• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Pengembang Perumahan Dan Kawasan Permukiman Dalam Penyediaan Prasarana, Sarana Dan Utilitas Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Pengembang Perumahan Dan Kawasan Permukiman Dalam Penyediaan Prasarana, Sarana Dan Utilitas Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh :

NURPANCA SITORUS 127005071/ HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

PENGEMBANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DALAM PENYEDIAAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG

PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

TESIS

(Disusun Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)

Oleh

NURPANCA SITORUS 127005071/ HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Telah diuji pada

Tanggal : 28 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.

Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

2. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum.

3. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum.

(4)

ABSTRAK

Pengembang perumahan sebagai yang bertanggungjawab dalam melaksanakan pembangunan PSU tidak lepas dari tanggungjawab pidana jika lalai atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya. Pengembang perumahan sebagai subjek hukum pidana dapat dimaknai sebagai korporasi dalam arti sempit yaitu suatu perusahaan berbadan hukum, sebab hanya perusahaan berbadan hukumlah yang dapat melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman; 2. Bagaimana tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum dalam pembangunan perumahan dan kawasan perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman; 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dalam melakukan pengkajian pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dan kawasan perukiman dalam penyediaan sarana, Prasarana, dan Utilitas Umum berdasarkan Undang-undang Perumahan dan permukiman. Sifat penelitian adalah preskriptif, yaitu dengan mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Kemudian penelitian ini dibantu dengan ilmu terapan. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan sesuai dengan substansi yang di atur dengan mempertimbangkan relevansinya terhadap rumusan masalah dan tujuan penelitian. Melalui sistematisasi terhadap bahan hukum yang kompleks akan dapat ditemukan norma hukumnya dan menerapkannya guna menyelesaikan problema hukum yang dihadapi.

(5)

dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman, yaitu mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya, menjual satuan permukiman, sebelum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan hunian atau Lisiba terlebih dahulu, menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan, membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman, membangun perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasaran, sarana dan utilitas umum berdasarkan Pasal 162 ayat (1) dan (2), Pasal 163, dan Pasal 155 Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat dimintakan kepada pengembang perumahan, pengurus pengembang perumahan, dan pengembang perumahan beserta pengurus pengembang perumahan secara bersama-sama.

Terhadap hal di atas, perlu segera dibuat Peraturan Pelaksana tentang Penyediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum. Sehingga dengan peraturan tersebut para Pengembang perumahan dapat mematuhi dan menjalankannya agar tidak ada lagi perbedaan penafsiran terhadap Penyediaan Prasarana, sarana dan utilitas umum yang menyeret tindakan pengembang perumahan ke perbuatan pidana. Belum adanya peraturan pelaksana juga memberi peluang kepada pengembang perumahan yang nakal untuk memanfaatkannya yang akhirnya mengakibatkan kerugian pada masyarakat. Perlu juga dirumuskan dalam Peraturan Perundang-undangan tentang pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan secara jelas dan terperinci. Perumusan itu baik berupa pemisahan tindak pidana yang dikategorikan perbuatan Korporasi atau pribadi pengurus maupun sanksinya. Khususnya tentang Pertanggungjawaban Pidana pengembang perumahan dalam penyediaan Prasarana, Sarana, dan utilitas umum dalam penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan dan permukiman.

(6)

ABSTRACT

As a housing developer who is responsible for carrying out the construction of the PSU is not free from criminal responsibility if negligent or intentionally does not perform its obligations. Housing developers as the subject of criminal law can be interpreted in a narrow sense as a corporation that is a legal entity, because the only company that can legally punish implement perukiman residential development and the region. The problems discussed in this thesis are as follows: 1 How does the legal regulation of the obligations of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities under the Law of Settlement Housing and Regions; 2 How is the crime of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities in the construction of residential and settlement region based on the Law of housing and residential areas; 3 How does the criminal responsibility of housing developers in providing infrastructure, facilities and public utilities pursuant to an Law of housing and residential areas.

This type of research is conducted legal research by using the approach of legislation in assessment of criminal responsibility and the housing developer settlement region in the provision of facilities, infrastructure, and the Public Utilities Law is based on the Housing and settlements. The character of research is prescriptive, i.e. by studying law purposes, the values of justice, the validity of the rule of law, legal concepts and legal norms. Then this research assisted with applied science. As an applied science, the science of law set the standard procedures, rules and guidelines in implementing the rule of law. The primary legal materials which be gathered in advance in accordance with the substance systematized set to consider its relevance to the formulation of the problem and research objectives. Systematization through the complex legal material would be found legal norms and apply them to solve problems faced by law.

(7)

place that could potentially pose a danger to people or goods. Criminal responsibility of housing developers in providing infrastructures, facilities and public utilities pursuant to Article 162, paragraph (1) and (2), Article 163, and Article 155 of Law No. 1 of 2011 on Housing and Settlement Areas may be requested to housing developers, administrators developer housing, and developers of housing and housing developer board together.

Gainst the above, needs to be created Implementing Regulation on the Provision of Infrastructure, Facilities, and Public Utilities. So with these regulations can adhere to the developer housing and run it so that there is no longer a difference of interpretation of the provision of infrastructure, facilities and public utilities are dragging action housing developers to criminal acts. The absence of implementing regulations also provide opportunities for housing developers to use the naughty which eventually resulted in a loss to the community. It should also be formulated in legislation concerning the criminal responsibility of housing developers clearly and in detail. The formulation in the form of separation is considered a criminal offense or private corporation board actions or sanctions. Especially on Criminal Liability of housing developers in the provision of Infrastructure, Facilities, and public utilities in the administration of Housing and Regions and settlements.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena hanya dengan

rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada

waktunya. Adapun judul tesis ini adalah “Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban

Pidana Pengembang Perumahan Dan Kawasan Permukiman Dalam Penyediaan

Prasarana, Sarana Dan Utilitas Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman”. Penulisan tesis ini merupakan

suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam

bidang Ilmu Hukum (MH) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan

dorongan baik berupa arahan, masukan ataupun saran, sehingga penulisan tesis ini

dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang

mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr.

Alvi Syahrin, S.H., M.S., selaku Pembimbing utama penulis, Bapak Prof. Dr. Suhaidi,

S.H., M.H., selaku Pembimbing II penulis, dan Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,

M.Hum., selaku Pembimbing III penulis yang telah dengan tulus ikhlas memberikan

bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga kepada Dosen Penguji yang terhormat Bapak Dr. Hasim

Purba, S.H., M.Hum., dan Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S., yang telah

(9)

sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga

penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H. Sp. A (K),

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan

dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan

fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis

ini.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Magister Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Pembimbing II penulis yang

telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan

membimbing penulis.

