• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tesis MIH Ananda Megha Wiedhar Saputri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tesis MIH Ananda Megha Wiedhar Saputri"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE SEBAGAI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA

KORUPSI OLEH KORPORASI

(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK / Pid. Sus / 2012 Dalam Perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake

pada PT. PUSRI Palembang)

T E S I S

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi

Disusun Oleh :

ANANDA MEGHA WIEDHAR SAPUTRI NIM : S.331302001

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2015

(2)

ii

(3)
(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Rabb semesta alam, yang telah melimpahkan begitu banyak nikmat-Nya, sehingga tesis yang berjudul “PENERAPAN DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE

SEBAGAI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KORPORASI (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK / Pid. Sus / 2012 Dalam Perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang)”, ini dapat penulis selesaikan guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Secara garis besar, tesis ini membahas tentang pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya milik Persero (PT. Persero) terkait adanya tindak pidana korupsi. Pembahasan lebih lanjut menyoroti penggunaan doktrin Business Judgement Rule dalam novum yang diajukan oleh para terpidana.

Dalam kesempatan ini, penulis juga bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik secara materiil maupun moril, sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik dan lancar terutama kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Direktur Program Pascasarjana Univesitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus sebagai Ketua Penguji yang telah memberikan saran, kritik, serta masukan bagi penyempurnaan tesis dari penulis.

4. Bapak Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum., selaku Kepala Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(6)

vi

5. Bapak Dr. Soehartono, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, dan masukan bagi kesempurnaan tesis ini, sehingga tesis ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik dan lancar.

6. Ibu Rofikah, S.H., M.H., selaku Co. Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan masukan bagi kesempurnaan penulisan tesis ini, sehingga tesis ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik dan lancar. 7. Bapak Dr. WT. Novianto, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Penguji yang telah

memberikan saran, kritik, serta masukan bagi penyempurnaan tesis dari penulis.

8. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan ilmunya dengan penuh dedikasi dan keikhlasan sehingga menambah wawasan dan pengetahuan penulis.

9. Bapak dan Ibu Staf Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu kelancaran administrasi selama penulis menempuh perkuliahan hingga penyelesaian penulisan tesis ini.

10.Bapak dan Ibu Staf Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan bahan-bahan hukum bagi kelancaran penyusunan tesis ini. 11.Kedua orangtua penulis, Ayahanda Wijiatmo, S.H., dan Ibunda Hartati, yang

telah memberikan doa, harapan, kasih sayang, cinta, serta motivasi yang tidak terhingga sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Ilmu Hukum.

12.Motivator penulis, Arseto Endro Supriyanto, S.H., yang telah memberikan motivasi, serta menjadi teman diskusi bagi penulis dalam menyelesaikan tesis. 13.Sahabat penulis, Ani Yunita, S.H., dan Rasyid Yuliansyah, S.H., serta

teman-teman Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan Februari Tahun 2013, khususnya kelas Hukum Pidana Ekonomi, Hukum Bisnis, serta Hukum Kebijakan Publik, yang

(7)

vii

(8)

viii

MOTTO

“Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S. Al Thalaq (65) : 7)

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”

(Q.S. Al Thalaq (65) : 2)

“Allah berfirman: Aku berada pada sangkaan hamba-Ku, Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku pada dirinya maka Aku mengingatnya

pada diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam suatu kaum, maka Aku mengingatnya dalam suatu kaum yang lebih baik darinya, dan jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku mendekat padanya satu hasta, jika ia mendekat pada-Ku satu hasta maka Aku mendekat padanya satu depa, jika ia datang kepada-Ku dengan

berjalan kaki, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (HR. Bukhari, Muslim)

(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN TESIS ……… iii

PERNYATAAN ……… iv

KATA PENGANTAR ……… v

MOTTO ……….. viii

DAFTAR ISI ……….. ix

ABSTRAK INDONESIA ………... xii

ABSTRAK INGGRIS ……… xiii

BAB I. PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Perumusan Masalah ……….……….. 11

C. Tujuan Penelitian ………... 11

D. Manfaat Penelitian ………. 12

BAB II. LANDASAN TEORI………...……… 14

A. Kerangka Teori ……….………. 14

1. Doktrin Business Judgment Rule………... 14

2. Tindak Pidana ……….. 18

a. Pengertian Tindak Pidana ……… 18

b. Unsur-unsur Tindak Pidana ………. 24

c. Pandangan Pakar Hukum terhadap Perbuatan Pidana (Tindak Pidana)………... 25 d. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ……….. 30

