• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERGESERAN KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM WARIS ADAT BALI

E. Pergeseran Kedudukan Janda Dalam Hukum Waris Adat Bali

Kitab Manusmriti V, 147, 148, pasal ini menentukan bagai mana satatus wanita pada umumnyan dalam sistam kekeluargaan hindu. Menurut pasal V. 147, dinyatakan bahwa pada azasnaya seorang anak perempuan, seorang wanita dewasa maupun yang telah tua sekalipun, mereka tidak bebas berbuat walaupun di rumahnya sendirin. 59

Pengertian tidak bebas berbuat yang dimaksudkan adalah terbatas untuk perbuatan-perbuatan besar seperti menjual harta pesaka atau harta benda yang dapat di anggap milik keluarga semua tidak dalam hal melakukan perbuatan sehari-hari guna melakukan pemeliharaan harta pusaka (keluarga).

Adapun lengkapnya pasal ini terjemahan adalah sebagai berikut “walaupun di rumahnya sendiri sekalipun tidak ada yang harus dilakukan dengan bebas oleh anak perempuan, wanita (dewasa) ataupun wanita yang telah tua sekalipun”. 60

Dalam melakukan tugas yang terikat seperti itu, segala tindakannya selalu mendapatkan pengawasan dari seluruh anggota keluarga. Ini tidak berarti bahwa setiap pekerjaan itu ia harun lakukan dengan minta ijin terlebih dahulu. Yang penting dalam kedudukan seperti itu, dijelaskan didalam pasal beriktnya, V. 148 sebagai berikut “Selagi kanak-kanak, anak perempuan itu menjadi penguasaan ayahnya, bila

      

59

Gede, I Pudja, Hukum Kewarisan Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat Di Bali dan Lombok, CV. Junasco, Jakarta 1990, hal. 155. 

60

dewasa (kawin) oleh suaminya, bila suami meninggal oleh anak-anaknya, wanita tidak pernah lepas dari ketergantungan itu”. 61

Pasal ini hanya menunjukan bagai mana ketertarikan seorang anak perempuan atau wanita dalam sitem hukum hindu. Oleh karena itu lebih jauh ditekankan dalam pasal berikutnya, V. 149, sebagi berikut “Ia hendaknya tidak memisahkan dirinya dari ayahnya, suaminya atau dari anaknya, kerena dengan meninggalkan itu berrti ia membuat dirinya dan keluarganya dipersalahkan”. 62

Dari pasal terakhir ini kata persalahkan maksudnya dicela atau tidak dihormati. Umumnya seorang anak perempuan yang ingin bebes dari keterikatan itu dianggap hina, dan karena itu bagi seorang janda yang meninggalkan rumah suaminya artinya berpisah dari anak-anaknya, dianggap meninggalkan kewajibannya. Didalam hukum adat disebut meninggalkan dharmanya seorang wanita sehingka kepedanya tidak dapat diberikan hak menikmati harta pusaka. Dengan kata lain hak untuk memperoleh pemeliharaan tidak ada.

Untuk menjamin kedudukan dan perlindungan hukum bagi seoarang anak perempuan seperti itu, karena itu Manawadharmasastra di dalam perumusan lebih jauh kita jumpai didalam pasal IX 2 – 5 sebagai berikut:

IX 2: Siang dan malam wanita harus dipelihara, tergantung kepda laki-laki dalam keluarga mereka, dan kalau itu terlalu terikat oleh nafsu-nafsu indrianya, hendaknya selalu dibawah pengawasan seseorang.

IX. 3: Ayahnya akan melindunginya selagi ia masih kanak-kanak dan bila ia telah dewasa oleh suaminya yang melindunginya sedangkan bila telah tua, putra-putranyalah yang melindunginya, wanita tidak penah layak untuk bebas.