5. Para Pegawai/Karyawan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam

(10)

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis

juga turut menghaturkan salam sayang dan ucapan terima kasih yang tak terhingga

kepada Ayahanda Bapak Muadi Sitorus dan Ibunda Animah Saragih yang telah

melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis. Terima kasih juga

penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan

kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT., agar selalu

dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,

namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan

manfaat kepada semua pihak.

Medan, Agustus 2014

Penulis,

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Nurpanca Sitorus

Tempat/Tgl. Lahir : Medan/ 30 Desember 1990

Alamat : Jl. Bunga Wijaya Kusuma, Psr 4, No. 10, Padang

Bulan, Medan.

Agama : Islam

Status Pribadi : Belum Menikah

Pendidikan : SD Negeri Simp. Pete ; Tahun 1996

SMP Negeri 1 Bandar ; Tahun 2002

SMA Negeri 1 Bandar ; Tahun 2005

S-1 Fakultas Hukum USU ; Tahun 2008

Nama Orang Tua Laki-Laki : Muadi Sitorus

Nama Orang Tua Perempuan : Animah Saragih

Anak Ke : 1 dari 5 bersaudara

Tahun Masuk Di Prog. Studi

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ……… i

ABSTRACT ……….. ……… iii

KATA PENGANTAR ……… ……… v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ……….. ……… viii

DAFTAR ISI ……… ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penulisan ... 16

E. Keaslian Penulisan ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 18

1. Kerangka Teori ... 18

2. Kerangka Konsep ... 44

G. Metodologi Penelitian ... 45

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 45

2. Sumber Bahan Hukum ... 47

3. Pengumpulan Bahan Hukum ... 49

(13)

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG KEWAJIBAN PENGEMBANG PERUMAHAN DALAM PENYEDIAAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

A. Pengembang Perumahan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman ... 52

B. Kewajiban Pengembang Perumahan dalam Penyediaan Perasarana,

sarana dan utilitas umum rumah umum dan rumah komersil ... 58

C. Pengaturan hukum tentang Kewajiban Pengembang Perumahan

dalam Penyediaan Perasarana, sarana dan utilitas umum rumah

umum dan rumah komersil ... 71

BAB III TINDAK PIDANA PENGEMBANG PERUMAHAN DALAM

PENYEDIAAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

A.Pengertian Tidak Pidana dan unsur-unsur tindak pidana korporasi ... 76

B. Sifat Melawan Hukum Tindak Pidana Korporasi ... 85

C. Alasan Pembenar Bagi Korporasi ... 89

D. Tidak Pidana Pengembang Perumahan Dalam penyediaan prasarana,

sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang Perumahan

(14)

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGEMBANG PERUMAHAN DALAM MENYEDIAKAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERMUKIMAN

A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 102

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 102

2. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana ... 107

3. Korporasi Mampu Bertanggungjawab ... 114

4. Penentuan Kesalahan Korporasi ... 118

5. Alasan Pemaaf bagi Korporasi ... 123

B. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 126

1. Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat dan Penguruslah Yang bertanggungjawab ... 127

2. Korporasi sebagai Pembuat dan Penguruslah yang harus bertanggung jawab ... 130

3. Korporasi sebagai Pembuat Pengurus dan Koperasilah Yang bertanggungjawab ... 132

(15)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 144

B. Saran ... 145

(16)

ABSTRAK

Pengembang perumahan sebagai yang bertanggungjawab dalam melaksanakan pembangunan PSU tidak lepas dari tanggungjawab pidana jika lalai atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya. Pengembang perumahan sebagai subjek hukum pidana dapat dimaknai sebagai korporasi dalam arti sempit yaitu suatu perusahaan berbadan hukum, sebab hanya perusahaan berbadan hukumlah yang dapat melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman; 2. Bagaimana tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum dalam pembangunan perumahan dan kawasan perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman; 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dalam melakukan pengkajian pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dan kawasan perukiman dalam penyediaan sarana, Prasarana, dan Utilitas Umum berdasarkan Undang-undang Perumahan dan permukiman. Sifat penelitian adalah preskriptif, yaitu dengan mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Kemudian penelitian ini dibantu dengan ilmu terapan. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan sesuai dengan substansi yang di atur dengan mempertimbangkan relevansinya terhadap rumusan masalah dan tujuan penelitian. Melalui sistematisasi terhadap bahan hukum yang kompleks akan dapat ditemukan norma hukumnya dan menerapkannya guna menyelesaikan problema hukum yang dihadapi.

(17)

dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman, yaitu mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya, menjual satuan permukiman, sebelum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan hunian atau Lisiba terlebih dahulu, menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan, membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman, membangun perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan prasaran, sarana dan utilitas umum berdasarkan Pasal 162 ayat (1) dan (2), Pasal 163, dan Pasal 155 Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat dimintakan kepada pengembang perumahan, pengurus pengembang perumahan, dan pengembang perumahan beserta pengurus pengembang perumahan secara bersama-sama.

Terhadap hal di atas, perlu segera dibuat Peraturan Pelaksana tentang Penyediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum. Sehingga dengan peraturan tersebut para Pengembang perumahan dapat mematuhi dan menjalankannya agar tidak ada lagi perbedaan penafsiran terhadap Penyediaan Prasarana, sarana dan utilitas umum yang menyeret tindakan pengembang perumahan ke perbuatan pidana. Belum adanya peraturan pelaksana juga memberi peluang kepada pengembang perumahan yang nakal untuk memanfaatkannya yang akhirnya mengakibatkan kerugian pada masyarakat. Perlu juga dirumuskan dalam Peraturan Perundang-undangan tentang pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan secara jelas dan terperinci. Perumusan itu baik berupa pemisahan tindak pidana yang dikategorikan perbuatan Korporasi atau pribadi pengurus maupun sanksinya. Khususnya tentang Pertanggungjawaban Pidana pengembang perumahan dalam penyediaan Prasarana, Sarana, dan utilitas umum dalam penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan dan permukiman.

(18)

ABSTRACT

As a housing developer who is responsible for carrying out the construction of the PSU is not free from criminal responsibility if negligent or intentionally does not perform its obligations. Housing developers as the subject of criminal law can be interpreted in a narrow sense as a corporation that is a legal entity, because the only company that can legally punish implement perukiman residential development and the region. The problems discussed in this thesis are as follows: 1 How does the legal regulation of the obligations of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities under the Law of Settlement Housing and Regions; 2 How is the crime of housing developers in the provision of infrastructure, facilities and public utilities in the construction of residential and settlement region based on the Law of housing and residential areas; 3 How does the criminal responsibility of housing developers in providing infrastructure, facilities and public utilities pursuant to an Law of housing and residential areas.

This type of research is conducted legal research by using the approach of legislation in assessment of criminal responsibility and the housing developer settlement region in the provision of facilities, infrastructure, and the Public Utilities Law is based on the Housing and settlements. The character of research is prescriptive, i.e. by studying law purposes, the values of justice, the validity of the rule of law, legal concepts and legal norms. Then this research assisted with applied science. As an applied science, the science of law set the standard procedures, rules and guidelines in implementing the rule of law. The primary legal materials which be gathered in advance in accordance with the substance systematized set to consider its relevance to the formulation of the problem and research objectives. Systematization through the complex legal material would be found legal norms and apply them to solve problems faced by law.