3. Pengertian Korupsi ……….. 48

(10)

x

a. Sejarah Lahirnya Korporasi ………. 52

b Pengertian Korporasi ………... 52

c. Teori Dasar dalam Menentukan Korporasi Sebagai Subyek Dalam Hukum Pidana ……...… 57

d. Pemberian Sanksi pada Korporasi ………... 58

5. Perseroan Terbatas ……….. 59

B. Penelitian yang Relevan ……… 60

C. Kerangka Berpikir ……… 64

BAB III. METODE PENELITIAN………..…………... 67

A. Jenis Penelitian ………. 68

B. Sifat dan Bentuk Penelitian ………... 69

C. Jenis Data ……….. 69

D. Sumber Data ………. 69

E. Teknik Pengumpulan Data ……… 70

F. Teknik Analisis Data ……….. 71

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 72

A. Hasil Penelitian ………... 72

1. Penerapan doktrin Business Judgement Rule dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang …... 72

2. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang ……….. 78

B. Pembahasan ……… 82 1. Penerapan doktrin Business Judgement Rule dalam

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve

(11)

xi

dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang …... 82

2. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang ……….. 96

BAB V. PENUTUP ……….. 102

A. Kesimpulan ………. 102

B. Implikasi ………. 102

C. Saran ………... 102

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(12)

xii

ABSTRAK

Ananda Megha Wiedhar Saputri, S331302001, 2014, Penerapan Doktrin

Business Judgement Rule Sebagai Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Oleh Korporasi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK / Pid. Sus / 2012 Dalam Perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang).

Tesis : Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini mengkaji penerapan doktrin Business Judgement Rule dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang dan menganalisis pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus tersebut.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang mendasarkan pada konsep hukum kedua dan ketiga. Sifat penelitian eksploratif dengan bentuk penelitian preskriptif. Jenis data penelitian sekunder dengan sumber data penelitian sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan studi kepustakaan. Dan teknik analisis data dengan mengunakan metode deduksi yang berpangkal dari pengajuan premis mayor dan kemudian diajukan ke premis minor, untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa doktrin Business Judgement Rule tidak dapat diterapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/ Pid. Sus/ 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang dikarenakan doktrin Business Judgement Rule hanya dapat diberlakukan bagi direksi dan pertanggunggjawaban pidana dibebankan pada manager sesuai dengan teori identifikasi.

Kata kunci : Doktrin Business Judgement Rule, Korporasi, Pertanggungjawaban Pidana

(13)

xiii ABSTRACT

Ananda Megha Wiedhar Saputri, S331302001, 2014, Application of Business Judgment Rule as the Doctrine of Criminal Liability In Corruption By Corporations (Study of Corruption Decision No. 154 PK / Pid . Sus / 2012 In Case of Valve Solenoid Procurement And Thrustor Brake at. PUSRI Palembang). Thesis : Post-Graduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta.

This study examines the application of the doctrine of Business Judgment Rule in Decision Corruption Number: 154 PK / Pid. Sus / 2012 in the case of Procurement Solenoid Valve and Thrustor Brake on PT. PUSRI Palembang and analyze corporate criminal liability in such cases.

This research is a normative law basing on the concept of the second and third laws. The nature of exploratory research with a form of prescriptive research. Type of secondary research data with secondary research data sources consisting of primary legal materials, secondary law, and tertiary legal materials. Data collection techniques using literature study. And data analysis techniques using the method of deduction stemming from the submission of the major premise and then submitted to the minor premise, to further drawn to a conclusion.

Based on the research and discussion of the problems in this study, it can be concluded that the doctrine of the Business Judgment Rule can not be applied in the Corruption Decision Number 154 PK / Pid. Sus / 2012 in the case of Procurement Solenoid Valve and Thrustor Brake on PT. PUSRI Palembang due to the doctrine of Business Judgment Rule can only be applied to directors and criminal liability charged to the manager in accordance with the theory of identification.

Keywords: Business Judgment Rule Doctrines, Corporate, Criminal Liability

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan arus globalisasi yang sedemikian pesat mengubah dunia di semua lini kehidupan. Barbara Parker memberikan gambaran globalisasi ditandai dengan peningkatan makna yang terjadi di seluruh dunia yang menyebar dengan cepat, sebagaimana yang terungkap sebagai berikut:

there is growing sense that events occurring throughout the world are converging rapidly to shape a single, integrated world where economic, social, cultural, technological, business, other influences cross traditional borders, and boundaries such as nations, national cultures, time, space, and business industries with increasing ease.”1

(Terjemahan : adanya peningkatan makna dan peristiwa yang terjadi di seluruh dunia yang menyebar dengan cepat untuk membentuk suatu dunia yang tunggal, terintegrasi secara ekonomi, sosial, budaya, teknologi, bisnis, dan pengaruh lainnya yang menembus batas dan sekat tradisional seperti bangsa-bangsa, kebudayaan nasional, waktu, ruang, dan bisnis industri meningkat dengan mudah).

Globalisasi menjadikan negara seakan-akan tanpa batas. Sama seperti yang diungkapkan oleh Sera dan Ohmae, as a popular view of globalization is as the absence of borders and barriers to trade between nations.2(Terjemahan : merupakan suatu pandangan populer tentang globalisasi adalah ketidakadaan batas dan kendala perdagangan antar bangsa).Globalisasi3 adalah karakteristik hubungan antara penduduk bumi yang melampaui batas-batas konvensional,

1

Ade Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global (Edisi Revisi), ctk. Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 15.

2Ibid., hlm. 16.

3

Dijelaskan pula globalisasi merupakan arus yang cepat berisi muatan sebagai lima dimensi yang sekaligus menjadi semacam unsur-unsur pembentuk pemandangan/landscape dari dunia kehidupan manusia yang ada dalam proses globalisasi, yakni: a) arus manusia (ethnoscapes), b) arus teknologi (technoscapes), c) arus finansial (financescapes), d) arus media (mediascapes), dan e) arus ideologi (ideoscapes). Faruk HT, “Globalisasi, Krisis Multidimensi, dan Tempat

Humaniora di Dalamnya” dalam Supanto, Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Pertama, ctk. Pertama. PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm. 3.

