• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori

Dalam dokumen Tesis MIH Ananda Megha Wiedhar Saputri (Halaman 27-73)

LANDASAN TEORI

A. Kerangka Teori

1. Doktrin Business Judgement Rule

Doktrin Business Judgement Rule bukan merupakan doktrin baru dalam hukum bisnis. Doktrin tersebut merupakan salah satu doktrin yang melindungi direksi, antara lain seperti doktrin Fiduciary Duty, doktrin Due Care and Loyalty, doktrin Derivative Suit, doktrin Piercing The Corporate Veil, doktrin Ultra Vires, doktrin Proper Purpose, dan doktrin Business Judgment Rule. Doktrin ini lahir sebagai akibat adanya doktrin Fiduciary Duty, yaitu prinsip duty of skill and care. Standar dari pelaksanaan duty of skill and care adalah bahwa direksi harus melaksanakan tugasnya untuk mengelola perseroan dengan itikad baik dan hati-hati sebagaimana orang biasa (prudent man) melaksanakan pengelolaan terhadap kekayaannya,30 sehingga dapat pula digambarkan kalau doktrin Business Judgement Rule merupakan buah dari pohon yang bernama Fiduciary Duty.31

Apabila direksi pada saat mengambil keputusan, telah melakukannya dengan pertimbangan yang matang, penuh tanggung jawab, maka mengingat suasana bisnis yang penuh ketidakpastian, seandainya ternyata keputusan tersebut salah, seharusnya direksi tidak dituntut secara pribadi, karena perseroan juga harus ikut menanggung kerugian tersebut, ini adalah konsep dasar business judgment rule.32 Business judgement rule sebenarnya mengenai pembagian tanggung

30 James D. Cox, Thomas Lee Hazen, dan Hodge O’neal dalam Hendra Setiawan Boen,

Bianglala Business Judgment Rule, ctk. Pertama, Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm. 187.

31Ibid., 100-102.

32.Ibid., 100.

jawab di antara perseroan dan organ yang mengurusnya, terutama direksi, dan pemegang saham manakala terjadi kerugian yang menimpa perseroan yang disebabkan oleh human error. Business judgment rule timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya fiduciary duty oleh seorang direksi, yaitu prinsip duty. Doktrin Business Judgement Rule bukanlah doktrin baru dalam hukum bisnis. Doktrin ini berasal dari negara common law.33 Negara tersebut, antara lain Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan sebagainya.34 Sebagaimana ditegaskan oleh Ralph A. Peeples35:

“Although arguably codified by the Model Business

Corporation Act, the business judgment rule is derived from the

common law…, Justice Brandeis recognized and described the

rule in 1917… In its narrowest form, the business judgment

rule determines judicial conduct… Application of the rule

requires judicial deference to corporate decisions and thus

non-interference by the court..”

(Terjemahan : Meskipun bisa dibilang dikodifikasikan oleh Undang-Undang Model Business Corporation , aturan keputusan bisnis berasal dari common law ... , Hakim Brandeis diakui dan dijelaskan aturan pada tahun 1917 ... Dalam bentuk yang sempit , aturan keputusan bisnis menentukan perilaku hakim ... Penerapan aturan membutuhkan menghormati peradilan untuk keputusan perusahaan dan dengan demikian non - campur tangan pengadilan .. ")

Ditambahkan Bayless Manning36 ketika mengatakan:

“While not part of the statutory framework, this legal concept is well established in the care law of most jurisdictions…”

33 Elizabeth S. Miller dan Thomas E. Rutledge. “The Duty of Finest Loyalty and Reasonable Decisions: The Business Judgment Rule in Unincorporated Business Organizations?”

dalam Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, ctk. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm. 225.

34 Freddy Harris dan Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas: Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi, ctk. Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 58.

35 Ralph A. Peeples. “The Use and Misuse of The Business Judgment Rule in the Close Corporation” dalam Hendra Setiawan Boen, Op. Cit., hlm. 46.

36 Bayless Manning dalam Hendra Setiawan Boen, Ibid., hlm. 46. commit to user

David P. Twomey37 berpendapat bahwa:

“Accordingly, courts will not sit in judgment on the wisdom of

decisions made by directors. If the directors have acted in good faith on the basic of adequate information, court will not enjoin the course of action taken by the directors. Moreover, even though such action causes loss to the corporation, the directors will not be held personally liable for it. This principle is called

the business judgment rule.”

Menurut Roger LeRoy dan Gaylod A.Jentz, mendefinisikan sebagai

“A rule that immunizes corporate management from liability

for action that result in corporate losses or damages if the action are undertaken in good faith and are within both the power of the corporation and the authority of management to

make.”

(Terjemahan : Aturan yang kebal manajemen perusahaan dari tanggung jawab atas tindakan yang mengakibatkan kerugian perusahaan atau kerusakan jika aksi yang dilakukan dengan itikad baik dan dalam kedua kekuatan korporasi dan kewenangan manajemen untuk membuat).

Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa business judgement rule melindungi direksi atas keputusan bisnis yang merupakan transaksi korporasi, selama hal tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik. Prinsip ini mengatakan adalah bahwa bilamana direksi telah mengambil keputusan setelah sebelumnya didahului dengan pertimbangan bisnis yang cermat dan saksama, dia akan mendapatkan kekebalan dan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pribadinya meskipun keputusan yang diambilnya ternyata tidak menguntungkan perseroan. Doktrin ini melindungi direksi dengan memungkinkan mereka berbuat kesalahan, sepanjang proses pengambilan keputusan dilakukan secara cermat dan teliti, dengan wajar dan patut, serta dapat dibuktikan. Pemegang saham tidak mungkin bisa berharap bahwa

37 David P. Twomey dalam Hasbullah F. Sjawie, Loc. Cit., commit to user

direksi tidak akan pernah mengambil suatu keputusan yang tidak tepat, tetapi pemegang saham mempunyai hak untuk berharap bahwa semua keputusan yang diambil dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian.

Dengan demikian, business judgment rule dijadikan kriteria untuk mengukur tanggung jawab setiap anggota direksi. Artinya, seorang anggota direksi dianggap tidak bertanggung jawab apabila dia melaksanakan tugasnya dengan memerhatikan prinsip fiduciary duties yang ada, sekaligus dengan mempunyai berbagai pertimbangan yang reasonable terhadap keputusan yang diambilnya. Meski demikian, direksi tidak bisa berlindung di bawah prinsip business judgment rule jika keputusan yang diambilnya mengandung unsur-unsur fraud, conflict of interest, illegality, dan gross negligence.38

Doktrin Business Judgement Rule merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa putusan direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan, sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut:39

a. Putusan sesuai hukum yang berlaku, b. Dilakukan dengan itikad baik,

c. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose),

d. Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional (rasional basis),

e. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa.

f. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya (reasonable belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi perseroan.

38 Hendra Setiawan Boen, Op. Cit., hlm. 20.

39 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, ctk. Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 186

Kesalahan dari direksi atas suatu perseroan masih dapat ditoleransi sampai kepada batas-batas tertentu saja. Adapun kesalahan direksi yang dapat ditoleransi adalah sebagai berikut :40

a. Hanya salah dalam mengambil putusan (mere error of judgement).

b. Kesalahan yang jujur (honest mistake, honest error in judgement).

c. Kerugian perusahaan karena kesalahan pegawai perusahaan (kecuali jika tidak ada sistem pengawasan yang baik).

Pengecualian kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan, seperti:41

a. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip fiduciary duty. Dalam hal ini termasuk jika ada unsur benturan kepentingan (conflict of interest).

b. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian (due care). Dalam hal ini termasuk jika ada unsur kesengajaan atau kelalaian.

c. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip putusan yang bijaksana (prudence).

d. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip itikad baik. e. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip tujuan bisnis yang

benar (proper purpose).

f. Kesalahan direksi karena tidak kompeten.

g. Kesalahan karena melanggar hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

h. Kesalahan karena direksi kurang informasi (ill informed). i. Kesalahan karena dalam mengambil tindakan/putusan, direksi

terlalu tergesa-gesa (hasty action).

j. Kesalahan karena keputusan diambil tanpa investigasi dan pertimbangan yang rasional.

2. Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana dalam bahasa Belanda dikenal sebagai strafbaar feit42, tetapi apabila strafbaar feit diterjemahkan ke dalam bahasa

40Ibid., hlm. 188.

41Ibid., hlm. 188.

Indonesia memiliki istilah yang berbeda dari para ahli. Terjemahan strafbaar feit dari beberapa ahli hukum pidana, dapat dikategorikan sebagai berikut:

1) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai tindak pidana. Ahli hukum yang sepakat, yaitu

a) Wirjono Prodjodikoro

Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia mengartikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.43

b) Simon

Simon mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.44

42 Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Edisi Pertama, ctk. Pertama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 67.

Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum, baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Kata tindak merujuk pada sikap manusia yang bersifat aktif. Kata feit, lebih pas diterjemahkan dengan perbuatan, kata pelanggaran digunakan sebagai arti dari overtrading (lawan dari misdrijven/kejahatan) terdapat dalam penjelasan buku II dan III KUHP. Sementara kata peristiwa, menggambarkan pengertian yang lebih luas dari perbuatan, karena peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian, termasuk pula kejadian yang diakibatkan oleh alam. Kata perbuatan merujuk pada sikap yang diperlihatkan seseorang, baik aktif maupun pasif.

Pendapat lain menyatakan strafbaar feit (dengan penulisan straafbaarfeit) terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan

straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum. Evi Hartanti. 2012. Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua ctk. Keempat, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 5.

43 Wirjono Prodjodikoro dalam dalam Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana, Edisi Pertama, ctk. Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 52.

44 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia – Suatu Pengantar, ctk. Pertama, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 97.

Strafbaar feit diartikan sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Alasan dirumuskan seperti di atas, karena:45 (1) Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di

situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum; (2) Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan

tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang; dan

(3) Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan “onrechtmatige handeling”.

c) Moeljatno

Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.46

Pada kesempatan yang lain, dia juga mengatakan dengan substansi yang sama bahwa perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut”.47

45 Mahrus Ali. Op. Cit., hlm. 52-53.

46 Moeljatno dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 51.

47 Moeljatno dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 98. commit to user

d) Roeslan Saleh

Roeslan Saleh pada bukunya yang berjudul Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, mendefinisikan tindak pidana yaitu “sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang”.48

e) Komariah Emong Supardjadja

Komariah Emong Supardjadja dalam buku yang berjudul Ajaran Melawan Hukum dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, tindak pidana diartikan sebagai “suatu perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu”.49

f) Sutan Remy Sjahdeini

Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya yang berjudul Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer mendefinisikan tindak pidana sebagai perilaku (conduct) yang oleh undang-undang pidana yang berlaku (hukum pidana positif) telah dikriminalisasi dan oleh karena itu dapat dijatuhi sanksi pidana bagi pelakunya.50

g) Indrianto Seno Adji

Indrianto Seno Adji dalam bukunya yang berjudul Korupsi dan Hukum Pidana, tindak pidana dirumuskan sebagai “perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya

48 Roeslan Saleh dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 98.

49 Komariah Emong Supardjadja dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 53.

50 Sutan Remy Sjahdeini dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 53. commit to user

bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.”51

2) Strafbaar feit diterjemahkan bukan sebagai tindak pidana. Terjemahan tersebut antara lain sebagai berikut:

a) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai peristiwa pidana. Terjemahan ini digunakan oleh:

(1) Andi Zainal Abidin, dengan alasan tidak sepakat, sebagai berikut : 52

(a) Tindak tidak mungkin dipidana, tetapi orang yang melakukanlah yang dapat dijatuhi pidana;

(b) Ditinjau dari segi Bahasa Indonesia, tindak adalah kata benda dan pidana juga kata benda. Yang lazim ialah kata benda selalu diikuti kata sifat, misalnya kejahatan berat, perempuan cantik, dan lain-lain;

(c) Istilah strafbaar feit sesungguhnya bersifat eliptis yang kalau diterjemahkan secara harfiah adalah peristiwa yang dapat dipidana, oleh Van Hatum bahwa sesungguhnya harus dirumuskan feit terzake van hetwelk een person starfbaar is yang berarti peristiwa yang menyebabkan seseorang dapat dipidana. Istilah criminal act lebih tepat, karena ia hanya menunjukkan sifat kriminalnya perbuatan.

(2) R. Tresna

(3) H.J. van Schravendijk, serta

(4) dicantumkan pula oleh pembentuk Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 kedalam Pasal 14 ayat 1.

b) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai delik, yang berasal dari bahasa Latin delictum. Terjemahan ini digunakan oleh:

(1) Utrech

(2) A. Zainal Abidin

51 Indrianto Seno Adji dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 53.

52 Andi Zainal Abidin, “Tanggapan Terhadap Buku I Bab I sampai dengan Bab II

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana” dalam Erdianto Effendi, Op. Cit., hlm. 96-97. commit to user

(3) Moeljatno

c) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai pelanggaran pidana. Terjemahan ini digunakan oleh M.H. Tirtaamidjaja.

d) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai perbuatan yang boleh dihukum. Terjemahan ini digunakan oleh Karni dan Schravendijk.

e) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Terjemahan ini digunakan oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3).

f) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai perbuatan pidana. Terjemahan ini digunakan oleh Moeljatno53, Roeslan Saleh54, Marshall55.

53 Moeljatno memberikan definisi sebagai perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dan disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Pada kesempatan yang lain, dia juga mengatakan dengan substansi yang sama bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Moeljatno dalam Mahrus Ali. Op. Cit., hlm. 98.

Alasan perbuatan pidana lebih tepat, ialah:

1. Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu. Moeljatno dalam Adami Chazawi. Op. Cit., hlm. 71.

Moeljatno juga menyatakan bahwa istilah peristiwa pidana dan istilah tindak pidana adalah suatu istilah yang tidak tepat, dengan alasan:

1. Untuk istilah peristiwa pidana, perkataan peristiwa menggambarkan hal yang kongkrit (padahal strafbaar feit sebenarnya abstrak) yang menunjuk pada kejadian tertentu.

2. Sedangkan istilah tindak pidana, perkataan “Tindak” tidak menunjuk pada hal abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataan peristiwa yang juga menyatakan keadaan kongkrit, seperti kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani,

Dari kata strafbaarfeit dapat dikenal menjadi beberapa istilah, yaitu tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana, criminal act, dan jinayah.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Adapun unsur dari suatu tindak pidana, dapat dibagi menjadi 2 (dua) sudut pandang, yaitu sudut pandang teoritis dan sudut pandang undang-undang. Sudut pandang teoritis berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya, sedangkan sudut pandang undang-undang adalah kenyataan tindak pidana yang dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada. Beberapa ahli yang menganut sudut pandang teoritis, adalah Moeljatno, R.Tresna, Vos, Jonkers dan Schravendijk. Persamaan dari beberapa ahli tersebut dalam merumuskan tindak pidana, adalah tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

Sudut pandang undang-undang dalam merumuskan suatu tindak pidana didasarkan pada rumusan Buku II dan Buku III KUHP. Buku II KUHP mengatur mengenai tindak pidana tertentu yang masuk dalam kategori kejahatan, sedangkan Buku III KUHP mengatur mengenai pelanggaran. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, maka dapat diketahui adanya 8 (delapan) unsur tindak pidana, yaitu:

1) unsur tingkah laku;

hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak. Moeljatno dalam Adami Chazawi. Ibid., hlm. 71-72.

54 Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang. Roeslan Saleh dalam Mahrus Ali. Op. Cit. ,hlm. 98.

55 Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku Andi Hamzah, dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 98.

2) unsur melawan hukum; 3) unsur kesalahan;

4) unsur akibat konstitutif;

5) unsur keadaan yang menyertai;

6) unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana; 7) unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; 8) unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

c. Pandangan Pakar Hukum terhadap Perbuatan Pidana (Tindak Pidana) Pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan ini disebut pandangan dualism, dianut oleh Pompe, Vos, Tresna, Roeslan Saleh, A. Zaenal Abidin.56 Konsep tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum pidana di atas mengarah kepada dua hal, yaitu yang memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, dan yang mencampur antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Konsep tindak pidana oleh Moeljatno, Roeslan Saleh, Wirjono Prodjodikoro, dan Sutan Remy Sjahdeini secara tegas memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana adalah satu hal, sedangkan pertanggungjawaban pidana merupakan hal lain. Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana tidak secara otomatis harus dijatuhi sanksi pidana atau sanksi tindakan, karena hal itu bergantung kepada apakah orang tersebut memiliki kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan dua konsep yang sangat sentral dan saling terkait dalam hukum pidana, tindak pidana tidak akan memiliki banyak arti tanpa pertanggungjawaban pidana, demikian juga sebaliknya.

Pada sisi yang lain, konsep tindak pidana yang dirumuskan oleh Simons, Komariah Emong Supardjadja, dan Indrianto Seno Adji tidak memisahkan atau bahkan mencampur-aduk antara tindak pidana dan

56 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 72.

pertanggungjawaban pidana. Hal ini terlihat dari digunakannya kata “sengaja”, “bersalah”, dan “kesalahan” dalam membangun rumusan konsep tindak pidana. Padahal, secara teoritis kesalahan tidak terkait dengan tindak pidana, tapi berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana. Implikasinya, seseorang bisa dijatuhi pidana cukup dengan terbuktinya tindak pidana yang dilakukan orang itu, tanpa perlu membuktikan apakah pada diri orang itu terdapat kesalahan atau tidak.

Konsep tindak pidana mengacu kepada konsep yang dirumuskan oleh Moeljatno, Roeslan Saleh, Wirjono Prodjodikoro, dan Sutan Remy Sjahdeini, karena memang antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan dua konsep yang terpisah, walaupun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat, bagaikan dua sisi mata uang. Secara teoritis, ketika seseorang terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, tidak secara otomatis orang itu dijatuhi pidana. Untuk menjatuhkan pidana kepada orang itu, harus terdapat kesalahan pada orang itu dan telah dibuktikan dalam proses peradilan, dan itu di luar perbincangan tentang tindak pidana.57

Pengertian pakar hukum terhadap tindak pidana tidak memiliki kesatuan pendapat. Di Indonesia sesudah Perang Dunia II persoalan

Dalam dokumen Tesis MIH Ananda Megha Wiedhar Saputri (Halaman 27-73)

Dokumen terkait