(19)

place that could potentially pose a danger to people or goods. Criminal responsibility of housing developers in providing infrastructures, facilities and public utilities pursuant to Article 162, paragraph (1) and (2), Article 163, and Article 155 of Law No. 1 of 2011 on Housing and Settlement Areas may be requested to housing developers, administrators developer housing, and developers of housing and housing developer board together.

Gainst the above, needs to be created Implementing Regulation on the Provision of Infrastructure, Facilities, and Public Utilities. So with these regulations can adhere to the developer housing and run it so that there is no longer a difference of interpretation of the provision of infrastructure, facilities and public utilities are dragging action housing developers to criminal acts. The absence of implementing regulations also provide opportunities for housing developers to use the naughty which eventually resulted in a loss to the community. It should also be formulated in legislation concerning the criminal responsibility of housing developers clearly and in detail. The formulation in the form of separation is considered a criminal offense or private corporation board actions or sanctions. Especially on Criminal Liability of housing developers in the provision of Infrastructure, Facilities, and public utilities in the administration of Housing and Regions and settlements.

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak asasi manusia pada dasarnya mengatur hubungan antara

individu-individu dengan negara. Hak asasi manusia telah disepakati sebagai hukum

internasional yang dapat menjadi standar yang kuat bagaimana negara harus

memperlakukan individu-individu di dalam wilayah yurisdiksinya. Dengan kata lain

hak asasi manusia memberikan jaminan moral dan hukum kepada individu-individu

untuk melakukan kontrol dan mendorong aturan dalam praktik-praktik kekuasaan

negara terhadap individu-individu, memastikan adanya kebebasan individu dalam

kebutuhan-kebutuhan dasar individu-individu yang berada di dalam wilayah

yurisdiksinya. Disinilah negara menjadi pihak yang memiliki tugas dan kewajiban

(duty-bearer) untuk menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfil) hak asasi

manusia dan individu-individu yang berdiam di wilayah yurisdiksinya sebagai

pemegang hak (right holder).1

Rumah merupakan hak setiap warga negara, hal ini tercermin dalam sila

kelima pancasila yaitu keadilan sosial dan dalam Undang-Undang Dasar 1945

tercermin dalam alinea ke empat pembukaan yang menyebutkan : “... memajukan

1

(21)

kesejahteraan umum....” serta Pasal 28 ayat (1) menyebutkan : “tiap-tiap warga

negara berhak ... penghidupan yang layak”.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, mengamanatkan bahwa

setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan.2 Tempat tinggal mempunyai peran yang sangat strategis dalam

pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun

manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif sehingga

terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap

manusia, yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus

kehidupan manusia.3

Kebutuhan akan perumahan yang dapat dipergunakan untuk berteduh bagi

manusia merupakan suatu kebutuhan yang primer disamping kebutuhan sandang dan

pangan.4 Sesuai dengan pendapat Maslow menyebutkan bahwa sesudah manusia

terpenuhi kebutuhan jasmaninya, yaitu sandang, pangan, dan kesehatan, kebutuhan

akan rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu motivasi untuk pengembangan

kehidupan yang lebih tinggi lagi.5

2

Lihat Pasal 28 H ayat (1), UUD RI Tahun 1945 amandemen ke 4. 3

Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Perukiman Bagian I Umum.

4

Al Rashid Harun, Upaya Penelesaian Sengketa Sewa Menyewa Perumahan Menurut Ketentuan Perundang-Undangan, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985, halaman 9.

5

Sastra Suparno, Dkk, Perencanaan Dan Pengembangan Perumahan, CV. Andi Offset, Yogyakarta, 2006, halaman 2.

(22)

salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan

harkat dan martabat manusia, maka perlu diciptakan kondisi yang dapat mendorong

pembangunan perumahan untuk menjaga kelangsungan penyediaan perumahan dan

permukiman.6 Hak atas perumahan dalam disiplin hak asasi manusia sering kali

disamakan dengan hak rakyat atas tempat untuk hidup.7

Perumahan, Rumah, rumah susun dan perukiman merupakan kebutuhan

dasar manusia yang struktural sifatnya dan mempunyai peranan yang sangat strategis

dalam pembetukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta

dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan

masyarakat.8 Perumahan, rumah, rumah susun, dan perukiman juga tidak dapat

dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu

merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk

memasyarakatkan diri dan menampakkan jati dirinya.9 Selain sebagai salah satu

kebutuhan dasar, rumah dan kelengkapannya merupakan faktor penentu indikator

kesejahteraan rakyat dan menjadi komitmen global sebagaimana dituangkan dalam

Agenda Habitat dan Millenium Development Goals (MDGs).10

6

Lihat Konsideran Dalam Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peumahan dan Kawasan Permukiman.

7

Supriyanto Dkk, Op Cit, halaman 61. 8

Moh. Hasan Wargakusumah, Analisis Dan Evaluasi Hukum Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Perukiman, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Ham RI Tahun 2003, halaman 1.

9Ibid

, halaman 2 10

(23)

Indonesia sebagai masyarakat internasional yang turut menandatangani

Deklarasi Rio de Janeiro selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh

United Nations Centre for HumanSettlements. Jiwa dan semangat yang tertuang

dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II adalah bahwa rumah merupakan

kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian

yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Dalam Agenda

21 ditekankan pentingnya rumah sebagai hak asasi manusia. Hal itu telah sesuai pula

dengan semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.11

Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan

kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan

dan kawasan perukiman serta keswadayaan masyarakat. Penyediaan dan kemudahan Negara bertanggungjawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui

penyelenggaraan perumahan dan kawasan perukiman agar masyarakat mampu

bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam

lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah

Indonesia. Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus

dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah

(selanjutnya disebut dengan MBR) dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat

penduduk di perkotaan.

j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CC4QFjAB&url=http%3A%2F%2Fpemb iayaan.kemenpera.go.id) di akses pada tanggal 24 maret 2014 pukul 11.30 WIB.

11

(24)

perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata

ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian

lingkungan hidup, sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan

keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.12

Penyelenggaraan kawasan perukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah

yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung

perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan

berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang. Penyelenggaraan kawasan perukiman

tersebut bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak

dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian

bermukim, yang wajib dilaksanakan sesuai dengan arahan pengembangan kawasan

perukiman yang terpadu dan berkelanjutan.13

Upaya pemenuhan kebutuhan rumah bagi masyarakat adalah pengembangan

dan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Yang pada prinsipnya

pembangunan tersebut bertujuan untuk menyiapkan lokasi bagi pembangunan

perumahan sejahtera yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas umum

(selanjutnya disebut dengan PSU) yang memadai dan terjangkau.

