• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,16 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.17 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.18

16

M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 17

Ibid., hal. 203. 18

Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical

system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak

didasarkan pada penilaian baik-buruk.19

Selain menggunakan teori positvisme hukum dari Jhon Austin dalam menganalisis tesis ini, juga cenderung digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.20 Hal yang sama juga dikatakan olehSunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.21 Jadi, dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.

19

Lihat Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55.

20

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hal. 15.

21

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,, Bandung, 1991, hal. 56.

Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.22 Sehingga pemahaman akan asas hukum tersebut sangatlah penting dalam sistem hukum terhadap pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh debitur. Dengan teori sistem hukum tersebut maka Analisis masalah yang diajukan adalah lebih berfokus pada sistem hukum positif khususnya mengenai substantif hukum, yakni dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT).

Dalam perjanjian kredit, maka bank juga melakukan pengikatan jaminan kebendaan, misalnya hak atas tanah milik debitur dengan pembebanan hak tanggungan sebagai jaminan kepada kreditur jika terjadinya wanprestasi sehingga objek jaminan tersebut dapat dieksekusi untuk memenuhi hutang debitur.

Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:

a. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;

b. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.

22

Lihat, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal. 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal yakni, pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.

Pemberi hak tanggungan (debitur) wajib hadir di hadapan PPAT dalam pemberian hak tanggungan. Jika karena sesuatu sebab debitur tidak dapat hadir sendiri, maka wajib menunjuk kreditur (pihak lain) sebagai kuasanya. Kuasa untuk membebankan hak tanggungan ini sesuai ketentuan UUHT harus dibuat dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang berbentuk akta otentik.

Pasal 1792 KUH Perdata, memberikan batasan, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya, menyelesaikan suatu pekerjaan. Dengan demikian perjanjian pemberi kuasa adalah merupakan perjanjian sepihak.

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Selanjutnya Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) KUH Perdata, memberikan kebebasan kepada para pihak untuk antara lain menentukan isi perjanjian dan memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian.

Kemudian makna kata-kata ”untuk atas namanya” berarti bahwa yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan akibat dari perjanjian ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemberi kuasa dalam batas-batas kuasa yang diberikan (Pasal 1807 KUH Perdata). Namun, tidak semua hal dapat dikuasakan kepada lain (pihak ketiga), ada perbuatan yang tidak dapat diwakilkan, seperti contoh, misalnya dalam membuat testamen (Pasal 932 KUH Perdata), melangsungkan perkawinan, kecuali ada alasan penting sebagai diatur dalam Pasal 79 KUH Perdata, mengakui atau mengangkat anak (adopsi).23

23

Suatu pemberian kuasa yang diberikan secara umum adalah meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan yang mencakup segala kepentingan pemberi kuasa, kecuali perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik (Pasal 1796 KUH Perdata). Sedangkan surat kuasa khusus, hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, oleh karena itu diperlukan suatu pemberian kuasa yang menyebutkan dengan tegas perbuatan mana yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa, misalnya untuk membebankan hak tanggungan, dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

Pasal 1796 KUH Perdata, mengatur perihal pemberian kuasa istimewa. Selanjutnya, ketentuan kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa.

M. Yahya Harahap memasukkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sebagai kuasa istimewa, sebagai dijelaskan berikut ini:24

Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, pembuatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa. Untuk menghilangkan ketidak bolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa, di antaranya kuasa untuk memindahkan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut.

24

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 6.

Ketentuan pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) itu selanjutnya dapat diuraikan berikut ini:

1) SKMHT harus dibuat dengan Akta Notaris atau PPAT

Menurut ketentuan Pasal 1171 ayat (2) KUH Perdata, kuasa untuk memasang hipotik harus dibuat dengan akta otentik, Di dalam pelaksanaannya sesuai Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik itu adalah akta Notaris. Tidak demikian halnya untuk SKMHT, karena sesuai Pasal 15 ayat (1) UUHT ditentukan SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Dengan kata lain, sekalipun harus dibuat dengan akta otentik, pilihannya bukan hanya dengan akta notaris saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta PPAT.

Dengan PMNA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Buku-Tanah Hak Tanggungan, dan Sertipikat Hak Tanggungan tanggal 18 April 1996, telah ditetapkan bentuk SKMHT. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut merupakan pelaksanaan dan Pasal 17 UUHT.

Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, SKMHT wajib (dan dapat) dibuat bukan saja dengan akta PPAT, tetapi juga dengan akta notaris. Jika membaca Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 110 - 1039 tanggal 18 April 1996 kepada para Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi di seluruh Indonesia, para Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, Pengurus Ikatan Pejabat PPAT dan Pengurus Ikatan Notaris Indonesia, yang merupakan surat pengantar dari PMNA/Ka.BPN No.3 Tahun 1996 tanggal 18 April 1996 tersebut dan membaca

bunyi formulir SKMHT yang merupakan lampiran I dari PMNA/Kepala BPN tersebut di atas, dapat diketahui bahwa hanya ada satu saja bentuk SKMHT, baik yang dibuat oleh PPAT maupun oleh notaris. Berhubung dengan bentuk SKMHT yang ditetapkan oleh PMNA/Kepala BPN tersebut, dalam Seminar Nasional Undang-undang Hak Tanggungan yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung, telah dipermasalahkan oleh Notaris Wiratmi Ahmadi apakah akta SKMHT tersebut bila dibuat oleh notaris merupakan akta notaris yang tunduk pada Peraturan Jabatan Notaris. Jawaban dari Boedi Harsono dan para pejabat Badan Pertanahan Nasional adalah tidak.25

Jawaban Boedi Harsono dan para pejabat BPN atas pertanyaan yang diajukan oleh Notaris Wiratni Ahmadi tersebut, menurut Sutan Remy Sjahdeini, berarti hanya notaris yang PPAT saja yang dapat membuat akta SKMHT. Bila demikian halnya, berarti PMNA/Kepala BPN tersebut telah tidak mengakui kewenangan notaris (bukan selaku PPAT) untuk membuat akta SKMHT notariil, yang nota bene dibenarkan oleh Pasal 15 ayat (1) UUHT.26

Dengan jelas Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan, bahwa ‘Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Dengan tegas ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT itu, bahwa bukan saja SKMHT dapat dibuat dengan akta PPAT, tetapi dapat juga dibuat dengan akta notaris. Apabila maksud dan UUHT itu hanya wajib (dan dapat) dibuat dengan akta PPAT, sudah barang tentu tidak akan disebutkan bahwa akta itu dapat pula dibuat

25

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal.109. 26

dengan akta notaris, karena tidak semua notaris adalah PPAT dan tidak semua PPAT adalah notaris.27

Bagi perbankan, pendirian PMNA/Kepala BPN yang demikian tidak memberikan kemudahan. Beberapa contoh yang dapat memudahkan bagi bank apabila SKMHT boleh dibuat tidak terbatas hanya dengan akta PPAT saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta notaris. Contoh-contoh kasusnya adalah sebagai berikut:28

(1) Bank menerima beberapa bidang tanah sebagai agunan yang terletak di beberapa wilayah kerja/kewenangan beberapa PPAT, tetapi masih berada dalam wilayah kerja/kewenangan seorang notaris.

(2) Kantor cabang Bank A di Jakarta memberikan kredit kepada PT. X yang berkedudukan di Jakarta. Untuk agunan bagi kredit itu, PT.X menyerahkan satu (atau beberapa) bidang tanah yang terletak di Palembang. Untuk membebankan Hak Tanggungan atas tanah tersebut PT. X bermaksud untuk memberikan kuasa (SKMHT) kepada kantor cabang Bank A di Jakarta sehingga untuk selanjutnya kantor cabang Bank A di Jakarta dapat memberikan kuasa substitusi kepada kantor cabang Bank A di Palembang, agar Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dibuat oleh PPAT setempat dan didaftarkan di Kantor Pertanahan Palembang.

Bagi bank untuk dapat melaksanakan pembebanan Hak Tanggungan dalam kedua kasus tersebut di atas akan mengalami kesulitan. Akan menjadi praktis apabila akta SKMHT tidak hanya wajib dan boleh dibuat dengan akta PPAT saja, tetapi boleh pula dibuat dengan akta notaris.

Bagi sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus pula dipenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu:

27

Ibid., hal. 110. 28

a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan.

b. tidak memuat kuasa substitusi.

c. mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.

2) SKMHT tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan lain

Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain’ dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. Demikian menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a UUHT. Dengan demikian, ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT itu menuntut agar SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan saja, sehingga dengan demikian juga terpisah dari akta-akta lain.