(15)

seperti bangsa dan negara. Dalam proses tersebut dunia dimanfaatkan (compressed) serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai suatu ketentuan utuh.4 Globalisasi menuntut segalanya serba cepat, dimana seseorang yang tidak dapat mengikuti perkembangan arus globalisasi akan tergilas. Globalisasi disebut juga suatu juggernaut dan akan membawa perubahan sosial besar dan ketidakpastian ekonomi dan kultural budaya.5 Juggernaut diartikan sebagai sesuatu kekuatan yang menggilas. Globalisasi dirasakan sebagai suatu kekuatan yang menggilas segala sesuatu yang ada di jalannya (juggernaut). Kekuatan ini membawa perubahan sosial besar yang menimbulkan ketakpastian ekonomi dan kultural dunia (world economic and cultural insecurity).6

Perubahan mendasar yang mewarnai era global yang perlu diperhatikan adalah pengaruhnya yang secara langsung atau tidak langsung dalam pengambilan keputusan langkah strategi pada masa yang akan datang.7 Perkembangan dan perubahan khususnya di bidang ekonomi, teknologi dan ilmu pengetahuan membawa pengaruh yang amat besar. Pembangunan bidang ekonomi8 tidak dapat terlepas dari hubungan antar manusia di dunia yang

4 Roland Robertson, “Globalization, Social Theory and Global Culture” dalam Pathorang Halim, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di Era Globalisasi, ctk. Pertama, Total Media, Yogyakarta, 2013, hlm. 7.

5 Supanto, Perkuliahan Tindak Pidana Komputer/Internet, Program Magister Ilmu

Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 19 Maret 2013. 6

Supanto. Op. Cit., hlm. 43. 7

Pathorang Halim, Op. Cit., hlm. 19.

8 Sri Rejeki Hartono menyatakan bahwa aspek hukum di dalam kehidupan ekonomi dapat

dilihat dari dua sisi dalam dua kepentingan yang tidak setara. Pertama, hukum dilihat dari sisi pelaku ekonomi. Berangkat dari tujuan ekonomi sesungguhnya, untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga hukum semata-mata dipandang sebagai faktor eksternal yang bermanfaat dan dapat dimanfaatkan dalam rangka mengamankan kegiatan dan tujuan ekonomi yang akan dicapai. Jadi, hukum benar-benar dimanfaatkan dalam rangka melindungi kepentingannya (sendiri atau bersama) terhadap kepentingan lain maupun kepentingan yang lebih luas. Hasilnya kepentingan publik konsumen. Kedua, hukum dipandang dari sisi negara/pemerintahan. Hukum dapat dimanfaatkan untuk menjaga keseimbangan. Kepentingan di dalam masyarakat. Hukum dipakai sebagai alat untuk mengawasi seberapa jauh terjadi penyimpangan terhadap perilaku para pelaku ekonomi terhadap kepentingan lain yang lebih luas.

(16)

mengalami percepatan dan perubahan.9 Proses perubahan yang sekarang

berlangsung merupakan suatu proses transformasi masyarakat industri10

menjadi masyarakat informasi, yaitu suatu masyarakat yang kehidupan dan kemajuannya sangat dipengaruhi oleh penguasaan informasi.11 Sejalan dengan globalisasi ekonomi, tidak dapat dihindari terjadi juga globalisasi hukum12 sebagai dampak dari interaksi antar negara. Perkembangan teknologi yang

Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, ctk. Pertama. Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 6-7.

9 Globalisasi di bidang ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas

investasi atau pasar secara nasional, regional ataupun internasional. Hal ini disebabkan oleh adanya:

a. Komunikasi dan transportasi yang semakin canggih; b. Lalu lintas devisa yang semakin bebas;

c.Ekonomi negara yang semakin terbuka;

d. Penggunaaan secara penuh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara;

e. Metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang semakin efisien; f.Makin berkembangnya perusahaan multinasional dihampir seantero dunia.

Pathorang Halim. Op. Cit., hlm. 18. 10

Manusia terlahir dengan telah dibekali akal dan budi. Akal dan budi tersebut menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih sejahtera dan berkualitas, sehingga dapat terciptalah penemuan-penemuan baru yang melahirkan peralatan canggih serta menciptakan sistem yang mendorong menuju masyarakat industri. Akal dan budi bukan menjadi faktor satu-satunya dalam perubahan menjadi masyarakat industri. Manusia juga memerlukan kesempatan dan keleluasaan untuk berpikir dan berkreasi. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, setelah reformasi bergulir dan kran berkreasi dibuka seluas-luasnya, kehidupan manusia berkembang dengan amat pesatnya. Kebebasan itu tentunya ada batasannya. Sebaliknya, tanpa aturan yang membatasi manusia akan saling serang, dan akan terjadi kehancuran yang akan berdampak bagi terhambatnya perkembangan ilmu pengetahuan, karena mereka sibuk mempertahankan dirinya. Dengan demikian, peranan hukum di sini dipergunakan untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi itu dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Gunarto Suhardi, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, ctk. Pertama. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2002, hlm. 11-12.

