• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Terhadap Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan Pendaftaran Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hukum Terhadap Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan Pendaftaran Tanah"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEBIJAKSANAAN

PEMERINTAH DALAM MENGATASI KONFLIK

PENGATURAN PENDAFTARAN TANAH

T E S I S

OLEH

HARUN AL RASYID 077005074/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEBIJAKSANAAN

PEMERINTAH DALAM MENGATASI KONFLIK

PENGATURAN PENDAFTARAN TANAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

HARUN AL RASYID

077005074/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TERHADAP KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI KONFLIK PENGATURAN PENDAFTARAN TANAH

Nama Mahasiswa : Harun Al Rasyid Nomor Pokok : 077005074 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Ketua

)

(

Anggota

Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum Anggota

)

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

Dekan

) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada Tanggal : 14 Mei 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Pemerintah wajib menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundangan berlaku, namun ketika

terjadi konflik peraturan perundangan terkait bidang pendaftaran tanah, maka Pemerintah dapat mengambil kebijaksanaan (discreation/policy) berdasarkan

wewenang dalam Pasal 4 UUD 1945, namun yang menjadi permasalahan bagaimanakah bentuk konflik pengaturan pendaftaran tanah yang memerlukan kebijaksanaan Pemerintah? dan bagaimanakah pandangan hukum terhadap kebijaksanaan pemerintah tersebut?.

Metode penelitian ini normatif menggunakan studi hukum law in books

dengan pendekatan yuridis yang bertitik tolak dari analisis data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, melalui metode pengumpulan data library research dan field research maka semua data dianalisis dengan metode pendekatan kualitatif hingga digeneralisasi dan disimpulkan serta dibuat saran.

Berdasarkan masukan bahan dan data serta hasil penelitian dan pembahasan terkait kebijaksanaan Pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan pendaftaran tanah akhirnya disimpulkan bahwa konflik pengaturan pendaftaran tanah yang memerlukan kebijaksanaan Pemerintah meliputi konflik sinkronisasi, konsistensi dan stagnasi, bahwa kebijaksanaan Pemerintah tersebut sah dan benar menurut hukum sepanjang sesuai dengan Pancasila, UUD RI dan hukum positif, disarankan kepada pihak legeslatif dan eksekutif atau yang berkompeten sebelum membuat peraturan perundangan agar lebih cermat dalam menginventarisasi dan meneliti hukum positif sehingga hasilnya tidak tumpang tindih atau berpotensi konflik.

(6)

ABSTRACT

Government must implement land registration in Indonesia based on regulation of legislation. However, when there was a conflict land registration related to land registration. Then, the government should adopt a policy based on its authority in article 4 of 1945 Constitution, yet the problem was what kind of land registration conflict that the government should get involved in? And how did law look at that government’s policy?

This was a law in book based normative study with juridical approach starting from the analysis of secondary data consisting of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through library and field research. The data obtained were qualitatively analyzed, generalized, summarized and presented in the form of suggestion.

The result of this study based on how the government settled the conflicts of synchronization, consistency, and stagnation, showed that the goverment’s policy in legal and correct as long as it is not against Pancasila, Constitution and Indonesian’s positive law. The legislative and executive members or those with authority in making the regulation of legislation are suggested to be more careful and accurate in inventorying and studying the positve law to avoid from overlapping and conflict potensial result.

(7)

KATA PENGANTAR

Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana strata dua (S2) Magister Hukum di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Puji Syukur hanya untuk Allah saja, karena dengan izinNya jualah tesis ini selesai berjudul “Analisis Hukum Terhadap Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan Pendaftaran Tanah.

Terimakasih untuk Bapak / Ibu yang telah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, memberi bahan, data dan kesempatan kepada penulis sehingga tesis ini selesai, terutama kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM). Sp.A (K) yang telah memberi kesempatan kepada kami menimba pendidikan dan pengajaran di Unversitas Sumatera Utara

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. Runtung,

SH, M.Hum yang telah memberikan perhatian dan bimbingan kepada kami di Program Magister Ilmu Hukum Unviersitas Sumatera Utara

(8)

4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum dan Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH serta Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution SH, M.Hum selaku pembimbing yang dengan sabar dan penuh perhatian telah banyak memberikan petunjuk, arahan, bimbingan dan masukan serta motivasi berharga bagi penulis terutama selama penelitian dan penulisan tesis ini.

5. Bapak/Ibu Responden yang sudah memberikan bahan dan data terutama selama penelitian berlangsung sehingga tesis ini dapat diselesaikan

6. Seluruh Staf Sekretariat Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan informasi terutama kepada Ibu Juli, Ibu Fitri, Ibu Fika, Ibu Danti, Bapak Hendra dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

7. Ayahanda Syafruddin, SH, Sp.N, MKn dan Ibunda Oktarina yang selalu menyayangi, mengajar dan mendidik penulis sehingga mendorong penulis membangkit batang terendam, ditandai filosofis beliau yang banyak mewarnai tesis ini.

8. Adik penulis Rahmah El Yunusiah, SPd, MPd, Muhammad Al Syarif, SHi, Lugman Al Hakim, SH, Ibrahim Al Lahif, SH, Rahimi El Yunusiyah, Musa Al Quddusi yang dari dulu sampai sekarang senantia memberi dukungan

kepada penulisan sehingga sangat mendorong selesainya tesis ini.

(9)

10. Khusus untuk ananda tersayang tesis ini dibuat : Syakira Fathiyyah Al Rasyid yang telah menjadi motivasi bagi untuk menyelesaikan tesis ini.

11. Akhirnya kepada semua pihak, teman sejawat, handai taulan, karib kerabat, sanak famili terutama Bunda Mai Elfiyanti, SH dan Umi Ria Julita Wardani yang memberikan bantuan sehingga selesainya tesis ini.

Dengan harapan semoga usaha kita yang sedikit ini diridhai dan dirahmati Allah untuk kita semua umat manusia dan alam ini, Amin Ya Mujibassailiin.

Medan, September 2012 Penulis,

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA DIRI

Nama : HARUN AL RASYID

Tempat Tanggal Lahir : PADANG / 8 JUNI 1984

Alamat : JL. BAHAGIA NO. 2 BAJAK V, HARJOSARI II, AMPLAS, MEDAN

Jenis Kelamin : LAKI LAKI

Agama : ISLAM

II. PENDIDIKAN FORMAL

a. Sekolah Dasar Negeri 060827 Medan (1990-1996)

b. Madrasah Tsanawiyah Swasta Nurul Hakim Deli Serdang (1996-1999) c. Madrasah Aliyah Swasta Nurul Hakim Deli Serdang (1999-2002)

d. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA (2002-2006)

e. PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (2007-2011)

Medan, September 2012 Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori ... 13

2. Kerangka Konsepsi ... 25

G. Metode Penelitian ... 28

1. Tipe Penelitian ... 28

2. Sumber Data Penelitian ... 30

3. Teknik Pengumpulan Data ... 33

(12)

BAB II KONFLIK PENGATURAN HUKUM PENDAFTARAN TANAH .. 36

A. Pengaturan Pendaftaran Tanah ... 36

1. Eksistensi Pengaturan Pendaftaran Tanah ... 36

a. Lembaga Penyelenggara Pendaftaran Tanah ... 37

b. Pengertian-pengertian Dalam Pendaftaran Tanah ... 41

c. Azas-azas, Tujuan dan Kegiatan Pendaftaran Tanah ... 52

2. Pranata Pengaturan Pendaftaran Tanah ... 56

a. Sumber Hukum Pengaturan Pendaftaran Tanah ... 57

b. Hukum Dasar Pengaturan Pendaftaran Tanah ... 60

c. Peraturan Perundangan Pendaftaran Tanah ... 63

B. Konflik Hukum Pendaftaran Tanah ... 70

1. Konflik Sistem Hukum Pendaftaran Tanah ... 72

a. Konflik Sinkronisasi Hukum Pendaftaran Tanah ... 74

b. Konflik Konsistensi Hukum Pendaftaran Tanah ... 79

c. Konflik Stagnasi Hukum Pendaftaran Tanah ... 90

2. Konflik Penerapan Hukum Pendaftaran Tanah ... 96

a. Konflik Hukum Administrasi Pendaftaran Tanah ... 97

b. Konflik Hukum Perdata Pendaftaran Tanah ... 101

(13)

