• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : Jaminan Pemerintah Bagi Pemegang Surat Berharga Syariah

A. Mekanisme Transaksi Surat Berharga Syariah Negara

1. Pasar Perdana

Pasar Perdana (primary market) adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN/SUKUK) baik di dalam maupun di luar negeri

untuk pertama kalinya.85 Didalam pasar perdana berfungsi sebagai setelmen penerbitan

SBSN dengan cara bookbuilding yaitu:86

1. Bank Indonesia melakukan setelmen87 SBSN berdasarkan penetapan hasil

penjualan oleh Menteri.

2. Setelmen SBSN dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal

penetapan hasil penjualan SBSN (T+2)

3. Perhitungan harga setelmen per unit SBSN yang diterbitkan dengan cara

bookbuilding dilakukan berdasarkan metode penerapan harga yang tercantum

 

85

Pasal I ayat (13) Undang-Undang No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

86

Surat Edaran Bank Indonesia No.10/27/DPM tentang Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara

87

Pasal 1 ayat (18) Peraturan Bank Indonesia No.6/2/PBI/2004 tentang Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) menjelaskan bahwa: Stelmen Surat berharga adalah perpindahan kepemilikan Surat Berharga antar pemilik rekening Surat Berharga yang tercatat dalam BI- SSSS dalam rangka pelaksanaan setelmen transaksi Surat Berharga melalui BI-SSSS

         

dalam Memorandum Informasi yang diterbitkan oleh Menteri cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang

4. Jangka waktu SBSN dinyatakan dalam jumlah hari sebenarnya (actual per actual)

dan dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh tempo.

5. Agen penjual bertanggungjawab terhadap setelmen seluruh pemesanan pembelian

masing-masing pihak yang pemesanan pembeliannya telah memperoleh penjatahan.

6. Berdasarkan penetapan hasil penjualan SBSN oleh Menteri, pada 1 (satu) Hari

Kerja sebelum tanggal setelmen Agen Penjualan menginput hasil penjatahan

(allotment) SBSN perinvestor melalui BI-SSSS88 antara lain nominal SBSN, Bank

pembayar dan Sub-Registry.

7. Agen penjual bertanggungjawab terhadap pelaksana penetapan (setting) broker

bidding limit oleh Bank dan/atau Sub-Registry dan setelmen limit oleh Bank pembayar di BI-SSSS.

8. Agen penjual bertanggungjawab terhadap kebenaran dan kelengkapan data hasil

penjatahan (allotment) SBSN per investor yang diinput melalui BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada angka 6

 

88

Pasal 1 ayat (9) Peraturan Bank Indonesia No.6/2/PBI/2004 tentang Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) menjelaskan bahwa: Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana transaksi dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya dan penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem BI-RTGS.

         

9. Bank Indonesia melakukan setelmen hasil penjualan SBSN pada tanggal setelmen

dengan prosedur sebagai berikut:

a. Mendebet rekening giro rupiah di Bank Indonesia milik Bank untuk dan atas

nama sendiri dan/atau Bank pembayar untuk dan atas nama pikah lain melalui

sistem BI-RTGS89 dan mengkredit rekening giro rupiah di Bank Indonesia milik

Pemerintah.

b. Mengkredit rekening surat berharga Bank dan/atau Sub-Registry di BI-SSSS.

c. Pendebetan rekening giro rupiah milik Bank di Bank Indonesia sebagaimana di

maksud pada huruf a dan pengkreditan rekening surat berharga di BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada huruf b, dilakukan dengan memperhatikan pemisahan kepesertaan antara Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dengan kegiatan unit usaha syariah pada Bank tersebut sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem BI-RTGS dan BI-SSSS.

10. Dalam hal saldo rekening giro rupiah milik Bank dan/atau bank pembayar di Bank

Indonesia sebagaimana dimaksud pada angka 9 kewajibannya sampai dengan cut- off warning sistem BI-RTGS maka seluruh hasil penjatahan SBSN yang setelmennya dilakukan melalui Bank dan/atau Bank pembayar dinyatakan gagal.

 

89

Pasal 1 ayat (9) Peraturan Bank Indonesia No.6/2/PBI/2004 tentang Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) menjelaskan bahwa: Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik anatar peserta sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual.

         

11. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kegagalan setelmen transaksi

sebagaimana dimaksud pada angka 10 kepada Menteri cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang.

