• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONFLIK PENGATURAN HUKUM PENDAFTARAN TANAH

B. Konflik Hukum Pendaftaran Tanah

1. Konflik Sistem Hukum Pendaftaran Tanah

Sebagaimana paparan terdahulu konflik merupakan perbedaan nilai, dalam hal ini perbedaan pengaturan dalam pendaftaran tanah, dalam prakteknya dapat saja terjadi karena beberapa sebab ; pertama karena perbedaan pengaturan antara oleh beberapa peraturan terhadap masalah kegiatan yang sama disebut konflik sinkronisasi ; kedua karena perbedaan pengaturan antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah terhadap masalah kegiatan yang sama disebut konflik konsistensi ; ketiga karena tidak adanya peraturan yang mengatur suatu kegiatan tertentu disebut konflik stagnasi.

Konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah sebenarnya tidak perlu terjadi jika pembuat peraturan perundangan pada tahap pembuatan law making memperhatikan dengan seksama sistem hukum dan persyaratan hukum yang baik seperti pemenuhan nilai yuridis uantuk kepastian hukum dan nilai filosofis untuk keadilan serta nilai sosiologis untuk kemanfaatan, walaupun kenyataan yang ada bahwa peraturan perundangan diadakan secara parsial, namun satu sama lain tidak boleh saling bertentangan atau saling tumpang tindih atau saling tidak selaras atau terdapat celah kekosongan peraturan perundangan yang dapat bermuara kepada ketidakteraturan masyarakat dalam hal ini terkait dengan kepentingan pelayanan pendaftaran tanah.

Namun demikian, pada praktek penyelenggaraan pemerintahan terhadap konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah sebenarnya dapat dilakukan antisipasi melalui suatu tindakan kebijaksanaan oleh pejabat pemerintah yang melaksanakan roda pemerintahan di bidang pendaftaran tanah, karena hukum juga memiliki kekuatan dan kemampuan mengoreksi dirinya sendiri baik secara yuridis maupun administratif sehinga tidak jarang di dalam putusan pejabat pemerintah ditemukan ketentuan peninjauan kembali.52

Faktual, konflik pengaturan dalam pendaftaran tanah sering dihadapi ketika dilaksanakan kegiatan pendaftaran tanah yang oleh kantor pertanahan dilaksanakan melalui salah satu dari 3 (tiga) opsi ; kemungkinan pertama permohonan ditolak ; kemungkinan kedua permohonan dikembalikan ; dan kemungkinan ketiga permohonan diproses.

Namun ketiga opsi tersebut tetap mempunyai 3 (tiga) konsekuensi ; pertama tidak ada permasalahan ; kedua permasalahan dari pemohon ; ketiga permasalahan dari pihak lain, demikian dijelaskan oleh Syafruddin Chandra selaku Koordinator Pemeliharaan Data Yuridis Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, sebagai berikut ;53

52

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, op. cit., Halaman 83 53

Wawancara dengan Syafruddin Chandra, Koordinator Pemeliharaan Data Yuridis Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 10 Mei 2009

a.

Konflik sinkronisasi pengaturan bidang pendaftaran tanah merupakan perbedaan pengaturan oleh beberapa peraturan perundangan terhadap obyek kegiatan yang sama dalam arti tidak sejalannya pengaturan hukum pendaftaran tanah dalam hukum, contohnya ;

Konflik sinkronisasi hukum pendaftaran tanah.

1). Kewenangan pembuatan surat keterangan ahli waris

Kewenangan pembuatan surat keterangan ahli waris menurut Pasal 111 Ayat (1) Huruf (c) Permenag/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan Pendaftaran Tanah ditetentukan sebagai berikut ;

“Bagi Waga Negara Indonesia penduduk asli, surat keterangan ahli waris dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh kepala desa/lurah dan camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia ; Bagi Warga Negara Indonesia keturuanan Tionghoa akta keterangan hak mewaris dari notaris ; bagi Warga Negara Indonesia keturunan timur asing lainnya surat keterangan waris dari balai harta peninggalan.”