      

61

Ibid, hal.156 

62

IX. 4: Salahlah ayahnya karena tidak mengawinkan putrinya pada waktunya, suaminya dapat dipersalahkan karena tidak menggauli istrinya padawaktunya dan anaknaya dapat dipersalahkan karena tidak melindungi ibunya setelah suaminya meninggal. 63

Dari ketiga pasal itu menunjukan bagaimana seorang wanita itu sangat terikat kepada keluarga purusa dimana ia tinggal, oleh karena itu bagi keluarga purusa adalah untuk memberikan perlindungan dengan cara memberikan biaya hidup yang diperlukan oleh mereka. Dengan kata lain hak seorang istri atu seorang anak atau seorang janda dalam sistam kekeluargaan hindu adalah menuntut diberikannya biaya pemeliharaan yang layak didalam menemouh jalan hudupnya didalam keluarga

purusa itu. Hak ini juga meliputi hak untuk tinggal dirumah suaminya sampai akhir

hayatnya, termaksuk didalam hak memperoleh pemeliharaan ini adalah hak untuk menikmati hasil yang timbul dari penggunaan harta pusaka itu.

Didalam hukum adat bahkan ditekankan bila suaminya telah meninggal sedangkan padanya masih ada ahli waris yang masih kecil atau dewasa, pertama-tama seluruh harta diterima oleh janda pewaris yang akan mengelolah atas nama seluruh keluarga almarhum dan untuk kepentingan keluarga dan ahli warisnya. Hanya saja ditekankan bahwa didalam pengelolaan itu ia tidak bebas artinya selalu diawasi oleh keluarga almarhum yang terdekat.

Tujuannya adalah untuk melindungi hak para ahli waris yang masih kecil janda sampai ditelantarkan sebagai tindakan akibat tindakan yang salah dari janda itu didalam pengurusan harta peningalan itu. Jadi pemeliharaan seperti ini merupakan

      

63

kewajiban hukum yang harus dilakukan baik oleh suami terhadap istrinyta, ayah terhadap anak perempuan dan anak terhadap ibunya.

Dalam mencoba merekonstruksi kemungkinan-kemungkinan penuntutan yang dapat dilakukan oleh seseorang janda terhadap para ahli waris dalam hal telah terjadi berbagai waris, penuntutan semacam itu dapat saja terjadi bila dalam pembagian warisan itu janda itu tidak diperolehnya. Oleh karena itu bila hal serupa itu akan terjadi dalam keluarga itu, janda itu dapat menuntut pada semua ahli waris agar supaya ia diberikan biaya pemeliharaan, tanpa melihat siapa yang akan memberikannya diantara ahli waris itu.

Kalau kita perhatikan berbagai pasal maka umumnya dapat disimpulkan bahwa anak tertua (sulung) bertanggung jawab terhadap pemeliharaan saudara termasuk ibunya. Oleh karena hal ini dapat menimbulkan kesukaran-kesukaran, dapat dibayangkan kalau dalam hal pembagian warisan menurut hukum hindu akan lebih terbuka sifatnya kalau kedua orang tuanya telah meninggal.

Dari berbagai uaraian diatas, dapat disimpulkan azas-azas yang terkandung dalam ajaran wajib pemeliharaan terhadap wanita (janda) menurut hukum hindu sebagai berikut:

1. Kalau dalam keluarga itu terdapat seorang janda dan para ahli waris lainnya yang mempunyai kedudukan pertama (anak laki, dan cucu anak laki yang ayahnaya telah meninggal, dan lain-lain),janda berhak menuntut dari ahli waris, yang hidup biaya pemeliharaan sebagai bagian yang dapat diserahkan dari harta npeninggalan suaminya, atau harta pusaka yang belum berbagi yang ada pada suaminya.

2. Kewajiban untuk memberi biaya pemeiharaan bagi para janda bila suaminya meninggal dapat pula dibebankan atas harta pusaka suaminya meninggal dapat pula dibebankan atas harta pusaka keluarga suaminya selama janda itu tidak berbuat melanggar dharmanya dan tetap tinggal dirumah suaminya. 3. Hak bagi seorang wanita atau janda dalam menuntut biaya pemeliharaan itu

4. Harta pemeliharaan akan diambil dari harta peninggalan selama belum dibagi oleh para ahli warisnya, tetapi bila telah berbagi semua anak (ahli waris) wajib member sumbangan biaya menurut kemampuan masing-masing.

5. Anak tiri dari seorang janda tidak wajib memberi biya pemeliharaan pada janda (ibu angkat) itu.

6. Dalam hal harta pusaka dipegang oleh salah satu ahli waris, pemegang harta pusaka itu berhak dan dapat menggunakan harta peninggalan itu untuk membiayai pemeliharaan janda pewaris.