BAB III KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DALAM MENGATASI

KONFLIK HUKUM BIDANG PENDAFTARAN TANAH ... 107

A. Analisis Hukum Terhadap Kebijaksanan Pemerintah Dalam Pengaturan Pendaftaran Tanah ... 107

B. Analisis Hukum Terhadap Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan Pendaftaran Tanah ... 120

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 140

A. Kesimpulan ... 140

B. Saran ... 141

(14)

ABSTRAK

Pemerintah wajib menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundangan berlaku, namun ketika

terjadi konflik peraturan perundangan terkait bidang pendaftaran tanah, maka Pemerintah dapat mengambil kebijaksanaan (discreation/policy) berdasarkan

wewenang dalam Pasal 4 UUD 1945, namun yang menjadi permasalahan bagaimanakah bentuk konflik pengaturan pendaftaran tanah yang memerlukan kebijaksanaan Pemerintah? dan bagaimanakah pandangan hukum terhadap kebijaksanaan pemerintah tersebut?.

Metode penelitian ini normatif menggunakan studi hukum law in books

dengan pendekatan yuridis yang bertitik tolak dari analisis data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, melalui metode pengumpulan data library research dan field research maka semua data dianalisis dengan metode pendekatan kualitatif hingga digeneralisasi dan disimpulkan serta dibuat saran.

Berdasarkan masukan bahan dan data serta hasil penelitian dan pembahasan terkait kebijaksanaan Pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan pendaftaran tanah akhirnya disimpulkan bahwa konflik pengaturan pendaftaran tanah yang memerlukan kebijaksanaan Pemerintah meliputi konflik sinkronisasi, konsistensi dan stagnasi, bahwa kebijaksanaan Pemerintah tersebut sah dan benar menurut hukum sepanjang sesuai dengan Pancasila, UUD RI dan hukum positif, disarankan kepada pihak legeslatif dan eksekutif atau yang berkompeten sebelum membuat peraturan perundangan agar lebih cermat dalam menginventarisasi dan meneliti hukum positif sehingga hasilnya tidak tumpang tindih atau berpotensi konflik.

(15)

ABSTRACT

Government must implement land registration in Indonesia based on regulation of legislation. However, when there was a conflict land registration related to land registration. Then, the government should adopt a policy based on its authority in article 4 of 1945 Constitution, yet the problem was what kind of land registration conflict that the government should get involved in? And how did law look at that government’s policy?

This was a law in book based normative study with juridical approach starting from the analysis of secondary data consisting of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through library and field research. The data obtained were qualitatively analyzed, generalized, summarized and presented in the form of suggestion.

The result of this study based on how the government settled the conflicts of synchronization, consistency, and stagnation, showed that the goverment’s policy in legal and correct as long as it is not against Pancasila, Constitution and Indonesian’s positive law. The legislative and executive members or those with authority in making the regulation of legislation are suggested to be more careful and accurate in inventorying and studying the positve law to avoid from overlapping and conflict potensial result.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A . Latar Belakang

Pancasila sebagai sumber dari sumber hukum merupakan penentu isi dan pelaksanaan hukum di Indonesia yang secara konstitusional telah dijabarkan di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 terutama di dalam Pasal 4 Ayat (1) berbunyi “Pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan menurut Undang Undang Dasar”, dengan pengertian bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundangan. Ketentuan ini sekaligus menunjukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat).1

Selanjutnya untuk memberi batas terhadap kekuasaan pemerintah telah disepakati bersama Undang Undang Dasar Republik Indonesia yang sekaligus menjadi sumber hukum utama pembuatan peraturan perundangan termasuk pengaturan bidang pendaftaran tanah, hal ini didasarkan kepada suatu perbuatan hukum atau rekayasa hukum oleh lembaga berwenang yang disebut juga sebagai hukum yang diundangkan (enacted law) sehingga menghasilkan substansi yang tidak diragukan lagi kebenaran dan keabsahannya.

1

(17)

Namun demikian di dalam praktek penegakan hukum (law enforcement), tetap diperlukan dukungan kekuasaan (maachts) sebatas yang diperlukan untuk kepentingan penegakan hukum (law enforcement) itu sendiri, dengan pengertian bahwa kekuasaan tidak boleh digunakan secara berlebihan sampai menjurus kepada suasana penekanan, penindasan bahkan kekerasan bersifat repressive dan top down yang akhirnya bermuara kepada naked power.2

Sebagai contoh penggunaan kekuasan (maachts) menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dimaksudkan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa juga termasuk mengatur hubungan hukum antara orang dengan tanah yang hanya bersifat publik semata (publiekrechtelijk) tanpa dapat ditafsirkan lain kecuali untuk kepentingan nasional, karena menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.3

Pada dasarnya keberadaan hukum merupakan alat pengendali perubahan sosial sehingga diharapkan pada saatnya dapat memunculkan penggunaan hukum secara sadar dan aktif sekaligus sebagai sarana dalam peran serta hukum menata kehidupan masyarakat, baik dalam aspek legitimasi maupun efektivitas.

2

Bambang Sungguno, 1994, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, PT. Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 1 dan 2.

3

(18)

Sebaliknya peraturan perundangan yang dibuat pihak berwenang lebih bersifat umum sehingga suatu peraturan perundangan yang berlaku tidak mungkin dapat menjangkau hal-hal yang khusus dan rinci karena sifat terbatas dan sifat universalnya setiap peraturan perundangan sehingga tidak mungkin dapat menjangkau semua perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang belum jelas bentuk konkritnya, dengan pengertian bahwa peraturan perundangan hanya sanggup mengatasi suatu perbuatan atau peristiwa tertentu saja.

Oleh karena itu pemerintah atau pemerintahan umum atau disebut juga dengan pemerintahan negara atau administrator negara atau yang menjalankan tata usaha negara bersama jajaran birokrasinya sampai ke daerah diberi wewenang (bevoegdheid) dalam mengambil tindakan pemerintahan (bestuuren) membuat penetapan (beshikking) berupa kebijaksanaan (beleidsregel atau policy atau discretion) dengan merumuskan freies ermessen dalam berbagai bentuk juridische regels seperti membuat peraturan, pedoman, pengumuman atau edaran sesuai dengan azas diskresi (discretionaire), legalitas (wetmatigheid) dan yuridikitas (rechtmatigheid) dengan syarat putusan kebijaksanaan tersebut harus sesuai dengan isi dan jiwa serta semangat Undang Undang Dasar dan peraturan perundangan (regelling).4

4

(19)

Salah satu fakta hukum perlunya diadakan kebijaksanaan oleh pemerintah terutama di bidang pendaftaran tanah yaitu ketika dilaksanakan kegiatan pendaftaran tanah, namun peraturan yang ada berada pada suatu keadaan konflik peraturan perundangan, boleh jadi disebabkan berbagai alasan karena peristiwa hukum, perbuatan hukum, alat bukti hak atas tanah atau hubungan hukum bersangkutan sehingga sulit dilaksanakan baik secara hukum maupun secara administratif, keadaan konflik demikian jika tetap diproses atau tidak diproses tanpa melalui suatu tindakan atau langkah kebijaksanaan oleh pemerintah sehingga dikhawatirkan kekuatan hukum sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan pemerintah boleh jadi akan melemah ketika diuji di hadapan hakim pengadilan atau boleh jadi muncul permasalahan lain yang pada akhirnya melemahkan tujuan negara.

