BAB I PENDAHULUAN
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
2. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Konsep badan hukum (korporasi) itu sebenarnya merupakan konsep dari stelsel hukum perdata. Konsep ini tumbuh subur hingga pada akhirnya bidang-bidang hukum lain di luar stelsel hukum perdata sulit untuk tidak memperhatikan eksistensi
badan hukum tersebut.180 Rudi Prasetya mengatakan bahwa timbulnya konsep badan
hukum bermula sekedar konsep hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi (badan hukum) merupakan suatu ciptaan hukum, yakni pemberian status subjek hukum kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang bersifat manusia alamiah. Dengan demikian, badan
hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan suatu tidakan hukum.181
Pengakuan korporasi (recht person) sebagai subjek hukum dalam hukum
pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoretis, tidak seperti pengakuan subjek
180
H. Setiono, Op Cit, halaman 7. 181
Hamzah Hatrik , Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability Dan Vicarious Liability, Jakarta, 1996, Halaman 29.
hukum pidana pada manusia. Terdapat dua alasan mengapa kondisi tersebut terjadi. Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi (fiction theory) yang dicetuskan oleh Von Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuan-kesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara, korporasi-korporasi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan hukum itu manusia. Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat pada tiap individu. Oleh karena itu, konsepsi asli kepribadian harus sesuai dengan cita-cita manusia. Kedua, masih dominannya asas universitas delinguere non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tidak pidana dalam sistem hukum pidana dibanyak negara. Asas ini merupakan hasil pemikiran dari abad ke-19, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan individualisasi KUHP. Dalam konteks KUHP yang hingga saat ini masih diberlakukan di Indonesia, asas tersebut ternyata begitu mempengaruhi kemunculan Pasal 59 KUHP yang berbunyi sebagai-berikut :
“Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus, atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”.
Pasal 59 KUHP tersebut esensinya berbicara tentang tindak pidana yang hanya bisa
dilakukan oleh manusia, tidak termasuk korporasi.182
Penetapan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia terdapat dan diatur di luar KUHP, karena KUHP sifatnya statis dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat maka KUHP tersebut tidaklah sepenuhnya memenuhi aspirasi dan kebutuhan hukum bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah perkembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang diakui di luar KUHP (dalam perundang-undangan khusus). Hukum pidana khusus maksudnya adalah undang-undang pidana yang berada diluar hukum pidana umum yang mempunyai penyimpangan dari hukum pidana umum baik dai segi hukum pidana materil maupun segi hukum pidana formal. Hukum tindak pidana khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan/orang-orang tertentu. Ruang lingkup tindak pidana khusus tidaklah bersifa tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri
ketentuan-ketentuan dari Undang-undang pidana yang mengatur substansi tertentu.183
1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap
Undang-undang di luar KUHP sepanjang Undang-Undang-undang itu tidak menentukan lain. Dasar hukum dari Undang-undang pidana khusus adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
182
Mahrus ali (buku 2), Op Cit, Halaman 64 183
Tesis Rise Karmila, Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana di Luar KUHP, USU, 2009, halaman 81.
2. Adanya kemungkinan Undang-undang termasuk Undang-undang pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya.
KUHP masih tetap menganut subjek hukum pidana berupa “orang”, namun dengan adanya berbagai fungsi perundang-undangan di luar KUHP akhirnya
korporasi diakui sebagai subjek tindak pidana di luar ketentuan KUHP.184
Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum hukum pidana tidak lepas dari modernisasi sosial, menurut Satjipto Raharjo, modernisasi sosial
dampaknya pertama harus diakui, bahwa semakin modern masyarakat itu semakin kompleks sistem sosial, ekonomi, dan politik yang terdapat di situ, maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. Kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang santai, tetapi dikehendaki adanya pengaturan yang semakin rapi terorganisasi, jelas dan terperinci. Sekalipun cara-cara seperti ini mungkin memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang semakin berkembang, namun persoalan-persoalan yang ditimbulkan tidak
kurang banyak pula.185
Usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana, yaitu tidak lepas karena adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut dilatar belakangi oleh fatwa bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya.
