• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan serangkaian konsep, asumsi, defenisi dan proposisi guna menjelaskan suatu fenomena sosial secara sistimatik dengan cara merumuskan melalui antar konsep13, selanjutnya menurut Prof. M. Solly Lubis bahwa kerangka teori merupakan butir-butir pendapat atau thesis mengenai suatu permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan atau pegangan secara teoritis.14

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kerangka teori dibutuhkan di dalam penetian dan penulisan ini dengan harapan supaya memperoleh hasil optimal ketika dilakukan generalisasi untuk ditarik suatu simpulan sehingga dapat dibuat saran yang patut dan layak untuk dilaksanakan.

a.

Teori kedaulatan negara satu teori yang dikemukakan Hans Kelsen yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalism yang secara umum di dalamnya terdapat dua aspek, yaitu aspek statis (nomostatics) dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum sebagai suatu hal yang mengatur perbuatan yang bersumber dari norma dasar.

Teori kedaulatan negara.

13

Burhan Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Halaman 19. 14

Selanjutnya teori tersebut dikenal dengan teori Grundnorm yang merupakan dalil sekaligus juga yang menjadi tujuan dari semua peraturan perundangan sehingga setiap hukum atau peraturan perundangan yang berada dalam kawasan rezim Grundnorm harus terkait dengannya. 15

Terdapat dua istilah di dalam teori kedaulatan negara yaitu ; “kedaulatan” dan “negara”, kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu kelompok organisasi yang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat hukum tertentu sedangkan negara yaitu merupakan suatu organisasi yang mempunyai aneka ragam kepentingan dan setiap orang yang berada dalam lingkungan suatu masyarakatnya akan berusaha mencapai tujuannya yang disepakti baik secara kumunal maupun individual.16

Pada proses konkretisasi teori Kelsen mengukuhkan Stuffentheory yaitu suatu teori yang melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma mulai dari norma umum sampai kepada yang lebih konkrit dan paling konkrit yang berujung kepada sanksi hukum dalam suatu kedaulatan negara.

15

Jimly Asshiddiqi dan M.Ali Safa, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Halaman 8

16

Sri Soemantri Martosoewigogo, 1981, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta, Cetakan Kedua, Halaman 15.

Seperti halnya di Indonesia mulai dari Pancasila sebagai norma dasar, Undang Undang Dasar sebagai peraturan dasar sampai kepada undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, pearturan pemerintah, peraturan presiden sampai kepada peraturan pelaksana lainnya yang lebih rendah secara sistimatika tata hukum dalam hal ini penagturan bidang pendaftaran tanah.

Selanjutnya menurut Hans Kelsen bahwa kedaulatan negara lebih mengarahkan agar setiap orang taat kepada hukum, namun kedaulatan negara bukan merupakan kehendak negara, melainkan kemauan setiap orang merasa harus mentaatinya sebagai perintah negara.17

Dengan demikian negara mempunyai kedaulatan atau otorisasi dalam mengatur tujuan yang hendak dicapai, baik untuk kepentingan bersama (komunal) maupun perorangan (individual), namun dalam interaksinya disinyalir akan terjadi pergeseran berbagai kepentingan, karena itu negara memerlukan kesepakatan norma atau peraturan yang lebih rinci sebagai bentuk penjabaran dari peraturan yang lebih tinggi seperti halnya kebijaksanaan yang dibuat pemerintah.

17

Sudarsono, 1995, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Kedua, Halaman 111.

b.

Teori hukum responsif yang dikemukakan Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan hukum dalam 3 (tiga) kalsifikasi ; pertama, hukum sebagai pelayan kekuasaa (top-down) yang berpotensi represif ; kedua, hukum sebagai institusi tersendiri yang berpotensi otonom ; ketiga, hukum sebagai fasilitator kebutuhan dan aspirasi masyarakat (buttom-up) yang berpotensi responsif. Solusi teori hukum ini antara lain memerlukan kebijaksanaan pemerintah (diskresi), namun tidak mendorong otoritas yang tidak terkendali.

Teori hukum responsif.