Namun sebaliknya kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah selaku birokrat bersama jajarannya dalam bidang pendaftaran tanah sampai ke tingkat pejabat pelaksana di kantor pertanahan di kabupten dan kota bukan merupakan kebijaksanaan dalam arti putusan beschikking yang bukan wewenangnya, melainkan hanya sebatas atribut peraturan regelling atau putusan beschikking yang dibuat oleh lembaga legislatif bersama eksekutif atau oleh lembaga lain atau oleh lembaga yang lebih rendah dari itu setingkat menteri.5

5

(20)

Memang seyogianya pemerintah dalam memberi pelayanan publik di bidang pendaftaran tanah di kantor pertanahan seharusnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan berlaku, namun ketika di dalam pelaksanaannya berhadapan dengan konflik peraturan perundangan yang berlaku, maka pemerintah beserta jajaran birokrasinya harus mampu menempuh jalan kebijaksanaan yang notabene tidak termasuk ke dalam peraturan yang diundangkan (unenacted law). Karena itu keadaan demikian dapat dipandang sebagai suatu fakta hukum yang memerlukan pemeriksaan dan analisis tertentu untuk dicarikan pemecahan masalahnya, antara lain melalui serangkaian kegiatan ilmiah menggunakan sistimatika dan metode serta pemikiran yang terfokus kepada permasalahan sehingga akhirnya diharapkan dapat mengungkap kebenaran hukum yang sebenarnya.6

Kantor pertanahan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah ketika berhadapan dengan konflik peraturan perundangan tidak ada dilarang mengambil langkah kebijaksanaan yang didasarkan kepada kewenangan pemerintah dan azas kepatutan sekaligus mencermati perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan merespon kebutuhan serta kepentingan masyarakat terkait bidang pendaftaran tanah sehingga diharapkan dapat memperoleh legalitas dari pihak berwenang.

6

(21)

Konflik peraturan perundangan memang sering terjadi sebagai akibat keadaan yang tidak dapat dihindari, hal ini disebabkan karena kaidah-kaidah hukum yang disusun atau yang direncanakan oleh pembuat peraturan perundangan selalu tertinggal jauh di belakang perubahan sosial yang sedang terjadi di dalam kehidupan masyarakat (het recht hink achter de feiten aan).7

Ketika kantor pertanahan harus berhadapan dengan konflik peraturan perundangan, maka pilihan hanya ada 2 (dua) ; pertama menolak permohonan ; kedua memproses permohonan. Namun adakalanya jika permohonan ditolak dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian hukum, keadilan atau kemanfaatan bagi pemohon, masyarakat atau negara. Sebaliknya jika permohonan tetap diproses adakalanya harus berhadapan dengan konflik peraturan perundangan.

Salah satu di antaranya oleh kantor pertanahan dalam jajaran Badan Peranahan Nasional Republik Indonesia dengan kewenangan birokrasinya dapat saja dan tidak ada larangan membuat suatu putusan kebijaksanaan bersandarkan kepada azas-azas hukum secara patut sepanjang tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar dan peraturan perundangan berlaku dalam rangka memberi pelayanan kepada masyarakat untuk memberi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi semua pihak.

7

(22)

Menurut Alvi Syahrin bahwa pengaturan pertanahan yang diatur oleh beberapa peraturan perundangan terutama mengenai peruntukan, penggunaan, pemanfaatan dan pemilikan tanah ternyata tidak dapat terlaksana secara terpadu, padahal secara keseluruhan peraturan perundangan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara parsial bahkan keseluruhan peraturan perundangan merupakan suatu kesatuan tanpa konflik, karena sifat hukum itu yaitu memaksa dan mengatur.8

Menurut Syafruddin Kalo bahwa dewasa ini konflik kepentingan (conflicts of interest) bidang pertanahan secara materi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok ; pertama konflik sesama anggota masyarakat ; kedua konflik antara anggota masyarakat dengan pemerintah ; ketiga konflik antara anggota masyarakat dengan investor, namun di sisi lain dapat juga terjadi konflik hukum (conflictenrecht) sehingga harus ditentukan hukum yang digunakan pada suatu hubungan hukum yang terjadi menyangkut dua atau lebih sistem hukum yang berlaku, sebagai akibat setidaknya dari sudut pandang ilmu hukum bahwa Udang-undang Pokok Agraria mengandung 2 (dua) sistem hukum yaitu ; pertama sistem hukum nasinal, ; kedua sistem hukum adat.9

8

Alvi Syahrin, 2003, Pengantar Hukum dan Kebijaksanaan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Pustaka Bangsa Press, Medan, Halaman 216.

9

(23)

Selanjutnya menurut Alvi Syahrin bahwa ketika terjadi konflik hukum pada prosedural pendaftaran tanah oleh lembaga terkait memang perlu diadakan kebijaksanaan, namun tentu tidak semuanya dapat diterima menurut hukum, sebaliknya konflik hukum dapat juga dapat terjadi ketika berhadapan dengan berbagai interpretasi dan persepsi sesuai kepentingan masing-masing pihak atau karena konflik kepentingan (conflicts of interest) termasuk juga terjadi di tubuh pemerintah sendiri yang selalu muncul dengan ego sektoralnya.10

Terlepas dari masalah konflik kepentingan (conflicts of interest) ataupun konflik keakuan (conflicts of egocentric) maka penelusuran penelitian dan penulisan ini hanya terfokus kepada kebijaksanaan pemerintah sepanjang mengenai solusi dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan permasalahan mengatasi konflik peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah (conflicts of land registration rights) dapat terjadi dalam 3 (tiga) kegiatan penyelenggaraan pendaftaran tanah di kantor pertanahan sebagai berikut ;

Pertama, konflik pengaturan dalam kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik pada permohonan hak ; kedua, konflik pengaturan dalam kegiatan peralihan hak atas tanah ; ketiga, konflik pengaturan dalam kegiatan pendaftaran pembebanan hak atas tanah.

10

(24)

Solusi kebijaksanaan yang harus dibuat kantor pertanahan tersebut pada dasarnya merupakan kebijaksanaan publik yang memang harus dilakukan jajaran pemerintah yang menjalankan roda pemeritahan yang melayani kepentingan publik di dalam bidang pendaftaran tanah, dalam hal ini menurut Thomas R. Dye bahwa kebijaksanaan publik meliputi semua tindakan pejabat pemerintah, baik memilih untuk melakukan sesuatu atau memilih untuk tidak melakukan sesuatu, namun selalu mempunyai tujuan tertentu dan keduanya tetap mempunyai akibat yang sama besarnya terhadap kehidupan sosial masyarakat.11

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pemerintah pada penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah harus melaksanakannya menurut peraturan perundangan, namun ketika penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah tersebut dilaksanakan dan harus berhadapan dengan konflik sinkronsasi, konsistensi atau stagnasi peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah, maka pemerintah bersama jajaran birokrasinya sampai ke tingkat paling bawah harus mampu mengatasinya dengan cara membuat kebijaksanaan (beleidsregel / diskresi / policy). Selanjutnya kebijaksanaan pemerintah bidang pendaftaran tanah tersebut akan diteliti, dianalisis dan disimpulkan secara ilmiah untuk dijadikan bahan pengetahuan.

