• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM WARIS ADAT BALI

A. Pengertian Harta Warisan

Harta warisan adalah harta benda yang didalam hukum adat dan hukum Hindu dikenal dengan banyak istilah, didalam buku Agama yang dipergunakan sebagai sumber dari pada hukum adat di Bali, harta warisan disebut druwe tatamiyan. 76

Kata druwe adalah bahasa Jawa kuno yang dipakai juga dalam bahasa Bali yang berarti hak milik, sedangkan kata tatamiyan berarti pusaka, warisan, dan peninggalan. Dengan demikian druwe tatamiyan adalah peninggalan hak milik dari orang yang telah meninggal kepada sanak keluarganya yang masuh hidup, atau dengan istilah harta warisan didalam hukum waris.

Harta warisan adalah obyek dalam hukum waris, harta warisan adalah benda yang mempunyai nilai ekonomi, dimana harta warisan dapat dialihkan atau beralih. Seorang pewaris yang berhutang dapat ditagih kepada ahli warisnya.

Di dalam hukum adat waris Bali sebagai refleksi dari pada hukum Hindu, membeda-bedakan harta warisan menjadi tiga golongan :

1. Harta warisan yang dapat dibagi-bagi

2. Harta warisan yang tidak dapat dibagi, misalnya harta, harta druwe.

3. Harta warisan yang hanya dapat dibagi untuk golongan tertentu saja, misalnya

jiwadhana. 77

      

76

Gede Pudja, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat Di Bali Dan Lombok, Junasco, Denpasar, 1990, hal.64.

Harta (dravya, druwe) adalah obyek dalam hukum kebendaan, harta ini merupakan obyek dari pada semua hak, mulai dari hak yang terkuat sampai pada hak yang terlemah, hak yang terkuat adalah hak milik. 78

Ada tujuh cara yang sah dalam memperoleh hak milik, yaitu :

1. Pewarisan, yaitu hak yang diperoleh sebagai akibat dari adanya kematian pewaris dan beralihnya hak pewaris atas harta warisan kepada ahli warisnya. Hak atas harta benda warisan yang ada pada pewaris yang beralih kepada ahli waris itu adalah hak yang lekat pada pewaris, termasuk hak milik atau harta peninggalan itu. Dengan demikian pewarisan merubah atau memindahkan hak itu sepenuhnya dari pewaris kepada ahli waris setelah meninggalnya pewaris. 2. Perjumpaan atau hadiah persahabatan, harta benda yang tak bertuan dapat

memberikan hak kepada penemunya, dimana bila dalam jangka waktu sepuluh tahun itu tidak ada yang menghalanginya secara terputus, maka dapatlah disahkannya status hak itu dengan status yang kuat, misalnya status hak milik dengan acara kad aluwarsan.

3. Pembelian, didalam ilmu hukum disebut dengan jual beli, dimana dalam acara jual beli itu dinyatakan dapat pula terjadi peralihan hak atas harta benda yang diperjual beralih kepada pembelinya yang baru, acara ini yang paling umum yang dapat dijumpai dalam ilmu hukum disamping melalui proses acara pewarisan.

4. Penaklukan, yaitu penguasaan atas benda-benda yang dikuasai oleh orang lai dengan melalui pemaksaan, misalnya dalam perperangan dimana Negara penguasa memaksakan kemauannya untuk menyerahkan benda-benda yang diminta sebagai rampasan.

5. Peminjaman dengan bunga, terjadinya hak atas bunga yang dapat diperolah sebagai hak yang dibenarkan menurut hukum.

6. Melakukan pekerjaan, mengenai hak yang diperoleh karena menjalankan pekerjaan berhak atas upah kerja, upah kerja inilah yang dapat diperoleh sebagai haknya berdasarkan hukum. Sedangkan besar kecilnya upah kerja itu dapat terjadi karena perjanjian dan dapat pula terjadi karena ditentukan secara sepihak.