14

12Ibid

13Ibid 14

Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Perukiman Tahun 2013 Di Keluarkan Oleh Kementrian Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Halaman 1.

Rumah dalam

pengertian ini mencakup makna perumahan yang memadai (Adequate housing). Kata

(25)

menjadi tidak sekedar sebentuk bangunan persegi empat yang mempunyai atap. Dari

standart internasional hak asasi manusia, kita dapat meminjam makna rumah yang

memadai, yakni ketersediaan pelayanan, material, fasilitas, dan infrastruktur.

Memadai juga mengandung makna pemenuhan prinsip-prinsip seperti keterjangkauan

biaya (offordability). Selanjutnya memadai juga mempertimbangkan faktor-faktor

lokasi (location) dan layak secara budaya (cultural adequate).15

Membangun perumahan tidak dapat hanya dilihat dari sisi membangun

rumahnya saja, akan tetapi juga membangun satuan perukiman. Membangun satuan

perukiman tidak hanya membangun rumah-rumah dan sarana serta prasarananya saja,

akan tetapi juga membangun komunitasnya. Membangun komunitas berarti

memberdayakan untuk mandiri dan meningkatkan kepercayaan dirinya. Dengan

kepercayaan diri maka meningkat pula kemampuan untuk menanggapi masalah yang

dihadapinya.16

Rumah dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan

Kawasan Perukiman (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Perumahan dan

Kawasan Permukiman) diklasifikasikan berdasarkan jenisnya menjadi 5 (lima) yaitu

rumah komersial, rumah umum, rumah swadaya, rumah khusus dan rumah negara.

Rumah umum dan rumah swadaya dalam pembangunannya mendapatkan kemudahan

dan/atau bantuan dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah, rumah khusus dan

15

Supriyanto Dkk, Op Cit, halaman 61. 16

(26)

rumah negara disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah sedangkan

rumah komersial diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan

kebutuhan masyarakat.17

Komponen penting dari pembangunan perumahan dan kawasan perukiman

adalah penyediaan Prasarana,Sarana, dan Utilitas umum (Selanjutnya disebut dengan

PSU). PSU perumahan dan kawasan perukiman merupakan kelengkapan fisik untuk

mendukung terwujudnya perumahan yang sehat, aman dan terjangkau. Dengan

demikian, ketersediaan PSU merupakan kelengkapan dan bagian yang tidak

terpisahkan dari upaya pengembangan perumahan dan kawasan perukiman.

Dukungan PSU yang memadai diharapkan dapat menciptakan dan meningkatkan

kualitas lingkungan perumahan.18 Hal ini sejalan dengan Salah satu misi Kementrian

Perumahan Rakyat (Kemenpera) dalam usaha untuk merealisasikan "setiap keluarga

Indonesia menempatirumah yang layak huni" sebagai visi Kementrian adalah

meningkatkan ketersediaan rumah layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang

sehat dan aman serta didukung oleh prasarana, sarana dan utilitas yang memadai.19

Semua jenis rumah di atas dalam pelaksanaan pembangunannya haruslah

memenuhi PSU. Pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah bertanggungjawab

dalam pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan rumah Negara dengan

17

Pasal 21 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman 18

Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Perukiman Tahun 2013,Op Cit, halaman 2.

19

(27)

demikian juga bertanggungjawab mengadakan PSU rumah-rumah tersebut, sementara

khusus untuk rumah komersil badan hukum yang melaksanakannyalah yang

mempunyai kewajiban mengadakan PSU rumah komersil sedangkan rumah swadaya

karena inisiatifnya berasal dari masyarakat maka yang bertanggungjawab untuk

mengadakan PSU adalah masyarakat dan akan diberi kemudahan dan/atau bantuan

oleh pemerintah pusat/daerah. Selain Pemerintah pusat dan/atau daerah

bertangungjawab untuk jenis rumah umum, badan hukum juga dapat melaksanakan

pembangunan perumahan untuk MBR dan dalam pengajuan rencana tersebut

Pemerintah Daerah wajib memberikan kemudahan perizinan bagi badan hukum itu.

Penelitian ini hanya akan membahas 2 (dua) jenis rumah yaitu rumah

komersil dan rumah umum20

Badan hukum atau Pengembang perumahan berkewajiban disamping

membangun perumahan juga berkewajiban menyediakan PSU perumahan tersebut.

PSU harus memenuhi persyaratan yaitu kesesuaian antara kapasitas pelayanan dan

jumlah rumah, keterpaduan antara PSU dan lingkungan hunian, dan ketentuan teknis

pembangunan PSU.

saja. Pembangunan tersebut dalam pelaksanaanya ada

kaitanya dengan tanggungjawab badan hukum (pengembang perumahan) dalam

penyediaan PSU untuk kedua jenis rumah tersebut.

21

20

Rumah umum khusus yang dibangun oleh pengembang perumahan bukan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.

21

(28)

perumahan untuk MBR mendapatkan bantuan dalam menyediakan PSU dari

Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas

peraturan presiden Nomor 54 Tahun 2012 tentang Penyediaan Barang/Jasa

Pemerintah, pada Pasal 38 ayat (5) huruf h menyatakan bahwa: “Pekerjaan pengadaan

prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan perumahan bagi masyarakat

berpenghasilan rendah yang dilaksanakan oleh pengembang/developer yang

bersangkutan”, maka untuk pelaksanaan pembangunan fisik bantuan dimungkinkan

untuk dilaksanakan dengan penunjukan langsung kepada pengembang/developer

yang bersangkutan.22

Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk:

Hal ini berarti pengembang perumahan yang akan membangun

jenis rumah umum dapat ditunjuk langsung untuk mengadakan PSU rumah yang

dibangunnya oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

23

1. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan

yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia;

2. Ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan

kebutuhan rumah, perumahan, perukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan;

3. Mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang

serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna;

4. Memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan

22

Buku Panduan Bantuan PSU Perumahan Dan Kawasan Perukiman Tahun 2013, Op Cit, halaman 3.