Cara Pembayaran Imbalan SBSN dan/atau Nilai Nominal SBSN90

1. Bank Indonesia melakukan pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN

berdasarkan posisi kepemilikan SBSN yang tercatat di BI-SSSS pada 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh waktu pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN (T-2)

2. Pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN sebagaimana dimaksud pada

angka 1 dilakukan pada tanggal jatuh waktu dengan mendebet rekening giro rupiah milik Pemerintah di Bank Indonesia dan mengkredit rekening giro rupiah milik Bank dan/atau Bank pembayar di Bank Indonesia sebesar Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN.

3. Pengkreditan rekening giro rupiah milik Bank di Bank Indonesia sebagaimana

dimaksud pada angka 2, dilakukan dengan memperhatikan pemisahan kepesertaan antara Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dengan kegiatan unit usaha syariah pada Bank tersebut sebagaimana dimaksud dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sistem BI-RTGS.

 

90

Surat Edaran Bank Indonesia No.10/27/DPM tentang Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara

         

4. Pada hari yang sama dengan hari pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal

SBSN oleh Bank Indonesia, Sub-Registry wajib meneruskan pembayaran Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN kepada investor yang tercatat di Sub-Registry.

Semua kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul akibat penerbitan SBSN dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu dialokasikan untuk pembayaran kewajiban untuk satu tahun anggaran disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk diperhitungkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara tahun yang bersangkutan.91

Pada saat jatuh tempo, pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dapat melebihi perkiraan anggaran disebabkan oleh, antara lain: perbedaan perkiraan

kurs, dan/atau tingkat imbalan.92

2. Pasar Sekunder

Pasar sekunder (secondary market) adalah kegiatan perdagangan Surat Berharga Syariah Negara yang telah dijual di pasar perdana baik di luar maupun di luar

negeri.93 SBSN yang diperdagangkan di pasar sekunder ini adalah SBSN yang

diperjualbelikan di pasar sekunder baik di luar maupun di luar negeri. Perdagangan  

91

Penjelasn Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

92

Penjelasan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

93

Pasal I ayat (14) Undang-Undang No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

         

dapat dilakukan melalui bursa dan/atau di luar bursa yang biasa di sebut over the counter (OTC). SBSN yang tidak dapat diperdagngkan adalah (1) SBSN yang tidak dapat diperjualbelikan di pasar sekunder dan biasanya diterbitkan secara khusus untuk pemodal institusi tertentu, baik domestik maupun asing, yang berminat untuk memiliki SBSN sesuai dengan kebutuhan spesifik dari portofolio investasinya, dan (2) SBSN

yang karena sifat akad penerbitannya tidak dapat diperdagangkan.94

Setelmen transaksi SBSN di pasar sekunder ini adalah prosedur setelmen transaksi SBSN di pasar sekunder dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang

mengatur mengenai BI-SSSS yang berlaku.95

Surat Berharga Syariah Negara (SBSN/SUKUK) mempunyai peranan terhadap ekonomi Negara yaitu sebagai:

1. Pembangunan Ekonomi di Indonesia

Pembangunan ekonomi merupakan salah satu dari keseluruhan aspek pembangunan nasional. Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dalam suasana peri kehidupan berbangsa yang aman, tertib, dinamis

 

94

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

95

Surat Edaran Bank Indonesia No.10/27/DPM tentang Tata Cara Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara

         

dan damai.96 Hal ini bisa diwujudkan bila pertumbuhan ekonomi berlangsung secara

berkelanjutan, stabilitas moneter dan sektor keuangan dapat terjaga, dan hasil peningkatan kegiatan perekonomian dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat secara berkeadilan.

“Adapun pembangunan nasional itu sendiri pada hakikatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan

pedomannya.”97

Sebagaimana diketahui bahwa dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, tugas untuk mensejahterakan rakyat tidaklah semata-mata terletak di pundak pemerintah saja tetapi terletak di pundak pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Masyarakat tidak boleh pasif dalam usaha untuk mencapai kesejahteraannya sendiri. Pembangunan ekonomi Indonesia harus dilaksanakan dengan segenap daya yang ada, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi:

“Perkonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Dalam tataran perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UUD 1945, kehendak untuk melaksanakan pembangunan nasional dengan segenap dana daya

 