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pengaturan kewenangan membuat surat keterangan ahli waris bagi Warga Negara Indonesia dalam pendaftaran tanah diatur oleh 3 (tiga) aturan hukum penggolongan penduduk yang masing-masing aturannya saling berbeda yaitu ; pertama pengaturan keterangan ahli waris bagi Warga Negara Indonesia penduduk asli atau pribumi diatur oleh hukum nasional ; kedua pengaturan keterangan ahli waris bagi Warga Negara Indonesia keturunan tionghoa diatur oleh hukum barat ; ketiga pengaturan keterangan ahli waris bagi Warga Negara Indonesia turunan timur asing lainnya diatur oleh hukum adat bangsa bersangkutan, misalnya hukum adat India, Pakistan atau Arab.

Perbedaan mencolok terhadap 3 (tiga) aturan hukum tersebut terletak pada perbedaan porsi warisan yang harus diterima para ahli waris, misalnya terhadap pengaturan warisan bagi penduduk asli atau pribumi maka porsinya merupakan pemilikan bersama di antara para ahli waris, dan bagi penduduk turunan tionghoa porsinya ditentukan berdasarkan tali perkawinan dan tali darah menurut aturan hukum barat atau Burgelijk Wetbook (BW) sedangkan bagi

penduduk turunan timur asing lainnya misal turunan India porsinya berdasarkan hukum adat Bangsa India dan turunan Arab yang porsi warisannya sesuai dengan hukum adatnya, hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan hukum waris di Indonesia masih berdasarkan penggolongan penduduk Indonesia.54

Akhirnya menurut Syafruddin dari kantor pertanahan tersebut bahwa ketentuan mengenai kewenangan membuat surat keterangan ahli waris semua dipakai dalam kegiatan pendaftaran tanah, karena alasan belum ada kodifikasi peraturan.55

Pengaturan tersebut memang terkesan masih imperealis berdasarkan ketentuan kolonial Belanda yang belum tentu sama dengan kemauan Bangsa Indonesia, karena itu setelah Indonesia merdeka seharusnya aturan yang dibuat hendaknya lebih kepada kepentingan bangsa dan negara sesuai nilai-nilai dasar Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia sesuai tata hukum. perundangannya yang khusus bersifat umum.

54

J. Satrio, 1992, Hukum Waris, Penerbit Alumni, Bandung, Halaman 6.

55

Wawancara dengan Syafruddin Chandra, Koordinator Pemeliharaan Data Yuridis Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 10 Mei 2009

2). Kuasa membebankan hak tanggungan

Berdasarkan ketentuan di Pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan disebut bahwa surat kuasa membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta pejabat pembuat akta tanah dengan memenuhi persyaratannya.

Persyaratan dimaksud di dalam ketentuan Pasal 15 Ayat (1) sampai dengan Ayat (6) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 yang intinya antara lain menyebutkan bahwa surat kuasa tersebut tidak boleh memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum selain membebankan hak tanggungan, tidak memuat kuasa subsitusi, mencantumkan secara jelas mengenai ; obyek hak tanggunan, jumlah utang, identititas kreditur dan debitur, kuasa membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir dengan alasan apapun juga kecuali kuasa tersebut telah digunakan atau telah habis jangka waktunya.

Namun kenyataannya Imanullah Rambe selaku notaris mempertanyakan kebijaksanaan pemerintah seharusnya mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat,

misalnya ketika salah seorang debitur tidak berada di kabupaten/kota yang sama dengan kreditur atau berada di luar negeri yang tidak mungkin dapat hadir menghadap notaris, pada waktu dan tempat yang sama sehingga hanya dapat dilakukan dengan akta kuasa umum sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata berdasarkan azas kebebasan berkontrak dan aturan yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata terutama Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 antara lain juga menyebutkan bahwa pemberian kuasa merupakan persetujuan berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa yang dapat dibuat dengan akta kuasa umum.56

Konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah tentang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggiungan (SKMHT) tidak perlu terjadi jika pemerintah mau membuat kebijaksanaan misalnya dengan membolehkan penggunaan akta kuasa umum yang dibuat di hadapan notaris yang berada di dalam maupun di luar negeri atau di hadapan pejabat perwakilan Negara Indonesia di negara sahabat.

