• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KETENTUAN HUKUM SURAT KUASA MEMBEBANKAN

C. Ketentuan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak

Pada asasnya pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan sebagai yang berhak atas objek hak tanggungan. Hanya apabila benar-benar diperlukan dan tidak dapat hadir sendiri, hal itu wajib dikuasakan kepada pihak lain. Dalam hal pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan Notaris atau PPAT, Pasal 15 UUHT juga memberikan kesempatan kepada pemberi hak tanggungan untuk menggunakan SKMHT.

Ketidakhadiran pemberi hak tanggungan di hadapan PPAT pada saat pembuatan APHT merupakan alasan yang memperkenankan pemberi hak tanggungan untuk memperbuat atau mempergunakan SKMHT, oleh karena itu Pasal 15 ayat (1) UUHT menegaskan bahwa surat kuasa dimaksud harus bersifat khusus dan otentik yang harus dibuat di hadapan Notaris atau PPAT. 72

Dengan demikian substansi SKMHT adalah pemberian kuasa dari satu objek hukum (orang/badan hukum) kepada subjek hukum (orang/badan hukum) lainnya (penerima kuasa) untuk melakukan satu urusan tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu diperhatikan juga pengaturan pemberian kuasa tersebut menurut KUH Perdata yang memberikan dasar umum terhadap semua bentuk pemberian kuasa. Pemberian kuasa, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819. Lebih jauh pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1972 KUH Perdata, berbunyi “Pemberian Kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang

72

memberikan kekuasaan atau wewenang kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.

Aspek yang perlu diperhatikan dari batasan tersebut di atas bahwa pemberian kuasa harus berupaya “menyelenggarakan suatu urusan” dalam arti melakukan suatu perbuatan hukum terbuka yang akan melahirkan akibat hukum tertentu. Aspek lainnya dari pembatasan pemberian kuasa di atas yaitu implisit adanya suatu perbuatan perwakilan, hal dicirikan dari kalimat “untuk atas namanya…”, yang berarti adanya seseorang yang mewakili orang lain dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Apa yang dilakukan itu adalah “atas tanggungan” si pemberi kuasa, dan segala hak/kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa.73

Dalam hal seseorang kuasa menerima kuasa dari Pemberi Kuasa hanya dalam hubungan intern antara Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa, di mana penerima kuasa tidak berhak mewakili Pemberi Kuasa untuk melakukan hubungan dengan pihak ketiga, maka perjanjian kuasa ini tidak melahirkan suatu perwakilan atau dengan kata lain bahwa penerima kuasa dapat mewakili Pemberi Kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu untuk dan atas nama Pemberi Kuasa.

Substansi SKMHT merupakan pemberian kuasa yang sesuai dengan pengertian kuasa tersebut di atas, yaitu untuk melakukan atau menyelenggarakan satu urusan tertentu, dalam hal ini, yaitu membebankan hak tanggungan atau hanya khusus satu perbuatan untuk membebankan hak tanggungan saja ke dalam bentuk

73

APHT (Pasal 15 huruf b UUHT). Sedangkan dalam hal pendaftarannya tidak diperjanjikan dalam SKMHT, karena setelah terbitnya APHT, maka menjadi kewenangan dari pemegang hak tanggungan (kreditur) yang disebutkan dalam APHT tersebut untuk melakukan pendaftarannya di Kantor Pertanahan. Jadi Kantor Pertanahan memproses pendaftaran hak tanggungan hanya berdasarkan APHT tersebut. Memang SKMHT masih disertakan dalam pendaftaran APHT tersebut pada Kantor Pertanahan tetapi itu hanya untuk melihat dasar terjadinya APHT tersebut.

Selanjutnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tentang pengertian kuasa secara khusus yang terdapat dalam Pasal 1795 KUH Perdata yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Kemudian untuk dapat disebut sebagai bentuk khuasa khusus di depan Pengadilan, maka kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat dalam Pasal 123 HIR, yang di dalamnya adanya ketentuan cara, bentuk dan isi pemberian kuasa, kewajiban penerima dan pemberi kuasa, serta ketentuan tentang berakhirnya kuasa yang diberikan tersebut kepada penerima kuasa. Demikian juga halnya dalam SKMHT yang diatur dalam UUHT juga mengatur tentang hal tersebut, sebagai berikut:

1. Bentuk dan Isi Pemberian SKMHT

Pasal 1793 KUH Perdata disebutkan cara dan bentuk pemberian kuasa, antara lain:

a. Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam bentuk akta resmi, seperti akta notaris, akta yang dilegalisasi di kepaniteraan pengadilan, akta yang dibuat oleh pejabat,

dan sebagainya, juga dapat diberikan dengan surat di bawah tangan, surat biasa, dan dapat juga diberikan secara lisan.

b. Kuasa dapat juga terjadi secara diam-diam, artinya suatu kuasa terjadi dengan sendirinya tanpa ada persetujuan terlebih dahulu.

Artinya, pemberian kuasa bukan hanya lahir dari suatu perjanjian, tetapi juga ada pemberian kuasa yang lahir karena undang-undang, artinya untuk perbuatan-perbuatan tertentu tanpa dinyatakan sebagai suatu pemberian kuasa telah terjadi pemberian kuasa karena undang-undang telah menentukannya demikian.

SKMHT merupakan akta yang dibuat oleh pejabat umum, dalam hal ini Notaris atau PPAT, sehingga secara formal bahwa SKMHT mempunyai kekuatan mengikat dan sebagai alat bukti yang kuat.74

Syarat otentik untuk SKMHT didasarkan atas prinsip pemberian perlindungan kepada pemberi hak tanggungan terhadap tindakan yang gegabah, karena tindakan memberikan kuasa membebankan hak tanggungan bisa membawa konsekuensi yang besar sekali, yaitu bisa kehilangan hak atas tanah yang dijaminkan. Mengenai bentuk dan isi SKMHT telah diseragamkan dengan blangko SKMHT yang dibuat/ dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disingkat BPN), hal sebagaimana telah diatur dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang “Bentuk Surat Kuasa

74

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 169.

Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan”.

Pasal 15 UUHT telah diatur mengenai cara, bentuk dan isi tentang pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Pada Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT. Dengan kata lain, sekalipun harus dibuat dengan akta otentik, pilihannya bukan hanya dengan akta Notaris saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta PPAT. Dari bunyi ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT, sama sekali tidak ada dasar untuk menyimpulkan, bahwa kata “wajib” di sana harus ditafsirkan tidak boleh disimpangi”. Kata “wajib” dalam pasal tersebut diberikan dalam hubungannya dengan “akta Notaris atau akta PPAT” dan “memenuhi syarat”. Jadi kata “wajib” dalam Pasal 15 ayat (1) mempunyai arti, wajib untuk dituangkan dalam bentuk akta otentik dan wajib memenuhi syarat yang disebutkan di sana.75

Bagi sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus pula dipenuhi pernyataan SKMHT yang dibuat itu:

1) Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan.

2) Tidak memuat kuasa substitusi 75

3) Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.

Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain” dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. Demikian menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a UUHT. Dengan demikian ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT itu tidak menuntut agar SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan saja, sehingga dengan demikian juga terpisah dari akta-akta lain. Dengan berlakunya ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT tersebut, kuasa membebankan Hak Tanggungan tidak lagi dapat disatukan dengan perjanjian kredit, tetapi harus dibuat terpisah secara khusus.

Menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT, tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT itu dikemukakan bahwa PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan, apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan termaksud di atas.

Konsekuensi hukum yang ditetapkan berupa “batal demi hukum” apabila syarat-syarat SKMHT yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT tidak dipenuhi merupakan konsekuensi yang sangat menentukan. Menurut Sutan Remy Syahdeini,

seyogianya konsekuensi berupa “batal demi hukum” itu ditentukan tidak di dalam penjelasan dari Pasal 15 ayat (1) UUHT itu, tetapi secara tegas atau eksplisit ditentukan di dalam undang-undangnya itu sendiri, misalnya berupa salah satu ayat dari Pasal 15 UUHT.76

Yang dimaksud dengan pengertian “subsitusi” menurut UUHT adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Demikian ditentukan dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf b UUHT. Lebih lanjut dijelaskan, bukan merupakan subsitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya direksi bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada kepala cabangnya atau pihak lain.

