• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Untuk penelitian hukum diperlukan kerangka teoritis yang dalam ilmu hukum, agar permasalahan yang diteliti menjadi jelas.

Mengenai Perseroan sebagai badan hukum kita mengenal Otto Van Gierke17 dalam teori organnya mengatakan:

Badan hukum suatu yang abstrak atau anggapan dalam pikiran manusia tetapi suatu yang rill atau nyata. Badan hukum adalah organ seperti halnya manusia yang dapat melakukan perbuatan atau menyatakan kehendak melalui organnya seperti pengurus, Direksi atau Komisaris atas nama badan hukum menjalankan tujuan badan hukum tersebut.

Pengikuti teori organ ini selain Otto Van Gierke adalah Z.E. Polano, menyatakan:18

Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek. Tetapi badan hukum adalah organisme yang rill, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang mempunyai organ (panca indera) dan sebagainya.

Jadi menurut teori organ ini badan hukum itu tidak berbeda dengan manusia, mempunyai sifat kepribadian yang sama dengan manusia, karena badan hukum mempunyai kehendak yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya seperti RUPS, Pengurus Direksi dan Dewan Komisaris.19

17 Otto Van Gierke, dalam Sutarno, Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Cetakan Ketiga (Bandung: CV. Alfabeta, 2005), halaman 12.

18

Otto Van Gierke dan Z.E. Polano dalam Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia (Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2006), halaman 46.

19 Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan sebagai subjek dalam Gugatan Perdata di Pengadilan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), halaman 130.

Selain organ theory, yang dewasa ini merupakan salah satu teori mengenai kewenangan bertindak badan hukum yang paling banyak dianut, dikenal juga teori-teori lainnya, seperti teori tentang perwakilan, yang menyatakan bahwa badan hukum bertindak melalui suatu sistem perwakilan yang ada pada tangan pengurusnya (dalam hal ini direksi dibawah pengawasan komisaris)20

Menurut Hans Kelsen dalam teori Kapasitas Untuk Bertindak (Handlungsfahigkeit), kapasitas transaksi hukum, yakni kapasitas untuk menciptakan kewajiban dan hak, juga merupakan kewenangan hukum. Ini karena kewajiban hukum dan hak ditetapkan oleh norma-norma hukum dan norma-norma itu diciptakan dengan transaksi hukum. Sebuah analisa tentang transaksi hukum hukum khusus, yakni kontrak membuktikan hal itu. Kontrak menetapkan bahwa kedua belah pihak harus berprilaku dengan cara tertentu dalam hubungan timbal balik mereka; kontrak penjualan misalnya, menetapkan bahwa si penjual mesti memberikan suatu barang kepada si pembeli dan pembeli memberikan sejumlah uang kepada penjual. Kontrak merupakan suatu tindakan yang subjektifnya adalah

”seharusnya”. Tataan hukum dalam mewenangkan individu, melalui norma–norma hukum, untuk menandatangani kontrak, meningkatkan makna subjekif dari transaksi itu menjadi makna objektif. Kontrak menciptakan kewajiban bagi kedua belah pihak, karena tatannan hukum memberikan sanksi kepada prilaku yang bertentangan dengan ketentuan dalam kontrak.21

Perseroan Terbatas adalah badan hukum, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 yang merupakan pengganti Undang- Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dijelaskan bahwa ketiga organ tersebut tidak ada yang paling tinggi, masing-masing melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai yang diperintahkan dalam Undang-Undang tersebut.

Dan dari ketiga organ tersebut yang ada dalam perseroan, Direksi adalah organ yang Undang-Undang berikan hak dan kewajiban / diberikan tugas melakukan /

20

Gunawan Wijaya, 150 Pertanyaan tentang Perseroan Terbatas (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), halaman 49.

