalam teori Corporate Criminal Liability, orang-orang yang identik
dengan korporasi bergantung kepada jenis dan s