• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori dan Konsepsi

BAB I. PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya atau kerangka pikir menganalisa suatu permasalahan dalam penelitian.

Kerangka pikir ini dimaksudkan untuk menerangkan atau menjelaskan suatu permasalahan penelitian yang harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang ada sehingga hasil penelitian mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.

Kerangka pikir atau kerangka teori ini dijadikan sebagai pisau analisis objek penelitian dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang ada sehingga hasil penelitian mengenai dualisme penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Adapun teori yang dijadikan pisau analisis dan landasan teori dalam penelitian ini adalah Apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam tesis ini, maka penelitian ini menggunakan landasan teori positivisme.

Adanya pengaruh teori positivisme ini dapat ditelaah dari keberadaan lembaga pengadilan sebagai institusi penegak hukum, peradilan agama harus kuat status dan kedudukannya sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada para pencari keadilan. Untuk itu, yang lebih diutamakan dari reformasi peradilan agama, sesungguhnya adalah berkaitan dengan status dan kedudukannya sebagai salah satu pelaksana dari struktur kekuatan penegakan hukum.

Di dalam suatu tatanan hukum tersebut terdapat suatu sistem hukum.

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga komponen yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture).12 Di sisi lain Achmad Ali menambahkan bahwa disamping ketiga komponen tersebut diperlukan unsur profesionalisme dan kepemimpinan.13 Sistem hukum yang dianut di Indonesia merupakan mix law system yang mana di samping berlakunya hukum perundang-undangan juga berlaku Hukum Islam. Hal ini

12 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Terjemahan The Legal System: A Social Science Perspective, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 15.

13Achmad Ali, Menguak Teori Hukum(Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 204.

ditunjukkan dari Realitas hukum di Indonesia yang memberlakukan beberapa hukum di Indonesia, yaitu: Hukum Perundang-undangan (Ciri Eropa Continental), Hukum Adat (Customary Law), Hukum Islam (Moslem Law), dan Yurisprudensi Hakim.14

Hukum adalah suatu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Lili Rasjidi menyatakan bahwa membicarakan hukum sebagai suatu sistem selalu menarik dan tidak pernah menemukan titik akhir karena sistem hukum (tertib hukum atau stelsel hukum) memang tidak mengenal bentuk final. Munculnya pemikiran-pemikiran baru sekalipun di luar disiplin hukum selalu dapat membawa pengaruh kepada sistem hukum.15

Lahirnya suatu sistem hukum hukum positip menunjukkan bahwa hukum akan selalu berkembang dan akan sebagai sarana pendukung perubahan dalam masyarakat. Menurut John Austin dalam Lectures on Jurisprudence. sebagai mana dikutip oleh Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,bahwa:

Hukum adalah perintah dari penguasa dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan.

Selanjutnya Austin berkata bahwa hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah yang dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk.16

Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa ada dua macam fungsi hukum yang berdampingan satu sama lain adalah fungsi hukum sebagai sarana

14Ibid.

15Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Radjagrafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm 149.

16H. Lili Rasjidi dan Ira Tahinia Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 58

pengendalian sosial, dan sebagai sarana untuk melakukan social engineering.17

Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial, yaitu hukum sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya sebagaimana yang telah ditentukan atau diharapkan. Perubahan sosial yang terjadi akan berpengaruh pula terhadap bekerjanya mekanisme pengendalian sosial ini.18 Sedangkan fungsi hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (merubah masyarakat) yakni di sini hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan kepada tujuan tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang di pandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola pola kelakuan baru.19 Penggunaan hukum untuk melakukan perubahan perubahan dalam masyarakat berhubungan erat dengan konsep penyelenggaraan kehidupan sosial ekonomi dalam masyarakat.

Kerangka teori di atas, menyatakan apabila dikaitkan dengan permasalahan yang diteliti jelas bahwa dalam hubungan perekonomian syariah dipengaruhi adanya pengaruh timbal balik nyata antara hukum dengan masyarakat berupa teori yang mengacu pada peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan kebiasaan dalam masyarakat dan mengamati bagaimana pengaruh peraturan perundang-undangan terhadap masyarakat. Bila dikaitkan dengan penyelesaian sengketa dalam perekonomian syariah merupakan kebijakan lembaga keuangan maupun perbankan

17Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu Sosial bagi Pemanfaatan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. 1977. hlm 143.

18Ibid., hlm 143.

19Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. 1982. hlm 169

syariah sebagai konsekuensi semakin tingginya berkembangnya lembaga perbankan syariah di Indonesia.