18

Sebagai perbandingan, model hukum represif merupakan perintah penguasa dalam hal ini putusan hukum lebih kepada kebijaksanaan pemerintah (diskresi) sebagaimana yang digambarkan di dalam teori yang dikemukakan Thomas Hobbes, Jhon Austin dan Karl Marx sehingga antara negara dan hukum sulit dipisahkan, sedangkan hukum otonom lebih kepada kemandirian hukum terutama bagi negara hukum (rule of law) sebagaimana teori positivisme hukum kontemporer seperti H.L.H. Hart, Hans Kelsen, A.V. Dicey dan Lon L. Fuller yang lebih banyak berbicara

18

Satjipto Rahardjo, 2003, Hukum Responsif Plihan Di Masa Transisi, Hu-Ma, Jakarta, Halaman 12

mengenai putusan pejabat dan integritas putusan hukum sehingga mempersempit ruang kebijaksanaan pemerintah (diskresi), selanjutnya hukum responsif lebih berkomitmen kepada kebutuhan dan kepentingan publik yang berorientasi kepada tujuan sebagaimana teori realisme hukum dan Roscoe Pound atau Dworkin dengan konsep model of rules. 19

Namun hukum responsif ketika berhadapan dengan konflik hukum sangat memperhatikan tujuan pengambilan keputusan pada tatanan hukum yang tidak sinkron atau konsisten atau stagnasi, karena di samping ada otoritas kekuasaan juga memperhatikan kepentingan masyarakat tanpa menghilangkan legitimasi prosedural dan sanggup mengoreksi dirinya sendiri.

Oleh sebab itu maka hukum responsif dapat dikatakan relevan dalam pemecahan masalah konflik peraturan perundangan baik secara horizontal maupun vertikal, karena hukum responsif selalu dikaitkan dengan masalah sosial yang sedang terjadi maupun yang sedang berkembang di dalam kehidupan sosial masyarakat sebagaimana digambarkan Satjipto Rahardjo sebagai berikut. 20

19

ibid, Halaman 14 20

Hukum Respresif Hukum Otonom Hukum Responsif Tuj. Hukum Ketertiban Keabsahan Kompetensi Legitimasi Perlind. masy. Kebenaran Keadilan

dasar alasan prosedural substansial

adanya negara

Peraturan Keras, terperinci Dibuat dengan Tunduk asas hukum namun lunak dan teliti dan mengi dan

kebijaksanaan-mengikat pada - kat ya membuat

pembuat peratran dan yang diatur

Alasan Bersifat keras, Melekat secara Sesuai dg tujuan yg adhoc, tepat dan ketat pada otori merupakan prluasn tersendiri tas hukum dari kompetensi le- gislatif (tujuan)

Diskresi Meresap dilaku- Dibatasi oleh a- Diperluas, tapi di-sesuai dengan turan, pengesa- pertnggngjawabkan kesmpatn yg ada han wewenang demi tujuan.

Pemaksaan Meluas, pemba- Dikendalikan o- Dicari kemngkinan tasnya lunak. leh pembatasan kira2 insentifdst yg

hukum. diciptakan sendiri sesuai kewajiban. Politik Hukum berada Hukum terlepas Aspirasi hukum dan

di bawah kekua- dari kekerasan terintegrasi menjadi saan politik. politik. Satu kesatuan

Hukum responsif yang berangkat dari pemikiran hukum represif dan hukum otonom, dalam perkembangannya untuk membuat hukum menjadi responsif dalam memenuhi aspirasi dan kebutuhan sosial yang terjadi dalam masyarakat dengan pemikirannya sebagai berikut :

1). Kedaulatan tujuan.

Perhatian hukum responsif terhadap kedaulatan tujuan berakar dari perkembangan hukum otonom yang memandang pertimbangan hukum sering tidak memadai kalau hanya berlandaskan kepada peraturan tetapi juga harus berlandaskan tujuan sehingga dapat mengurangi kesewenangan interprestasi tekstual dan mengekang aparatur pemerintah agar tidak bertindak melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya (ultra vires)

Tahap yang paling kritis ketika transisi antara hukum otonom dengan responsif yaitu pada generalisasi tujuan hukum sebagai sumber utama fleksibilitas dalam organisiasi modern, sebaliknya hukum responsif tidak dibangun secara radikal melainkan dengan cara melalui suatu pertimbangan dan nalar yang artifisial mengandung kelonggaran tersendiri dengan ciri khusus yaitu mencari nilai yang tersirat di dalam peraturan perundangan maupun di dalam setiap kebijaksanaan uang dibuat pemerintah (discretion). 21

21

Namun, ketika keadaan berubah maka peraturan perundangan yang ada harus ditata ulang tidak hanya memenuhi kebutuhan kebijaksanaan lebih lagi melindung otoritas peraturan perundangan dan integritasnya, pengambilan kebijaksanaan tersebut harus berpedoman kepada azas-azas otoritatif seperti konsep keadilan (fainess) atau demokrasi, intinya tidak boleh ada pihak yang mengambil keuntungan dari kesalahan akibat dari suatu keputusan hukum.22

Namun ketika kedaulatan tujuan melemahkan otoritas peraturan, maka hukum responsif dapat menyebabkan terbuka lebarnya ruang bagi kebijaksanaan pemerintah (discretion) sehingga dengan demikian maka lebih mudah menerima otoritas tujuan yang bersifat kritis dalam menginterprestasikan setiap peraturan perundangan, namun sebaliknya juga lebih sulit memiliki kepercayaan otoritas tujuan bersifat afirmatif bagi arah perkembangan kebijaksanaan yang dibuat pemerintah (discretion) dalam pelaksanaan peraturan perundangan berlaku.23

22

Ibid., Halaman 65 23

2). Kewajiban dan kesopanan.