11

(25)

B . Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut ;

1. Bagaimanakah bentuk konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah ?

2. Bagaimanakah pandangan hukum terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah ?

C . Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum yaitu untuk mengetahui keberadaan konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah, selanjutnya tujuan penelitian ini secara khusus sebagai berikut ;

1. Untuk memperoleh pengetahuan mengenai keberadaan konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah.

(26)

D . Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis maupun praktis, terutama bagi peneliti, akademisi, lembaga-lembaga negara, pemerintah maupun lembaga swasta yang membutuhkan sepanjang mengenai keberadaan konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah, selanjutnya sebagai berikut :

1. Manfaat Secara Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan terutama bagi peneliti sebagai bahan kajian lebih lanjut sepanjang mengenai keberadaan konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah,Manfaat Secara Praktis

(27)

E . Keaslian Penelitian

Berdasarkan inventarisasi dan informasi terutama dari kepustakaan Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian mengenai “Analisis Hukum Terhadap Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan Pendaftaran Tanah di Kota Medan” belum pernah dilaksanakan oleh peneliti lain, walaupun ada penelitian oleh Triono Eddy tahun 2002 mengenai “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Langkat Terhadap Lahan Enclave Dan Kaitannya Dengan Pelestarian Taman Nasional Gunung Leuser“ dan oleh Ramlan tahun 2005 mengenai “Kebijakan Pemerintah Kota Tanjung Balai dan Pemerintah Kabupaten Agam Dalam Meningkatkan Kepercayaan Investor Setelah Berlakunya Otonomi Daerah”, namun secara ontologi, epistimologi maupun aksiologi berbeda, maka dengan demikian penelitian ini asli.

F . Kerangka Teori Dan Konsepsi

Penulisan ini berusaha memahami dan menguraikan permasalahan terkait dengan konflik pengaturan pendaftaran tanah dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasinya sehingga diperlukan kerangka bersifat teoritis dan konsepsional untuk dapat digunakan sebagai landasan penelitian dan penulisan, karena di dalamnya terdapat sistem theorama atau ajaran (leerstelling) 12

12

(28)

1. Kerangka teori

Kerangka teori merupakan serangkaian konsep, asumsi, defenisi dan proposisi guna menjelaskan suatu fenomena sosial secara sistimatik dengan cara merumuskan melalui antar konsep13, selanjutnya menurut Prof. M. Solly Lubis bahwa kerangka teori merupakan butir-butir pendapat atau thesis mengenai suatu permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan atau pegangan secara teoritis.14

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kerangka teori dibutuhkan di dalam penetian dan penulisan ini dengan harapan supaya memperoleh hasil optimal ketika dilakukan generalisasi untuk ditarik suatu simpulan sehingga dapat dibuat saran yang patut dan layak untuk dilaksanakan.

a.

Teori kedaulatan negara satu teori yang dikemukakan Hans Kelsen yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalism yang secara umum di dalamnya terdapat dua aspek, yaitu aspek statis (nomostatics) dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum sebagai suatu hal yang mengatur perbuatan yang bersumber dari norma dasar.

Teori kedaulatan negara.

13

Burhan Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Halaman 19. 14

(29)

Selanjutnya teori tersebut dikenal dengan teori Grundnorm yang merupakan dalil sekaligus juga yang menjadi tujuan dari semua peraturan perundangan sehingga setiap hukum atau peraturan perundangan yang berada dalam kawasan rezim Grundnorm harus terkait dengannya. 15

Terdapat dua istilah di dalam teori kedaulatan negara yaitu ; “kedaulatan” dan “negara”, kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu kelompok organisasi yang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat hukum tertentu sedangkan negara yaitu merupakan suatu organisasi yang mempunyai aneka ragam kepentingan dan setiap orang yang berada dalam lingkungan suatu masyarakatnya akan berusaha mencapai tujuannya yang disepakti baik secara kumunal maupun individual.16

Pada proses konkretisasi teori Kelsen mengukuhkan Stuffentheory yaitu suatu teori yang melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma mulai dari norma umum sampai kepada yang lebih konkrit dan paling konkrit yang berujung kepada sanksi hukum dalam suatu kedaulatan negara.

15

Jimly Asshiddiqi dan M.Ali Safa, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Halaman 8

16

(30)

Seperti halnya di Indonesia mulai dari Pancasila sebagai norma dasar, Undang Undang Dasar sebagai peraturan dasar sampai kepada undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, pearturan pemerintah, peraturan presiden sampai kepada peraturan pelaksana lainnya yang lebih rendah secara sistimatika tata hukum dalam hal ini penagturan bidang pendaftaran tanah.

Selanjutnya menurut Hans Kelsen bahwa kedaulatan negara lebih mengarahkan agar setiap orang taat kepada hukum, namun kedaulatan negara bukan merupakan kehendak negara, melainkan kemauan setiap orang merasa harus mentaatinya sebagai perintah negara.17

Dengan demikian negara mempunyai kedaulatan atau otorisasi dalam mengatur tujuan yang hendak dicapai, baik untuk kepentingan bersama (komunal) maupun perorangan (individual), namun dalam interaksinya disinyalir akan terjadi pergeseran berbagai kepentingan, karena itu negara memerlukan kesepakatan norma atau peraturan yang lebih rinci sebagai bentuk penjabaran dari peraturan yang lebih tinggi seperti halnya kebijaksanaan yang dibuat pemerintah.

17

(31)

b.

Teori hukum responsif yang dikemukakan Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan hukum dalam 3 (tiga) kalsifikasi ; pertama, hukum sebagai pelayan kekuasaa (top-down) yang berpotensi represif ; kedua, hukum sebagai institusi tersendiri yang berpotensi otonom ; ketiga, hukum sebagai fasilitator kebutuhan dan aspirasi masyarakat (buttom-up) yang berpotensi responsif. Solusi teori hukum ini antara lain memerlukan kebijaksanaan pemerintah (diskresi), namun tidak mendorong otoritas yang tidak terkendali.

Teori hukum responsif.

18

Sebagai perbandingan, model hukum represif merupakan perintah penguasa dalam hal ini putusan hukum lebih kepada kebijaksanaan pemerintah (diskresi) sebagaimana yang digambarkan di dalam teori yang dikemukakan Thomas Hobbes, Jhon Austin dan Karl Marx sehingga antara negara dan hukum sulit dipisahkan, sedangkan hukum otonom lebih kepada kemandirian hukum terutama bagi negara hukum (rule of law) sebagaimana teori positivisme hukum kontemporer seperti H.L.H. Hart, Hans Kelsen, A.V. Dicey dan Lon L. Fuller yang lebih banyak berbicara

18

(32)

mengenai putusan pejabat dan integritas putusan hukum sehingga mempersempit ruang kebijaksanaan pemerintah (diskresi), selanjutnya hukum responsif lebih berkomitmen kepada kebutuhan dan kepentingan publik yang berorientasi kepada tujuan sebagaimana teori realisme hukum dan Roscoe Pound atau Dworkin dengan konsep model of rules. 19

Namun hukum responsif ketika berhadapan dengan konflik hukum sangat memperhatikan tujuan pengambilan keputusan pada tatanan hukum yang tidak sinkron atau konsisten atau stagnasi, karena di samping ada otoritas kekuasaan juga memperhatikan kepentingan masyarakat tanpa menghilangkan legitimasi prosedural dan sanggup mengoreksi dirinya sendiri.

Oleh sebab itu maka hukum responsif dapat dikatakan relevan dalam pemecahan masalah konflik peraturan perundangan baik secara horizontal maupun vertikal, karena hukum responsif selalu dikaitkan dengan masalah sosial yang sedang terjadi maupun yang sedang berkembang di dalam kehidupan sosial masyarakat sebagaimana digambarkan Satjipto Rahardjo sebagai berikut. 20

19

ibid, Halaman 14 20

(33)

Hukum Respresif Hukum Otonom Hukum Responsif

Tuj. Hukum Ketertiban Keabsahan Kompetensi

Legitimasi Perlind. masy. Kebenaran Keadilan dasar alasan prosedural substansial

adanya negara

Peraturan Keras, terperinci Dibuat dengan Tunduk asas hukum namun lunak dan teliti dan mengi dan

kebijaksanaan-mengikat pada - kat ya membuat

pembuat peratran dan yang diatur

Alasan Bersifat keras, Melekat secara Sesuai dg tujuan yg adhoc, tepat dan ketat pada otori merupakan prluasn tersendiri tas hukum dari kompetensi le- gislatif (tujuan)

Diskresi Meresap dilaku- Dibatasi oleh a- Diperluas, tapi di-sesuai dengan turan, pengesa- pertnggngjawabkan kesmpatn yg ada han wewenang demi tujuan.

Pemaksaan Meluas, pemba- Dikendalikan o- Dicari kemngkinan tasnya lunak. leh pembatasan kira2 insentifdst yg

hukum. diciptakan sendiri sesuai kewajiban.

Politik Hukum berada Hukum terlepas Aspirasi hukum dan di bawah kekua- dari kekerasan terintegrasi menjadi saan politik. politik. Satu kesatuan

(34)

1). Kedaulatan tujuan.

Perhatian hukum responsif terhadap kedaulatan tujuan berakar dari perkembangan hukum otonom yang memandang pertimbangan hukum sering tidak memadai kalau hanya berlandaskan kepada peraturan tetapi juga harus berlandaskan tujuan sehingga dapat mengurangi kesewenangan interprestasi tekstual dan mengekang aparatur pemerintah agar tidak bertindak melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya (ultra vires)

Tahap yang paling kritis ketika transisi antara hukum otonom dengan responsif yaitu pada generalisasi tujuan hukum sebagai sumber utama fleksibilitas dalam organisiasi modern, sebaliknya hukum responsif tidak dibangun secara radikal melainkan dengan cara melalui suatu pertimbangan dan nalar yang artifisial mengandung kelonggaran tersendiri dengan ciri khusus yaitu mencari nilai yang tersirat di dalam peraturan perundangan maupun di dalam setiap kebijaksanaan uang dibuat pemerintah (discretion). 21

21

(35)

Namun, ketika keadaan berubah maka peraturan perundangan yang ada harus ditata ulang tidak hanya memenuhi kebutuhan kebijaksanaan lebih lagi melindung otoritas peraturan perundangan dan integritasnya, pengambilan kebijaksanaan tersebut harus berpedoman kepada azas-azas otoritatif seperti konsep keadilan (fainess) atau demokrasi, intinya tidak boleh ada pihak yang mengambil keuntungan dari kesalahan akibat dari suatu keputusan hukum.22

Namun ketika kedaulatan tujuan melemahkan otoritas peraturan, maka hukum responsif dapat menyebabkan terbuka lebarnya ruang bagi kebijaksanaan pemerintah (discretion) sehingga dengan demikian maka lebih mudah menerima otoritas tujuan yang bersifat kritis dalam menginterprestasikan setiap peraturan perundangan, namun sebaliknya juga lebih sulit memiliki kepercayaan otoritas tujuan bersifat afirmatif bagi arah perkembangan kebijaksanaan yang dibuat pemerintah (discretion) dalam pelaksanaan peraturan perundangan berlaku.23

22

Ibid., Halaman 65 23

(36)

2). Kewajiban dan kesopanan.

Kewajiban warga negara untuk mematuhi hukum menentukan dalam upaya menuju proses pembuatan peraturan perundangan yang fleksibel, dengan kata lain melemahnya kewajiban juga memiliki sumbernya sendiri dalam dan kerumitan yang selalu menemani perkembangan hukum otonom.

Ciri khusus dari sistem hukum yang sudah maju yaitu keragaman yang luar biasa dari otoritas hukum. Lebih jauh lagi peraturan perundangan yang berbeda-beda dan seberapa kuat peraturan perundangan mampu membebankan kewajiban bagi warga negara, variasi ini mencerminkan kontribusi yang berbeda dalam enataan hukum yang pada akhirnya penilaian hukum membangkitkan teknik yang terelaborasi untuk menilai otoritas situasional perintah hukum dan manfaat substantifnya sebagai suatu kebijaksanaan (diskretion) sehingga di dalam kondisi tertentu peraturan perundangan dapat saling berbenturan (konflik). 24

(37)

Kesopanan cara hukum dilaksanakan merupakan acuan teori hukum responsif untuk mendefenisikan dan memelihara ketertiban umum yang cenderung dibatasi oleh tingkah laku yang baik dilandasi kepatutan, dengan pengertian yang lebih umum dan klasik bahwa kesopanan hukum merupakan atribut kehidupan politik yang mendukung nilai sentral kewarganegaraan dengan azas tidak ada anggota komunitas politik yang tidak terlindungi sehingga selalu terpelihara komunitas moral, karena itu pula standar kesopanan menjangkau pelaksanaan otoritas dan partisipasi publik yang menyerukan sikap moderat dan keterbukaan sedangkan dalam konteks politik kesopanan menghargai mengakui induvidualitas, keragaman dan konflik. 25

Secara khusus hukum responsif mendorong dan mengembangkan kesopanan dalam 2 (dua) cara sebagai berikut ;

a). Mengatasi kondisi sempitnya pandangan dalam moralitas komunal, dengan pengertian bahwa pembentukan tatanan hukum yang lebih beradab, lebih menerima keragaman budaya, tidak mudah kejam

25

(38)

terhadap hal-hal menyimpang dan eksentrik, namun tidak melepaskan diri dari konsesus moral masyarakat

b). Mendorong pendekatan baru terhadap krisis ketertiban umum yang berpusat kepada masalah (problem centered) dan integratif secara sosial, dengan paradigma model pluralistik struktur kelompok dalam masyarakat, dengan menekankan realitas dan meneguhkan legitimasi konflik sosial, namun ketidakpatuhan dianggap sebagai beda pendapat, kerusuhan dianggap masuk akal bahkan diberikan pujian, karena relevansinya sebagai bentuk protes sosial sekaligus sebagai cara sah untuk menguji dan merobah peraturan, untuk itu seni negosiasi, diskusi dan kompromi secara politis dapat dilibatkan.26

3). Partisipasi hukum dan partisipasi politik.

Ketika melemahnya kewajiban maka sistem hukum mendelegasikan lebih banyak kebijaksanaan (diskretion) pemerintah untuk membuat keputusan yang otoritatif. Partisipasi hukum memiliki arti yang baru buakn saja bersifat pasif dan dan kurang patuh juga diperluas hingga menjangkau

26

(39)

pembuatan dan interpretasi kebijaksanaan (diskretion) oleh pemerintah, terutama dalam model rule of law tatanan hukum dipandang sebagai bersifat hirarkhis. Perluasan partisipasi hukum tidak hanya mengembangkan nilai demokratik tatanan hukum melainkan juga mampu memberi kontribusi kepada kompentensi institusi hukum, dengan ciri-ciri birokrasi oleh pemerintah sebagai berikut 27

a). Delegasi otoritas yang luas untuk memobilisasi dan menyebarkan sumber-sumber dalam rangka pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan.

;

b). Penggunaan kreatif terhadap para staf perencana, evaluasi dan pengembangan dalam meningkatkan kompetensi kognitif organisasi.

c). Diterimanya pengawasan dan loyalitas ganda demi mendorong kemandirian penilaian.

d). Pembuatan keputusan kebijaksanaan partisipatif sebagai sumber pengetahuan, sarana komunikasi dan landasan bagi persetujuan. 28

27

Ibid., Halaman 77-80. 28

(40)

2. Kerangka konsepsi

Kerangka konsepsi ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi sekaligus membuat batasan dalam melaksanakan penelitian dan penulisan tesis yang secara prinsi terkait erat dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Mengatasi Konflik Pengaturan hukum pendaftaran Tanah di Kota Medan”, yaitu dengan cara menggunakan model definisi operasional melalui kerangka konsepsi sebagai berikut :

a.