23

(29)

5. Mendorong iklim investasi asing.

Pertumbuhan pembangunan pada sektor perumahan dan kawasan perukiman

di tanah air terbilang sangat pesat. Pertumbuhan ini didorong oleh meningkatnya

permintaan masyarakat akan perumahan dan kawasan perukiman yang sesuai dengan

tingkat kebutuhanya. Hal ini merupakan isu permasalahan strategis yang dihadapi

pengembangan perumahan dan kawasan perukiman saat ini adalah masih tingginya

angka backlog24atau akumulasi kebutuhan rumah pertahunnya, yang merupakan

isyarat bahwa upaya-upaya penyiapan kawasan perumahan dan perukiman sangat

mendesak untuk dilakukan.25

Pemerintah dalam mewujudkan rumah murah bagi MBR masih menghadapi

sejumlah masalah internal dan eksternal di era otonomi daerah saat ini. Secara

internal, daerah menghadapi kendala dalam hal pembiayaan, kelembagaan, bahkan

keterbatasan sumber daya manusia, sedangkan di sisi lain, daya beli masyarakat

masih rendah. Namun demikian, pemerintah daerah mempunyai kekuatan dalam

penyediaan lahan dan kewenangan dalam hal perijinan. Pemerintah Pusat mempunyai

kekuatan pada sisi regulasi, termasuk regulasi terhadap sumber-sumber pembiayaan Serta keterbatasan tanah untuk kebutuhan perumahan

merupakan kendala yang sering dihadapi terutama di kota-kota besar, sehingga upaya

untuk memenuhi kebutuhan perumahan merupakan kebutuhan yang cukup mendasar.

24

Dalam bisinis Backlog adalah pesanan untuk barang ata Pesanan untuk barang atau jasa yang perusahaan belum sampaikan atau berikan kepada pelanggannya.

Jika dalam perumahan berarti kebutuhan perumahan untuk masyarakat. (http://kamusbisnis. com/arti/backlog/) di akses pada tanggal 24 Maret 2014 pukul 11.30 WIB.

25

(30)

maupun pendanaan yang dibutuhkan. Sementara itu mitra yang merupakan pelaku,

pemerhati, akademisi, dan pihak swasta lainnya diharapkan mempunyai komitmen

yang kuat untuk mendukung dan menggerakkan program pembangunan rumah murah

tersebut.26 Hal ini sejalan dengan pendapat Kemenpera yang menyadari bahwa

pembangunan perumahan bagi masyarakat tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh

pemerintah pusat dan daerah saja tetapi juga dibutuhkan peran sektor swasta seperti

para pengembang perumahan serta masyarakat itu sendiri.27

Pembangunan perumahan dan kawasan perukiman dalam rangka menjamin

menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki

rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur

dilaksanakan oleh Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan/atau setiap orang atau

orang perseorangan atau badan hukum baik berupa koperasi, yayasan, lembaga

sewadaya masyarakat, maupun badan swasta baik pengembang/developer, mediator Penyelenggaraan perumahan dan kawasan perukiman harus memerhatikan

berbagai aspek yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011

Tentang Perumahan Dan Kawasan Perukiman yang di undangkan pada tanggal 12

Januari 2011 secara menyeluruh dan terpadu terkhusus untuk kewajiban penyediaan

PSU untuk jenis rumah umum dan komersil.

26

Pidato Menteri negara perumahan rakyat Republik indonesia Pada upacara Peringatan hari perumahan nasional Tanggal 25 agustus 2011.

27

(31)

maupun motivator pembangunan. Keikutsertaan orang perorangan dan/atau badan

hukum dalam melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman

dibarengi dengan kawajiban yang harus dipenuhi dan ditaati serta dilaksanakan

dengan baik berdasarkan Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman yang

tertuang di dalam pasal-pasalnya.

Pelaksanaan Pembangunan perumahan dan kawasan perukiman oleh orang

perseorangan atau badan hukum pada prakteknya berpeluang tidak menjalankan

kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi malah justru mengabaikan bahkan

menyalahgunakannya sehingga berdampak kepada kepentingan masyarakat yang

sifatnya cenderung merugikan. Apalagi masyarakat belum sepenuhnya mengenal

secara utuh masalah-masalah dibidang perumahan dan perukiman, sehingga dirasa

perlu adanya aturan yang mengatur dalam pelaksanaanya dibidang perumahan dan

kawasan perukiman, berikut sanksi yang dikenakan atas pelanggaran yang terjadi

berdasarkan ketentuan undang-undang. Bantuan dana untuk PSU yang dikucurkan

oleh Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) bagi pengembang perumahan

MBRpun rentan terhadap penyelewengan dan tidak sesuai dengan tujuannya. Dana

bantuan tersebut seharusnya dapat dijadikan stimulus bagi pengembang MBR untuk

mau membangun rumah MBR sekaligus menekan harga rumah yang ada.28

28

(32)

Para pelaku pembangunan perumahan dan kawasan perukiman baik

perumnas, koperasi, badan swasta, seperti pengusaha realestate dalam menjalankan

usahanya kerap mendapat kritik dari yang bersumber dari pelaksanan yang keliru

mengenai usaha pembangunan yang dijalankan dibidang perumahan dan kawasan

permukiman. Hal ini menunjukkan ada peluang terjadi pelanggaran atas kewajiban

sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Undang-undang Perumahan dan

kawasan permukiman telah mengatur sanksi yang akan diancamkan kepada pelaku

usaha yang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang diharuskan.

Pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman pada

perakteknya banyak mengalami masalah, mulai dari wanprestasi pihak pengembang

perumahan sampai ke penipuan pembeli perumahan. Hal ini sudah pasti bermuara

pada kerugian yang diderita masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai berita dari

berbagai media informasi, 130 kepala keluarga (KK) di Perumahan Bumi Nagara

Lestari (BNL) Desa Nagara, Kabupaten Serang, Banten, mengancam memboikot

pembayaran kredit rumah Bulan Februari. Penyebabnya warga kesal karena

keseringan banjir. Sementara pihak pengembang tidak terlihat berinisiatif

menyelesaikan masalah tersebut.29

29

Ramadhian Fadhillah,Minggu ,2 Februari 2014 04:30http://www.merdeka.com/peristiwa/ kesal-terus-kebanjiran-warga-tolak-bayar- kredit-rumah.html di akses pada tanggal 7 Februari 2014

Medan (Sumatera Utara) malah berbeda,

masyarakat disekitar lokasi Perumahan dan Kawasan Perukiman terkena imbas akibat

pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Akibat

(33)

lokasi kawasan perumahan yang biasanya tidak terkena banjir setelah adanya

pembangunan oleh pihak pengembang menjadi banjir, sehingga berujung

pemboikotan oleh masrakat terhadap pembangunan.30 Masyarakat sekitar komplek

Citra Land Bagdya City melaporkan pengembang perumahan ke Bupati Deli Serdang

diwakili oleh kuasa hukumnya Tim Advokasi Penyelaat Aset Sumatera Utara.31

Pengembang perumahan sebagai yang bertanggungjawab dalam

melaksanakan pembangunan PSU tidak lepas dari tanggungjawab pidana jika lalai

atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya. Pengembang perumahan sebagai

subjek hukum pidana dapat dimaknai sebagai korporasi dalam arti sempit yaitu suatu

perusahaan berbadan hukum, sebab hanya perusahaan berbadan hukumlah yang dapat

melaksanakan pembangunan perumahan dan kawasan perukiman. Dilatar belakangi

permasalahan penyediaan PSU oleh pengembang perumahan di atas maka sudah

seyogianyalah masalah ini diangkat sebagai suatu karya ilmiah.