Menurut John Naisbit dan Altrin Tomer sebagaimana dikutip Sarwini dan L. Budi Kragmanto dalam Pathorang Halim, menyatakan masyarakat industri, artinya masyarakat tidak dapat lagi menutup diri dari luar karena teknologi informasi dapat menembus batas-batas wilayah kekuatan negara. Selain itu, kemajuan ilmu pengetahuan melahirkan kepedulian yang tinggi dari masyarakat luas mengenai berbagai informasi dari berbagai belahan dunia. Hubungan saling ketergantungan dalam sistem perekonomian menyebabkan sistem ekonomi nasional cenderung menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi global. Pathorang Halim, Op. Cit.,

hlm. 19.

11 Supanto, Op. Cit., hlm. 1. 12

Erman Rajaguguk mengatakan globalisasi hukum terjadi melalui kontrak-kontrak

bisnis internasional. Erman Rajaguguk, “Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era

Globalisasi” dalam Pathorang Halim. Loc. Cit.

(17)

semakin canggih belakangan ini sudah tidak dapat dihindari. Setiap negara berlomba-lomba menciptakan teknologi terdepan agar dapat bertahan dan bersaing di dunia internasional

Globalisasi yang berkembang sekarang ini tidak hanya berbuah manis, namun dibalik segudang kemanfaatannya, ternyata terdapat modus kejahatan tersembunyi. Seiring dengan era global, kejahatanpun bertransformasi ke dalam bentuk baru, sehingga sulit untuk dideteksi keberadaannya. Sebagai contoh kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di dalam bidang bisnis atau biasa disebut dengan kejahatan ekonomi atau economic crime atau kejahatan di bidang bisnis atau business crimes.

Kejahatan bisnis dan keuangan kerapkali diidentikan sebagai perilaku menyimpang para pelaku ekonomi, dengan tujuan akhir mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Tentu saja keuntungan itu diperoleh pelakunya dengan cara yang tidak wajar, tanpa memperhatikan cara ataupun proses mendapatkan keuntungan tersebut. Pada sisi inilah sebenarnya titik singgung antara persoalan hukum dengan prinsip-prinsip ekonomi, yang keduanya bisa boleh jadi saling bertentangan namun bisa juga saling melengkapi.13

Salah satu hal terpenting dari suatu tindak pidana atau biasa disebut delik, terletak pada ada tidaknya unsur kesalahan yang berada pada kehendak, keinginan atau kemauan dari pelaku kejahatan. Dalam doktrin “geen straf zonder schuld” memperlihatkan bahwa kesalahan merupakan dasar untuk menghukum pelaku kejahatan, karena “tidak dipidana tanpa adanya kesalahan” (an act does not make a person guity unless mind is guilty). Di samping unsur kesalahan (schuld), doktrin “actus non facitt reum, nisi mens sit rea” mensyaratkan adanya unsur subyektif yang berada di dalam diri pelaku kejahatan, yaitu: toerekeningsvatbaarheid (dapat dipertanggung- jawabkan).14

13

D. Andhi Nirwanto, Dikotomi Terminologi Keuangan Negara Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi, ctk. Pertama. Aneka Ilmu, Semarang, 2013, hlm. 2.

14

Ibid., hlm. 2.

(18)

Robert E. Lane ketika melihat kejahatan White Collar Crime atau kejahatan di bidang bisnis, bahwa sulit mencari apa penyebab tindakan-tindakan demikian itu. Sangat sederhana motif mereka bukan semata-mata motif ekonomi atau keuntungan, karena sebagian dari mereka tidak melakukan perbuatan itu,15 bahkan untuk kejahatan korporasi (corporate crime), sulit untuk mengungkap, melakukan investigasi kejahatan ini karena sangat kompleks dan begitu rumit penuh intrik (extreme complexity and intricacy).16

Menyinggung mengenai konsep kejahatan, kejahatan tidak muncul secara tiba-tiba melainkan konsep kejahatan telah lama ada. Sebagaimana telah tertulis dalam Al Qur’an, kejahatan lahir ketika terjadi pembangkangan dari iblis terhadap perintah Allah untuk hormat kepada manusia. Semenjak saat itu, iblis berjanji untuk selalu menggoda manusia sampai akhir zaman. Konflik interest antara manusia dan iblis dapat dipandang sebagai embrio kejahatan. Bermula dari perasaan iri, sombong, dan dengki kejahatan itu dimulai.17 Kejahatan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, mereka ibarat “dua sisi mata uang yang saling terkait”. Saling keterkaitannya itu, dikatakan oleh Lacassagne18 bahwa masyarakat mempunyai penjahat

sesuai dengan jasanya. Kekekalan konsep kejahatan yang tidak akan musnah hingga akhir zaman disebabkan karena kejahatan ada pada setiap diri manusia sebagai salah satu sifat fitrah. Pendapat ini disampaikan oleh Freud19 yang

mengatakan bahwa hasrat manusia untuk merusak (jahat) sama kuatnya dengan hasrat untuk mencintai. Pendapat berbeda datang dari Lorens.

15Gilbert Geis and Robert F. Meier, “White Collar Crime” dalam Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), ctk. Pertama, PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 8.