Kata analisis berasal dari Bahasa Inggris yang di dalam kamus Bahasa Inggris Indonesia yang disusun John M.Echols cetakan ke XXVII tahun 2003 ditulis dengan kata “analisys” berarti “pemeriksaan yang teliti” sedangkan kata hukummemang para ahli mempunyai defenisi yang tidak sama, namun menurut Soerojo Wignjodipoero dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Hukum menyebutkan bahwa ;

Analisis hukum.

(41)

demikian jika dua kata tersebut digabung menjadi satu kalimat analisis hukum, maka maknanya dapat menjadi sebagai berikut ; pemeriksaan yang teliti terhadap himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

b.

Menurut petunjuk teknis dari Deputi V Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 01/JUKNIS/D.V/2007 konflik adalah “perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dan atau warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status tentang peruntukan, penggunaan, pemilikan dan penguasaan tanah oleh pihak tertentu atau berdasarkan putusan Tata Usaha Negara yang mengandung aspek politik, ekonomi sosial budaya” sedangkan pengaturan dimaksud semua peraturan perundangan terkait pendaftaran tanah yang dibuat oleh lembaga legislatif bersama eksekutif atau lembaga lainnya dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

(42)

c.

Kebijaksanaan pemerintah merupakan kebijaksanaan birokrat yang dibuat presiden atau jajarannya sebatas discreation, namun bukan merupakan beschikking dalam arti undang-undang yang dibuat pihak legislatif dengan pihak eksekutif, melainkan peraturan regelling sebatas atribut melengkapi putusan beschikking. Kebijaksanaan pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bertentangan secara konstitusional termasuk yang dibuat presiden atau bersama lembaga lain atau yang lebih rendah.

Kebijaksanaan pemerintah.

29

d.

Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 Angka (1) PP. Nomor 24 Tahun 1997 yaitu “ ... rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan pengolahan pembukuan dan penyajian pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Pendaftaran tanah.

29

(43)

G . Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang digunakan di dalam penelitian yang akurasinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan diharapkan memberi manfaat terkait dengan penelitian dan penulisan mengenai analisis hukum terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan pendaftaran tanah dilaksanakan sebagai berikut.30

1 . Tipe penelitian

Penelitian ini normatif termasuk di dalam kelompok analisis data dengan tipologi penelitian diskriptif, yang memandang hukum sebagai suatu sistem peraturan yang abstrak dan otonom, dapat dibicarakan sebagai subyek lain sehingga pusat perhatian tetap terfokus kepada permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah.31 Penelitian normatif ini merupakan studi hukum law in books mempelajari konsistensi, sinkronisasi dan stagnasi pengaturan hukum pendaftaran tanah melalui keserasian peraturan perundang-undangan bidang pendaftaran tanah yang dipermasalahkan baik secara vertikal maupun horizontal.32

30

Oloan Sitorus dan Darminsyah Minin, 2006, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah di Bidang Hukum, Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, Cetakan Kedua, Halaman 32.

31

Bambang Sungguno, Metodologi Penelitian Hukum, op. cit., Halaman 33 dan 70. 32

(44)

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, dengan pertimbangan bahwa penelitian ini bertitik tolak dari analisis data sekunder meliputi bahan-bahan hukum primer berupa ; norma dasar, peraturan dasar, bahan hukum sekunder berupa Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 serta peraturan perundang-undangan lainnya, bahan hukum tersier berupa azas-azas dan teori-teori serta adagium sepanjang terkait dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah, dengan cara melakukan langkah-langkah yang sistematik secara ilmiah.

Selanjutnya dengan melalui eksplorasi literatur diharapkan dapat menjelaskan pengertian-pengertian terkait dengan permasalahan yang telah ditetapkan dalam penelitian ini sepanjang terkait dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah, antara lain ;

a. Pengertian konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah yang tidak konsisten, tidak sinkron atau stagnasi.pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan

(45)

2. Sumber data penelitian

Sumber data yang digunakan terutama bahan hukum primer, sekunder dan tersier berupa peraturan perundangan, azas-azas, teori-teori, adagium dan kamus terkait dengan permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan dengan langkah sebagai berikut :

a. Penginventarisasian seluruh peraturan perundangan yang berlaku (hukum positif) berupa undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang beserta peraturan pelaksananya termasuk keputusan lembaga peradilan sepanjang mengenai pendaftaran tanah terutama terkait dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan

(46)

c. Penarikan kesimpulan berdasarkan pengetahuan bidang pendaftaran tanah yang benar, tepat, logis dan patut untuk dilaksanakan terkait bidang pendaftaran tanah terutama terkait kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah pada pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di kantor pertanahan.33

Namun demikian untuk mendukung hasil penelitian diperlukan tanggapan dan pendapat para narasumber dan pakar hukum di luar populasi.

Populasi ditetapkan yaitu pengguna pelayanan bidang pendaftaran tanah didasarkan kepada penilaian bahwa yang bersangkutan merupakan pelaku yang terlibat langsung dalam penulisan tesis ini sehingga diharapkan dapat memberi tanggapan atau pendapat yang kritis dan konstruktif sepanjang terkait kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah.

Sebagai tindaklanjut dari penetapan populasi tersebut di atas, maka penelitian ini dilaksanakan terhadap 3 (tiga) orang pengguna pelayanan pendaftaran tanah yang terbagi dalam 3 (tiga) kegiatan pendafaran tanah, masing-masing sebagai berikut ;

33

(47)

1) Permohonan hak = 1 orang

2) Peralihan hak = 1 orang

3) Pembebanan hak = 1 orang

Penetapan instansi pemerintah menjadi narasumber didasarkan penilaian bahwa instansi pemerintah merupakan institusi yang terlibat langsung dalam penegakan hukum, khususnya terkait kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik peraturan perundangan bidang pendaftaran tanah telah dilaksanakan terhadap 3 (tiga) orang narasumber yang terdiri dari 3 (tiga) instansi pemerintah sebagai berikut ;

1) Kantor Pertanahan Kota Medan = 1 orang 2) Pengadilan Tata Usaha Negara Medan = 1 orang 3) Notaris / Pejabat Pembuat Akta Tanah = 1 orang

(48)

1) Ahli hukum agraria = 1 orang

2) Ahli hukum perdata = 1 orang

3) Ahli hukum administrasi negara = 1 orang

3 .

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder melalui literatur sedangkan data primer berupa tanggapan dan pendapat dari responden yang relevan dengan permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah dilaksanakan sebagai berikut ;

Tehnik pengumpulan data.

a. Studi kepustakaan (library study)

Studi kepustakaan (library study) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder berupa bahan primer, bahan sekunder dan bahan tersier yang ada pada buku atau dalam bentuk tulisan yang terkait dengan penelitian kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah, meliputi ;

1). Norma Dasar, yang terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

(49)

3). Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 serta peraturan perundang-undangan lainnya.

4). Azas-azas hukum dan teori-teori hukum serta doktrin-doktrin para ahli hukum.

5). Kamus hukum dan adagium.

Temuan pada studi kepustakaan terkait dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah diasumsi untuk dipersiapkan sebagai pedoman pada pelaksanaan penelitian lapangan dengan menggunakan alat pengumpul data guna diverifikasi dengan para responden. 34

b . Penelitian lapangan (field research)

(50)

4. Metode analisis data

Data sekunder yang ditemukan di penelitian kepustakaan (Library study) berupa norma dasar, peraturan dasar, Undang-undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peraturan perundangan terkait lainnya yang menjadi bahan hukum primer dan teori-teori hukum, azas-azas hukum dan doktrin-doktrin hukum dari para ahli hukum yang menjadi bahan hukum sekunder serta adagium dan kamus hukum yang menjadi bahan hukum tersier sepanjang relevan dengan permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah, akhirnya dianalisis dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif.