Pelaku pembangunan perumahan dan kawasan perukiman baik perumnas,

koperasi, badan swasta, seperti pengusaha realestate (selanjutnya disebut dengan

pengembang perumahan) sebenarnya telah diancam dengan sanksi dalam rumusan

pasal-pasal Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, bahkan bukan

hanya orang-perorangan selaku pengurus tetapi juga pengembang perumahan yang

dapat kita sebut sebagai korporasi.

30 Harian Analisa, “Minim resapan Air” Sabtu 21 Desember 2013, halaman 6. 31

(34)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dirumuskan beberapa

permasalahan, sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan

dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan

Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman?

2. Bagaimana tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan prasarana,

sarana dan utilitas umum dalam pembangunan perumahan dan kawasan

perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam

menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang

perumahan dan kawasan permukiman ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penilitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Mengetahui pengaturan hukum tentang kewajiban pengembang perumahan

dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan

Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.

2. Mengetahui tindak pidana pengembang perumahan dalam penyediaan

(35)

kawasan perukiman berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan

permukiman.

3. Mengetahui pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam

menyediakan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan Undang-undang

perumahan dan kawasan permukiman.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan-tujuan diatas, penelitian ini juga diharapkan untuk berbagai hal

diantaranya :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara

teoritis terhadap penanganan pertanggungjawaban pidana pengembang

perumahan dalam penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum berdasarkan

Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman.

2. Secara praktis :

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

a. Aparat penegak hukum agar mengetahui bagaimana konsep

pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan berdasarkan

Undang-undang Perumahan dan kawasan permukiman tersebut sehingga memudahkan

(36)

b. Bagi pemerintah sebagai sumbangan pemikiran terhadap pembaharuan hukum

pidana dalam perumusan undang-undang yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pidana pengembang perumahan dalam menyediakan

prasarana, sarana dan utilitas umum sehingga penegakan hukum yang

menyangkut tidak pidana yang dilakukan pengembang perumahan dapat

dilakukan dengan baik dan selain itu juga sebagai masukan dalam menyusun

Peraturan Pemerintah tentang PSU.

c. Bagi akademis sebagai langkah awal dalam pengembangan dan penelitian

lebih lanjut untuk mengetahui inventarisasi perundang-undangan khususnya

dalam hal ini mengetahui prinsip pertanggungjawaban pidana pengembang

perumahan dalam menyediakan prasarana, saran dan utilitas umum

berdasarkan Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman.

E. Keasalian Penulisan

Penelitian dengan judul “Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana

Pengembang Perumahan Dan Kawasan Perukiman Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Perukiman” belum pernah

dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dilingkungan sekolah Pasca Sarjana Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara, akan tetapi isu hukum yang berkaitan dengan

(37)

1. Fauzi Chairul F, NIM: 982105009, dengan judul “Perlindungan Hak-Hak

Konsumen Perumahan atas ketentuan klausula baku dengan pelaku usaha di

kota madya Medan ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999”.

2. Denny Umri Butar-butar, NIM: 117005057, “Pertanggungjawaban pelaku

usaha perumahan dalam jual beli rumah yang mengandung cacat tersembunyi

dalam persfektif hukum perdata (study kasus perumahan di kota Medan)”.

Permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidak sama dengan

penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian-penelitian ini merupakan hasil

dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan pada referensi buku-buku dan

informasi dari media cetak serta elektronik. Mengacu pada alasan tersebut maka

dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Tindak Pidana menurut Wirjono Projodikoro yaitu suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Pelaku itu dikatakan sebagai subjek

tindak pidana.32

32

E.Y Kanter, dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannnya, Storia Grafika, Jakarta 2002, halaman 209.

(38)

sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana.33

Tindak pidana terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.34 Unsur subjektif

adalah unsur yang berasal dari diri pelaku yaitu kesalahan dari orang yang melanggar

aturan-aturan pidana artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan

kepada sipelanggar. Unsur objektif merupakan unsur dari luar pelaku. Unsur objektif

tersebut meliputi :35

1. Perbuatan manusia yaitu perbuatan yang positif atau suatu perbuatan yang

negatif yang menyebabkan pidana.

2. Akibat perbuatan manusia yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan atau

membahayakan kepentingan-kepentingan hukum, yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum.

3. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa terdapat pada

waktu melakukan perbuatan.

4. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu melawan

hukum, jika bertentangan dengan undang-undang.

Unsur subjektif dari suatu tindak pidana meliputi:36

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacthe raad seperti yang misalnya

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan

tindak pidana menurut Pasal 380 KUHP.

33

M. Hamdan, Tindak Pidana Suap dan Money Politic, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, halaman 8.

34

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Gradika, Jakarta, 2005, halaman 9.

35

M. Hamdan, Op Cit, halaman 10. 36

(39)

Ada dua aliran berbeda pandangan terhadap unsur-unsur tindak pidana yaitu

aliran monisme dan aliran dualisme. Aliran monisme memandang antara unsur

subjektif (pelaku/pembuat pidana) dengan unsur objektif (perbuatan) tidak perlu

dilakukan pemisahan sedangkan aliran dualisme memandang perlu untuk

dipisahkan.37

Perbedaan mendasar dari pertentangan antara monisme dan dualisme tentang

delik terletak dalam pembahasan mengenai perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana. Aliran monisme sepakat menyatakan bahwa kesengajaan

merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari perbuatan. Perbuatan itu adalah

kelakuan yang dikendalikan secara sadar oleh kehendak yang diarahkan kepada

akibat-akibat tertentu.38

Moeljatno menganut pandangan dualisme yaitu pengertian perbuatan pidana

tidak meliputi pertanggungjawaban pidana, Moeljatno memebedakan dengan tegas

dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidana orangnya dan beliau memisahkan

pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.39

Kemampuan bertanggung jawab melekat pada unsur subjektif, dan tidak pada

unsur objektif, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya

37

PrayitnoImanSantos

38

Arfan Efendi, dimensilmu.blogspot.com/2013/07/unsur-unsur-tindak-pidana, di akses pada tanggal 4 juli 2014, pkl 17.00 WIB.

39

(40)

memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan (adanya)

pembuatnya, atau dapat dipidana pembuatnya. Dari padangan demikian, kemampuan

bertanggungjawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana.40

Penganut monoisme tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana

dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Unsur yang mengenai diri orangnya

bagi penganut dualisme, yakni kesalahan dan adanya pertanggungjawaban pidana

sebagai bukan unsur tidak pidna melainkan syarat untuk dapat dipidananya,

sedangkan menurut paha monoisme juga merupakan unsur tindak pidana.41

Paham monoisme ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan

syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan

menjadi unsur tindak pidana.

42

oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya

tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak

pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang)

tidak dipisah sebagaimanamenurut paham dualism.43

Aliran dualisme membedakan antara perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, kesalahan merupakan unsur

subjektif yang menjadi unsur pertanggungjawaban pidana. Karena itu, kesalahan

40

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan batas berlakunya hukum pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, halaman 73.