21 Han Kelsen, Teori Hukum Murni, Terjemahan Pure Theory of Law, Cetakan IV (Jakarta: Penerbit Nusa Media, 2008), halaman 167.

melaksanakan kegiatan-pengurusan dan perwakilan untuk dan atas nama perseroan, dan bagi kepentingan perseroan, dibawah pengawasan Dewan Komisaris. Walaupun demikian, organ perseroan itu sendiri adalah juga sesuatu yang fiktif. Untuk menjadikannya suatu hal yang konkrit, maka organ-organ tersebut dilengkapi dengan anggota yang merupakan orang-orang yang memiliki kehendak, yang akan menjalankan perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian perseroan. Dengan demikian berarti pada dasarnya perseroan juga dijalankan oleh orang perorangan yang duduk dan menjabat sebagai pengurus perseroan (Direktur) yang berada dalam satu wadah/organ yang dikenal dengan nama Direksi.22

Oleh karena itu sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para Direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila Direktur berprilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau perilaku tidak jujur.23

Awalnya dari pentingnya fungsi control terhadap Direktur tidak terlepas dari perkembangan teori pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan itu sendiri. Teori ini berasal dari teori Salomon yang muncul dari putusan pengadilan kasus Salomon v Salomon & Co. Ltd (1897). Teori ini mengungkapkan bahwa sebuah pembentukan Perseroan Terbatas, perusahaan menjadi bagian terpisah dari orang yang membentuknya atau menjalankannya, dimana perusahaan tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan aktivitasnya bukan kepada orang yang memiliki atau menjalankannya.24

Dalam perkembangannya, teori Salomon sering disalahgunakan oleh para pemilik atau Direktur yang beritikad buruk untuk kepentingannya sendiri. Hal ini terjadi karena seorang Direktur dari sebuah perusahaan akan selalu berurusan dengan aset milik orang lain, tidak hanya dalam aspek hukum dimana dia akan berkuasa penuh untuk mengelola aset-aset perusahaan, tetapi juga perusahaan

22 Gunawan Widjaya, Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT, opcit, halaman 41.

23 Janet Dine, Company Law, Macwillan Press Ltd, 198, dalam Bismar Nasution, UU No. 40 Tahun 2007. Persepektif Hukum Bisnis Pembelaan Direksi melalui Prinsip Business Judgment Rule, Disamping pada seminar Bisnis 46 tahun FE USU: “Pengaruh UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara”, Aula Fakultas Ekonomi USU, 24 November 2007, halaman 4.

24 Cristopher L. Ryan, Company Direitors, Liabilities, Right and Duties, (Cts. Editions Limited Thirt Edition, dalam ibid, halaman 5.

mungkin mempunyai pemegang saham yang menginvestasikan uangnya dalam perusahaan tersebut dengan membeli saham.

Pemegang saham ini sering kali hanya mempunyai pengawasan yang kecil atau bahkan tidak sama sekali terhadap prilaku Direktur. Oleh karena itu dengan adanya pemisahan kekayaan antara Direktur dan perusahaannya, para Direktur mempunyai moral hazard yang tinggi karena mereka tidak mendapat konsekwensi finansial yang serius apabila keputusan mereka merugikan perusahaan. Akibatnya banyak para Direktur yang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri yang seringkali menyebabkan perusahaan mereka mengalami kerugian.

Adanya penyimpangan ini tentunya menimbulkan suatu isu tersendiri dalam hukum perusahaan. Kerugian perusahaan tentunya dapat merugikan pemilik modal perusahaan. Investasi mereka akan hilang apabila perusahaan tersebut menjadi insolven. Demikian juga apabila ada barang atau jasa yang digunakan oleh perusahaan yang diperoleh secara kredit, Direktur akan mengelola barang dan jasa yang didalamnya terdapat hak para kreditur yang baru akan hilang apabila hutang kredit tersebut dibayar lunas.25

Dalam hal ini maka dibuatlah pengecualian terhadap teori ini, misalnya dalam hal para pemilik dan Direktur berada pada posisi yang tidak terlindungi (exposed position) maka mereka bertanggungjawab secara pribadi kepada akibat- akibat hukum dari perbuatan mereka.26

Oleh karena itu Direktur harus mengetahui tugas dan tanggung jawabnya kepada perusahaan untuk menghindari hal yang diatas.27

Jika terjadi suatu perbuatan melanggar hukum dari suatu badan usaha, menurut Wirjono Prodjodikoro, ada 3 (tiga) teori yang dapat menerangkan pertanggungjawaban dari badan hukum dimaksud, yaitu :28