Selanjutnya Indonesia adalah negara hukum,20 yaitu mendasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi menentukan bahwa penyelenggaraan negara menganut prinsip supremasi hukum (bukan supremasi parlemen) dan prinsip demokrasi yang berdasarkan UUD 1945 (konstitusionalisme), sehingga setiap kebijakan ditentukan oleh hukum.21 Jadi dalam hal ini semua tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu hukum yang mengatur (Rule of Law).

Teori negara hukum menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Artinya negara diselenggarakan atas dasar hukum, atau sering juga disebut negara hukum (rechstaat), tidak atas dasar kekuasaan belaka (machstaat). Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah

20Lihat Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945

21Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm.

52-53.

perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum.22

Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi hukum (recht) pada Negara (staat), hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats.23

Friedrich Julius Stahl mengemukakan pengertian Negara Hukum sebagai berikut :

Negara harus menjadi Negara Hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong daripada perkembangan pada zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh daripada seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian Negara Hukum, bukannya misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara Hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada Negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya24.

Lebih lanjut Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtstaats dalam arti klasik, yaitu :

22S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997, hlm. 9.

23M. Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1992, hlm. 73-74.

24O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1970, hlm. 24.

1. Hak-hak asasi manusia;

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);

3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);

4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.25

Kemudian apabila kaitkan dengan teori hukum Islam dapat pula dijelaskan bahwa Islam sebagai ajaran yang universal dan integral, telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik di bidang sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan maupun bidang ekonomi dan keuangan. Seiring dengan berkembangnya nilai-nilai Islam di tengah masyarakat setelah runtuhnya ajaran komunisme yang berpusat di Sovyet pada tahun 1990-an, sehingga Samuel Paul Huntington menyatakan bahwa setelah komunis runtuh ancaman bagi negara-negara barat adalah peradaban Islam.26

Tujuan utama Syari’at diturunkan adalah untuk kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah kemafsadatan (kerusakan), Syari’at menetapkan ada lima kebutuhan pokok manusia yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu;27 agama, jiwa, harta, akal, danketurunan, sehingga Allah SWT menjadikan risalah Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamiin sebagaimana tercermin dalam surah Al-Anbiya ayat 107 yang artinya; “Tidaklah kami mengutus engkau, kecuali menjadi rahmat begi seru sekalian alam”.

25Miriam Budiarjo, Op,Cit., hlm. 57-58.

26Yusuf Al-Qardawi, Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, Era Intermedia, Solo, 2001, hlm 330-335.

27Daud Rosyid, Indahnya Syari’at Islam, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm 35.

Di dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai fitriyah yang abadi dan bertumpu pada prinsip-prinsip, tidak akan berubah dan tidak akan diubah. Bidang ini meliputi segala tatanan yang qat’iyah dan merupakan jati diri hukum Islam. Dalam kelompok ini termasuk segala ketentuan yang berasal dari nilai-nilai fundamental. Di antara nilai-nilai dalam dimensi ini adalah apa yang telah dirumuskan dalam tujuan hukum Islam (maqashid al-syariah), yaitu kebahagiaan manusia, yang dapat dijabarkan dalam kemaslahatan, kenikmatan, keadilan rahmat dan seterusnya.28

Di samping nilai-nilai fundamental tersebut, terdapat pula nilai-nilai instrumental. Makna nilai instrumental terkandung dalam proses pengamalan ajaran Islam di bidang hukum yang pada hakikatnya merupakan transformasi nilai-nilai hukum Islam in abstracto menuju nilai-nilai in concreto.29 Proses transformasi ini sering disebut sebagai operasionalisasi atau aktualisasi hukum Islam dalam kehidupan masyarakat. Pada tingkatan ini dibahas dan dibicarakan dinamika hukum Islam.

Dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai yang konstan dan sekaligus nilai-nilai dinamika sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan. Dalam dimensi ini, hukum Islam bersifat adaptif, artinya dapat menerima nilai-nilai baru dan nilai-nilai dari luar yang berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perubahan zaman.

Para ulama bersepakat bahwa sumber hukum Islam adalah wahyu (Alquran dan Sunnah) yang disebut dalil naqli dan ra’yu (rasio, akal, daya pikir, nalar) disebut

28Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah:Mafhumuha,Nasyatuha, Tathawwuruha, Dirasat Mualifatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, Dar al-Qalam, Damaskus 1994, hlm.158, dalam Tatang Sutardi, Hukum Uang Muka Dan Jaminan Dalam Pembiayaan Murabahah,

29Nilai-nilai kebahagiaan dalam hukum Islam yang bersifat abstrak yang harus direalisasikan dengan bentuk nyata.

dalil aqli. Dalam perkembangan hukum Islam, ternyata ra’yu memainkan peran yang tidak dapat diabaikan. Akal merupakan sumber dan sekaligus alat untuk memahami wahyu. Sebagai sumber hukum, akal dapat digunakan untuk mengalirkan hukum dari masalah-masalah yang tidak dinyatakan oleh wahyu atau yang tidak secara tegas dinyatakan oleh wahyu. Dalam kaitan dengan dimensi instrumental, peran akal di sini sangat strategis.