41Ibid

, halaman 76. 42Ibid

. 43Ibid

(41)

tidak mungkin dimasukkan dalam perbuatan pidana yang hanya mengandung unsur

objektif saja sehingga perbuatan pidana hanya dapat dilarang. Adapun pemidanaan

ditujukan kepada pembuat atau subjek hukum pidana yang dinyatakan dapat

mempertanggungjawabkan perbuatan dilakukannya.

Subjek tindak pidana adalah pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut.

Subjek hukum pidana dalam KUHP adalah manusia. Pandangan klasik ini

berpendapat bahwa subjek tindak pidana adalah orang pribadi. Namun, menurut

perkembangan zaman subjek tindak pidana dirasakan perlu diperluas termasuk badan

hukum.44

Korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan dikalangan ahli hukum

pidana untuk menyebutkan apa yang biasa dalam hukum lain khususnya dalam

bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa belanda disebut

rechts person, dan dalam bahasa inggris disebut legal entities atau corporation. Badan hukum itu juga disebut dengan korporasi dalam arti sempit,

sedangkan korporasi dalam arti luas juga meliputi badan tidak berbadan hukum.

Pengembang perumahan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Perumahan dan Kawasan Permukiman harus berbadan hukum, dalam hal ini berarti

pengembang perumahan adalah korporasi berbadan hukum (selanjutnya disebut

korporasi/pengembang perumahan) yang merupakan subjek hukum pidana.

45

44

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, halaman 54. 45

(42)

Pengembang Perumahan merupakan pelaku usaha berbadan hukum yang statusnya

adalah subjek tindak pidana.

Korporasi merupakan badan hukum yang beranggotakan, tetapi mempunyai

hak dan kewajiban anggota masing-masing. Penempatan korporasi sebagai subjek

dalam hukum pidana tidak lepas dari modernisasi social. Modernisasi sosial

dampaknya pertama harus diakui bahwa semakin modern masyarakat itu dan semakin

kompleks sistem sosial, ekonomi dan politik yang terdapat disitu, maka kebutuhan

akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula.46

J.C. Smith dan Brian Hogan berpendapat bahwa korporasi tidak bisa

melakukan tindakan-tindakan hukum tanpa melalui orang-orang tertentu sedangkan

Chidir Ali menyatakan bahwa hukum memberi kemungkinan dengan memenuhi

syarat-syarat tertentu, suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang

yang pembawa hak, dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa

serta dapat dipertanggunggugatkan. Namun demikian, badan hukum (korporasi)

bertindak harus dengan perantara orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu

tidak untuk dirinya sendiri melainkan untuk dan atas pertanggunggugatan korporasi.47

Badan hukum secara hukum pada prinsipnya harta bendanya terpisah dari

harta benda pendirinya/pemiliknya. Karena itu tanggungjwab secara hukum juga

dipisah dari harta benda pribadi pemiliknya. Dalam hukum dikenal beberapa teori

46

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, halalaman 43.

47

(43)

tentang suatu badan hukum yang menyebabkan eksistensinya terpisah dari

pendirinya/pemiliknya dengan berbagai konsekuensi yuridis dari keterpisahan

tersebut.48 Beberapa teori tantang badan hukum perusahaan yang relevan dengan

penelitian ini, yaitu sebagai berikut :49

48

Munir Fuadi, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Halaman 3.

49Ibid

, Halaman 4. 1. Teori fiksi

Teori fiksi (fiction theory) disebut juga sebagai teori kesatuan semu (artificial

sntity theory). Teori ini mengajarkan bahwa perusahaan hanya ciptaan dan

khayalan manusia, dan dianggap ada oleh manusia. Jadi, tidak terjadi secara

alamiah. Badan hukum hanyalah sebagai makhluk yang diciptakan oleh hukum

(creature of law)

2. Teori realistis

Teori realistis (realist theory) ini sering juga disebut sebagai teori organ (organ

theory) yang menganggap bahwa keberadaan badan hukum dalam tata hukum

sama saja dengan keberadaan manusia sebagai subjek hukum. Jadi, badan

hukum bukanlah khayalan dari hukum sebagaimana diajarkan oleh teori fiksi,

melainkan benar (realist) ada dalam kehidupan hukum.

(44)

Sealiran dengan teori realistis, maka teori ciptaan diri sendiri ini, (Self ceating)

atau autopoietic, merupakan teori yang mengajarkan bahwa perusahaan

hanyalah merupakan 1 (Satu) “unit” yang tercipta dengan sendirinya, bukan

ciptaan hukum dan bukan juga fiksi, melainkan benar-benar ada dalam

kenyataan (real personality).

Korporasi sebagai pelaku tindak pidana sebenarnya sudah ada peraturan

perundang-undangan yang ada di Indonesia mengatur hal tersebut. Beberapa teori

hukum yang berpengaruh terhadap batas-batas penetapan badan hukum sebagai

pelaku tindak pidana dapat dikemukakan dari beberapa teori berikut :50

Ajaran yang bertendensi “psikologis” dari J. Remmelinkyang berpendapat

bahwa hukum pidana memandang manusia sebagai makhluk rasional dan

berasusila (redelijk zedelijk wezen). Remmelink memilih cara pendekatan atas

hukum pidana yang bersifat “psikologis”, maka hampir tidak mungkin dapat

untuk menggariskan batas-batas penetapan badan hukum sebagai pelaku. Hal

ini terjadi karena dengan pendekatan “psikologis”, permasalahan dapat atau

tidaknya badan hukum dipidana tidak mungkin ditempatkan dalam rangka

dogmatik hukum pidana yang berlaku. Hal ini juga menimbulkan permasalahan

bahwa menurut pandangan ini, pemidanaan harus didasarkan pada unsur

1. Teori Remmelink

50

(45)

kehendak manusia. Hal ini dapat menimbulkan masalah apabila yang harus

dipidana adalah badan hukum. Dapat ditemukan penulis-penulis yang mencoba

menempatkanpemidanaan badan hukum, dalam konteks pendekatan hukum

pidana yang “psikologis” ini dengan cara memanusiakan badan hukum hanya

mengakibatkan timbulnya konstruksi hukum yang janggal.