56

Namun ketika di tanya di Kantor Pertanahan Kota Medan dan dijelaskan oleh Syafruddin tersebut bahwa dasar hukum ketentuan pendaftaran tanah mengenai SKMHT hanya Pasal 15 Undang-undang Hak Tanggungan sehingga setiap permohonan pendaftaran hak tanggungan yang menggunakan kuasa hanya dapat diproses jika SKMHT yang dibuat di hadapan notaris atau pejabat pembuat akta tanah sesuai isian format blanko yang telah disediakan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di setiap kantor pertanahan sedangkan akta kuasa umum ditolak.

b.

Konflik konsistensi pengaturan hukum pendaftaran tanah dalam hal ini berbedanya atau tidak konsisten atau tidak selarasnya pengaturan hukum pendaftaran tanah oleh dua atau beberapa peraturan perundangan terhadap satu permasalahan yang sama di dalam pendaftaran tanah sehingga dapat menimbulkan kesalahan persepsi ataupun kesalahan penafsiran yang seharusnya tidak terjadi pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang diharuskan oleh peraturan perundangan, contohnya sebagai berikut ;

1). Pengaturan penataan ruang dalam pendaftaran tanah

Konsideran Undang-undang Pokok Agraria antara lain menghendaki agar pengaturan tanah sesuai dengan national planning dan regional planning, namun semangat UUPA agar peruntukan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai planning kota/kabupaten tidak direalisasikan secara konsisten oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Konsistensinya justru terealisasi di dalam peraturan menteri yaitu Permenag/Ka.BPN No.3 Tahun 1997 Pasal 20 Ayat 5 yang menyatakan bahwa bidang-bidang tanah yang menurut bukti penguasaan dapat didaftar atau dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada perorangan atau badan hukum, penetapan batasnya dengan mengecualikan tanah bantalan sungai dan tanah yang direncanakan untuk jalan sesuai rencana detail tata ruang wilayah yang bersangkutan.

Konflik konsistensi pengaturan hukum pendaftaran tanah terkait penataan ruang justru terjadi pada kebijaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 seharusnya mewajibkan rencana tata ruang kota/kabupaten dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah di kantor pertanahan sebagaimana harapan konsideran UUPA bahwa untuk

mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara tersebut perlu suatu rencana mengenai peruntukan penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara melalui rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah.

Sebaliknya pemegang hak atas tanah juga berkewajiban menggunakan lahan sesuai peruntukannya, namun akibat pengaturan hukum pendaftaran tanah yang tidak konsisiten sehingga pengawasan menjadi lemah terutama ketika masyarakat memohon pendaftaran hak atas tanahnya di kantor pertanahan tanpa didahului rekomendasi site plann sehingga penggunaan tanah belum tentu sesuai dengan peruntukkan penataan ruang.

Konflik konsistensi pengaturan hukum pendaftaran tanah terkait penataan ruang dirasakan akibatnya yaitu ketika pemerintah menggusur bangunan yang digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya sehingga menimbulkan permasalahan baru, bahkan menurut Syafruddin tersebut dari Kantor Pertanahan Medan yang diinformasikan dari Lasdi pegawai