Kewajiban warga negara untuk mematuhi hukum menentukan dalam upaya menuju proses pembuatan peraturan perundangan yang fleksibel, dengan kata lain melemahnya kewajiban juga memiliki sumbernya sendiri dalam dan kerumitan yang selalu menemani perkembangan hukum otonom.

Ciri khusus dari sistem hukum yang sudah maju yaitu keragaman yang luar biasa dari otoritas hukum. Lebih jauh lagi peraturan perundangan yang berbeda-beda dan seberapa kuat peraturan perundangan mampu membebankan kewajiban bagi warga negara, variasi ini mencerminkan kontribusi yang berbeda dalam enataan hukum yang pada akhirnya penilaian hukum membangkitkan teknik yang terelaborasi untuk menilai otoritas situasional perintah hukum dan manfaat substantifnya sebagai suatu kebijaksanaan (diskretion) sehingga di dalam kondisi tertentu peraturan perundangan dapat saling berbenturan (konflik). 24

Kesopanan cara hukum dilaksanakan merupakan acuan teori hukum responsif untuk mendefenisikan dan memelihara ketertiban umum yang cenderung dibatasi oleh tingkah laku yang baik dilandasi kepatutan, dengan pengertian yang lebih umum dan klasik bahwa kesopanan hukum merupakan atribut kehidupan politik yang mendukung nilai sentral kewarganegaraan dengan azas tidak ada anggota komunitas politik yang tidak terlindungi sehingga selalu terpelihara komunitas moral, karena itu pula standar kesopanan menjangkau pelaksanaan otoritas dan partisipasi publik yang menyerukan sikap moderat dan keterbukaan sedangkan dalam konteks politik kesopanan menghargai mengakui induvidualitas, keragaman dan konflik. 25

Secara khusus hukum responsif mendorong dan mengembangkan kesopanan dalam 2 (dua) cara sebagai berikut ;

a). Mengatasi kondisi sempitnya pandangan dalam moralitas komunal, dengan pengertian bahwa pembentukan tatanan hukum yang lebih beradab, lebih menerima keragaman budaya, tidak mudah kejam

25

terhadap hal-hal menyimpang dan eksentrik, namun tidak melepaskan diri dari konsesus moral masyarakat

b). Mendorong pendekatan baru terhadap krisis ketertiban umum yang berpusat kepada masalah (problem centered) dan integratif secara sosial, dengan paradigma model pluralistik struktur kelompok dalam masyarakat, dengan menekankan realitas dan meneguhkan legitimasi konflik sosial, namun ketidakpatuhan dianggap sebagai beda pendapat, kerusuhan dianggap masuk akal bahkan diberikan pujian, karena relevansinya sebagai bentuk protes sosial sekaligus sebagai cara sah untuk menguji dan merobah peraturan, untuk itu seni negosiasi, diskusi dan kompromi secara politis dapat dilibatkan.26

3). Partisipasi hukum dan partisipasi politik.

Ketika melemahnya kewajiban maka sistem hukum mendelegasikan lebih banyak kebijaksanaan (diskretion) pemerintah untuk membuat keputusan yang otoritatif. Partisipasi hukum memiliki arti yang baru buakn saja bersifat pasif dan dan kurang patuh juga diperluas hingga menjangkau

26

pembuatan dan interpretasi kebijaksanaan (diskretion) oleh pemerintah, terutama dalam model rule of law tatanan hukum dipandang sebagai bersifat hirarkhis. Perluasan partisipasi hukum tidak hanya mengembangkan nilai demokratik tatanan hukum melainkan juga mampu memberi kontribusi kepada kompentensi institusi hukum, dengan ciri-ciri birokrasi oleh pemerintah sebagai berikut 27

a). Delegasi otoritas yang luas untuk memobilisasi dan menyebarkan sumber-sumber dalam rangka pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan.

;

b). Penggunaan kreatif terhadap para staf perencana, evaluasi dan pengembangan dalam meningkatkan kompetensi kognitif organisasi.

c). Diterimanya pengawasan dan loyalitas ganda demi mendorong kemandirian penilaian.

d). Pembuatan keputusan kebijaksanaan partisipatif sebagai sumber pengetahuan, sarana komunikasi dan landasan bagi persetujuan. 28

27

Ibid., Halaman 77-80. 28

Dokumen terkait