• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONFLIK PENGATURAN HUKUM PENDAFTARAN TANAH

B. Konflik Hukum Pendaftaran Tanah

2. Konflik Penerapan Hukum Pendaftaran Tanah

Tujuan hukum juga termasuk untuk mengatur tingkah laku masyarakat supaya mencapai arah masyarakat yang adil dan makmur, namun berbagai peraturan perundangan yang ada tidak semuanya dapat mendukung tujuan tersebut, bahkan mungkin bertentangan dengan semangatnya. 65

Namun adakalanya ketika dilaksanakan hukum terkait bidang pendaftaran oleh kantor pertanahan timbul konflik antara para pihak yang merasa berkepentigan sehingga perlu diuji kebenarannya di hadapan hakim pengadilan. Pada dasarnya Konflik penerapan hukum pendaftaran tanah meliputi setidaknya 3 (tiga) konflik hukum ; pertama konflik hukum administrasi ; kedua konflik hukum perdata ; ketiga konflik hukum pidana.

65

Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Halaman 4.

a.

Konflik hukum administrasi pendaftaran tanah dapat terjadi ketika hasil pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh kantor pertanahan sebagai putusan tata usaha negara telah merugikan pihak berkepentingan baik perorangan atau badan hukum karena melegalisasikan perbuatan pihak lain yang tidak sah atau wanprestasi sehingga perlu diajukan gugatan agar pengadilan tata usaha negara membatalkan atau tidak mensahkan hasil atau putusan kantor pertanahan tersebut dengan atau tanpa disertai ganti rugi dan atau rehabilitasi. 66

Konflik hukum administrasi pendaftaran tanah.

Konflik sebagaimana tersebut di atas oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia diberikan petunjuk yaitu Petunjuk Teknis Deputi V Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 06/JUKNIS/D.V/2007 Tentang Berperkara Di Pengadilan Dan Tindak Lanjut Pelaksanaan Putusan Pengadilan antara lain menyebutkan bahwa terhadap perkara yang belum atau sedang atau sudah diputus oleh pengadilan dan ditemukan cacat administrasi sepanjang mengenai keputusan Pejabat Tata Usaha Negara meliputi kesalahan sebagai berikut ;

66

Bambang Waluyo, 1996, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 46.

1). Kesalahan prosedur

2). Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan cacat administrasi ini

3). Kesalahan subyek hak 4). Kesalahan obyek hak 5). Kesalahan jenis hak

6). Kesalahan perhitungan luas

7). Terdapat tumpang tindih hak atas tanah 8). Data yuridis atau fisik tidak benar, atau

9). Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif

Selanjutnya kantor pertanahan mengambil tindakan atas nama Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan sebagai berikut ;

1) Tidak meneruskan proses perkara dengan melaporkan temuan adanya cacat administrasi

2) Menyelesaikan sengketa di luar pengadilan atas dasar kehendak para pihak

3) Menuangkan hasil penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam Berita Acara

Namun tindakan tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh kepala kantor pertanahan dengan syarat perkara tata usaha negara tersebut sebagai berikut ;

1). Tidak merugikan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi

2). Tidak berkaitan dengan asset intansi pemerintah, BUMN atau BUMD

3). Posisi hukum Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam pihak adalah selaku turut tergugat yang obyek perkaranya bukan produk Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Namun ketika persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka pegakan hukum administrasi pendaftaran tanah tetap dilanjutkan pada tingkat peradilan tinggi dan atau mahkamah agung, bahkan sampai kepada pengusulan pembatalan terhadap sertipikat yang menyalahi hukum administrasi negara dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Sebagai contoh berdasarkan data yang diperoleh di Kantor Pertanahan Kota Medan dalam kasus perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan dengan register perkara Nomor :

7272/G.TUN/205/PTUN-MDN yang telah diputus oleh Pengadilan

Tata Usaha Negara Medan dengan Nomor :

72/G.TUN/2005/PTUN-MDN Tanggal 8 Maret 2006 juncto Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan Nomor : 53/BDG/2006/PT.TUN-MDN Tanggal 12 Juli 2006 juncto Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 52.K/TUN/2007 Tanggal 16 Nopember 2007 sebagai berikut ;

Bahwa sertipikat Hak Milik Nomor 1970 Kelurahan Helvetia Timur seluas 435 M2 yang diterbitkan tanggal 18 Oktober 2004 berdasarkan Surat Keterangan Tanah Camat Medan Sunggal Nomor 318/SKT/MS/1975 tanggal 12 Desember 1975 atas nama Yohanes Situmorang kemudian dijual kepada Diana H. Pulungan dan Diana H. Pulungan menjualnya kepada Naimah. Selanjutnya hak atas tanah tersebut digugat oleh ahli waris Drs. FMD Situmorang berdasarkan Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan Camat Medan Sunggal Nomor 258/SKT/MS/1975 tanggal 12 September 1975 yang oleh pengadilan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan serta Mahkamah Agung memenangkan pihak ahli waris Drs. FMD Situmorang sekaligus menyatakan batal sertipikat Hak Milik Nomor 1970 tersebut atas nama Naimah tersebut.

b.