Data primer yang ditemukan dalam penelitian lapangan (field research) berupa tanggapan atau pendapat dari responden berkaitan dengan permasalahan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi konflik pengaturan hukum pendaftaran tanah yang diperoleh melalui wawancara dan angket akhirnya dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif digeneralisasi melalui tahapan klasifikasi, tabulasi dan dianalisis tanpa menggunakan angka kecuali sebatas uaraian atau tabulasi.

34

(51)

BAB II

KONFLIK PENGATURAN HUKUM PENDAFTARAN TANAH

A . Pengaturan Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah diatur di dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria kemudian dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 terakhir telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah bersama-sama dengan peraturan perundangan lainnya pengaturan pendaftaran tanah terutama di dilaksankan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan Pendaftaran Tanah.

1. Eksistensi pengaturan pendaftaran tanah

(52)

dibawa Kolonial Belanda ke Indonesia populer dengan sebutan kadastrale atau kadaster, contohnya ada lembaga Kadastrale Dienst (Jawatan Pendaftaran Tanah) dan juga lembaga Kadaster Kantoor (Kantor Pendaftaran Tanah) yang ada pada zaman Belanda dan diatur berdasarkan peraturan Kolonial Belanda yang berkuasa pada waktu itu.35 Selanjutnya kadastrale atau kadaster kantoor berubah nama menjadi kantor agraria terakhir kantor pertanahan yang berada di setiap kabupaten dan kota di bawah kendali Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

a.

Eksistensi lembaga penyelenggara pendaftaran tanah di Indonesia berawal dari plakkaat yang dikeluarkan Verenigde Oost Compagnie (VOC) tanggal 18 Agustus 1620 yang isinya antara lain menginstruksikan kepada Dewan Pemerintahan dan Peradilan (Baljuw dan Scheepen) zaman pemerintahan Kolonial Belanda untuk membuat daftar tanah dan pemiliknya di dalam buku daftar-daftar (stadsboeken) yang nanti akan menjadi cikal bakal lahirnya Kadastrale Dienst dan Kadaster Kantoor selanjutnya menjadi lembaga pendaftaran tanah yang dikenal seperti sekarang ini. 36

Lembaga penyelenggara pendaftaran tanah.

35

R. Harmanses, 1966, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Ketikan Stensil, Jakarta, Halaman 3 dan 26.

36

(53)

Lembaga pendaftaran tanah di Indonesia di tingkat pusat disebut dengan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sedangkan di tingkat propinsi disebut dengan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi sementara di tingkat kabupaten dan kota disebut dengan kantor pertanahan kabupaten atau kota, sebagaimana terakhir ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional Tanggal 11 April 2006 kemudian dilaksanakan berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan yang ditetapkan pada Tanggal 16 Mei 2006 antara lain menyebutkan ;

1). Kantor pertanahan instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di kabupaten/kota yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.

2). Kantor pertanahan dipimpin oleh seorang kepala.

(54)

4). Kantor pertanahan mempunyai fungsi ;

a). Penyusunan rencana, program dan penganggaran dalam rangka pelaksanaan tugas pertanahan.

b). Pelayanan, perizinan dan rekomendasi bidang pertanahan.

c). Pelaksanaan survey, pengukuran dan pemetaan dasar, pengukuran dan pemetaan bidang, pembukuan tanah, pemetaan tematik, dan survei potensi tanah.

d). Pelaksanaan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah dan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, wilayah tertentu.

e). Pengusulan dan pelaksanaan penetapan hak tanah, pendaftaran hak tanah, pemeliharaan data pertanahan dan administrasi tanah asset pemerintah.

f). Pelaksanaan pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah negara, tanah terlantar dan tanah kritis, peningkatan partispasi dan pemberdayaan masyarakat. g). Penanganan konflik, sengketa dan perkara pertanahan. h). Pengkoordinasi kepentingan pengguna tanah.

i). Pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS).

j). Pemberian penerangan dan informasi pertanahan kepada masyarakat, pemerintah dan swasta.

k). Pengkoordinasian penelitian dan pengembangan.

l). Pengkordinasi pengembangan sumber daya manusia pertanahan

(55)

Kantor pertanahan kabupaten/kota mempunyai seorang Kepala Kantor yang membawahi 1 (satu) sub bagian dan 5 (lima) seksi sebagaimana lampiran bagan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 tanggal 16 Mei 2006 tersebut sebagai berikut ;

BAGAN ORGANISASI KANTOR PERTANAHAN

KABUPATEN / KOTA

Kepala Kantor Pertanahan

Sub Bagian Tata Usaha

(56)

Selanjutnya Sub Bagian Tata Usaha membawahi 2 (dua) sub urusan, masing-masing Urusan Umum dan Kepegawaian dan Urusan Perencanaan dan Keuangan sedangkan setiap masing-masing Seksi membawahi 2 (dua) Sub Seksi, kecuali Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah membawahi 4 (empat) Sub Seksi seterusnya setiap sub urusan maupun sub seksi membawahi stafnya.

b.

Pengertian dan azas pendaftaran tanah diperlukan dalam pengaturan hukum pendaftaran tanah untuk memberi arah, pedoman atau tempat bersandarnya ketentuan pendaftaran tanah, sebagai berikut ;

Pengertian-pengertian dalam pendaftaran tanah.

1). Pengertian pendaftaran tanah

a). Pengertian pendaftaran tanah zaman kolonial

Pengertian pendaftaran tanah pada zaman Kolonial Belanda sebagaimana pendapat para ahlinya antara lain ;

(57)

dan taksiran, memberi gambaran dan uraian tentang wilayah suatu negara dengan semua bagian-bagiannya dan bidang-bidang tanah” (Kadaster is een instelling, die door middel van plans of kaarten en registers, opgemaakt naar

aanleiding van meting en schaatting, ons een

beeld en een omschrijving van het grondgebeid

van een staat in al zine onderdeelen en grens

stukken geeft). 37

2)). Jaarsma berpendapat bahwa “Kadaster adalah suatu badan, dengan peta-peta dan daftar-daftar memberikan uraian tentang semua tanah-tanah yang terletak dalam wilayah suatu negara.” (Kadaster is een instelling, die door middel van kaarten en registers een omschrijving geeft van

alle stukken grond, binnen het gebeid van den

staat gelegen). 38

3)). Schermerhorn dan Steenis berpendapat bahwa “Kadaster itu dirumuskan sebagai suatu badan

37

Ibid., Halaman 4 38

(58)

pemerintah meregistrasi dan mengadministrasi keadaan hukum dari semua benda tetap dalam daerah tertentu termasuk semua perobahan-perobahan yang terjadi dalam keadaan hukum.” (Het kadaster is een overheidsinstelling ter registratie on administratie van de rechtstoestand

van alle onroende goederen in een bepaald gebeid

met insluiting van alle weizigingen, die hierin in

de loop der tijden voorkomen). 39

b). Pengertian pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

Pengertian pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagai berikut ;

Pasal 1 “Pendaftaran tanah diselenggarakan Jawatan Pendaftaran Tanah dengan menurut ketentuan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan mulai pada tanggal ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk masing-masing daerah”.

39

(59)

Pasal 2 “Pendaftaran tanah diselenggarakan desa demi desa atau daerah-daerah setingkat dengan itu”.

Berdasarkan bunyi pasal=pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa penegrtian pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagai bentuk penyelenggaraan kegiatan, terutama penyelenggaraan kegiatan pengukuran desa demi desa atau dikenal juga dengan sertipikat tanah desa demi desa.

c). Pengertian pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 1 Angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunnyi ;

(60)

yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas diketahui bahwa pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang lebih bermakna berkesinambungan secara terus menerus yang dilaksanakan secara teratur terhadap pengumpulan dan pemeliharaan dan penyajian datanya.

2). Pengertian subyek pendaftaran tanah

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 diketahui bahwa subyek hak atas tanah merupakan orang atau badan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 21 Ayat (1) berbunyi “hanya Warga Negara Indonesia yang dapat punya hak milik, Ayat (2) pemerintah menetapkan badan-badan hukum yang dapat punya hak milik dan syaratnya”.

(61)

didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia”.

Pasal 36 Ayat (1) berbunyi “yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah Warga Negara Indonesia , badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia”.

Pasal 42 berbunyi “yang dapat mempunyai hak pakai ialah Warga Negara Indonesia , warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia”.

Selanjutnya dikatakan bahwa subyek hukum (subject van een recht) merupakan orang perseorangan (nutuurlijke persoon) atau badan hukum (rechts persoon) yang mempunyai hak, mempunyai kehendak dan dapat melakukan perbuatan hukum. 40

(62)

subyek hukum hak atas tanah merupakan orang atau badan hukum yang dapat mempunyai sesuatu hak atas tanah dan dapat melakukan perbuatan hukum guna untuk mengambil manfaat bagi kepentingan dirinya, keluarganya dan masyarakat bangsa serta akhirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun demikian sekalipun manusia diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, namun hukum dapat saja mengecualikan manusia sebagai makhluk hukum, dengan pengertian bahwa hukum boleh jadi tidak mengakui manusia sebagai orang dalam arti hukum yang dikaitkan dengan kemampuan manusia memikul beban secara hukum, jika hukum menentukan demikian, maka tertutup kemungkinan bagi manusia tersebut menjadi pembawa hak dan kewajiban selaku subyek hukum. 41

Dengan demikian dapat dipahami bahwa subyek hak atas tanah merupakan subyek hukum yang meliputi orang perseorangan atau badan hukum, namun demikian tetap saja dalam pembatasan tertentu, dengan pengertian bahwa tidak

40

Soedjono Dirdjosisworo,1991, Pengantar Imu Hukum, Rajawali Press, Jakarta, Halaman 126. 41

(63)

semua orang atau badan hukum boleh atau dapat menjadi subyek hak atas tanah, sebagai berikut ;

a)). Orang perseorangan yang identitasnya terdaftar selaku Warga Negara Indonesia atau warga negara asing, berdomisili di dalam atau di luar Wilayah Republik Indonesia dan tidak kehilangan hak memperoleh sesuatu hak atas tanah di Indonesia.

b)). Badan hukum merupakan lembaga pemerintahan Indonesia, lembaga perwakilan negara asing, lembaga perwakilan internasional, badan usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia dan yang berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing melalui penanaman modal asing di Indonesia, badan keagamaan atau badan sosial sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 1653 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi “… perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang…” 42

42

(64)

3). Pengertian obyek pendaftaran tanah

Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 berbunyi ;

“Obyek pendaftaran tanah meliputi :

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.

b. Tanah hak pengelolaan.

c. Tanah wakaf.

d. Hak milik atas satuan rumah susun.

e. Hak tanggungan.

f. Tanah Negara”.

Sehingga dapat dipahami bahwa obyek pendaftaran tanah merupakan bidang tanah dengan sesuatu hak yang telah ditentukan menurut peraturan perundang-undangan.

4). Pengertian sertipikat

(65)

“Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”.

Demikian diketahui bahwa sertipikat hak atas tanah juga dapat berarti sebagai surat tanda bukti hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun serta hak lainnya.

Selanjutnya menurut Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa ;

“Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”.

(66)

dengan data yang ada di kantor pertanahan, sebaliknya sertipikat tidak menjadi tanda bukti hak ketika data fisik atau data yuridis tidak sesuai lagi dengan data yang ada di kantor pertanahan.

5). Pengertian surat ukur

Menurut Pasal 1 Angka (17) PP. 24 Tahun 1997 “Surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa surat ukur merupakan dokumen yang hanya berisikan data fisik.

6). Pengertian buku tanah

Berdasarkan bunyi Pasal 1 Angka (19) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 “Buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya”. Sehingga dapat dipahami bahwa buku tanah juga diartikan sebagai dokumen yang berisi data fisik dan yuridis.

7). Pengertian data fisik

(67)

“Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya”. Maka dengan demikian dapat dipahami bahwa data fisik merupakan keterangan tentang obyek hak berupa bidang tanah atau satuan rumah susun.

8). Pengertian data yuridis

Menurut Pasal 1 Angka (7) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 “Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya”.

c.

Azas-azas diperlukan setidaknya untuk tempat bersandarnya isi dan pelaksanaan suatu peraturan perundangan sedangkan tujuan merupakan arah yang hendak dicapainya dan kegiatan merupakan batasan pekerjaan yang harus dilaksanakan dalam tugas pokok dan fungsinya pendaftaran tanah.

(68)

1). Azas-azas pendaftaran tanah

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi “Pendaftaran tanah diilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, mutaakhir dan terbuka”, selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 2 tersebut diketahui bahwa ;

a). Azas sederhana dalam pendaftaran tanah maksudnya agar ketentuan-ketentuan pokok maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami pihak berkepentingan terutama pemohon hak atas tanah.

b). Azas aman dimaksudkan untuk menunjukan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat supaya hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah.

(69)

d). Azas mutakhir dimaksudkan agar kelengkapan memadai dalam pelaksanaan dan kesinambungan pemeliharaan data sehingga informasi peranahan tersedia secara mutaakhir dengan cara mewajibkan bagi pemgang hak mencatatkan setiap perubahan data yang terjadi di lapangan ke kantor pertanahan.yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan.

e). Azas terbuka dimaksudkan agar masyarakat setiap saat dapat memperoleh keterangan atau informasi mengenai data fisik dan yuridis hak atas tanah atau satuan rumah susun di kantor pertanahan.

2). Tujuan pendaftaran tanah

Tujuan dan kegiatan pendaftaran tanah dapat diketahui berdasarkan ketentuan peraturan perundangan berlaku, sebagai berikut ;

(70)

“a). Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

b). Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c). Untuk terselenggara tertib administrasi pertanahan”

3). Kegiatan pendaftaran tanah

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dapat pula diketahui kegiatan pendaftaran tanah sebagai berikut ;

“(1). Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi. a. pengumpulan dan pengolahan data fisik.

Referensi

Dokumen terkait

Data yang dikumpulkan adalah data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung di lapangan dengan cara observasi, wawancara dengan responden yakni

Beberapa kebijakan yang terkait dengan upaya untuk mewujudkan kemandirian pangan antara lain adalah; (a) kebijakan yang mempunyai dampak sangat positif dalam jangka pendek,

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek

Yang menjadi prioritas penyebab masalah yang ada dalam pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Cimanggis pada periode

Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Basuki dan Soelistyo (2000) dalam penelitian tentang Pengaruh Penanaman Modal Asing

Bahwa berdasarkan jaringan organisasi dan asset meterial dan non-material yang telah dimiliki Koprasi Nelayan Garut Selatan serta berbagai peluang usaha yang tersedia di

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh rasio profitabilitas yang meliputi EPS, ROA, ROE, dan NPM yang diduga mempunyai pengaruh terhadap harga saham pada

Sistem ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian pengirim dan bagian penerima yang masing-masing dilengkapi sistem komunikasi wireless , dengan frekuensi radio