7. Dalah hal janda bersama anak-anaknya hidup dalam rumah suaminya atau tetap dalam keluarga suaminya, janda dapat menuntut biaya pemeliharaan atas harta pusaka yang dipegang oleh saudara suaminya yang belum dibagi selagi suaminya masih hidup. Hal ini dapat kita jumpai misalnya dalam hal anak-anaknaya masih kecil (belum dewasa) sehingga untuk menutupi biaya hidupnya guna menghidupi dirinya sendiri beserta anak-anaknya itu ia harus menggantungakan diri harta pusaka yang belum dibagi itu. (kasus warisan puri karang bayan Lombok barat).

8. Hal menuntut biaya pemeliharaan tidak dapat dipenuhi atau ditolak oleh pemegamg harta peninggalan itu hanya karena sebab-sebab yang sah karena melanggar hukum, misalnya berzina, melacurkan diri, meninggalkan rumah suami dan hidup pada rumah yang bukan keluarganya sendiri dan bukan pula keluarganya suaminya. 64

Kedelapan macam azas-azas yang telah disebutkan diatas mengambarkan sifat kedudukan dari janda dan hubungannya dengan keluarga pewaris dalam kedudukanya untuk memperoleh hak menuntut diberikannya biasanya pemeliharaan bagi hidupnya maupun untuk anaknya yang masih kecil. Hanya saja untuk mudahnya, didalam hukum adat ditegaskan bahwa bila suami meninggal seluruh harta pertama-tama diserahkan pengurusnya kepada janda itu.

Selanjutnya masalah pertimbangan lain yang perlu kita tinjau dalam kaitannya dengan masalah biaya pemeliharaan itu, yang tersukar adalah masalah penetapan besarnya biaya pemeliharaan itu. Hal ini karena disebabkan tidak adanya patokan tentang cara penentuan besarnya pemberian itu. Umumnya dilihat dari nilai seluruh

      

64

harta, penghasilan dari pengguna harta pusaka itu, besarnya stridhana yang dimiliki oleh janda itu, dan lain-lainnya yang relative perlu dipertimbangkan.

Masalah lain dari pada biaya pemeliharaan ini ialah biaya pemeliharaan bagi istri yang ditinggalkan pergi oleh suaminya. Walaupun secara difinitif masalah ini tidak diatur dengan tegas, namun pada dasarnya hukum hindu menentukan supaya suami yang melakukan tugas luar, sehingga ia harus berpisah dari istrinya untuk jangka waktu yang lama, wajib bagi seorang suami untuk menyedikan biaya pemeliharaannya.

Mengenai masalah hukumnya tidak sama dengan masalah kedudukan sebagai seorang janda. Ketentuan ini terutama dinyatakan karena oleh kedudukan seorang istri ia tidak mempunyai sumber perolehan untuk membiayai hidupnya sehingga untuk itu ia harus dibiayai oleh suaminya. Hanya saja dijelaskan lebih jauh bila karena suatu hal ia tidak diberi biaya hidup, ia boleh melakukan pekerjaan yang halal dan yang sesuai menurut pekerjaan wanita. Ini dimaksudkan supaya dalam kepergian suaminya itu kesuciannya tetap terjaga.

Oleh karena itu bila seseorang istri telah disantuni secara layak tetapi, dalam kenyataan ia masih juga mengusahakan diri untuk mencari pekerjaan tanpa pengetahuan suami atau persetujuan keluarga lainya, dapat dianggap sebagai penyelewengan yang bias berbuntut panjang. Masih pada rangka peninjauan kita mengenai masalah pemeliharaan ialah masalah pemeliharaan yang dapat dituntut oleh seorang istri kepada suaminya apabila suaminya memadukannya tanpa persetujuan istrinya pertama. Bisanya perkawinan yang tidak disetujui oleh istri pertama untuk

perkawinan kedua dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan dalam keluarga itu sendiri karena karena dengan perkawinannya yang kedua berarti kedudukan istri beserta hak-haknya digantikannya oleh istrinya yang kedua.

Oleh karena penggantian kedudukan itu dapat mempengaruhi perolehannya atas harta benda keluarga itu, istri dapat menuntut penjataan besarnya biaya pemeliharan untuk dirinya sendiri. Dengan demikian perkawinan yang kedua atau ketiga mempunyai akibat pula timbulnya tuntutan-tuntutan oleh seorang yang merasa dirugikan untuk mendapatkan biaya-biaya pemeliharaan yang diperlukan oleh mereka.