Konfik hukum perdata dalam bidang pendaftaran tanah dapat saja terjadi karena adanya perbedaan pengaturan keperdataan dalam pendaftaran tanah seperti kepemilikan hak atas tanah terdaftar secara formil di kantor pertanahan dan kepemilikan hak atas tanah secara materiil kenyataan lapangan, boleh jadi satu bidang tanah secara formil kepunyaan Warga Negara Indonesia namun secara materiil kepunyaan warga negara asing, kondisi ini sebagai akibat konflik pengaturan hukum keperdataan di satu sisi hanya Warga Negara Indonesia yang boleh mempunyai hak milik atas tanah sesuai ketentuan Pasal 21 Ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria, namun Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga membolehkan kepada para pihak membuat perikatan sepanjang sah menurut undang-undang sesuai azas kebebasan berkontrak. 67

Konflik hukum perdata pendaftaran tanah.

Contoh dapat dikemukakan yaitu kasus kepemilikan sertipikat Hak Milik Nomor 980 Desa Ubud Kabupaten Gianyar Propinsi Bali seluas 300 M2 (tiga ratus meter persegi) yang secara formil terdaftar di Kantor Pertanahan Kabupaten Gianyar atas nama seorang Warga Negara Indonesia.

67

Maria S.W. Sumardjono, 2007, Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan hukum Asing, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Halaman 14.

Pada hal sebenarnya secara materiil tanah tersebut dibeli oleh warga negara asing sebagaimana tertuang di dalam surat perjanjian yang di hadapan notaris yang dibuat satu paket dengan kusa notariil tanggal 3 Agustus 1998 yang isinya menyatakan bahwa tanah tersebut kepunyaan warga negara asing tersebut berikut dengan segala kewenangan yang mungkin timbul dalam hubungan hukum antara warga negara asing tersebut dengan tanah tersebut.

Namun dalam perjalanan pemilikan tanah tersebut timbul wanprestasi yang bermuara kepada gugatan perdata di Pengadilan Negeri Gianyar dengan registrasi Nomor : 24/Pdt.G/2002/PN-Gir. Terlepas dari kelanjutan kasus tersebut di peradilan, yang jelas kasus ini timbul akubat adanya konflik hukum keperdataan bidang pendaftaran tanah. 68

Dengan demikian dapat diketahui bahwa konflik hukum perdata bidang pendaftaran tanah dapat saja terjadi yang akhirnya perlu diuji di hadapan hakim pegadilan untuk menentukan pihak yang lebih berhak atas tanah yang dipersengketakan tersebut, hal ini sejalan dengan azas publisitas negatif pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia.

68

Pendaftaran tanah yang menganut sistem negatif menjadikan setiap orang berhak menuntut keabsahan pemilikan bidang tanah ketika ada pihak yang merasa berhak dan mempunyai bukti yang lebih kuat, dengan pengertian bahwa nama orang yang terdaftar selaku pemegang hak di dalam sertipikat tanah tidak mutlak sebagai pemiliknya, karena terbukanya kesempatan bagi pihak lain untuk menggugatnya di hadapan hakim pengadilan. 69

Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap, dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuannya. Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus konkret hendaknya diperlukan juga terselenggaranya pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya sedangkan bagi para pihak yang berkepentingan misalnya calon pembeli atau calon kreditor untuk dengan mudah mengakses data dalam rangka memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai data tanah yang menjadi objek perbuatan hukum yang diingininya sehingga menjadi mudah sebagaimana azasnya pendaftaran tanah.

69

Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Penerbit Mandar Maju, Bandung, Halaman 198.

c.

Konflik hukum pidana pendaftaran tanah dapat saja terjadi karena iktikad tidak baik dari oknum tertentu, baik dari pihak masyarakat maupun pemerintah yang bersifat kriminalisasi murni, misalnya penggelapan atau penipuan surat-surat bukti pemilikan hak atas tanah ataupun penggelapan surat-surat lainnya sepanjang terkait dengan pendaftaran tanah.