7. Menerima hadiah dari orang-orang saleh, dimana seorang bertindak sebagai pemberi hadiah dan yang lain menerima hadiah, dimana yang dihadiahkan itu adalah benda atau obyek hak yang mempunyai nilai. Cara penerimaan hadiah lazimnya dibatasi hanya bagi golongan ulama atau brahmana yaitu pemuka dan pemimpin agama. 79

       77 Ibid. 78 Ibid. 79 Ibid.

Selama harta warisan itu belum berbagi, selama itulah para ahli waris tidak berhak atas harta warisan itu, harta itu semuanya masih merupakan harta bersama dan merupakan druwe tengah. Harta itu masih dalam pengurusan satu tangan yang lazimnya diserahkan kepada isteri pewaris atau kecuali disetujui lain oleh para ahli warisnya.

Dari ketujuh cara yang sah untuk memperoleh hak itu, yang penting dan perlu mendapat penyorotan sekarang adalah upaya yang dilakukan dalam kedudukan sebagai ahli waris. Hak yang dapat diperoleh dalam cara pewarisan menurut sistem Hindu tidak bersifat otomatis melainkan memenuhi syarat dengan menempuh upaya hukum yang diperlukan untuk itu.

Selama harta itu belum terbagi, selama itu para ahli waris tidak berhak mutlak atas harta warisan itu. Harta itu semuanya masih merupakan harta bersama atau harta

druwe tengah. Harta seperti itu masih dalam pengurusan sebelah pihak yang lazimnya

diserahkan kepada isteri pewaris atau kecuali disetujui lain oleh para ahli warisnya. Status janda sebagai pengurus (karta) atas harta warisan itu terbatas hak dan wewenangnya pada pengurusan saja bukan untuk menguasainya secara mutlak.

Demikian pula misalnya kalau pengurusan itu dilakukan oleh salah satu dari anak pewaris. Sering menjadi persoalan yang rumit didalam keluarga yaitu para ahli waris (orang yang berhak mewarisi nantinya) tidak memperhatikan sama sekali pewaris (orang yang akan meninggalkan warisan dikemudian hari. 80

      

80

I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post, Denpasar, 2003, hal.136.

Begitu rumit masalah disini terutama diakibatkan oleh pewaris itu sendiri, sesungguhnya tidak rela dikemudian hari harta warisannya diwarisi oleh saudara-saudara atau mungkin anaknya yang sudah tidak memperhatikan dirinya. Bahkan mungkin dikemudian hari ada orang lain yang merawat baik dan memelihara hidupnya.

Contoh Kasus Hibah81

Suatu kasus terjadi di Sanur, seorang brahmana telah menghibahkan seluruh harta warisannya bahkan termasuk pemrajannya kepada seorang panjaknya yang sangat setia merawat hidupnya. Menjelang kematiannya, brahmana tersebut memanggil seorang Notaris dan menceritakan maksudnya yaitu menghibahkan seluruh harta warisannya tersebut.

Hal ini dilegalisir oleh Notaris dalam suatu Akta Hibah dan setelah brahmana itu meninggal, terjadi suatu perkara di pengadilan. Pada pokoknya Pengadilan menetapkan bahwa hibah itu dibenarkan hanya meliputi sebagian harta warisan saja, tidak termasuk pemrajan dan sejumlah tanah untuk pemeliharaan pemrajan itu serta biaya pengabenan. Menjadi permasalah, sesungguhnya yang menjadi batasan dari perbuatan hibah diatas merupakan perbuatan hibah menurut adat Bali.

Menurut Mr. B Ter Haar, menulis dalam bukunya yang berjudul Asas dan

Susunan Hukum Adat, Penghibahan adalah sebagai perbuatan tunai sepanjang

      

81

I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post, Denpasar 2003.

pengertian bahwa dalam pokoknya adalah suatu perkisaran dalam lingkungan para ahli waris, bukan pelepasan tanah keluar lingkungan waris itu. 82

Sedangkan menurut VE Korn, menulis dalam bukunya Hukum Adat Waris

Bali (terjemahan), penghibahan diantara keluarga bangsawan, keluarga dengan ahli

warisnya yang dalam pokoknya diungkapkan bahwa dalam hal itu dilakukan oleh pewaris (hidup) untuk menghindari percekcokan antara waris nantinya dalam berbagai waris. 83

Suatu contoh suatu akte ditemukan di Karangasem yang dibuat oleh I Kotjong yang memiliki 50 bidang sawah, secara singkat dokumen itu menyatakan bahwa I Kotjong mempunyai enam anak laki-laki. Didalam akte hibah itu, dinyatakan masing-masing anak mendapat satu bidang sawah, dan sebidang tegal.

Hanya anak tertua yang menerima dua bidang sawah dan sebidang tegal, anak bungsu menerima tanah kering, dan sisa dari kekayaan itu tidak akan dibagi. Disebut didalam akte, harta itu sebagai harta perkumpulan (sekehe roban) untuk memuja arwah I Kotjang dan ayahnya di Desa Poh dan Kendampal. Pada akte itu tertulis tanggal pembuatan dan tiba-tiba diakhiri dengan kata Kewala Tjai Da Memadat (akan tetapi kamu sekalian tidak boleh menghisap candu).

VE Korn tidak menyebutkan dengan jelas bahwa hibah-hibah yang ada harus dilingkungan keluarga, ia hanya menulis tentang hibah-hibah yang terjadi dilingkungan

      

82

Mr. B. Ter Haar, Asas Dan Susunan Hukum Adat, Pustaka Bali Post, Denpasar, 1990, hal. 101.

83

VE Korn, Hukum Adat Waris Bali (terjemahan), Pustaka Bali Post, Denpasar, 1990, hal. 24.

keluarga termasuk bentuk hibah diatas yang bertujuan untuk menghindarkannya percekcokan diantara para ahli waris, dalam pembagian harta warisan dikemudian hari, karena telah ditetapkan oleh si ayah semasa hidupnya dalam pembagian berbentuk hibah.

Sedangkan menurut Gde Pudja, yang juga membahas soal hibah dalam bukunya yang berjudul Hukum Kewarisan Hindu diresepir ke dalam Hukum Adat di

Bali dan Lombok, istilah hibah di dalam bahasa sanskerta adalah dhana, berarti harta

atau kebendaan, harta yang diperoleh melalui pemberian berdasarkan hukum agama. 84 Dalam bukunya itu, ia hanya mengemukakan bahwa hibah itu adalah penyerahan hak seseorang atas harta benda yang dimiliki sebagai haknya kepada orang lain yang menerima hak itu atas harta benda yang akan dihadiahkan tanpa mempertimbangkan nilainya.

Didalam penghibaan ini terdapat pula tiga unsur, yaitu : 1. pemberi hibah atau yang menyerahkan hak itu.

2. penerima hibah atau yang akan menerima penyerahan atas benda yang diserahkan.

3. sesuatu benda atau hak yang akan dilimpahkan.

Mengenai masalah pemberi atau pembuat hibah itu sendiri, menurut hukum Hindu harus pula memenuhi syarat yang dapat membuat hibah adalah ayah karena didalam hukum Hindu isteri dan anak dianggap tidak berkuasa atas harta benda dalam

      

84

Gede Pudja, Hukum Kewarisan Hindu diresepir ke dalam Hukum Adat di Bali dan Lombok, Junasco, Denpasar, 1990, hal.102.

keluarga tanpa didampingi oleh ayah sebagai kepala rumah tangga. Jadi untuk dapat sahnya suatu hibah atau pemberian,pemberiannya itu sendiri harus orang yang baik.

Penghibahan meliputi dua kemungkinan, yaitu penghibahan bersyarat dan penghibahan tanpa syarat. Dalam hal penghibahan bersyarat pemberian itu sendiri dapat digugat atau dituntut kembali kalau tidak sesuai. Oleh karena dalam hal penghibahan bersyarat pemberian dapat dituntut kembali karena itu penghibahannya dan penggunaannya harus jelas atau terang.

Biasanya di dalam hukum adat penghibahan bersyarat hanya dinyatakan secara lisan sehingga bila telah lewat masa bertahun-tahun maksud dan tujuan penghibahan itu sering berubah. Untuk mengadakan penuntutan timbul kesukaran-kesukaran dalam praktik hukumnya karena umumnya sukar pembentuktiannya.

Sementara didalam hukum barat (BW), seseorang pewaris boleh saja memberikan harta bendanya kepada siapapun dengan jalan wasiat asal tidak sampai merugikan hak mutlak (legitime Portie) dari ahli waris. Pemberian itu (wasiat) dapat dilihat dalam perbedaan isinya. Ada wasiat yang berisi hibah, disebut hibah. Wasiat itu menerima barang-barang atau harta tertentu dengan sedemikian rupa tanpa harus menjadi atau ditunjuk sebagai ahli waris.

Sedang wasiat yang lain yaitu wasiat yang berisi pengangkatan ahli waris (erfstelling) dimana si penerima wasiat ditunjuk sebagai ahli waris dengan menerima sebagai ahli waris dengan menerima sebagian atau keseluruhan harta warisan. Konsekuensi dari wasiat terakhir ini adalah si penerima wasiat mempunyai

kewajiban-kewajiban yang sama dengan seorang ahli waris, sedang wasiat yang pertama diatas tidak demikian.

Dengan demikian pembagian diatas, jelas diketahui orang-orang Bali tidak tunduk kepada BW dalam buku warisannya, sehingga pada prinsipnya wasiat dengan segala macamnya yang bias dilakukan lewat Notaris tidak termasuk lingkungan pengaturan hukum yang mengatur kehidupan kewarisan orang Bali. Pada pokoknya hukum adat Bali tidak mengenal hibah wasiat, apalagi wasiat dengan penunjukkan ahli waris yang untuk terakhir ini agak sulit didekatkan dengan aspek-aspek kehidupan adat.

Pada hakikatnya penunjukan ahli waris dalam wasiat, akan berakibat keadaan itu akan muncul demikian mendadak atau seketika setelah pewaris meninggal dunia. Hal ini memungkinkan akan bias berbuntut kegelisahan, kehebohan-kehebohan. Sebab untuk dapatnya seseorang diangkat menjadi ahli waris (pengangkatan anak-anak dan lainnya), diperlukan syarat-syarat yang terang dan memenuhi cara-cara tertentu. Di Bali diperlukan persetujuan keluarga terdekat, dan harus ada upacara dan lain-lain.

Mengenai hibah wasiat yang menampakkan diri sebagai lembaga hukum barat yang kiranya akan dekat kemungkinan dapat dilakukan oleh masyarakat adat, menampakkan diri sudah menyerap pelan-pelan kedalam tubuh hukum adat. Seperti contoh kasus brahmana diatas, dengan mengundang seorang Notaris datang kerumahnya dan menunjuk harta-harta tertentu bahkan sampai ke pemrajannya untuk orang lain (panjaknya). Disini penunjukkan dan menampakkan diri sebagai hibah

wasiat, sebab tidak berakibat yang ditunjuk sebagai ahli waris yang harus mengaben, menyembah arwah dan lain-lain.

Di dalam praktek Pengadilan (Putusan Pengadilan Negeri Denpasar) hal diatas diterima, walaupun dengan pembatasan-pembatasan tertentu yaitu pemrajan, sawah-sawah, tertentu tidak boleh diwasiatkan. Didalam hal ini, khususnya karena hibah wasiat itu dapat dilakukan oleh siapapun tanpa harus dilingkungan keluarga terdekat dan tanpa perlu persetujuan keluarga lain.

Jika hal ini memang merupakan lembaga hukum barat yang perlu dan bias diterapkan untuk kebutuhan khususnya masyarakat adat Bali maka perlu diperhatikan beberapa hal khusus. Harta yang dihibah wasiatkan hanyalah boleh harta guna karya (harta pencaharian) dan tidak boleh harta pusaka, dan jika hibah wasiat itu terjadi dilingkungan keluarga, maka persoalannya tidak begitu sulit sebab masalah

pengabenan nantinya kepada jenazah almarhum dapat saja dicantumkan sebagai

suatu syarat didalam hibah wasiat itu, atau paling tidak harta-harta yang ditinggalkan oleh almarhum dapat saja sudah dihibahkan sekaligus, serta yang melaksanakan adalah ahli waris secara bersama dan juga sipenerima hibah.

Akan tetapi jika penerima hibah itu adalah orang luar sama sekali (brahmana member hibah kepada orang jaba)