16 Marshall B. Clinard and Peter C. Yeager, “Corporate Crime” dalam Mien Rukmini. Ibid., hlm. 8.

17 Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar, ctk. Pertama, Kencana,

Jakarta, 2013, hlm. 43.

18 Agus Raharjo dalam Maskun, Ibid., hlm. 43. 19 Erich Frommm dalam Maskun, Ibid., hlm. 44.

(19)

Argumentasinya mengatakan bahwa keagresifan manusia merupakan insting yang digerakkan oleh sumber energi yang selalu mengalir, dan tidak selalu akibat rangsangan dari luar. Jadi, dapat dikatakan bahwa destruktivitas (kejahatan) selalu ada pada diri setiap manusia, hanya bagaimana meminimalkan potensi yang secara kefitrahan ada pada setiap individu.20

“Menurut Soedjono Dirdjosisworo, kejahatan sekarang menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya korban yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer yang cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi, dan pola-pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat advertensi secara besar-besaran dan berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran.”21

Box mengemukakan, apabila kita mengalihkan perhatian sesungguhnya kejahatan lebih banyak muncul dari kekuasaan daripada kelemahan, kekayaan dibanding kemiskinan, dan dari hak-hak istimewa, …22

Perkembangan kejahatan yang demikian, telah memunculkan apa yang disebut oleh Jean Baudrillard “The Perfect Crime”, kejahatan sempurna, kejahatan yang bersembunyi dan sulit untuk dibuktikan, bahkan tidak diketahui apakah itu perbuatan jahat atau bukan.23

Jauh sebelum era global berlangsung, sebenarnya telah dapat diprediksi pada Kongres PBB V tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum (The Prevention of Crime and Treatment of Offender) tahun 1975, yang dipertegas kembali dalam kongres PBB VII tahun 1985, menunjukkan bahwa terdapat kejahatan bentuk baru yang dilakukan oleh

20Ibid., hlm. 44.

21 Soedjono Dirdjosisworo, “Hukum Pidana Indonesia dan Gelagat Kriminalitas

Masyarakat Pascaindustri” dalam Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Edisi Revisi), ctk. Keempat, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 3.

22 Steven Box, Power, “Crime, and Mystification” dalam Mien Rukmini. Op. Cit., hlm.

97.

23 Yasraf Amir Piliang, “The Perfect Crime” dalam Mien Rukmini. Ibid.

(20)

korporasi yang digerakkan oleh pengusaha terhormat yang membawa dampak yang sangat negatif pada perekonomian Negara yang bersangkutan.24

Kejahatan jenis baru yang dimaksud bukan digerakkan oleh manusia pada umumnya, tetapi kejahatan tersebut digerakkan oleh sebuah badan yang dapat dipersamakan sebagai manusia pada umumnya. Badan tersebut dinamakan korporasi. Perorangan manusia baik laki-laki, perempuan maupun dewasa atau anak-anak adalah subyek hukum yang memiliki personalitas atau kepribadian (personality or individuality). Manusia sebagai person atau perorangan dan subyek hukum, mempunyai hak hidup yang dilindungi hukum. Berhak memiliki kekayaan di depan hukum. Bahkan pada dirinya melekat berbagai hak asasi yang harus dihormati penguasa dan anggota masyarakat lain. Pada masa sekarang, secara universal, semua manusia sebagai perorangan tanpa membedakan jenis kelamin, golongan, kelompok, ras dan agama, dapat menegakkan hak-haknya di depan pengadilan. Sebaliknya, kepadanya dapat diminta pertanggungjawaban atas pelanggaran kewajiban hukum yang melekat pada hak tersebut di depan pengadilan: Semua manusia sebagai perorangan adalah badan hukum (legal person) dan hal itu melekat pada dirinya sejak lahir, serta keadaan itu berlangsung selama hidupnya sejak lahir sampai meninggal dunia.

Akan tetapi, bukan manusia perorangan saja yang bisa menjadi subyek hukum dan badan hukum. Perseroan bisa juga menjadi badan hukum, oleh karena itu bisa subyek hukum. Apabila sesuatu mempunyai “hak” (recht, right) dan “kewajiban” (duty) seperti layaknya manusia, maka menurut hukum setiap apa pun yang mempunyai hak dan kewajiban adalah subyek hukum dalam kategori “badan hukum” (rechtspersoon, legal person, legal entity). Dengan demikian, tidak selamanya badan hukum harus manusia (natural person).

Badan hukum yang bukan manusia itulah (the non-human legal person) yang disebut pada Pasal 1 angka 1 UUPT 2007. Namanya disebut “Perseroan Terbatas” (Naamlozevetnootschap, corporation limited by shares).