2. Teori Ter Heide

Pandangan Ter Heide,memilih pendekatan hukum pidana yang lebih bernuansa

“sosiologis”. Di dalam bukunya yang berjudul “Vrijheid, over de zein van de

straf”, menyatakan “bahwa terdapat suatu kecendrungan dimana hukum pidana

semakin lama semakin dilepaskan dari konteks manusia.” Karena hukum

pidana telah terlepas dari konteks manusia, maka dapat disimpulkan bahwa

hanya manusia yang pada prinsipnya dapat diperlakukan sebagai subjek hukum

pidana dapat disimpangi. Alasan untuk memperlakukan badan hukum sebagai

subjek hukum adalah berkaitan dengan badan hukum mampu untuk turut

berperan dalam mengubah situasi kemasyarakatan (penetapan badan hukum

sebagai pelaku tindak pidana secara fungsional), yang mengimpikasikan bahwa

badan hukum dapat dinyatakan bersalah (unsur kesalahan disini berarti

bertindak secara sistematis). Berdasarkan hal ini Te Heide, menarik kesimpulan

“bila hukumpidana dilepaskan dari konteks manusia, maka hal itu

mengimplikasikan dapat dipidanya badan hukum”. Berbeda dengan pendekatan

(46)

pandangan bahwa badan hukum dapat dipidana, dapat ditempatkan di dalam

keseluruhan sistem hukum pidana, Meskipun beliau tidak merinci lebih lanjut

tentang persyaratan badan hukum sebagai pelaku harus ditempatkan, cukup

jelas bahwa berdasarkan wawasannya, penentuan batas harus dilakukan dengan

memperhatikan makna sosial dari tindak badan hukum yang bersangsangkutan.

3. Teori ‘t Hart

Pandangan dari ‘t Hart,menyatakan bahwa hukum (pidana) harus dilihat

sebagai suatu bentuk penyaluran pengejawantahan kekuasaan, yang

dikarakteristikkan oleh aspek-aspek instrumen tujuan rasional dan aspek-aspek

pembatas kekuasaan yang kritis. Kedua aspek ini, satu sama lain, saling terkait

dengan erat. Di dalam persoalan penegakan hukum maka yang perlu

diperhatikan adalah penciptaan keseimbangan antara kedua aspek diatas yang

tidak dapat dilepaskan dari aspek lainnya. Berbeda dengan pendekatan klasik

pandangan ‘t Hart tidak cukup menutup kemungkinan ditempatkannya

pemidanaan badan hukum di dalam sistem hukum pidana. Jika bersama-sama

dengan ‘t Hart berbicara tentang manusia di dalam hukum pidana, maka

manusia lebih diartikan sebagai keberadaan “yuridis” dari manusia sebagai

subjek hukum. Keberadaan yuridis ini tidak sama dengan pengertian manusia

sebagai makhluk yang terdiri dari daging dan darah. Menurut ‘t Harthal ini

akan memberikan ruang cukup untuk juga menerima konstruksi person lain

(47)

Masuknya korporasi sebagai subjek tindak pidana, sudah tentu timbul

konsekuensi khususnya tentang pertanggungjawaban pidananya.51 Dalam hukum

pidana konsep pertanggungjawaban pidana itu merupakan konsep sentral yang

dikenal dengan ajaran kesalahan.52 Berbicara tentan pertanggungjawaban pidana

maka tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian

tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana

hanya merujuk kepada dilarangnya suatu perbuatan.53

Tindak pidana tidak berdiri sendiri, tindak pidana baru bermakna manakala

terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak

pidana tidak dengan sendirinya dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada

pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya

celaan (verwijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai

tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada

pembuat yang memenuhi persaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan

tersebut.54

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasikan karena adanya kerugian (harm)

yang menyebabkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal libility.

Persoalan yang mengundang perdebatan adalah bagaimana menerapkan

51

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, Halaman 129

52

Mahrus Ali (buku 1), Op Cit, halaman 39. 53

(48)

pertanggungjawaban pada tindak pidana korporasi atau corporate liability, mengingat

di dalam Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang di

anggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi

biologis yang alami (naturlijk person).55

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault)

atau pada prinsipnya menganut asas kesalahan atau asas culpabilitas. Kemungkinan

dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas “strict liability” dan asas “vicarious

liability”, berdasarkan Naskah RUU KUHP, sebagaimana dalam Pasal 38 ayat (1), (2)

dinyatakan bahwa:

Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan

subjek hukum pidana. Subjek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan

merupakan pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala

perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggungjawab karena

kesalahannya terhadap orang lain (korban).

56

1. Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa

seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur

tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

55

Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi Dan Pertanggungjawabannya, (disampaikan dalam ceramah di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan, 2006), halaman 2.

56

(49)

2. Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan unsur kesalahan terhadap korporasi bukan

hal yang mudah, karena korporasi sebagai subyek hukum pidana tidak mempunyai

sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk).

Korporasi sebagai pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya. Beberapa Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai

berikut :57

Corporate Criminal Liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi yang

pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi,

selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan dari

1. Doktrin Identifikasi/DirectCorporateCriminalLiability

Menurut teori ini, korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung

melalui para agen yang sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak

untuk dan/atau atas nama korporasi. Mereka tidak sebagai pengganti dan oleh

karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban

pribadi. Syarat adanya pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung

adalah tindakan-tindakan para agen tersebut masih dalam ruang lingkup

pekerjaan korporasi.

57

(50)

korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti

dan oleh karena itu, pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat

pertanggungjawaban pribadi.58

Ajaran identifikasi atau identificationdoctrine dianggap tidak cukup untuk

dapat digunakan mengatasi realitas proses pengambilan keputusan dalam

banyak perusahaan modern.

Terkait dengan uraian tersebut, siapa yang dimaksud dengan agen atau

orang-orang yang bila melakukan tindak pidana, sehingga yang bertanggungjawab

adalah korporasi (tindakan) mereka sesungguhnya identik dengan (tindakan)

korporasi. Dalam teori Corporate Criminal Liability, orang-orang yang identik

dengan korporasi bergantung kepada jenis dan s

Referensi

Dokumen terkait

Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri dalam rangka kerja sama ASEAN dengan Mitra Eksternal ASEAN di

SensorQ TM juga merupakan salah satu merek komersial yang merupakan kemasan cerdas yang dapat mendeteksi kebusukan pada daging segar yang disimpan dalam kemasan,

Dari Gambar 7 dapat dijelaskan bahwa sistem ini akan bekerja apabila waktu telah menunjukkan pukul 07.00 atau 17.00 (sesuai dengan yang telah ditentukan pada timer ), dan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui klasifikasi wilayah di Kabupaten Jember dari pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang ada dimana nantinya

Pada staf audit yang berhadapan dengan manajemen klien yunior, 21 responden memilih untuk meminta bukti audit tambahan dan 4 responden memilih untuk tidak meminta

Siklus 3: (1) Tahap perencanaan, mengidentifikasi masalah dan menetapkan aternatif pemecahan pada siklus 2, (2) Tahap pelaksanaan, meliputi menyiapkan media yang akan digunakan

Berdasarkan hasil pemodelan dapat disimpulkan bahwa pertama, adanya pelebaran pulsa gelombang pada pemodelan gelombang soliter internal dimana; pelebaran pulsa

Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan akhir karya tulis ilmiah yang berjudul “Pengaruh pajanan asap terhadap jumlah