Dinas Tata Kota Medan bahwa ada seorang ibu yang langsung jatuh pingsan ketika Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dimohonnya ditolak oleh Dinas Tata Kota Medan, karena sudah 17 (tujuh belas) tahun pemohon tersebut bersama suaminya berusaha mengumpulkan uang gaji selaku guru sekolah dasar, namun setelah mereka membeli sebidang tanah dan memperoleh sertipikat hak milik dari kantor pertanahan ternyata seluruh tanahnya berada di dalam rencana badan jalan sehingga permohonan IMB harus ditolak. Sebaliknya oleh kantor pertanahan site plann dari Dinas Tata Kota bukan merupakan persyaratan mutlak dalam pengaturan hukum pendaftaran tanah, arena tidak konsistennya pengaturan hukum pendaftaran tanah terhadap pengaturan penataan ruang, padahal advice planning merupakan tindakan preventif, di samping untuk kepentingan pemegang haknya sendiri juga sebagai sarana pengawasan pada penegakanan hukum di bidang penataan ruang.57

Dalam hal ini menurut Alvi Syahrin bahwa fungsi preventif yaitu fungsi pencegahan, yang dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan yang pada dasarnya

57

Wawancara dengan Syafruddin Chandra, Koordinator Pemeliharaan Data Yuridis Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kota Medan, tanggal 10 Mei 2009

merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan masyarakat, yang meliputi seluruh aspek tindakan manusia, termasuk risiko dan pengaturan prediktif terhadap bentuk penanggulangan risiko itu. 58

Selama penelitian juga tidak ditemukan ada pemohon hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan yang melampirkan advice planning Dinas Tata Kota, menurut Syafruddin tersebut bahwa terhadap permohonan hak memang tidak dipersyaratkan advice planning dari Dinas Tata Kota Medan karena di dalam aspek risalah panitia pada prosedur permohonan hak atas tanah telah berpedoman kepada rencana umum tata ruang dan memang seharusnya diperlukan advice planning sesuai rencana tata ruang kota yang sudah ditetapkan pemerintah, tetapi penerapannya di lapangan menjadi wewenang Dinas Tata Kota yang menjadi kendala lagi tidak konsistennya pengaturan penataan ruang ke dalam pengaturan hukum pendaftaran tanah sehingga tidak ada pejabat pemerintah di daerah yang berkemauan ataupun berani mensyaratkannya.

58

Selanjutnya manfaat yang diperoleh melalui pengaturan hukum penataan ruang dalam kegiatan pendaftaran di kantor pertanahan menurut Syafruddin tersebut setidaknya ada 6 (enam) manfaat yang mendasar dalam pelaksanaannya yaitu sebagai berikut ;

a). Mendapatkan izin mendirikan bangunan dari Dinas Tata Kota / kabupaten dan Tata Bangunan yang sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya.

b). Menghindari risiko hapusnya hak atas tanah karena dicabut untuk kepentingan umum seperti rencana atau pelebaran jalan, rencana atau pelebaran sungai, rencana pelestarian pantai, fasilitas lingkungan, fasilitas umum dan lain sebagainya.

c). Mengurangi risiko hapusnya hak atas tanah sebagai akibat tanahnya musnah karena bencana alam, hal ini dipastikan karena sertipikat hak atas tanah tidak boleh diterbitkan di daerah lahan kritis.

d). Menata dan memelihara kepemilikan dan peruntukan serta penggunaan dan pemanfaatan lahan sebagai penyangga kehidupan bersama ekosistemnya secara berkelanjutan.

e). Menghindari risiko yang akan diterima masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya karena pencemaran akibat penggunaan tanah oleh pengusahanya yang tidak sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya.

f) Menjadikan kota / kabupaten yang bersih, sehat, tertib, aman, indah dan asri dalam tatanan etika dan etestika. 59

2). Kecakapan Berbuat Dalam Pendaftaran Tanah

Menurut Pasal 39 Ayat (1) bertalian dengan Pasal 15 Ayat (2) Hurf (f) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dijelaskan bahwa penghadap notaris termasuk orang yang hendak melakukan perbuatan hukum bidang pendaftaran tanah paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa orang yang telah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah menurut undang-undang dinyatakan sudah memenuhi syarat melakukan perbuatan hukum perikatan sebagaimana ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang syaratnya antara lain kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