1. Teori Perumpamaan (fichtie-theorie)

Oleh perumpamaan diakui betul, bahwa unsur kesalahan terang benderang tidak ada pada badan hukum, akan tetapi badan hukum itu boleh dianggap seolah-olah seorang manusia (perumpamaan, fictie). Oleh karena badan

25 Ibid, Bismar Nasution, halaman 6. 26

Op.Cit, Cristofer L. Ryan, dalam Bismar Nasution, halaman 6 27 Op.Cit, dalam Bismar Nasional, halaman 6.

28 Wirjono Prodjodikoro, Pebuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2000), halaman 56.

hukum diumpamakan seorang manusia, terlepas dari orang-orang manusia, maka tindakan orang-orang manusia, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum itu sebagai pengurus tidak dapat dianggap tindakan langsung dari badan hukum itu melainkan sebagai tindakan seorang lain, atas tindakan mana badan hukum itu juga bertanggung jawab.

2. Teori Peralatan (organ theorie)

Teori peralatan memandang suatu badan hukum tidak sebagai suatu perumpamaan (fictie), melainkan sebagai suatu kenyataan (realita), yang tidak berada daripada manusia dalam bertindak dalam masyarakat. Orang manusia bertindak dengan mempergunakan alat-alat berupa tangan, kaki, jari, mulut, otak dan lain lain. Demikian juga badan hukum mempunyai alat-alat (organen) berupa rapat anggota dan orang-orang pengurus bermacam-macam, yang semua bertindak sebagai alat belaka dari badan hukum itu. Oleh karena alat-alat itu berupa orang-orang manusia juga, maka sudah selayaknya syarat-syarat dalam peraturan hukum, yang melekat

pada badan seorang manusia, seperti hal kesalahan subjek perbuatan melanggar hukum, dapat dipenuhi juga oleh- badan-badan hukum. Maka perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh seorang manusia, yang kebetulan merupakan suatu alat dari suatu badan hukum, boleh dianggap sebagai perbuatan langsung dari badan hukum itu, artinya harus tidak ke luar dari lingkungan pekerjaan badan hukum itu dan harus bertindak menurut anggaran dasar dari badan hukum itu.

3. Teori kepemilikan bersama (theori van de gezamenlijke eigendom atau

propriete colletive).

Teori kepemilikan bersama ini menganggap badan hukum sebagai kumpulan dari orang-orang manusia. Menurur teori ini kepentingan- kepentingan badan hukum tidak lain dari pada kepentingan-kepentingan segenap orang-orang yang menjadi ”background” dari badan hukum itu, yaitu dari satu negara segenap penduduk atau segenap warga negara, dari suatu korporasi segenap anggota, dari suatu yayasan segenap orang-orang yang mendapat hasil dari bekerjanya yayasan itu. Teori ini menganggap badan hukum langsung betanggung jawab hanya atas perbuatan melanggar hukum, yang dilakukan oleh badan kekuasaan tertinggi dalam organisasi badan hukum.

Jadi perihal perbuatan melanggar hukum, bahwa apabila suatu alat perlengkapan dari badan hukum bertindak melanggar hukum, langsung bertanggung jawab, menurut teori perumpamaan badan hukum sama sekali tidak

dapat langsung, menurut teori kepemilikan bersama badan hukum hanya langsung bertanggung jawab apabila perbuataannya dilakukan oleh badan kekuasaan yang tertinggi dalam organisasi badan hukum.29

Dalam usaha perdagangan mula-mula manusia hanya usaha perorangan, jual beli perorangan, transaksi perorangan, meminjam kredit perorangan, namun dengan perkembangannya didunia perdagangan, berdagang berusaha tidak lagi bertindak seorang diri/perorangan tetapi secara bersama-sama menggabungkan diri dengan orang lain dengan membentuk persekutuan atau perseroan.

Adapun tujuan perorangan menggabungkan diri dalam persekutuan atau perseroan antara lain:30

1. Dengan bekerjasama antara pengusaha perorangan yang lain akan memudahkan dalam mencapai tujuan bersama yaitu mendapatkan profit yang sebesar besarnya.