Dari berbagai uraian diatas, telah tampak kepada kita bahwa masalah pemeliharaan telah mendapat perhatian yang khusus dalam hukm hindu itu. Untuk membatasi masalah timbulnya ini, dinyatakan bahwa masalah pemeliharaan itu telah merupakan hak yang tidak terpisahkan dari seorang wanita terhadap keluarga itu, pada saat itulah seorang janda atau seorang wanita mulai dapat menuntut haknya agar supaya keburuhannya itu dipenuhi. Berapa lama biaya pemeliharaan itu dapat dituntut tidak dinyatakan didalam kitab manunsmriti itu. Hanya saja dalam salah satu kasus yang dapat kita jumpai diluar negeri, seperti di india yang memperlakukan hukum Hindu itu hanya terbatas untuk selama 12 tahun saja.

Pembahasan kedudukan perempuan dalam sistem hukum waris adat merujuk kepada putusan pengadilan, tidak mengenal lagi pembedaan nilai hukum waris berdasarkan kedudukan sosial. Terhadap semua lapisan masyarakat, mulai dari petani sampai kepada bangsawan, baik perempuan atu laki-laki di terapkan hukum waris

yang sama. Hal ini dapat di lihat pada Keputusan Mahkamah Agung No 302/Sip/1960 tanggal 2 November 1960, di mana di sebutkan bahwa “hukum adat di seluruh Indonesia memberi hak dan kedudukan kepada janda mewarisi harta asal suami.” 65

Dengan demikian hukum waris adat baru telah mengaburkan bentuk-bentuk

stelsel kekeluargaan patrilineal dan matrilineal. Yang paling kuat mendapat

goncangan dan pegeseran adalah sistem patrilineal. Selama ini stelsel tersebut hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris. Hal ini kemudian dibalikkan oleh hukum waris adat baru yang memberi porsi yang hak dan kedudukan yang sama kepada kepada anak perempuan dan janda sebagai ahli waris dengan jumlah sama.

Paham dan pandangan yang menempatkan anak perempuan sebagai ahli waris penuh harta orang tuanya, ditegaskan dalam Keputusan Mahkamah Agung No 179/K/Sip/1961 yang menyatakan : ”atas dasar rasa kemanusiaan dan keadilan umum dan juga atas hakekat persamaan hak, maka laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama terhadap warisan orang tuanya.”66

Keputusan Mahkamah Agung No 179/K/Sip/1961 ini merobek kemapanan stelsel patrilineal ke arah stelsel parental yang berwawasan harmonisasi secara horizontal.

Ketentuan harmonisasi yang di atur ini kemudian membawa akibat : a. Telah menjadi standard hukum yang berbobot

      

65

Keputusan Mahkamah Agung No 302/Sip/1960. 

66

b. Semua putusan pengadilan yang muncul kemudian telah menjadikan putusan tersebut sebagai rujukan secara nasional

c. Dengan demikian para hakim telah sepakat menegakkan asas terhadapnya dan terikat untuk mengikutinya.

Di dalam lalu lintas hukum, status janda banyak jadi persoalan. Sarjana hukum adat terkemuka Mr. Ter Haar mengatakan “Janda adalah orang luar dan bukan ahli waris”. Hakim-hakim dagang tempo dulu juga memberikan kedudukan sebagai orang bukan ahli waris pada janda. 67

Di masyarakat kedudukan janda menjadi sering menyedihkan. Anak angkat mengusir begitu saja janda ayah angkatnya. Anak tiri yang tidak menyukai janda tidak kalah berbuat demikian. Bahkan anak sendiri pun tidak mustahil berbuat seperti itu sehingga janda-janda sering menjadi orang yang akhirnya harus hidup terlantar. Tampaknya hanya karena nasib kematian suami, janda harus menerima kesengsaraan sedemikian berat, padahal semasih suaminya hidup si janda adalah memegang andil kekayaan. Adilkah si janda di usir begitu saja, dan harta di ambil dengan serakahnya oleh ahli yang lain. Bertolak dari pertimbangan-pertimbangan di atas akhirnya banyak sarjana yang menyoroti cara berfikir dari sarjana-sarjana pada zaman Belanda.