96

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm.240-241

97 Ibid

         

yang dimiliki digambarkan dengan lebih nyata. UU No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) secara jelas menyebutkan bahwa pembangunan nasional di Indonesia merupakan upaya yang dilaksanakan oleh segenap komponen

bangsa Indonesia dalam rangka mencapai tujuan bernegara.98 Prinsip kebersamaan

dalam penyelenggaraan pembangunan nasional yang tercantum pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 tersebut harus dilihat dengan makna yang lebih luas, yakni bahwa untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, harus dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan segenap komponen yang ada di masyarakat. Segenap masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa pemerintah mempunyai keterbatasan dana dan daya untuk melaksanakan pembangunan ekonomi karena pembangunan itu sendiri sangat kompleks, sehingga harus terdapat saling isi mengisi antara pemerintah dengan masyarakat untuk keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Prinsip kebersamaan yang dikandung oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 pada dasarnya meletakkan tanggung jawab pembangunan ekonomi nasional bukan hanya di pundak pemerintah saja, akan tetapi terletak bersama-sama di pundak pemerintah dan masyarakat. Pembangunan ekonomi Indonesia selalu mengikuti kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah yang berkuasa dari waktu ke waktu. Pada masa pemerintahan orde lama, Indonesia menerapkan kebijakan ekonomi yang tertutup (inward oriented). Prinsip berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) dan kebijakan untuk tidak menerima bantuan dari pihak luar

 

98

UU No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, Lampiran BAB 1 Butir A, Alinea ke-5

         

mengakibatkan ekonomi nasional mengalami stagnasi. Pemerintah orde lama juga menetapkan kebijakan anti investasi asing dengan semboyan go to hell with your aid dan bahkan melakukan nasioalisanasi terhadap perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia. Nasionalisasi perusahaan asing ini mengakibatkan perekonomian nasional bertambah buruk karena pemerintah orde lama kurang memperhitungkan akibat yang

akan ditimbulkannya.99 Perekonomian Indonesia di masa orde lama semakin terisolasi

dari rangkaian perdagangan dunia, dan pembangunan ekonomi Indonesia praktis tidak mengalami kemajuan karena ketiadaan sumber-sumber dana untuk membiayai kebutuhan pembangunan.

Pemerintahan orde baru mewarisi dengan kompleksnya permasalahan pembangunan ekonomi di antaranya utang luar negeri yang cukup besar, laju inflasi yang tinggi, serta buruknya kondisi prasarana dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan dimaksud. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah orde baru menetapkan langkah-langkah strategis jangka pendek dengan sasaran untuk menghidupkan kembli roda perekonomian. Salah satu langkah penting yang ditempuh pemerintah adalah mencairkan hubungan dengan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang sempat terputus pada masa pemerintahan sebelumnya.

Pembangunan ekonomi di era reformasi tertuang dalam UU No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000-2004, yang

 

99

Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1975), hlm.6

         

ditujukan untuk pembangunan suatu sistem ekonomi kerakyatan dalam rangka penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sistem jaminan

sosial, pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi.100 Hal tersebut adalah

sejalan dengan arah pembangunan nasional yang terkandung dalam UUD 1945 yang pada dasarnya sesuai dengan tujuan dari sebuah Negara kesejahteraan (welfare state).

Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan strategi pembangunan pada masa lalu adalah:

a. diarahkan pada keseluruhan masalah sosial-ekonomi yang bertentangan dengan

pembangunan Negara

b. ada sesuatu yang terlibat dalam pergerakan pengelakan atas peningkatan upaya

pembangunan didunia ketiga (didominasi oleh Negara-Negara muslim). Pergerakan ini merupakan suatu masalah yang shahih jika dilakukan dengan memisahkan sosio- ekonomi dan budaya. Tidak ada alasan yang dapat dijadikan pijakan dari ahli teori pembangunan bahwa ada suatu ketidak-kompatibilitas inherent antara agama tradisional tertentu, di satu sisi, dan kemajuan sosial-ekonomi disisi lain. Padahal masalah pembangunan itu akan berakar dari sumber budaya tiap-tiap mayarakat. Dengan demikian tidak dapat dipisahkan kebijakan sosial ekonomi dari konteks sosio-kultur yang diterapkan dan dari situlah semuanya itu akan dihasilkan.

 

100

UU No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004, Lampiran BAB IV butir C, Alinea ke-5 Program-Program Pembangunan

         

Demikian juga, melalui hal tersebut kebudayaan, agama merupakan komponen

essensial bagi pembangunan101

keberhasilan pelaksanaan program pembangunan nasional dalam mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu disertai dengan, antara lain upaya pengelolaan keuangan Negara secara optimal. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan efisiensi dalam pengelolaan aset Negara dan pengembangan sumber pembiayaan anggaran Negara, guna meningkatkan daya dukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam menggerakkan pembangunan sektor ekonomi secara

berkesinambungan.102

2. Kebijakan Pemerintah dalam Hal Pengelolaan dan Pembiayaan Utang Negara

Utang pada dasarnya adalah salah satu alternatif yang dilakukan karena berbagai alasan yang rasional. Dalam alasan-alasan yang rasional itu ada muatan urgensi dan ada pula muatan ekspansi. Muatan urgensi tersebut maksudnya adalah utang mungkin dipilih sebagai sumber pembiayaan karena derajat urgensi kebutuhan yang membutuhkan penyelesaian segera. Sedangkan muatan ekspansi berarti utang dianggap sebagai alternatif pembiayaan yang melalui berbagai perhitungan teknis dan ekonomis

 

101

Muhammad, Metodologi Penelitian, Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hlm.41

102

Penjelasan Undang-Undang No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara BAB I

         

dianggap dapat memberikan keuntungan.103 Secara teoritis alasan Negara-negara maju

untk menyetujui pemberian pinjaman untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di Negara dunia ketiga termasuk Indonesia adalah untuk menciptakan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dan hal itu mungkin dapat dicapai jikalau proyek-proyek pembangunan tersebut telah diuji kelayakannya, baik dari aspek teknologi, komersil, keuangan, ekonomi makro, manajemen, maupun dari aspek dampak lingkungan. Dengan perkataan lain semua dana pinjaman dari luar negeri tersebut seyogianya dapat diukur efektivitas dan efisiensinya.

Dengan prinsip kemandirian yang dianut dalam pelaksanaan pembangunan nasional, penerimaan yang berasal dari dalam negeri menduduki tempat yang sangat strategis karena merupakan sumber utama pembiayaan pembangunan, sedang pembiayaan yang bersal dari luar negeri merupakan sumber tambahan/pelengkap. Sesuai dengan prinsip kemandirian tersebut, dana yang didapatkan dari sumber-sumber luar negeri tidak boleh dominan jumlahnya dibandingkan dengan dana yang didapatkan dari dalam negeri. Begitu pula halnya mengenai persyaratan dari dana-dana yang diperoleh dari luar negeri tidak boleh bersifat mengikat, karena hal tersebut tidak sejalan

 

103

Yuswar Zainul Basri dan Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.101

         

dan akan bertentangan dengan prinsip kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan

nasional yang digariskan dalam UUD 1945.104

Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan dan pembiayaan hutang bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan dana pinjaman baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri serta menggerakkan pasar keuangan yang berbasis syariah (termasuk Surat Berharga Syariah Negara/SBSN). Sasaran yang dituju dalam program ini adalah:

a. Tercapainya penyerapan pinjaman luar negeri yang maksimal sehingga dana

pinjaman dapat digunakan tepat waktu.

b. Adanya penyempurnaan strategis pinjaman pemerintah.

c. Adanya penyempurnaan kebijakan pinjaman/hibah daerah yang sesuai dengan

kemampuan fiskal daerah

d. Adanya penyempurnaan mekanisme penerusan pinjaman dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah, serta

e. Adanya penyempurnaan mekanisme sumber pembiayaan APBN melalui

pengelolaan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Penggunaan prinsip syariah di pasar keuangan dalam dan luar negeri, yang ditandai dengan semakin banyaknya Negara yang menerbitkan instrumen pembiayaan

 

104

Muchtarudin Siregar, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: FEUI, 1991), hlm.2

         

berbasis syariah dan semakin meningkatnya jumlah investor dalam instrumen keuangan syariah, Indonesia perlu memanfaatkan momentum melalui penerbitan SBSN, baik pasar domestik maupun di pasar internasional sebagai alternatif sumber pembiayaan. Hal tersebut sejalan dengan semakin terbatasnya daya dukung Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menggerakkan pembangunan sektor ekonomi secara berkesinambungan dan belum optimalnya pemanfaatan instrument pembiayaan lainnya. Dengan bertambahnya instrumen Surat Berharga Negara yang terdiri atas Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), diharapkan kemampuan pemerintah dalam pengelolaan anggaran Negara terutama dari sisi pembiayaan akan semakin meningkat. Selain itu, adanya SBSN akan dapat memenuhi kebutuhan portofolio investasi lembaga keuangan syariah antara lain perbankan syariah, reksadana

syariah dan asuransi syariah.105

3. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai Instrumen Investasi Guna

Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional

Investasi dimaksudkan sebagai kegiatan pemanfaatan dana yang dimiliki dengan menanamkannya ke usaha/proyek baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan harapan akan mendapatkan sejumlah keuntungan dari investasi tersebut di

 

105

         

kemudian hari.106 Lebih khusus Komaruddin memberikan pengertian investasi

sebagai:107

1. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi, atau suatu penyertaan lainnya.

2. Suatu tindakan membeli barang modal, dan

3. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi, dengan pendapatan di masa yang

akan datang

Investasi pada dasarnya adalah bentuk aktif dari sistem ekonomi syariah. Dalam Islam setiap harta ada zakatnya. Jika harta tersebut didiamkan, maka lambat laun akan termakan oleh zakatnya. Salah satu hikmah dari zakat ini adalah mendorong setiap

muslim untuk menginvestasikan hartanya agar bertambah.108

Ada 2 (dua) bentuk investasi yaitu:109

1. Investasi pada aktiva Riil, yaitu investasi dalam bentuk yang dapat dilihat secara

fisik, seperti emas, intan, perak, real estate/rumah, tanah, ruko, logam mulia, dan lain-lain.

2. Investasi pada Aktiva finansial, yaitu investasi dalam bentuk yang biasanya

diwakilkan dalam surat-surat berharga, seperti surat berharga, deposito, dan lain-

 

106

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, cetakan Kedua, Edisi Revisi, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002), hlm.331

107

Panji Anoraga, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), hlm.47

108

Inggrid Tan, Op Cit, hlm.15 109

         

lain. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) termasuk kedalam investasi bentuk Aktiva finansial.

Investasi mengenal harga. Harga adalah nilai jual atau beli dari sesuatu yang diperdagangkanInvestasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Dengan posisi semacam ini, investasi pada hakikatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika dari investasi mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan marak lesunya pembangunan. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap Negara senantiasa berusaha menciptakan iklim

yang dapat menggairahkan investasi.110

Investasi dimaksud akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), dan apabila pertumbuhan investasi mengalami stagnasi, pada akhirnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan PDB secara keseluruhan. Lebih rinci dapat disebutkan tentang

manfaat investasi bagi pembangunan ekonomi, yaitu:111

1. Investasi dapat menjadi salah satu alternatif untuk memecahkan kesulitan modal

yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan nasional.

2. Industri yang dibangun dengan investasi akan dikontribusi dalam perbaikan sarana

dan prasarana, yang pada gilirannya akan menunjang pertumbuhan industri-industri turunan di wilayah sekitarnya.

 

110

Dumairy, perekonomian Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm.132 111

Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm.10

         

3. Investasi turut serta membantu pemerintah memecahkan masalah lapangan kerja,

yakni akan menciptakan lowongan kerja untuk tenaga terampil maupun untuk tenaga kerja yang tidak terampil.

4. Investasi akan memperkenalkan teknologi dan pengetahuan baru yang bermanfaat

bagi peningkatan keterampilan pekerja dan efisiensi produksi.

5. Investasi akan memperbesar perolehan devisa yang didapatkan dari industri yang

hasil produksinya sebagian besar ditujukan untuk ekspor.

Untuk mencapai tujuan investasi, investasi membutuhkan suatu proses dalam pengambilan keputusan, sehingga keputusan tersebut sudah mempertimbangkan ekspektasi return yang didapatkan dan juga resiko yang dihadapi. Pada dasarnya ada

beberapa tahapan dalam pengambilan keputusan investasi antara lain:112

1. Menentukan kebijakan investasi

Pada tahapan ini, investor menentukan tujuan investasi dan kemampuan/kekayaannya yang dapat diinvestasikan. Dikarenakan ada hubungan positif antara resiko dan return, maka hal yang tepat bagi para investor untuk menyatakan tujuan investasinya tidak hanya untuk memperoleh banyak keuntungan saja, tetapi juga memahami bahwa ada kemungkinan resiko yang berpotensi menyebabkan kerugian. Jadi tujuan investasi harus dinyatakan baik dalam keuntungan maupun resiko.

 

112

 

2. Analisis sekuritas

Pada tahap ini berarti melakukan analisis sekuritas yang meliputi penilaian terhadap sekuritas secara individual atau beberapa kelompok sekuritas. Salah satu tujuan melakukan penilaian tersebut adalah untuk mengidentifikasi sekuritas yang salah harga (mispriced). Adapun pendapat lainnya mereka yang berpendapat bahwa harga sekuritas adalah wajar karena mereka berasumsi behwa pasar modal efisien. Dengan demikian. Pemilihan sekuritas bukan didasarkan atas kesalahan harga tetapi

Dokumen terkait