Mengingat ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUH Perdata, yang menentukan bahwa pemberian kuasa senantiasa dianggap telah memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam hal kuasa itu diberikan kuasa untuk mengurus benda-benda yang terletak di luar wilayah Indonesia atau di lain pulau selain dari pada tempat tinggal pemberi kuasa, kiranya SKMHT tidak sekadar dalam rumusannya tidak memuat kuasa substitusi, tetapi dalam rumusan SKMHT secara tegas dicantumkan bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak subsitusi. Oleh karena berlakunya ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUH Perdata itu sebagaimana disebutkan di atas, tidak dicantumkannya secara tegas didalam rumusan SKMHT bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi, secara yuridis

76

mengandung pemberian kuasa substitusi hal objek hak jaminan berada di lain pulau selain dari pada tempat tinggal pemberi kuasa.

Menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf e UUHT, jumlah utang yang dimaksud pada huruf ini adalah jumlah uang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT.

Pasal 15 ayat (2) UUHT menyebutkan kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).

Menurut J. Satrio ada beberapa unsur yang perlu mendapat perhatian, yaitu: 1) Undang-undang sendiri menetapkan, bahwa kuasa memasang Hak Tanggungan

merupakan kuasa mutlak;

2) Bahwa SKMHT bersifat sekali pakai (einmalig); 3) Bahwa berlakunya SKMHT adalah terbatas.77

Menurut Boedi Harsono, “kuasa untuk memberikan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali dan tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga, juga jika pemberi Hak Tanggungan meninggal dunia. Kuasa tersebut sudah barang tentu berakhir setelah dilaksanakan atau telah habis jangka waktunya”.78 Ketentuan ini adalah wajar, dalam rangka melindungi kepentingan kreditor, sebagai pihak yang umumnya diberi kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan yang dijanjikan.

77

J. Satrio, Op. Cit., hal. 188 78

Pasal 15 ayat (3) UUHT menyebutkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Selanjutnya Pasal 15 ayat (4) UUHT menyebutkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.

Selanjutnya dalam Pasal 15 ayat (5) UUHT menyebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengaturan tentang batas waktu berlakunya SKMHT berkenaan dengan Program Pemerintah dalam pemberian kredit tertentu, yang ditetapkan oleh Pemerintah seperti kredit program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (5) UUHT telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1996, Tanggal 8 Mei 1996, yaitu:

1) Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, kredit pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun sederhana dengan luas tanah tidak lebih dari 200 M2 dan luas bangunan tidak lebih dari 70 M2, kredit untuk KSB, serta kredit produktif lain dengan plafon kredit tidak lebih dari Rp. 50.000.000,- antara lain Kredit Umum Pedesaan, dan Kredit Kelayakan Usaha. SKMHT-nya berlaku sampai saat berakhirnya masa berlaku perjanjian pokok.

2) SKMHT yang digunakan untuk menjamin fasilitas:

a. Kredit Usaha Kecil dengan plafon Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,- (SK. Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/Dir, tanggal 29 Mei 1993);

b. Kredit Pemilikan Rumah, Rumah Toko dengan luas tanah maksimal 200 M2 dan luas bangunan tidak lebih dari 70 M2 dan dengan plafon kredit tidak lebih dari Rp. 250.000.000,- (SK Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/Dir, tanggal 29 Mei 1993;

c. Kredit konstruksi untuk pengembang yang dipergunakan dalam rangka KPR untuk pengadaan rumah tersebut di atas;

Pasal 15 ayat (6) UUHT menyebutkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.

Ketentuan tentang batas waktu untuk melaksanakan kewajiban yang bersifat imperatif tersebut menegaskan bahwa SKMHT bukan merupakan syarat dalam proses pembebasan Hak Tanggungan karena syarat mutlak pembebanan Hak Tanggungan adalah pembebanan Hak Tanggungan dan pendaftarannya.79 Adanya sanksi batal demi hukum, menurut J. Satrio ketentuan dalam Pasal 15 UUHT tersebut diberikan

79

Boedi Harsono dan Sudaryanto Wirjodarsono, Seminar Hak Tanggungan atas Tanah dan Benda-Benda Yang Berkenaan Dengan Tanah, Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum UNPAD, 1996, hal 49.

untuk melindungi kepentingan umum (kepentingan orang pada umumnya sekelompok orang tertentu).80