Konflik hukum pidana pendaftaran tanah.

Selain perbuatan kriminalisasi dalam perolehan hak atas tanah oleh oknum tertentu tersebut di atas juga Undang-undang Pokok Agraria ada mengatur mengenai hukum pidana bidang pendaftaran tanah terutama bagi pemegang haknya berkewajiban memelihara, menyuburkan dan mencegah kerusakan tanahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 UUPA dengan ancaman kurungan yang dipandang sebagai pelanggaran.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa tindak pidana di dalam pendaftaran tanah ada macam ; pertama tindak pidana murni kriminal seperti penggelapan dan lain sebgainaya yang harus diberikan dengan hukuman badan ; kedua tindak pidana yang lebih kepada suatu bentuk pelanggaran sehingga dapat diganti dengan hukuman denda.

Selanjutnya menurut Syafruddin Kalo dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tanggal 2 September 2006 di Medan menyatakan antara lain adanya tindak pidana di dalam pendaftaran tanah sebagai contoh beliau mengemukakan permasalahan tanah bekas HGU yang Kesalahan dalam pembuatan sertifikat bisa saja karena adanya unsur-unsur penipuan (bedrog), kesesatan (dwaling) dan atau paksaan (dwang) dalam pembuatan data fisik maupun data yuridis yang dibukukan dalam buku tanah. Dengan demikian sertifikat yang dihasilkan dapat berakibat batal demi hukum. Sedangkan bagi subjek yang melakukan hal tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh alat-alat perlengkapan negara/BPN, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai onrecht matige overheidsdaad atau penyalahgunaan kewenangan dari pejabat Tata Usaha Negara. Van der Pot menyebut empat syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan sah, yaitu ; pertama ketetapan harus dibuat oleh alat yang berwenang (bevoegd) membuatnya ; kedua, karena ketetapan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), makapembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming) ; ketiga, ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus juga memperhatikan cara (procedure) membuat ketetapan itu bilamana cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut ; keempat, isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. Akibatnya jika salah satu syarat tidak dipenuhi, maka ketetapan yang bersangkutan menjadi ketetapan yang tidak sah, misalnya: ketetapan yang dibuat oleh organ atau pejabat yang tak berwenang (on bevoegd) ketetapan itu dibuat karena adanya penipuan (bedrag), ketetapan itu tidak menurut prosedur berdasarkan hukum (rechtmatige) dan ketetapan itu tidak memenuhi tujuan peraturan dasarnya (doelmatige) atau telah terjadi penyalahgunaan wewenang (detounament de pauvoir).

Berdasarkan paparan di atas, maka perbuatan hukum pemerintah dalam hal ini BPN dalam melakukan pendaftaran tanah dan menerbitkan sertifikat sebagai suatu perbuatan hukum, untuk menimbulkan keadaan hukum baru dan melahirkan hak-hak serta kewajiban-kewajiban hukum baru terhadap orang/subjek hukum tertentu, harus memenuhi syarat-syarat tersebut dan tidak boleh mengandung unsur kesalahan baik menyangkut aspek teknis pendaftaran tanah maupun aspek yuridisnya. Kesalahan dalam hal ini, menurut hukum administrasi negara berimplikasi bagi penerbitan sertifikat yang dapat berakibat batal atau dapat dibatalkan. Apabila kesalahan itu mengandung unsur culpa atau dolus, maka perbuatan tersebut mengandung indikasi kriminal dan terhadap pelakunya dapat dipidana.

terdaftar atas nama PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) namun haknya telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi sehingga haknya kembali menjadi tanah negara, akan tetapi ternyata pihak PTPN II mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada pighak lain sehingga menurut Syafruddin Kalo bahwa perbuatan mengalihkan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum (onrecht matigedaad), karena telah melanggar asas nemo plus yuris atau melakukan perbuatan yang melebihi haknya, karena PTPN II hanya berhak mengalihkan HGU, jika haknya berakhir maka tanah kembali kepada negara atau dikuasai oleh negara sehingga perbuatan tersebut masuk ke ranah hukum pidana dan para pelakunya dapat dijatuhkan sanksi pidana, karena adanya unsur ; melanggar hak orang lain; atau bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtsplicht) dari yang melakukan perbuatan itu ; atau bertentangan dengan kesusilaan maupun asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai penghormatan diri orang lain atau barang lain. Dengan demikian pihak berwenang baik Polisi, Jaksa bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan tugasnya. 70

70

Syafruddin Kalo, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tanggal 2 September 2006 di Medan, Halaman 20-25.

Dokumen terkait