Melalui Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, paragraf 402 huruf c sub 4, buku I jilid III dinyatakan bahwa semua warisan adalah untuk anak-anak dan janda, artinya seorang anak baik perempuan maupun laki-laki bersama-sama dengan janda

      

67

adalah ahli waris bagi almarhum suaminya. Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 menghendaki agar Hukum Keluarga dan Waris ke arah Hukum Adat Parental. 68

Disamping Ketetapan MPRS tersebut diatas, Undang-undang Pokok Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 31, telah mengatur keseimbangan hak dan kedudukan antara istri dan suami dalam masyarakat. Sama halnya dengan Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 302/K/Sip/1960 tanggal 8 November 1960 yang menyatakan bahwa Hukum Adat Diseluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda sebagai ahli waris, sehingga berdasarkan pada yurisprudensi tersebut dapatlah ditetapkan suatu kaidah bahwa menurut Hukum Adat di seluruh Indonesia untuk berbagai suku dan daerah hukum, bahwa janda adalah merupakan ahli waris. 69

Kemudian sikap Mahkamah Agung RI tersebut diambil alih lagi oleh MPRS RI dalam bentuk ketetapan MPRS tertanggal 03 Desember 1960 No. III Lampiran A Bab Bidang Pemerintahan dan Keamanan/Pertahanan No.38 huruf C sub 4. Disamping itu revolusi besar di bidang kedudukan janda ini diuji lagi oleh sarjana-sarjana hukum Indonesia dengan diskusi-diskusi berturut-turut tanggal 16 Maret 1963, kemudian oleh PLPHN didiskusikan lagi tanggal 21-22 Januari 1974 dengan mengambil kesimpulan janda adalah ahli waris. Untuk revolusi besar itu diakui para ahli hukum akan memakan waktu serta akan selalu teruji oleh rasa keadilan masyarakat hukum adat lokal. Namun, pada prinsipnya Mahkamah Agung RI akan menjatuhkan putusan janda adalah ahli waris, jika saja perkara-perkara mempersoalkan kedudukan saja sampai pada tingkat kasasi.

      

68

http//:www.blog.unsri.ac.id/tinjauan-hukum-tentang-hak-waris-anak-perempuan-di-bali, tanggal 09

February 2010, pukul 10.00 wib. 69

Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 302/K/Sip/1960 tanggal 8 November 1960

Tentu apa yang digariskan oleh Mahkamah Agung itu tidak akan dapat dilaksanakan sedemikian rupa cepatnya dimasyarakat adat di seluruh Indonesia. Akan halnya di Bali pun perlu diteliti, tentang apa yang paling adil diberikan kepada janda, sebagai ahli waris atau sebagai bukan ahli waris. Apa yang digariskan oleh Mahkamah Agung RI, rupanya di Bali tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen. Hal ini mengigat struktur masyarakat hukum adat di Bali yang meletakkan kewajiban utama pada keluarga garis laki-laki, sedangkan si janda tidak mempunyai beban seberat beban ahli waris laki-laki.

Apabila seseorang meninggal, meninggalkan harta warisan dan tidak meninggalkan sentana atau keturunan maka harta peninggalannya diwarisi oleh keluarga keperusannya. 70 Di samping itu harta peninggalan dari pewaris tidaklah

dapat dipisahkan dari harta immaterial milik keluarga berupa pura/pemerajaan, di samping sebagian lainnya untuk kepentingan bagi almarhum sendiri berupa

pengabenan.

Sehingga dengan demikian harta yang ditinggalkan oleh almarhum akan sangat berbahaya jika nantinya jatuh kepada janda yang kalau sudah berstatus ahli waris dan status janda yang sedemikian akan tidak menguntungkan bagi kelanjutan keutuhan keluarga besar yang memiliki harta kekayaan bersama berupa benda-benda

immaterial.

Sedangkan perempuan yang berkedudukan sebagai janda dalam suasana adat Bali, janda sesungguhnya bukanlah orang yang harus ditelantarkan, dan bukan pula

      

70

orang yang bisa diusir seenaknya, tetapi sebagai janda yang menjalankan dharmanya sebagai janda akan selalu bertekun terhadap kewajibannya, memelihara anaknya dengan baik, mengurusi kekayaan suami dengan baik, mengurusi pura keluarga dengan sepenuh hati, serta tidak menghamburkan kekayaan almarhum.