Berkembangnya aktualisasi hukum Islam dalam kehidupan masyarakat saat ini juga menyebabkan perkembangan perekonomian syari’ah. Berawal dari tahun 1998 itulah perekonomian Islam di Indonesia mencapai kemajuan pesat dan penting (signifikan). Perbankan sebagai lembaga keuangan terpenting, memiliki posisi strategis dalam perekonomian nasioanal. Dengan demikian, upaya pengembangan perbankan syariah perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi termasuk di dunia perbankan, dimana upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian nasional.

Oleh karena itu, secara optimal diperlukan pemberdayaan seluruh potensi perbankan Indonesia termasuk perbankan yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syari’ah. Dalam perkembangannya perbankan syari’ah dan perkembangan lembaga keuangan syari’ah lainnya memerlukan pengaturan kegiatan operasional yang komprehensif, jelas dan mengandung kepastian hukum termasuk dalam hal penyelesaian sengketa. Dalam koridor masyarakat yang sadar hukum, tidak dapat dihindari munculnya perilaku saling tuntut menuntut satu sama lain, mengingat di

masa sekarang dan masa depan kuantitas dan kompleksitas perkara terutama perkara-perkara bisnis syari’ah yang tentunya akan semakin beragam.

Adanya berbagai perkara tersebut lembaga keuangan syariah baik bank maupun non bank, serta para pengguna jasanya menyadari bahwa dalam penyelesian sengketa tidak sepenuhnya dapat mengandalkan instansi peradilan umum apabila benar-benar mau menegakkan prinsip syari’ah oleh karena dasar-dasar hukum penyelesaian perkara berbeda.

Kemudian berdasarkan ketentuan UU Peradilan Agama, kewenangan Pengadilan Agama diperluas dengan memberikan kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah serta ekonomi syari’ah. Namun kewenangan untuk mengadili perkara ekonomi syariah, direduksi oleh Pasal 55 UU tentang Perbankan Syariah yang juga menentukan bahwa “(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad”. Dualisme pengaturan tersebut telah mereduksi kompetensi peradilan agama menjadi sekadar alternatif forum pilihan (choice of forum). Pengaturan tersebut juga berakibat bukan hanya disparitas dan ketidakpastian hukum, namun juga dapat menimbulkan kekacauan hukum (legal disorder). ”Perundang-undangan yang tidak sinkron satu dengan yang lainnya, saling

bertentangan akan menimbulkan disparitas hukuman antara satu hakim dengan yang lainnya,”

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau definisi operasional sebagai berikut :

1. Dualisme kewenangan adalah terjadinya titik singgung antara dua lembaga peradilan yang memiliki kewenangan dalam menyelesaian suatu sengketa dalam hal ini penyelesaian sengketa antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri di Kota Banda Aceh.

2. Prinsip Syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah.

3. Perbankan Syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasiannya sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.

4. Sengketa Perbankan Syari’ah adalah sengketa yang timbul akibat adanya kegiatan di bidang Perbankan yang berdasarkan prinsip syari’ah

5. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah adalah upaya penyelesaian sengketa yang timbul akibat aktivitas Perbankan yang berprinsip syari’ah melalui lembaga peradilan.

6. Akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan perimaan ikatan) sesuai dengan kehendak yang berpengaruh pada objek perikatan.30

7. Akad Murabahah adalah akad pembiayaan yang disalurkan oleh bank dan lembaga keuangan syariah dengan prinsip jual beli, di mana bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang yang selanjutnya dijadikan jaminan pembiayaan

8. Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan khusus syari’ah di Provinsi Aceh yang setingkat dengan peradilan agama di provinsi lain di Indonesia dan merupakan bagian dari sistem peradilan nasional yang diakukan oIeh Mahkamah Syar'iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.

9. Pengadilan Negeri adalah lembaga peradilan tingkat pertama dan merupakan bagian dari sistem peradilan nasional yang diakukan oIeh pengadilan negeri yang bebas dari pengaruh pihak manapun.

30M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqh Islam dan Praktek di Bank Sistem Syari’ah, PPS, USU, Medan, 2005, hlm. 1.

G. Metode Penelitian