24 Andi Hamzah dalam Muladi dan Dwija Priyatno, Ibid., hlm. 4.

(21)

Kata Perseroan atau korporasi yang dipakai sekarang berasal dari bahasa Latin: corpus yang berarti badan, tubuh atau raga (body)25. Kata itulah yang

berkembang menjadi corporation atau Perseroan yang lahir dan dicipta melalui proses hukum (processrecht, legal process). Bukan lahir melalui proses alamiah (natural birth) seperti halnya manusia. Seperti yang telah pernah disinggung, itu sebabnya disebut “badan hukum buatan” (kunsmatige rechtspersoon, artificial legal person)26. Meskipun Perseroan badan hukum antifisial:

Korporasi dalam perkembangan hukum pidana, dapat dimasukkan ke dalam subyek hukum, seperti halnya manusia, sehingga korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban apabila melakukan kesalahan. Akan tetapi, pertanggungjawaban antara korporasi dan manusia sangat jauh berbeda, dan kejahatan yang dilakukan juga jauh berbeda. Korporasi tidak dapat berdiri sendiri. Dalam menjalankan kegiatan atau usahanya, korporasi dijalankan oleh seorang direktur, sehingga direktur dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan korporasi tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh I.S. Susanto berikut:

“Kekuasaan korporasi tersebut dalam bahasa ekonomi dijalankan melalui keputusan-keputusan dalam investasi, penentuan harga, lokasi, penelitian, dan desain terhadap produk, namun juga mempunyai akibat di bidang sosial dan politik seperti di bidang ketenagakerjaan, persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat setempat, serta kualitas hidup manusia pada umumnya. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa kekuasaan korporasi yang luar biasa ini di dalam pelaksanaannya mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan setiap orang sejak dalam kandungan hingga ke liang kubur. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita telan, pakaian dan alas kaki yang kita pakai, jalan yang kita lalui, kendaraan yang kita naiki, berita yang kita dengar, lihat, dan baca, masa depan yang kita rencanakan, bahkan perilaku di dalam kamar tidur pun seperti berapa anak yang kita kehendaki, semua berbau korporasi, baik

25

K. Prent Cm, J. Adisubrata, WJS Purwadarminta, Kamus Latin-Indonesia, Kanisius, 1969, hlm. 109 dalam M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Edisi Pertama, ctk. Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 53.

26

MC. Oliver and EA Marshal, Company Law, Eleventh Edition, The M & E Handbook Series, 1991 dalam M. Yahya Harahap. Ibid., hlm. 10.

(22)

melalui produknya maupun karena pencemarannya. Kehidupan, kesehatan, dan keselamatan dari sebagian besar rakyat secara langsung dan tidak langsung dikontrol oleh korporasi raksasa, seperti melalui tingkat harga dan karenanya juga laju inflasi, kualitas barang, dan angka pengangguran.27

David O. Friedrichs mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi untuk kepentingan korporasi atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri (offences committed by corporate officials for their corporation or the offences of the

corporation itself).28

Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dapat dilakukan melalui keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh direksi. Keputusan itu dapat merugikan pihak lain, tetapi tidak semua keputusan yang dikeluarkan oleh direksi dapat disebut sebagai suatu kejahatan. Doktrin business judgement rule merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa suatu putusan direksi mengenai aktifitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan.29 Menjadi sebuah pertanyaan apabila terkait dengan keuangan

negara yang bermuara pada terjadinya tindak pidana korupsi.

27 I.S. Susanto dalam Muladi dan Dwija Priyatno, Ibid., hlm. 6-7.

28 David O. Freidrichs.“Trusted Criminals White Collar Crime in Contemporary Society”

dalam Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, ctk. Pertama, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 9.

29 Munir Fuady dalam Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgment Rule, ctk.

Pertama, Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm. 9.

Aturan ini terdapat dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang untuk selanjutnya disebut sebagai UUPT, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:

a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

(23)

Penulis mengambil analisis melalui studi putusan Mahkamah Agung dengan Nomor Register Perkara : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dengan Terdakwa I bernama Ir. Faisal Muaz selaku Manager Pengadaan PT. PUSRI dan Terdakwa II bernama Ir. Hadianto Eko Putro selaku Manager Teknik Keandalan dan Jaminan Kualitias PT. PUSRI. Perkara ini bermula pada tahun 2008, PT. PUPUK SRIWIJAYA, yang untuk selanjutnya disebut dengan PT. PUSRI melaksanakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa berupa 2 (dua) Solenoid Valve dan Thrustor Brake melalui sumber dana yang berasal dari Alokasi Anggaran Gudang pada PT. PUSRI Palembang tahun 2008 sebesar 21.100,00 Euro atau sekitar Rp. 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah). Terdakwa I dan Terdakwa II memenangkan CV. Kuala Simpang tanpa melakukan pengecekan harga ke distributor dikarenakan Terdakwa I dan Terdakwa II telah melakukan negoisasi dengan Deddy Zatta selaku Direktur CV. Kuala Simpang. Ternyata pembelian barang tersebut tidak sesuai dengan permintaan, tetapi para terdakwa tetap menerima barang yang dikirimkan tanpa memperhitungkan harga pembelian sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal itu dikarenakan CV. Kuala Simpang telah menjadi rekanan PT. PUSRI. Atas perbuatan terdakwa, negara mengalami kerugian sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang dengan Nomor 982 / PID.B /2010 / PN. PLG tertanggal 11 Agustus 2011 yang amarnya menyatakan Terdakwa I dan Terdakwa II telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan denda masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Terdakwa I dan Terdakwa II serta Penuntut Umum mengajukan banding. Adapun Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Palembang dengan Nomor : 12 / MAHKAMAH AGUNG / 2011 / PT. PLG tertanggal 22 Desember 2011 dengan amarnya yang menyatakan bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

(24)

melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa I dan Terdakwa II dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda masing-masing-masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) serta apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Para terdakwa mengajukan peninjauan kembali dengan salah satu novum menyebutkan doktrin business judgement rule.

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan tersebut di atas, penulis tertarik mengkaji lebih lanjut ke dalam penulisan tesis yang berjudul : “PENERAPAN DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE SEBAGAI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KORPORASI (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK / Pid. Sus / 2012 Dalam Perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan penulis kaji dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah dasar Mahkamah Agung menolak novum Business Judgement Rule dapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana atas korporasi yang dapat diterapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang?

C. Tujuan Penelitian

Hasil akhir dari sebuah penulisan hukum ialah tujuan yang hendak dicapai. Tujuan sebuah penelitian hukum diharapkan dapat memecahkan sebuah masalah hukum dan dapat menjadi sebuah solusi baru dalam

(25)

pengungkapan suatu fakta hukum. Adapun tujuan dari penelitian hukum ini, adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui penerapan doktrin Business Judgement Rule terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang.

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 154 PK / Pid. Sus / 2012 dalam perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang hukum pidana, khususnya mengenai hukum pidana ekonomi.

b. Untuk menerapkan dan mengembangkan ilmu yang selama ini telah penulis dapatkan dalam perkuliahan dan praktek di lapangan dan menganalisis suatu kasus pidana, serta mendapatkan solusi dari suatu permasalahan yang terjadi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat menjadi perolehan terpenting dari suatu penelitian hukum, karena disanalah terdapat hal-hal pokok yang nantinya akan berguna bagi pihak-pihak, baik secara langsung atau tidak langsung. Manfaat penelitian tesis ini dapat terbagi menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini, adalah:

a) Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya, dan hukum pidana pada khususnya. b. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan

pembendaharaan literatur dan menambah khasanah dunia kepustakaan, sehingga dapat menjadi bahan acuan untuk mengadakan kajian dan

(26)

penelitian mengenai hal sejenis, yaitu mengenai konstruksi hukum pidana ekonomi.

b) Manfaat Praktis

a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir ilmiah, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Untuk memberikan jawaban atas masalah yang diteliti.

c. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung dengan penelitian ini.

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kerangka Teori

1. Doktrin Business Judgement Rule

Doktrin Business Judgement Rule bukan merupakan doktrin baru dalam hukum bisnis. Doktrin tersebut merupakan salah satu doktrin yang melindungi direksi, antara lain seperti doktrin Fiduciary Duty, doktrin Due Care and Loyalty, doktrin Derivative Suit, doktrin Piercing The Corporate Veil, doktrin Ultra Vires, doktrin Proper Purpose, dan doktrin Business Judgment Rule. Doktrin ini lahir sebagai akibat adanya doktrin Fiduciary Duty, yaitu prinsip duty of skill and care. Standar dari pelaksanaan duty of skill and care adalah bahwa direksi harus melaksanakan tugasnya untuk mengelola perseroan dengan itikad baik dan hati-hati sebagaimana orang biasa (prudent man) melaksanakan pengelolaan terhadap kekayaannya,30 sehingga

dapat pula digambarkan kalau doktrin Business Judgement Rule merupakan buah dari pohon yang bernama Fiduciary Duty.31

Apabila direksi pada saat mengambil keputusan, telah melakukannya dengan pertimbangan yang matang, penuh tanggung jawab, maka mengingat suasana bisnis yang penuh ketidakpastian, seandainya ternyata keputusan tersebut salah, seharusnya direksi tidak dituntut secara pribadi, karena perseroan juga harus ikut menanggung kerugian tersebut, ini adalah konsep dasar business judgment rule.32 Business judgement rule sebenarnya mengenai pembagian tanggung

30 James D. Cox, Thomas Lee Hazen, dan Hodge O’neal dalam Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgment Rule, ctk. Pertama, Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm. 187.

31Ibid., 100-102. 32.Ibid., 100.

(28)

jawab di antara perseroan dan organ yang mengurusnya, terutama direksi, dan pemegang saham manakala terjadi kerugian yang menimpa perseroan yang disebabkan oleh human error. Business judgment rule timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya fiduciary duty oleh seorang direksi, yaitu prinsip duty. Doktrin Business Judgement Rule bukanlah doktrin baru dalam hukum bisnis. Doktrin ini berasal dari negara common law.33 Negara tersebut, antara lain Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan sebagainya.34 Sebagaimana ditegaskan oleh Ralph A. Peeples35:

“Although arguably codified by the Model Business

Corporation Act, the business judgment rule is derived from the

common law…, Justice Brandeis recognized and described the

rule in 1917… In its narrowest form, the business judgment

rule determines judicial conduct… Application of the rule

requires judicial deference to corporate decisions and thus

non-interference by the court..”

(Terjemahan : Meskipun bisa dibilang dikodifikasikan oleh Undang-Undang Model Business Corporation , aturan keputusan bisnis berasal dari common law ... , Hakim Brandeis diakui dan dijelaskan aturan pada tahun 1917 ... Dalam bentuk yang sempit , aturan keputusan bisnis menentukan perilaku hakim ... Penerapan aturan membutuhkan menghormati peradilan untuk keputusan perusahaan dan dengan demikian non - campur tangan pengadilan .. ")

Ditambahkan Bayless Manning36 ketika mengatakan:

“While not part of the statutory framework, this legal concept is well established in the care law of most jurisdictions…”

33 Elizabeth S. Miller dan Thomas E. Rutledge. “The Duty of Finest Loyalty and Reasonable Decisions: The Business Judgment Rule in Unincorporated Business Organizations?”

dalam Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, ctk. Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm. 225.