Konsekuensi hukum yang ditetapkan berupa ‘batal demi hukum” apabila syarat-syarat SKMHT yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT tidak dipenuhi merupakan konsekuensi yang sangat menentukan. Oleh karena itu menurut Sutan Remy Sjahdeini, seyogianya konsekuensi berupa “batal demi hukum” itu ditentukan tidak di dalam penjelasan dari Pasal 15 ayat (1) UUHT itu, tetapi secara tegas atau eksplisit ditentukan di dalam undang-undangnya itu sendiri, misalnya berupa salah satu ayat dari Pasal 15 UUHT:29

(1) Mengapa tidak ditempuh seperti halnya dengan Pasal 15 ayat (6) UUHT yang menentukan konsekuensi berupa “batal demi hukum” apabila SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan akta pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau

29

ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) dan Pasal 15 UUHT tersebut.

(2) Atau seperti halnya Pasal 12 UUHT yang menentukan konsekuensi berupa “batal demi hukum” terhadap janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji.

(3) Atau seperti juga ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUHT yang menentukan konsekuensi berupa “batal demi hukum” bagi dimuatnya janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Pasal 20 UUHT.

3) Pengertian Substitusi dalam SKMHT

Pasal 15 ayat (1) huruf b UUHT menentukan, pengertian “substitusi menurut Undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Lebih lanjut dijelaskan, “bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya.

Mengingat ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUH Perdata, yang menentukan bahwa pemberi kuasa senantiasa dianggap telah memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam hal kuasa itu diberikan untuk mengurus benda-benda yang terletak diluar wilayah Indonesia atau dilain pulau selain dari pada tempat tinggal pemberi kuasa, kiranya SKMHT tidak sekadar dalam rumusannya tidak memuat kuasa substitusi, tetapi di dalam rumusan SKMHT secara tegas dicantumkan bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi.

Apabila contoh formulir SKMHT yang dilampirkan pada peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1996 tidak dimuat klausul pembatasan untuk tidak memberikan hak substitusi yang dimaksud itu. Oleh

karena berlakunya ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUH Perdata itu sebagaimana disebutkan di atas, tidak dicantumkannya secara tegas di dalam rumusan SKMHT bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi, secara yuridis mengandung pemberian kuasa substitusi dalam hal objek hak jaminan berada di lain pulau selain daripada tempat tinggal pemberi kuasa.

4) Batas berlakunya SKMHT

Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana yang ditentukan undang-undang. Ketentuan jangka waktu SKMHT menurut UUHT dapat dibedakan atas tanah terdaftar dan tanah belum terdaftar adalah:30

a. SKMHT atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.

b. SKMHT atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.

Ketentuan mengenai jangka waktu diatas, tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu, misalnya adalah kredit program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah, dan kredit lainnya yang sejenis. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 1 PMNA/Ka. BPN Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin

30

Pelunasan Kredit-kredit Tertentu, bahwa SKMHT yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24IKEP/DIR tanggal 28 Mei 1993 (Sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/4/KEP/DIR tanggal 4 April 1997, dan diubah lagi dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/55/KEP/DIR tanggal 8 Agustus 1998), berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya Perjanjian pokok yang bersangkutan.

5) Janji-janji dalam SKMHT

SKMHT ini meliputi pula kuasa untuk menghadap dimana perlu, diantaranya di depan Notaris/PPAT dan instansi lainnya, memberikan keterangan-keterangan, membuat dan menandatangani akta-akta dan surat-surat yang diperlukan, membuat/minta dibuatkan serta menandatangani APHT serta memberi pernyataan bahwa objek hak tanggungan betul milik Pemberi Kuasa dan tidak sedang tersangkut dalam sengketa, bebas dari sitaan dan dari beban apapun, pendaftaran hak tanggungan tersebut, memberikan dan menyetujui syarat-syarat atau aturan-aturan serta janji-janji yang disetujui oleh Pemberi Kuasa dalam APHT tersebut, antara lain:31

a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

31

c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;

d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;

e. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji;

f. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan; g. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya

atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum; i. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau

sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan; j. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak

Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;

k. Janji pengembalian sertifikat hak atas tanah kepada pemegang hak atas tanah, kecuali telah diperjanjikan sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.32 Pentingnya definisi operasional adalah untuk

32

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.33 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.34

b. Kreditur adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.35

c. Debitur adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu.36

d. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.37

33

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35

34

Pasal 1 angka 1 UUHT 35

Pasal 1 angka 2 UUHT 36

Pasal 1 angka 3 UUHT 37

e. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.38

f. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah suatu kuasa yang diberikan debitur (pemilik barang jaminan) untuk hadir di hadapan PPAT dalam pembuatan APHT dalam rangka pembebanan hak tanggungan kepada kreditur (pihak lain) yang berbentuk akta otentik.39

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait