• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus di uji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.12 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.

Dalam dunia ilmu hukum, teori memberikn penjelasan melalui cara

mengorganisasikan dan mensistemasikan masalah yang dibicarakan. Teori

      

12

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, 1996, hal. 203.

menempatkan kedudukan yang penting sebagai sarana untuk merangkum serta memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan memahami dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Berikut ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran, butir-butir pendapat serta teori yang akan menjadi dasar kerangka bagi penelitian ini.

Mengenai konsep teori M. Solly Lubis yang mengatakan ”kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perlindungan, pegangan teori yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya, ini masukan bagi eksternal bagi penelitian. 13 Teori

hukum merupakan kelanjutan dari mempelajari hukum positif itu sendiri, berdasarkan hal tersebut kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat yang menjadi bahan perbandingan dalam penelitian ini.

Teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

2. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi. 3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

      

13

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti. 14

Oleh karena itu maka terdapat beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, diantaranya adalah teori hukum alam. Thomas Aquinas dan teori hukum alam, karena alam lembaga tersebut tidak akan pernah menjadi baik, tetapi hal tersebut merupakan tugas dari suatu tempat ibadah untuk menuntut agar undang-undang yang dibuat manusia memperhatikan prinsip-prinsip dari setiap agama masing-masing. 15

Untuk tujuan ini, masing-masing tempat ibadah memberikan kekuasaan mutlak kepada negara, sesuatu yang tidak baik tetapi yang memberikan keabsahan keberadaannya dengan perlindungan dan telah berusaha memenuhi tuntutan hukum abadi dunia lain digabungkan dengan pembenaran tuntutan dari suatu tempat ibadah akan kekuasaan politik yang berdaulat.

Dalam teori-teori tradisional, lembaga-lembaga yang penting dalam masyarakat manusia, pemerintahan yang sewenang-wenang, perbudakan dan hak milik adalah hasil keinginan dan selama abad kedelapan dan periode rangsangan jahat manusia, bukan sifat panjang diantara runtuhnya peradaban dasar dari tabiat mereka

      

14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal.121. 15

W. Friedmann, Teori Dan Filsafat Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 57.

yang sebenarnya. Lama dan munculnya tatanan abad tetapi mereka juga merupakan alat untuk pertengahan, pemuka-pemuka agama yang merupakan pendukung kelangsungan gagasan hukum alam, dan pada saat yang bersamaan mulai memberi pengertian dan dasar yang berlainan terhadap hukum alam.

Menurut filsuf-filsuf perbedaan antara hukum alam absolut ideal dengan hukum alam yang relatif, saat ini telah lebih berkaitan secara tegas dengan dosa asal, hanya dengan lepasnya ikatan manusia dari tempat ibadah mengakibatkan diberlakukannya lembaga-lembaga manusia. 16

Dalam teori Positivisme hukum yang dikembangkan oleh John Austin dalam bukunya yang berjudul Province of Jurisprudence, menyatakan law is command of

the lawgiver yang artinya yaitu hukum adalah perintah dari penguasa yaitu mereka

yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. 17

Menurut Hans Kelsen, tentang adanya ilmu hukum yang mandiri melalui teori hukum murni, dimana ajaran hukum secara pendekatan ilmu lain, seperti sosiologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum, ekonomi, politik hukum dan etika bukanlah hukum sama sekali, 18 yang juga merupakan bagian dari ajaran Positivisme. 19

Hans Kelsen mengemukakan bahwa suatu norma memiliki watak sebagai berikut :

a. Semua norma mempunyai arti tindakan (acts) dan atau kehendak (will).

b. Semua norma dibuat dengan tindakan dan kehendak yang nyata, kecuali yang berkenaan dengan ketertiban hukum nasional (national legal order).

      

16 Ibid. 17

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.61. 18

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hal.13.. 19

c. Norma dasar tentang ketertiban hukum nasional dianggap terbentuk melalui berbagai pernyataan dalam ilmu hukum tentang hal tersebut.

d. Ketika norma dasar dianggap sudah terbentuk, bentuk yang logisnya adalah tindakan yang didasarkan atas kehendak yang sebelumnya telah dapat terbayangkan. 20

Ungkapan teori ini berkaitan dengan filsafat hukum pada masa Yunani yang di ungkapkan oleh W. Friedmann ”Kalau diperhatikan undang-undang memberikan keadilan yang sama kepada semua, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi itu, kalau tidak ada kedudukan sosial, kemajuan dalam hidup dapat dicapai bukan atas dasar reputasi melainkan karena kapasitas, kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang menentukan dalam soal jasa.

Pada dasarnya di Indonesia ada tiga macam sifat susunan keluarga yaitu, patrilineal, matrilineal, parental. Yang dimaksud dengan susunan patrilineal ialah lembaga yang menentukan bahwa garis ketentuan ditentukan oleh ketentuan bersama dari seseorang leluhur laki-laki susunan yang matrilineal menunjukan adanya keturunan bersama dari seseorang leluhur perempuan dari ibu. Susunan parental mengambil garis keturunan laki-laki dan perempuan.

Sifat susunan keluarga menurut Mahadi merupakan salah satu tiang hukum adat karena sifat susunan keluarga ini tidak berdiri sendiri melainkan terkait dengan berbagai bagian lain dalam bidang hukum seperti bidang hukum perkawinan maupun bidang hukm waris.

Hal yang sama juga dikemukakan Hilman Hadikusuma, bahwa berlakunya hukum adat perkawinan tergantung pada pola susunan masyarakat adatnya. Oleh

      

20

karenanya tanpa mengetahui bagaimana susunan masyarakat adat yang berkesangkutan maka tidak mudah dapat diketahui hukum perkawinannya.

Perkawinan didalam masyarakat adat bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Oleh karena nilai-nilai hidup masyarakat yang menyangkut tujuan perkawinan tersebut, menyangkut pula kehormatan keluarga dan kerabat berkesangkutan dalam pergaulan masyarakat, maka proses pelaksanaan perkawinan diatur dengan tata tertib adat, agar dapat terhindar dari penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang akan menjatuhkan martabat kehormatan keluarga dan kerabat yang berkesangkutan.

Menyadari adanya keanekaragaman inilah undang-undang memberikan peluang berlakunya hukum agama maupun hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat, khususnya dalam harta benda perkawinan dianut prinsip hukum adat seperti yang tercantum dalam pasal 35 undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Menurut Soekanto menyatakan bahwa:

“Janda tidak mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari harta tersebut, jika peril seumur hidup. Untuk nafkahnya janda itu dapat pula diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya. Untuk nafkah itu terutama disediakan barang gono-gini, jika barang-barang ini mencukupi untuk nafkah, maka waris dapat

menuntut supaya barang-barang asal dari peninggalan harta diterimakan kepada mereka. Jika barang gono-gini tidak mencukupi untuk nafkah, maka barang asal dari suami dapat dipakai untuk keperluan itu.” 21

Harta peninggalan boleh dibagi-bagi asal saja janda terpelihara dalam hidupnya misalnya janda sudah dapat pewarisan atau nafkah dijamin oleh beberapa waris. Jika janda bernikah lagi, ia keluar dari rumah tangga suami pertama dan ia masuk dalam rumah tangga baru.

Dalam hal demikian barang-barang gono-gini dapat dibagi-bagi antara janda yang berkawin lagi dan ahli-ahli waris yang telah meninggal dunia. Dalam keadaan konkrit yang istimewa, jikalau seorang perempuan belum lama kawin, belum mempunyai anak bahkan belim lagi ada barang gono-gini dan suaminya meninggal,maka barang asal suaminya pulang kembali kepada keluarganya sendiri.

Menurut Busmar Muhamad:

"Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari barang gono-gini maupun dari hasil barang asal suami. Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik penghasilan dari barang-barang itu, lebih-lebih jika mempunyai anak. Janda berhak menahan barang asal suaminya, jika dan sekedar harta selama barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya. Janda berhak mendapat bagian atau menuntuk sebesar bagian anak di dalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi. Anak minta sebagian untuk modal berusaha dan sebagainaya.” 22

Bila seorang suami meninggal, meninggalkan harta warisan anak dan istri, harta warisan pertama harus dikuasakan kepada istrinya (janda) sebagai penerima

      

21

Soerjono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal.20.

22

kuasa untuk pengurusannya. Penerimaan harta dan pengurusan harta seperti tersebut lazimnya hanya kita jumpai dalam hal anak-anak mereka sebagai ahli waris belum dewasa atu dikatakan belum maupun berdiri sendiri menurut hukum. isteri (janda) yang bertindak selaku pengurus dalam mengurus harta warisan dari suaminya tidak sebagai ahli waris.

Harta warisan yang ia teriama wajib ia terima dari pelihara dan kemudian harus menyerahkannya kepada para ahli warisnya bila talah dewasa. Bahkan didalam pasal 2 paswara pusaka dan angkat sentana dinyataka bahwa walaupun padanya tidak ada keturunan atau anaknya masih kecil, semua harta si mati kecuali yang telah dihibahkan, harus dipegang oleh janda itu. Didalam hal masih ada anak kecil, janda itu harus memprtgunakan harta itu sebaqik-baiknya untuk menghidupi atau memelihara anak itu dan tidak boleh dibagi.

Dalam mengurus harta peninggalan itu, ia dibatasi oleh kedudukannya sebagai pengurus harta yang baik. Artinya ia tidak boleh mempergunakan dengan sesuka hatinya. Disamping itu kedudukan pengurusannya itu hanya boleh dilakukan selama ia tidak melanggar kedudukannaya sebagi janda artinya tidak kawin keluar dan akan tetap menjanda. Segala perbuatannya hanya ditujukan untuk kepentingan ahli waris yang belum dewasa.

Bila janda itu kawin lagi dan tidak ada anak, harta warisan itu dapat digugat oleh saudara-saudara pewaris. Dalam hal ini saudara pewaris itu berkedudukan sebagai pengurus harta untuk para ahli waris yang masih kecil. Biasanya dalam pengurusan harta ini, janda itu selalu diawasi oleh saudara-saudara pewaris sehingga

dengan demikian segala perbuata janda dalam mengurus harta anak itu dapat dilakukan sebaik-baiknya. Dan bahkan bila ada khendak untuk menjual untuk keperluan pengabenan atau biaya pemeliharaan rumah tangganya itu, diperkenankan juga asal wajar dan sepengetahuan saudara-saudara almarhum, yaitu pewaris itu.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan itu, maka akan dapat kita simpulkan azas-azas sebagai berikut:

1. Janda menurut hukum adat tidak berhak mewaris dan karena itu ia bukan berstatus ahli waris. Ia hanya berhak turut menikmati atas harta peninggalan suaminya atau atas harta pusaka.

2. Bila janda meninggal kewajibannya artinya kedudukannya sebagai seorang janda dari pewaris dalam keluarga itu, tugas pengurusan harta pewarisan untuk para ahli waris yang masih dibawah umur itu janda ketangan saudara pewaris.

3. Dalam hal ada harta warisan berupa benda tetap, bila untuk pembeliharaan atau lainnya atau dijual, atau dijual gadai, harus ada kesepakatan dari seluruh anggota keluarga.

4. Pembagian warisan hanya dapat dilakukan bila para ahli waris telah dewasa. 5. Pembagian warisan berdasarkan paswara harus dilakukan setelah selesai

pemberesan terhadap hutang piutang paewaris. 23 Termasuk dalam pemberesan hutang piutang itu adalah:

      

23

a. Pembayaran atas segala hutang-hutang yang dinuat pewaris selagi hidup. Hutang ini termasuk pula hutang magis, misalnya janji kaulan dari lain-lainnya disamping hutang-hutang kepada orang seorang.

b. Pembayaran atau penyelesaiaaya pengabenan menurut ajaran agama. Syarat-syarat itu bersifat mutlak artinya bila belum dipenuhi sedangkan pembagian warisan itu telah dilakukan maka wajib para ahli waris secara bersama-sama menangguang hutang-hutang atau biaya-biaya pemberesan pengebenan atau pengerabuannya. Upacara itu berlaku pula bagi janda yang meninggal,misalnya telah berbagi waris. Dalam sistem sosial yang lama bila dilihat dari dimensi waktu pelapisan sosial dalam masyarakat Bali yang memeluk agama Hindu pada hakikatnya berakar pada tradisi kecil (kebudayaan pra Hindu) dan tradisi besar (kebudayaan Hindu).

Pelapisan sosial seperti ini dapat mewujudkan suatu perbedaan kedudukan dan peranan tidak saja secara horizontal juga berbeda secara vertical. 24 Pada

perbedaan vertical inilah yang menekankan pada aspek tinggi rendahnya kedudukan sehingga tercipta adanya peringkat dalam kedudukan dan perasaan, akan mewujudkan gejala stratifikasi sosial atau pelapisan sosial.

Gejala seperti ini ada kecenderungan bahwa orang-orang yang tergolong kedalam lapisan tertentu memiliki pola hidup tertentu yang berbeda dengan lapisan lainnya baik menurut persepsi orang-orang dari dalam lapisan bersangkutan maupun pandangan dari seluruh warga suatu komunitas.

      

24

Untuk lebih memperjelas kedudukan dan peranan wanita dari suatu kasta (kewangsaan) yaitu melalui perkawinan. Bila seorang wanita yang berasal dari kasta atau kewangsaan rendah, misalnya kasta atau tri wangsa misalnya wangsa ksatria, maka wanita tersebut tidak boleh langsung duduk bersanding dengan mempelai laki-laki pada saat diadakannya upacara perkawinan.

Wanita tersebut harus diwakili dengan benda tertentu yang dalam hal ini dipergunakan sebagai wakilnya adalah keris. Dengan demikian jelas tampak bahwa kedudukan dan peranan wanita yang berasal dari keturunan kasta atau wangsa jaba mutlak dianggap rendah berbeda dengan laki-laki (suaminya) yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau tri wangsa tadi.

Sedangkan bila dilihat pada sistem sosial pada masa kini, dimana perkembangan masyarakat dan kebudayaan Bali telah berada pada tingkat tradisi modern. Sebagai akibat dari pelapisan sosial, hal ini berarti bahwa dalam proses pelapisan sosial, ditinjau dari pelapisan sosial berarti bahwa dalam proses pelapisan sosial sering terjadi pergeseran-pergeseran nilai dan patokan serta sebagai akibatnya penyusunan stratanya sendiri.

Demikian pula halnya strata yang terjadi bagi kaum wanita berkasta rendah atau wangsa jaba bila kawin dengan laki-laki yang berasal dari keturunan kasta yang lebih tinggi atau tri wangsa tidak ada lagi diwakilkan dengan benda atau keris pada saat upacara perkawinan. Hal ini dapat terjadi karena adanya pergeseran yaitu makin melemahnya dasar-dasar pelapisan sosial menurut keturunan (ascribed) dan makin

kuatnya dasar-dasar pelapisan sosial menurut prestasi yang dapat dicapai oleh kaum wanita (achieved).

Dalam hal ini wanita sudah selalu tampil dalam staf kepengurusan pemuda dan pemudi atau teruna teruni baik dalam lingkungan banjar maupun dalam lingkungan desa. Demikian pula wanita senantiasa mendapat tempat terhormat sebagai pimpinan pada setiap perkumpulan PKK dan arisan ditingkat banjar maupun desa, sehingga kedudukan dan peranan tidak hanya terbatas sebagai anggota. Pada lembaga-lembaga sosial lainnya wanita selalu menempati kedudukan sesuai dengan pria.

2. Konsepsional

Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analistis.

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operational (operational definition), pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

1. Harta peninggalan adalah harta perkawinan dalam bentuk apapun yang ditinggalkan oleh pewaris untuk seterusnya dikuasai oleh ahli waris, baik kerabat dekat maupun anak-anak pewaris.

2. Pewaris adalah orang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan. 3. Ahli waris adalah orang-orang yangg berdasarkan hukum yg berhak menerima

warisan

4. Kedudukan janda adalah wanita yang kematian suami bukan dalam arti menjadi janda karena perceraian tetapi janda karena kematian suami mendapat warisan dari harta peninggalan suami tersebut.

5. Hukum waris adat adalah peraturan yang mengatur proses meneruskan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.

G. Metode Penelitian