• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan mengedepankan pada

fakta-fakta yang dapat menunjukan ketidakbenarannya.19

Kelangsungan perkembangan ilmu hukum senantiasa bergantung pada unsur- unsur antara lain: metodologi, aktivitas penelitian imajinasi sosial dan juga sangat

ditentukan oleh teori.20

Teori perjanjian (overeenkomst theorie) oleh Thol adalah dasar hukum yang mengikat antara pemerintah dengan investor (dalam hal ini adalah pemegang SBSN). Teori ini menyatakan bahwa yang menjadi dasar hukum mengikatnya suatu surat berharga antara penerbit dan investor adalah suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum dua pihak, yaitu penerbit yang menadatangani dan pemegang pertama yang menerima surat berharga itu. Mengenai hal bahwa jika pemegang pertama mengalihkan

surat itu kepada pemegang berikutnya maka penerbit tetap terikat di dalam perjanjian.21

 

19

J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Azas-Azas (Jakarta: FE UI, 1996), hlm 203, Bandingkan M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV Mandar Maju, 1994), hlm 27, yg mnyebutkan bahwa “Teori yang dimaksud disini adalah pejelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.”

20

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1982), hlm.6 21

Joni Emirzon, Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta:Prenhalindo, 2002), hlm.47

         

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Maqasid Al-Syariah yaitu teori yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi, yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia. Tidak satu pun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Hukum-hukum Allah dalam

Alquran mengandung kemaslahatan.22

Teori Maqasid Al-Syariah hanya dapat dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan masyarakat yang mengetahui dan memahami bahwa yang menciptakan manusia adalah Allah SWT. Demikian juga yang menciptakan hukum-hukum yang termuat didalam Alquran adalah Allah SWT. Berdasarkan pemahaman tersebut maka akan muncul kesadaran bahwa Allah SWT yang paling mengetahui berkenaan hukum yang dibutuhkan oleh manusia, baik yang berhubungan dengan kehidupannya di dunia dan akhirat. Kesadaran hukum pihak pemerintah dan masyarakat tersebut, akan melahirkan keyakinan untuk menerapkan hukum Allah, bila menginginkan terwujudnya

kemaslahatan bagi kehidupan manusia.23

 

22

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.86 23

         

Penelitian ini juga menggunakan teori investasi dalam ekonomi Islam yang dipopulerkan oleh Metwally, bahwa investasi di Negara penganut ekonomi Islam

dipengaruhi oleh tiga faktor sebagai berikut:24

1. Ada sanksi untuk pemegang aset kurang/tidak produktif (hoarding idle assets)

2. Dilarang melakukan berbagai macam bentuk spekulasi dan segala macam judi

3. Tingkat bunga untuk berbagai macam pinjaman adalah nol dan sebagai gantinya

dipakai sistem bagi hasil.

Dari ketiga kriteria tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam ekonomi Islam, tingkat bunga tidak masuk dalam perhitungan investasi. Karena ongkos oportunitas (opportunity coast) dana untuk tujuan investasi adalah tingkat zakat yang dibayarkan atas dana tersebut. Dengan kata lain, tabungan yang tidak disalurkan ke investasi nyata, maka seseorang akan terbebani zakat (seperti yang telah ditentukan oleh syariat

Islam).25

Perkataan obligasi itu sendiri adalah berasal dari bahasa belanda yaitu obligatie yang secara harfiah yaitu berarti hutang atau kewajiban. Selain itu juga obligasi masih dalam bahasa belanda dapat pula diartikan suatu hutang (schuldrief). Dalam pengertian surat hutang ini, obligasi dalam terminologi hukum belanda sering disebut juga dengan istilah obligasi atau obligatie lening, yaitu yang berarti secarik bukti pinjaman uang

 

24

Eko Suprayitno, Ekonomi Islam dalam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm.128

25 Ibid

 

yang dikeluarkan oleh suatu perseroan atau badan hukum lain yang dapat diperdagangkan dengan cara menyerahkan surat tersebut.

Obligasi merupakan salah satu jenis efek. Di Indonesia yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, efek didefinisikan sebagai berikut:

“efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivative dari efek.” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tidak memberikan definisi mengenai obligasi, tetapi pengertian obligasi dapat dikemukakan pada peraturan perundang-undangan lain yang menyatakan sebagai berikut:

“obligasi ialah bukti hutang emiten yang mengandung janji pembayaran bunga atau janji lain serta pelunasan pokok pinjamannya dilakukan pada tanggal jatuh tempo, sekurang-kurangnya 3 tahun sejak tanggal emisi”.

Kata sukuk, sakk dan sakaik berasal dari bahasa Arab yang jika ditelusuri, Islam sering digunakan untuk perdagangan internasional di wilayah muslim pada abad pertengahan, bersamaan dengan kata hawalah (menggambarkan transfer/pengiriman uang) dan mudharabah (kegiatan bisnis persekutuan). Akan tetapi sejumlah penulis barat mengenai perdagangan Islam/Arab abad pertengahan memberikan kesimpulan

         

bahwa kata sakk merupakan kata dari suara latin “cheque” atau “check” yang biasanya

digunakan pada perbankan kontemporer.26

Obligasi syariah atau sukuk menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No:32/DSN-MUI/IX/2002 adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh

tempo.27

Tetapi tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk

menerbitkan obligasi syariah, beberapa persyaratan berikut harus dipenuhi:28

1. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi

Fatwa No. 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam diantaranya adalah: (1) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang, (2) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional, (3) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram, (4) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

2. Peringkat investment grade: (1) memiliki fundamental usaha yang kuat, (2) memiliki

fundamental keuangan yang kuat, (3) memiliki citra yang baik bagi publik.

3. Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index (JII).