184Ibid, halaman 106. 185
Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindankan pengurus-pengurus korporasi. Oleh karenanya dianggap tidak adil
bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya manusia.186
Ada 3 (tiga) tahapan secara garis besar melihat perubahan dan
perkembangan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana yaitu, pertama,
dimulainya pada tahap ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan
korporasi dibatasi pada perorangan (naturlijk person). Sehingga apabila suatu tindak
pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap
dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.187 Dalam tahap ini membebankan “tugas
mengurus” (zorgplihct).188
Pada tahap ini, pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab. Namun demikian, kesulitan yang muncul adalah dalam hal pemilik atau
pengusahannya adalah suatu korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan pertanggungjawabannya? Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan tentang
kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana pada tahap kedua.189
186
Mahrus ali (buku 2), Op Cit, Halaman 66 187
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op Cit, halaman 53. 188
Dwijda Priyatno, Op Cit, Halaman 24. 189
Tahap kedua, tahap ini ditandai dengan pengakuan yang timbul setelah perang dunia pertama dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana, dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha atau korporasi. Tanggungjawab
untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut.190
Perumusan khusus untuk ini adalah apakah jika suatu tindak pidana
dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan hukuman pidana harus dijatuhkan terhadap pengurus. Secara perlahan-lahan tanggungjawab pidana beralig dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan
larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya.191 Dalam
tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah para pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut, dalam hal ini dinyatakan secara tegas dalam peraturan
perundnag-undangan yang mengatur hal tersebut.192
Tahap ketiga, pada tahap ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab
yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan setelah perang dunia II. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fisika keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan
190
Muladi dan Dwidja Priyatn, Op Cit, halaman 55. 191Ibid, halman 55.
192
mungkin seimbang bila mana pidana dijatuhkan pada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu,
diharapkan dapat dipaksan korporasi untuk menaati peraturan bersangkutan.193
Korporasi dikualifikasikan sebagai subjek yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan disamping orang (pengurus), merupakan refleksi mengenai dua hal, yakni kemampuan korporasi melakukan tindak pidana dan
kemampuan korporasi untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.194
Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai saat ini masih menajdi masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontra dengan alasan-alasan
masing-masing sebagai berikut:195
a. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
hanya terdapat pada persona alamiah. 1. Alasan-alasan pihak-pihak yang tidak setuju :
b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materil, yang merupakan syarat dapat
dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah.
c. Bahwa pidana dan tindakan berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat
dikenakan pada korporasi.
d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya
mungkin menimpa kepada orang tidak bersalah.
193
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op Cit, Halaman 57 194
Hamzah Hatrik, Op Cit, halaman 7. 195
e. Bahwa didalam praktek tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.
2.Alasan-alasan pihak-pihak yang setuju :
a. Pemidaan pengurus saja ternyata tidak cukup untuk mengadakan represi
terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya perlu pula kemungkinan pemidanaan korporasi, korporasi dan pengurus atau pengurus saja.
b. Dalam kehidupan sosial ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan
yang penting pula.
c. Hukum pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat, yaitu
melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditentukan pada segi perseorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi.
d. Pemidanaan korporasi merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan
tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri. Pemecahan persoalan untuk menentukan pelaku dapat dilakukan oleh pembuat undang-undang dengan cara menyebutkan spesifikasi atau identitas secara jelas siapa yang akan dinyatakan sebagai pelaku. Misalnya, “suatu tindak pidana ….. dilakukan oleh korporasi atau atas nama korporasi, jika tindak pidana itu dilakukan oleh direktur atau manager dalamkegiatan korporasi…” kemudian dapat ditentukan pertanggungjawaban pidananya, yang dalam hal ini ditentukanj secara koulatif atau alternative-komulatif. Sebab pengertian subjek tindak pidana (pelaku) dan yang bertanggungjawab. Dengan demikian, tergantung cara atau sistem perumusan
pertanggungjawaban pidana yang akan digunakan.196
Di Indonesia dalam perkemdangannya korporasi sudah tidak diragukan lagi pengakuannya sebagai subjek hukum pidana karena diberbagai hukum positif sudah
jelas-jelas menempatkan korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya secara
langsung secara pribadi.197
Ada dua kategori penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam
peratauran perundang-undangan di Indonesia yaitu :198
a. Kategori pertaman menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana, akan
tetapi pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada para anggota atau pengurus korporasi.