2. Kewajiban Penerima dan Pemberi SKMHT

Kewajiban Penerima Kuasa dalam SKMHT terikat dengan janji-janji yang telah ditentukan secara terbatas-tegas dalam SKMHT tersebut, karena janji-janji tersebut telah ditetapkan isinya, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menentukan kewajiban atau janji lain bagi penerima kuasa selama tidak bertentangan dengan UUHT dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan. Dengan kata lain kewajiban penerima kuasa dalam SKMHT bersifat khusus (lex specialis) sedangkan yang diatur dalam KUH Perdata bersifat umum (lex generalis) dan keduanya saling mengisi.81

Dalam hubungan antara Pemberi Kuasa dengan Penerima Kuasa, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Pemberi Kuasa, antara lain:

a. Pemberi Kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh Penerima Kuasa, sesuai dengan wewenang yang diberikan kepada Penerima Kuasa.

b. Pemberi Kuasa diwajibkan mengembalikan persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Penerima Kuasa. Hal ini tetap menjadi tanggung jawab Pemberi Kuasa walaupun urusannya tidak berhasil asalkan Penerima Kuasa mengerjakan tugasnya dengan baik dan bertindak dalam batas wewenang yang telah ditentukan.

80

J. Satrio, Op. Cit., hal. 188. 81

Pasal 1811 KUH Perdata diatur mengenai Pemberian Kuasa yang terhadap seorang Penerima Kuasa dimana Pemberi Kuasa terdiri dari beberapa orang untuk melaksanakan urusan mereka bersama, maka masing-masing Pemberi Kuasa bertanggung jawab terhadap akibat-akibat dari pemberian kuasa secara bersama-sama tersebut.

Kewajiban pemberi kuasa tersebut di atas bersifat umum, tapi dalam SKMHT ditentukan bahwa pemberi kuasa terikat dengan janji-janji yang telah ditentukan secara tetap dan bersifat khusus ataupun dapat ditentukan janji lainnya yang tidak bertentangan dengan UUHT dan peraturan lainnya yang masih berlaku.

3. Berakhirnya Pemberian SKMHT

Menurut Pasal 1813 KUH Perdata berakhirnya pemberian kuasa dapat disebabkan karena: pencabutan oleh pemberi kuasa, penerima kuasa melepaskan kuasa yang diterimanya atas kehendak sendiri, serta karena berakhirnya perjanjian pemberian kuasa karena meninggalnya salah satu pihak.

Berakhirnya pemberian SKMHT dapat dilihat dari ketentuan Pasal 15 UUHT yang menyatakan SKMHT merupakan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali karena sebab apapun, kecuali telah dilaksanakan pembuatan APHT pada tanggal yang ditentukan dalam SKMHT yang bersangkutan, dengan demikian berakhirnya kuasa tersebut akan dikaitkan dengan objek Hak Tanggungan yang ada, yaitu apakah yang dijadikan tanggungan hak atas tanah yang sudah terdaftar (mempunyai sertifikat) atau hak atas tanah yang belum didaftar. Apabila sudah terdaftar wajib diikuti dengan

APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah kuasa tersebut selesai dibuat. Sedangkan atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah kuasa selesai ditandatangani dengan lengkap. Jika batas waktu yang telah ditentukan tersebut tidak ditaati atau tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam jangka waktu yang sudah ditentukan, maka SKMHT tersebut diancam batal demi hukum. Jadi kuasa dalam SKMHT ini akan berakhir jika telah dilaksanakan pembuatan APHT sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan, atau tidak dilaksanakan atau tidak diikuti dengan pembuatan APHT. Ini berarti pemegang hak harus bekerja ekstra keras menerbitkan surat keterangan penerbitan hak atas tanah yang bersangkutan melalui birokrasi BPN/Kantor Pertanahan yang praktis tidak mudah.

Berakhirnya SKMHT tersebut dalam keadaan tertentu dapat dikecualikan sesuai Pasal 15 ayat (5) UUHT dengan tidak perlu mentaati jangka waktu berlakunya surat kuasa, dalam hal untuk menjamin kredit tertentu yang diterapkan dalam peraturan perundang-undangan, seperti kredit kecil, kredit kepemilikan rumah, dan lain-lain yang diatur dalam PMNA/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penjelasan Batas Waktu Penggunaan SKMHT Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu, menentukan jangka waktu SKMHT sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.

Dengan demikian SKMHT dibuat sebagai surat kuasa bagi pihak kreditur untuk membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) atas suatu objek

jaminan kredit yang akan dibebani dengan Hak Tanggungan dan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.

Alasan-alasan kreditur (bank) tidak langsung membebankan hak tanggungan pada tanah yang menjadi agunan kredit, tetapi hanya meminta SKMHT dari pemberi hak tanggungan adalah biaya pembebanan hipotik (hak tanggungan) dirasakan sangat mahal oleh nasabah debitur. Oleh karena itu, nasabah debitur merasa berkeberatan apabila bank mengharuskan agar dilakukan langsung pembebanan hak tanggungan di atas agunan yang diserahkan oleh nasabah debitur. Alasan lain adalah tanah yang dijadikan agunan masih belum terdaftar dan belum bersertifikat. Sehingga pengurusan dan penerbitan sertifikatnya biasanya memakan waktu yang sangat lama, sementara itu kredit sudah segera diperlukan. Oleh karena itu, sementara penerbitan sertipikat masih dalam proses, bank mengikat debitur dengan meminta terlebih dahulu SKMHT.82

Pasal 15 ayat (4) UUHT menyebutkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Sehingga penetapan jangka waktu yang terlalu pendek itu dapat membahayakan kepentingan kreditur, karena tidak mustahil, yaitu sebagaimana beberapa kasus memperlihatkan keadaan yang demikian itu, bahwa kredit sudah menjadi macet sekalipun kredit baru diberikan dalam 3 (tiga) bulan. Kemacetan ini dapat terjadi bukan oleh karena analisis bank

82

terhadap kelayakan usaha yang akan diberikan kredit itu tidak baik, tetapi kemacetan itu dapat terjadi sebagai akibat perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi, baik diluar negeri maupun di dalam Negeri.83

Kemacetan kredit karena perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi tersebut, sudah barang tentu debitur enggan untuk memberikan SKMHT baru bila SKMHT yang lama telah habis jangka waktu berlakunya, karena debitur yang nakal melihat peluang untuk dapat mengelak dari tanggung jawabnya untuk membayar kembali utangnya atau berusaha mengulur-ulur waktu. Debitur akan berusaha untuk mencegah kreditur dapat membebani hak tanggungan di atas tanah yang telah diagunkan untuk krediturnya itu.84

Alasan-alasan kreditur di atas dapat diterima sebagai upaya kehatian-hatian bank dalam memberikan kredit, namun demikian tidak berarti bahwa SKMHT tidak mempunyai kelemahan, karena SKMHT hanya merupakan proses atau tahap menunjuk pembuatan APHT yang mempunyai jangka waktu seperti telah ditentukan dalam UUHT, dan juga SKMHT merupakan lembaga kuasa dan bukan sebagai lembaga jaminan dalam pelunasan suatu kredit. Berarti SKMHT tidak memberikan kedudukan apapun kepada pihak kreditur (bank) sebelum ditindaklanjuti dengan pembuatan APHT dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selanjutnya kelemahan-kelemahan SKMHT itu sebagaimana disebutkan berikut ini:

83

Ibid., hal. 120. 84

78

1. Tidak mempunyai nilai jaminan (yang kuat) karena pemegang SKMHT tidak mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferent atas tanah yang direncanakan dibebani dengan Hak TAnggungan itu (Kreditur ini kedudukannya hanya sebagai kreditur biasa).

2. Mempunyai risiko kerugian bagi pihak bank bilamana secara tiba-tiba debitur pailit atau cidera janji (wanprestasi).

3. Tidak memenuhi asas spesialitas agar memberikan kepastian hukum dan kepastian hak.

4. Tidak memenuhi asas publisitas Hak Tanggungan yang diberikan dengan akta PPAT wajib didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional bidang Pendaftaran Tanah (sehingga pembebanan tanah dapat diketahui oleh masyarakat luas). Kemudian dibukukan dalam Buku Tanah, dan sebagai tanda buktinya diterbitkan sertifikat Hak Tanggungan.85

85

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal. 45.

Dokumen terkait