 

26

Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.136

27

Lihat Dalam Ketentuan Umum Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 32/DSN- MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syariah

28

         

Pada prinsipnya SBSN merupakan bukti atas suatu prestasi dari penerbit kepada pemegangnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara penerbit dan pemegang SBSN terdapat suatu perikatan.

Suatu hutang (schuld) atau suatu prestasi dapat ditimbulkan dari perikatan apa saja. Penjual mempunyai kewajiban berprestasi untuk menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli. Demikian pula si peminjam uang mempunyai kewajiban berprestasi untuk mengembalikan jumlah yang dipinjamnya kepada kreditur.

Hubungan antara penerbit dan pemegang SBSN adalah pinjam meminjam uang. Penerbit meminjam uang kepada pemegang SBSN sehingga timbul kewajiban dari penerbit untuk mengembalikan uang yang dipinjamkannya kepada pemegang SBSN. Atas kewajiban atau prestasinya tersebut, penerbit menerbitkan surat yang disebut surat berharga syariah Negara (SBSN/SUKUK) sebagai bukti atas prestasi yang wajib dilakukannya.

Perikatan adalah istilah yang digunakan dalam KUHPerdata tetapi didalam Islam lebih dikenal dengan aqad (akad dalam bahasa Indonesia). Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum

terdapat objeknya.29

 

29

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Konstektual, Cet 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.75, lihat juga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Bab I, Akad adalah Perjanjian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

         

Ikrar merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan akad. Ikrar ini berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak pertama) untuk menawarkan sesuatu. Dan Kabul adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak kedua) untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama. Apabila antara ijab dan Kabul yang dilakukan oleh kedua pihak saling berhubungan bersesuaian, maka

terjadilah akad antara mereka.30

Dari definisi tersebut dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung dalam akad yaitu sebagai berikut:

Terdapat beberapa akad yang digunakan dalam penerbitan obligasi syariah

yaitu:31

1) Mudharabah (Muqaradhah)/Qiradh adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih yaitu satu pihak sebagai penyedia modal dan pihak lain sebagai penyedia tenaga dan keahlian, keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disetujui sebelumnya, sedangkan kerugian yang terjadi akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia modal, kecuali kerugian disebabkan oleh kelalaian penyedia tenaga dan keahlian. Adanya obligasi mudharabah antara lain karena:

 

30

Wirdyaningsih, Karnaen Perwataatmadja, Gemala Dewi,Yeni Salma Barlinti, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007),hlm.93

31

 

a. Bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan

jangka yang relatif panjang, memungkinkan investor untuk berpartisipasi tanpa harus terlibat dalam manajemen atau operasional perusahaan.

b. Dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing) seperti pendanaan

modal kerja.

c. Mudharabah memungkinkan percampuran kerja sama antara modal dan jasa (kegiatan usaha) sehingga dimungkinkan tidak memerlukan jaminan (collateral) atas asset yang spesifik.

d. Telah memiliki pedoman khusus melalui pengesahan fatwa No.33/DSN-

MUI/IX/2002

2) Ijarah adalah akad yang satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menyewakan hak atas suatu asset kepada pihak lain berdasarkan harga sewa dan periode sewa yang disepakatin. Berdasarkan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah, telah ditegaskan beberapa hal mengenai obligasi syariah ijarah, sebagai berikut:

a. Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip

syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

 

b. Obligasi syariah ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah dengan

memperhatikan substansi Fatwa dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.

c. Pemegang Obligasi syariah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai musta’jir

(penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai Mu’jir (pemberi sewa)

d. Emiten dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa

ataupun menyewa kepada pihak lain dan dapat pula bertindak sebagai penyewa. 3) Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk

menggabungkan modal, baik dalam bentuk uang maupun bentuk lainnya dengan tujuan memperoleh keutungan, yang akan dibagikan sesuai dengan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian yang timbul akan ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.

4) Istishna’ adalah akad jual beli asset berupa obyek pembiayaan antara para pihak dimana spesifikasi, cara dan jangka waktu penyerahan, serta harga asset tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.

5) Salam

6) Jenis usaha yang dilakukan emiten (mudharib) tidak boleh bertentangan dengan

syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN- MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana syariah

         

7) Pendapatan atau hasil investasi yang dibagikan emiten (mudharib) kepada pemegang

obligasi syariah mudharabah (shahibul mal) harus bersih dari unsur non halal

8) Pendapatan atau hasil yang diperoleh pemegang obligasi syariah sesuai akad yang

digunakan

9) Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.

2. Landasan konsepsi

Berikut adalah definisi operasional dan istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut

Sukuk Negara atau obligasi syariah adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset

SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.32

b. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa pengakuan utang dalam mata

uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya

oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.33

c. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBSN baik didalam maupun

di luar negeri untuk pertama kali.34

 

32

Pasal 1 angka1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

33

Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

 

       

d. Pasar sekunder adalah kegiatan perdagangan SBSN yang telah dijual dipasar perdana

baik di dalam maupun di luar negeri.35

e. Nilai nominal adalah nilai SBSN yang tercantum dalam sertifikat SBSN.36

f. Akad adalah perjanjian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.37

g. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum

h. Investor adalah pihak pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, marjin, nilai

nominal sukuk sesuai partisipasi masing-masing.

i. Bagi hasil (nisbah) adalah pemabgian pendapatan atau keuntungan kepada pemegang

SBSN, pembagiannya hasil keuntungan berdasarkan kesepakatan dan bersifat halal.

j. Resiko adalah kerugian yang timbul apabila target keuntungan investasi tidak sesuai

dengan apa yang direncanakan atau diinginkan.

 

34

Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

35

Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

36

Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

37

Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

         

Dokumen terkait