59

S. Chandra, 2006, Perlindunagn Hukum Terhadap Pemegang Sertipikat Hak Atas Tanah, Pustaka

Kecakapan membuat perikatan dikaitkan umur 18 (delapan belas) tahun telah diatur Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, namun berbeda kebijaksanaan pemerintah oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia bersama jajarannya sampai ke level kantor pertanahan mensyaratkan bahwa cakap membuat perikatan dalam bidang pendaftaran tanah yaitu orang yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah pernah menikah. Demikian dijelaskan oleh Syafruddin selaku Koordinator Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan.

Selanjutnya dijelaskan lagi oleh beliau bahwa kebijaksanaan pemerintah terhadap ketentuan cakap seseorang dalam melakukan perbuatan hukum dalam bidang pendaftaran tanah dikaitkan dengan umur dewasa seseorang secara fisik tidak menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 melainkan masih bersandar kepada ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan sebelumnya belum pernah kawin”, karena hukum adat juga tidak tegas.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa dengan adanya Ordonansi tanggal 31 Januari 1931 Lembaran Negara Nomor 1921-54 maka kriteria belum dewasa itu diperlakukan juga terhadap golongan bumi putra. Hal ini dijelaskan beliau sekedar untuk mengetahui sejarahnya, karena ketentuan hukum adat tidak tegas.60

Hukum adat menentukan dewasa bukan dari segi hitungan tahun yang dilewati seseorang, melainkan dari segi psikologis kemapanan karakter atau kepribadian, dari segi manajemen kemampuan berkomonikasi berorganisasi dan dari segi ekonomi telah berpenghasilan sendiri, yang totalitasnya sanggup mandiri untuk menikah.

Hukum Islam menyatakan dewasa bukan karena batasan umur, melainkan oleh perkembangan fisik dan mental, baik secara biologis maupun psikologis yaitu pada saat seorang pria atau wanita telah melihat dan merasakan dalam dirinya sesuatu tanda baligh berakal, mulai saat itu wajib baginya bertanggungjawab terhadap segala perbuatannya, hal ini juga

60

Mariam Darus Badrulzaman, 1999, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasaan, Penerbit Alumni, Bandung, Halaman 103.

dimaknai bahwa setiap perbuatan manusia akan dipertanggungjawaban secara langsung di hadapan Tuhan. 61

Hukum Keimigrasian, Hukum Lalu lintas dan Pemilu berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1994 Tentang Lalu-lintas, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Pemilu, semua mengacu kepada ketentuan pelaksanaan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Kependudukan yang menyatakan bahwa dewasa seseorang umur 17 (tujuh belas) tahun.

Hukum Perkawainan dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa orang dinyatakan cakap bertindak dalam hukum perkawinan setelah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, namun dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa pria berumur 19 (sembilan belas) tahun atau wanita berumur 16 (enam belas) tahun dapat melakukan perbuatan hukum perkawinan atas persetujuan orangtua atau walinya.

61

S. Chandra, 2005, Sertipikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan, PT. Gramedia widiasarana Indonesia, Jakarta, Halaman 30.

Hukum Perlindungan Anak dan Ketenagakerjaan yang diatur di dalam Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan di dalam Pasal 1 Angka (26) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa seseorang dikatakan dewasa setelah ia mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

Perbedaan ketentuan cakap bertindak karena umur dewasa dalam uraian tersebut di atas menunjukkan adanya perbedaan persangkaan kemampuan fisik dan atau mental manusia untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, yang terukur secara biologis atau psikologis sehingga dinilai sanggup menyandang hak dan kewajiban hukum tetentu.

Selanjutnya dipahami juga adanya perbedaan nilai umur dewasa di dalam peraturan perundangan ternyata tidak satupun ketentuan hukum yang khusus secara umum dan tegas menetapkan cakap melakukan perbuatan hukum dikaitkan dengan unsur dewasa secara yuridis dan unsur umur secara biologis supaya boleh dipersangkakan secara normal mempunyai kematangan berfikir dan kemampuan menyadari secara penuh atas segala akibat tindakan yang harus dipikulnya.

Namun sebaliknya hukum dapat melihat tujuannya yaitu untuk melindungi kepentingan anak bawah umur yang tidak patut menanggung segala akibat hukum yang akan timbul karena sebab perbuatan hukum yang harus dilakukannya yang semestinya dapat dihindari.62

Demikian alasan pembenaran tindakan kebijaksanaan pemerintah dalam masalah kecakapan berbuat terhadap tindakan hukum dalam bidang pendafaran tanah dikaitkan antara dewasa dengan batas umur yaitu ketika orang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah pernah menikah, sekalipun peraturan perundangan dalam hal ini tidak konsisten, namun begitulah kebijaksanaan yang dibuat pemerintah, demikian penjelasan Syafruddin dari Kantor Pertanahan Kota Medan.

c.

Konflik stagnasi pengaturan hukum pendaftaran tanah dalam hal ini berarti terdapat kekosongan hukum terhadap suatu masalah dalam kegiatan dalam pendaftaran tanah. Betapapun juga cepatnya pembuat undang-undang bekerja, namun persoalan yang timbul dalam kehidupan masyarakat yang membutuhkan pengaturan

Konflik stagnasi hukum pendaftaran tanah.

62

ternyata lebih cepat lagi sehingga sering terjadi konflik karena belum adanya peraturan hukumnya. 63

Dalam hal ini dapat dipahami bahwa peraturan perundangan belum menyentuh permasalahan tertentu di bidang pendaftaran tanah yang secara faktual terdapat di dalam kehidupan masyarakat sehingga ketika konflik stagnasi berhadapan dalam penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah menempatkan pejabat pemerintah pada posisi dilematik, di satu sisi perkembangan kehidupan masyarakat sebagai suatu tuntutan disis lain tidak ada peraturan yang mengatur, contohnya sebagai berikut ;

1). Roya Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Berubah Hak Roya hak tanggungan dalam terminologi undang-undang disebut dengan pencoretan hak tanggungan demikian berdasarkan ketentuaan Pasal 18 dan Pasal 22 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang isinya dapat diuraikan sebagai berikut bahwa hak tanggungan hapus karena hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut hapus, namun tidak menyebabkan hapusnya utang piutang yang dijamin dan berdasarkan permohonan dari pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertipikatnya dan

63

H. Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, Halaman 61

surat pengantar dari kreditur maka pihak kantor pertanahan melaksanakan pencoretan terhadap catatan hak tanggungan tersebut pada buku tanah hak dan sertipikat hak tanah bersangkutan selambatnya selama 7 (tujuh) hari kerja.

Keadaan normatif memang seperti uraian di atas, namun lain halnya ketika hak atas tanah tanah yang dimohon pencoretan hak tanggungannya hapus karena perobahan hak dari hak guna bangunan menjadi hak milik, secara yuridis hak tanggungannya hapus karena hak atas tanahnya hapus, berdasarkan azas droit de suit hak jaminan masih melekat sedangkan secara adminstratif tidak tertib, kadaan demikian menjadi konflik stagnasi karena tidak adanya ketentuan peraturan perundangan yang langsung mengaturnya sementara masyarakat menjadi resah bahkan dianggap tidak mampu memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat. Contoh kasus seorang pemohon roya hak tanggungan yang risau hatinya karena setiap menawarkan tanahnya tidak ada orang yang mau membeli, sebab di sertipikat hak milik bersangkutan masih tertera catatan pembebanan hak tanggungan, namun Kantor Pertanahan Kota Medan menolak mencatat penghapusan roya di sertipikat tersebut dengan

alasan hak guna bangunan yang dibebani hak tangungan tersebut telah hapus karena dirobah menjadi hak milik, kasus seperti ini tidak pernah diatur peraturan perundangan

Dokumen terkait