b. Kategori kedua menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan
secara tegas dapat dipertanggungjawabkan pidana secara langsung. 3. Korporasi Mampu Bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur pertanggungjawaban pidana. Tidaklah mungkin seseorang dapat
dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Simons
mengatakan, “kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan suatu adanya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya.” Dikatakan selanjutnya bahwa seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yakni apabila (a) ia mampu
197
Muladi dan Dwidja Priyatno, Op Cit, halaman 124. 198
untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum,
dan (b) iya dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.199
Dalam persoalan kemampuan bertanggungjawab itu ditanyakan apakah
seseorang itu merupakan “normadres sat” (sasaran norma), yang mampu. Seseorang
terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu bertenggungjawab, kecuali
dinyatakan sebaliknya.200
Mengenai rumusan kemampuan bertanggungjawab KUHPidana tidak
memberikan perumusan, dan hanya jika kita temui dalam memorievantoelichting
(memori penjelasan) secara negative menyebutkan mengenai pengertian kemampuan
bertanggung jawab itu, adanya tidak ada kemapuan bertanggung jawab pada posisi si
pembuat :201
1. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memiliki antara berbuat atau
tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarangh atau diperintahkan, dengan kata lain dalam hal perbuatan yang dipaksa.
2. Dala hal pembuat ada dalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat
menginsafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak
mengerti akibat perbuatan itu nafsu patologis (pathologisce drift), gila, pikiran
tersebut dan sebagainya.
199
H. Setiono, Op Cit, halaman 104 200
PPJK, Op Cit, Halaman 44 201
Sehubungan dengan kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana, muncul pertanyaan, untuk mempertanggungjawabkan korporasi, apakah diperlukan kemampuan bertanggungjawab sehingga dapat dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang dilakukan dan dijatuhi pidana? dan Apakah kriteria untuk menentukan kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana? Nampaknya tidak merupakan hal mudah mencari dasar
kemampuan bertanggungjawab korporasi, karena korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak mempunyai sifat kejiawaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (naturlijkperson).202 Sesungguhnya korporasi dapat memiliki kemampuan
bertanggungjawab, asalkan indikator yang sebagaimana termaktub dalam ketentuan pasal 44 KUHP karena memang isinya tidak mungkin bisa dilakukan dan dimiliki
korporasi, seperti jiwa cacat tanpa penyakit tertentu.203
Agar koperasi bisa memiliki kemampuan bertanggung jawab, maka terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ukuran untuk menentuakan bahwa suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi harus didasarkan pada teori pelaku fungsional (fungsionaldaderschap) atau teori identifikasi. Sebab, sebagaimana korporasi hanya bias melakukan perbuatan tertentu termasuk melakukan tindak pidana melalui perantara pengurusnya. Kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama, maka korporasi juga memiliki kemampuan bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan. Hal ini karena eksistensi korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan
202
H. Setiono, Op Cit, halaman 105. 203
atau aktifitas pencapaian tujuannya selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia. Oleh karena itu, kemampuan bertanggungjawab yang ada pada pengurus korporasi dilimpahkan menjadi kemampuan bertanggungjawab dari korporasi sebagai subjek
hukum pidana.204
1. Kepentingan yang manakah yang ingin dilindungi oleh pembentuk
undang-undang.
Menurut Wolter, kepelakuan fungsional (fungsionaldaderschap) adalah
karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasikan tindak pidana itu sedeikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratan dari masyarakat. Ciri khas dari kepelakuan fungsional, yaitu perbuatan fisik dari yang satu (yang sebenarnya
melakukan atau membuatnya) menghasilkan perbuatan fungsional terhadap yang lain. Sedangkan untuk meyakini adanya interpretasi fungsional dari hakim harus melalui 3 (tiga) tahap :
2. Pribadi yang manakah dala kasus pidana ini yang dapat menjalankan atau
melakukan tindak pidana. Siapa yang berada dalam posisi yang sangat menentukan untuk jadi atau tidaknya dilakukan atau dijalankan tindak pidana itu. Hal ini perlu bilamana hakim telah enetapkan bahwa dengan penjelasan
yang wajar secara harfiah (normale, lettrerlijk uitleg) ternyata tidak
memberikan hasil yang memuasakan.
3. Diajukan pertanyaan pembuktian, apakah ada cukup pembuktian secara sahih
(wettig bewijs), ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan.205
Di samping penerimaan terhadap konsep functioneeldaderschap,
sebenarnya apabila kita berpijak pada adagium res ipsa loquitur dalam
204Ibid.
205
mempertanggungjawabkan korporasi, kemampuan bertanggungjawab tidak
diperlukan lagi.206
Kesalahan selalau bertalian dengan pembuat tindak pidana. Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena sebenarnya dapat berbuat lain. Dicelanya subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang kadaan batinnya normal. Dengan kata lain, untuk adanya kesalahan pada diri sipembuat diperlukan syarat, yaitu keadaan batin yang normal. Metljatno mengatakan, “hanya terhadap orang-orang yang jiwanya normal sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang telah dianggap baik dalam masyarakat.