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.385/PDT/1997 berbunyi “seorang janda menurut hukum adat di Bali berhak menikmati hasil harta peninggalan suaminya (tidak menyalahi dharmanya sebagai janda)” 71 Di samping itu dapat disebut pula Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 31 Maret 1999 No.13/PDT/1999/PDT yang berbunyi sama dengan hal diatas serta tidak kurang dari 9 putusan yang sama dijatuhkan pula pada tahun-tahun berikutnya.72

Astiti mengemukakan janda atau anak perempuan mempunyai hak waris, menyatakan janda atau anak perempuan tidak pantas diberi hak waris, dan menganggap bahwa janda atau anak perempuan pantas mempunyai hak waris. 73 Di samping itu muncul perbedaan pandangan tentang perlu tidaknya mengadakan perubahan terhadap hak waris janda atau anak perempuan.

Terdapat perubahan rasa keadilan terhadap perempun yang tampaknya telah menyentuh hati nurani sebagian kecil penegak hukum (hakim) dalam memberikan pertimbangan hukum pada saat memutus suatu perkara konkrik. Seperti tampak dalam putusan di bawah ini :

      

71

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 385/PDT/!997, tanggal 2 Mei 1997. 72

Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 13/PDT/1999, tanggal 31 Maret 1999. 73

Astiti, Hak-hak Wanita Bali Dalam Hukum Adat Waris, Alumni Bandung, Bandung, 2000, hal. 18.

1. Pertimbangan hukum pengadilan tinggi denpasar dalam putusannya no. 87/pdt/1990/PT.Dps tertanggal 31 0ktober 1990 yang rumusnya sebagi berikut.

“Dalam hal seseorang dalam perkawinannya hanya menurunkan anak perempuan walaupun anak-anak perempuan tersebut semuanya kawin keluar, harta kekeyaan yang didapat selama perkawinannya, patut diterimakan kepada anak-anak perempuan tersebut yang ada hubungan darah langsung dengannya, karena harta yang dicari ibu-bapaknya adalah untuk anak-anaknya. Tidak adil bila harta diterima oleh orang lain yang sama sekali tidak ada hubungan darah langsung dengannya”. 74

2. Pertimbangan hukum pengadilan Negeri Gianyar dalam putusan no. 14/pdt/G/2000/PN.Gir. tertanggal 31 Agustus 2000, yang rumusnya lebih sebagai berikut “Seorang janda yang tetap tinggal di rumah almarhum suaminya dan tidak kawin lagi, berhak untuk menikmati dan melakukan perbuatan hukum apapun untuk keperluan hidupnya sendiri maupun untuk keperluan almarhum suaminya, bermaksud untuk menjual tanah”. 75

Kedua keputusan diatas mempunyai arti penting bagi perkembangan hak-hak janda dan anak perempuan dalam mewaris. Kondisi seperti diatas dapat terjadi pula dalam bidang hukum perkawinan, karena hukum perkawinan pun selama ini mengalami perkembangan dimana semua dikenal adanya ketentuan-ketentuan

      

74

Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 87/pdt/1990/PT.Dps, tanggal 31 Oktober 1990. 

75

81

perkawinan menurut hukum adat, hukum islam, hukum barat, kemudian terdapat unifikasi hukum mulalui undang-undang perkawinan (UU.No. 1 tahun 1974), yaitu juga masih mengakui keanekaan ragam hukum yang barlaku sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.

Jadi kesimpulannya “janda sebagai ahli waris” di Bali tidaklah lain dari janda yang berhak menikmati dan mendapat penghidupan dari harta peninggalan almarhum suami dengan batas-batas janda tersebut tidak menghambur-hamburkan kekayaan almarhum, tidak kawin tanpa izin, tidak lupa melakukan upacara-pakara yang sejak dulu dipikul bersama almarhum suaminya. Sementara janda yang beritikad tidak baik ingin menjual seluruh harta kekayaan almarhum suaminya, seperti untuk modal menikah lagi adalah tidak mungkin bisa dilakukan, janda yang melaksanakan

dharmanya sebagai janda adalah yang benar-benar berbakti untuk anak, keluarga dan

BAB III