2. Penggabungan berusaha antara penguasa perorangan akan memperkuat modal bersama, jaringan, pengetahuan atau manajemen berusaha, pemasaran, teknik produk dan lain-lain.

3. Resiko rugi berusaha dapat ditanggung bersama dan keuntungan yang diperoleh dapat dinikmati bersama.

Pemberian kredit oleh bank selaku kreditur dapat diberikan kepada subjek hukum perorangan maupuan pada perseroan terbatas selaku debitur.

Perseroan terbatas suatu bentuk perkumpulan dagang yang berbadan hukum yang berarti sebagai subjek hukum pendukung hak dan kewajiban, memiliki kewenangan berhak untuk perbuatan hukum sendiri, memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dengan harta kekayaan pemegang saham. Status Perseroan Terbatas sebagai badan hukum tidak melekat dengan sendirinya tetapi diberikan oleh hukum positif yaitu diberikan oleh negara melalui undang-undang yang dibuatnya, yaitu Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas.31

29 Ibid, halaman 58

30 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, OpCit, halaman 19 31 Ibid, halaman 21

Pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya selalu dimulai dengan permohonan nasabahnya yang bersangkutan, apabila bank menganggap permohonan tersebut layak untuk diberikan, maka untuk dapat terlaksananya pemberian kredit, terlebih dahulu haruslah dengan diadakannya suatu persetujuan atau kesepakatan dalam bentuk perjanjian yang disebut perjanjian kredit.32 Salah satu dasar yang cukup jelas bagi bank mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit adalah dalam pasal 1 ayat (11) Undang-Undang tentang perbankan, berbunyi:33

” Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”.

Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam didalam defenisi kredit atau pengertian kredit sebagaimana tersebut diatas, menurut Sutan Remi Sjahdeini mempunyai beberapa maksud sebagai berikut:34 1. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa

hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk pinjam meminjam.

Dengan demikian, bagi hubungan kredit bank berlaku buku ketiga (tentang perikatan) pada umumnya dan Buku Ketigabelas (tentang pinjam meminjam) KUH Perdata khususnya.

2. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Kalau semata-mata hanya dari berbunyi ketentuan pasal 1 ayat (11) Undang-Undang nomor 10 tentang

32 H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), halaman 181.

33

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankkan.

34 Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), halaman 180.

Perbankan tersebut, sulit kiranya untuk menafsirkan bahwa ketentuan tersebut memang menghendaki agar pemberian kredit harus diberikan berdasarkan perjanjian tertulis. Namun ketentuan undang-undang harus dikaitkan dengan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15 / EK / IN/10/1966 tanggal 3 Oktober 1966 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb, tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb, tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 10/EK/IN/2/1967 tanggal 6 Februari 1967 yang menentukan bahwa dalam memberian kredit dalam bentuk apapun bank harus wajib menggunakan / membuat akad perjanjian kredit.

Dalam praktek perbankan di Indonesia, pelaksanaan akad perjanjian kredit tersebut dapat dilakukan dengan dua bentuk atau cara, yaitu:

a. Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan atau akta dibawah tangan b. Perjanjian kredit yang dibuat dihadapan Notaris atau akta otentik

Perseroan Terbatas (atau disebut juga PT) sebagai badan hukum yang melakukan perbuatan hukum dalam transaksi perjanjian kredit selaku debitur dengan bank tunduk pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang terkandung dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang berbunyi:

”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu”.

Perjanjian kredit sebagai suatu persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain (nasabah) tunduk pada kaidah hukum perdata. Demikian pula halnya dalam pendirian perseroan terbatas didirikan berdasarkan perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 UUPT Nomor 40 Tahun 2007 yang mengatakan perseroan sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan

oleh para pihak berdasarkan perjanjian berarti pendirian perseroan didirikan secara konsensual dan kontraktual.

Suatu persetujuan atau perjanjian dalam istilah hukum perdata tercantum dalam pasal 1313 yang berbunyi:

”Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Hubungan antara dua orang tersebut adalah suatu hubungan hukum dimana hak dan kewajiban diantara para pihak tersebut dijamin oleh hukum.

Menurut R. Subekti, suatu perjanjian adalah:

”Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”35.

Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Sedangkan yang dimaksud dengan perikatan adalah:

”Suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.36

Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan disamping sumber-

35 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Keduapuluhsatu Intermasa, 2005), halaman 1. 36 Ibid, halaman 1.

sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.37

Jadi perikatan adalah suatu pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa.38

Perjanjian itu baru dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut syarat subjektif sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek dalam perjanjian.39

Dalam pasal 1321 KUH Perdata menyebutkan:

”Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaaan atau penipuan”.

Jadi kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan maka perjanjian menjadi batal. Sedangkan kekhilafan tidak

37

Ibid, halaman 1. 38 Ibid, halaman 3.

39 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan (Bandung: Alumni , 1993), halaman 98.

mengakibatkan batalnya perjanjian, kecuali jika kekhilafan itu mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.40

Adapun yang menjadi bagian dari suatu perjanjian, terdiri atas:41

1. Bagian Essentialia

Adalah bagian dari perjanjian yang harus ada. Apabila bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian (bernama) yang dimaksudkan oleh para pihak melainkan perjanjian lain. Kata sepakat merupakan bagian essentialia yang harus ada.

2. Bagian Naturalia

Adalah bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Bagian dari perjanjian ini yang galibnya bersifat mengatur termuat didalam ketentuan perundang-undangan untuk masing-masing perjanjian bernama.

Ini berarti bahwa para pihak bebas untuk mengaturnya sendiri, bahkan karena ketentuan tersebut tidak bersifat memaksa, bebas untuk menyimpanginya. Sebaliknya, jika para pihak tidak mengatur sendiri didalam perjanjian, ketentuan perundang-undangan tersebut akan berlaku.

3. Bagian Accidentalia

Adalah bagian dari perjanjian berupa ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Misalnya: termin (jangka waktu) pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum dan cara penyerahan barang.

Didalam teori hukum diakui bahwa sumber hukum mencakup tidak saja perundang-undangan, kebiasaan dan putusan pengadilan, tetapi juga asas-asas hukum. Asas-asas hukum sebagai norma-norma penguji yang fundamental adalah

40

Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perjanjian, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2007), halaman 94.

41 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya dibidang Kenotariatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), halaman 67.

pokok-pokok pikiran yang melandasi sistem hukum yang nyata berfungsi sebagai hukum positif.42

Menurut Herlien Budiono asas-asas hukum merupakan dasar/pokok yang karena sifatnya fundamental dan yang dikenal di dalam hukum kontrak, terdiri dari empat asas-asas, yaitu:43

a. Asas konsensualisme (consensualisme)

b. Asas kekuatan mengikat (verbindende kracht der overeenkomst) c. Asas kebebasan berkontrak (contractsvrijheid)

d. Asas keseimbangan (evenwichtbeginsel) a. Asas konsensualisme (Consensualisme)

Bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak–pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka. b. Asas kekuatan mengikat (verbindende kracht der overeenkomst)

Bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah mereka buat. Dengan kata lain asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu perjanjian hukum akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum karena itu para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual.

c. Asas kebebasan berkontrak (contractsurijheid)

Bahwa pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Para pihak juga bebas menentukan cakupan isi persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan, baik dengan peraturan perundang-undang yang bersifat memaksa, ketertiban umum maupun kesusilaan.

d. Asas keseimbangan (evenwichtbeginsel)

Bahwa suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata yang mendasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak dan cara berpikir bangsa Indonesia pada pihak lain. Asas keseimbangan perlu kita tambahkan sebagai asas hukum perjanjian Indonesia mengingat kenyataan bahwa KUH Perdata disusun dengan mendasarkan pada tata nilai serta filsafat

42 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), halaman 2.

hukum barat. Padahal kita mempunyai tata nilai dan filsafat hukum yang berbeda.

2. Landasan Konsepsional

Suatu kerangka konsepsionil, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala ini sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian mengenai hubungan dalam fakta tersebut.44

Dokumen terkait