34 Freddy Harris dan Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas: Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi, ctk. Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 58.

35 Ralph A. Peeples. “The Use and Misuse of The Business Judgment Rule in the Close Corporation” dalam Hendra Setiawan Boen, Op. Cit., hlm. 46.

36 Bayless Manning dalam Hendra Setiawan Boen, Ibid., hlm. 46.

(29)

David P. Twomey37 berpendapat bahwa:

“Accordingly, courts will not sit in judgment on the wisdom of

decisions made by directors. If the directors have acted in good faith on the basic of adequate information, court will not enjoin the course of action taken by the directors. Moreover, even though such action causes loss to the corporation, the directors will not be held personally liable for it. This principle is called

the business judgment rule.”

Menurut Roger LeRoy dan Gaylod A.Jentz, mendefinisikan sebagai

“A rule that immunizes corporate management from liability

for action that result in corporate losses or damages if the action are undertaken in good faith and are within both the power of the corporation and the authority of management to

make.”

(Terjemahan : Aturan yang kebal manajemen perusahaan dari tanggung jawab atas tindakan yang mengakibatkan kerugian perusahaan atau kerusakan jika aksi yang dilakukan dengan itikad baik dan dalam kedua kekuatan korporasi dan kewenangan manajemen untuk membuat).

Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa business judgement rule melindungi direksi atas keputusan bisnis yang merupakan transaksi korporasi, selama hal tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik. Prinsip ini mengatakan adalah bahwa bilamana direksi telah mengambil keputusan setelah sebelumnya didahului dengan pertimbangan bisnis yang cermat dan saksama, dia akan mendapatkan kekebalan dan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pribadinya meskipun keputusan yang diambilnya ternyata tidak menguntungkan perseroan. Doktrin ini melindungi direksi dengan memungkinkan mereka berbuat kesalahan, sepanjang proses pengambilan keputusan dilakukan secara cermat dan teliti, dengan wajar dan patut, serta dapat dibuktikan. Pemegang saham tidak mungkin bisa berharap bahwa

37 David P. Twomey dalam Hasbullah F. Sjawie, Loc. Cit.,

(30)

direksi tidak akan pernah mengambil suatu keputusan yang tidak tepat, tetapi pemegang saham mempunyai hak untuk berharap bahwa semua keputusan yang diambil dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian.

Dengan demikian, business judgment rule dijadikan kriteria untuk mengukur tanggung jawab setiap anggota direksi. Artinya, seorang anggota direksi dianggap tidak bertanggung jawab apabila dia melaksanakan tugasnya dengan memerhatikan prinsip fiduciary duties yang ada, sekaligus dengan mempunyai berbagai pertimbangan yang reasonable terhadap keputusan yang diambilnya. Meski demikian, direksi tidak bisa berlindung di bawah prinsip business judgment rule jika keputusan yang diambilnya mengandung unsur-unsur fraud, conflict of interest, illegality, dan gross negligence.38

Doktrin Business Judgement Rule merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa putusan direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan, sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut:39

a. Putusan sesuai hukum yang berlaku, b. Dilakukan dengan itikad baik,

c. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose),

d. Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional (rasional basis),

e. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa.

f. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya (reasonable belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi perseroan.

38 Hendra Setiawan Boen, Op. Cit., hlm. 20.

39 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, ctk. Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 186

(31)

Kesalahan dari direksi atas suatu perseroan masih dapat ditoleransi sampai kepada batas-batas tertentu saja. Adapun kesalahan direksi yang dapat ditoleransi adalah sebagai berikut :40

a. Hanya salah dalam mengambil putusan (mere error of judgement).

b. Kesalahan yang jujur (honest mistake, honest error in judgement).

c. Kerugian perusahaan karena kesalahan pegawai perusahaan (kecuali jika tidak ada sistem pengawasan yang baik).

Pengecualian kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan, seperti:41

a. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip fiduciary duty. Dalam hal ini termasuk jika ada unsur benturan kepentingan (conflict of interest).

b. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian (due care). Dalam hal ini termasuk jika ada unsur kesengajaan atau kelalaian.

c. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip putusan yang bijaksana (prudence).

d. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip itikad baik. e. Kesalahan yang bertentangan dengan prinsip tujuan bisnis yang

benar (proper purpose).

f. Kesalahan direksi karena tidak kompeten.

g. Kesalahan karena melanggar hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

h. Kesalahan karena direksi kurang informasi (ill informed). i. Kesalahan karena dalam mengambil tindakan/putusan, direksi

terlalu tergesa-gesa (hasty action).

j. Kesalahan karena keputusan diambil tanpa investigasi dan pertimbangan yang rasional.

2. Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana dalam bahasa Belanda dikenal sebagai strafbaar feit42, tetapi apabila strafbaar feit diterjemahkan ke dalam bahasa

40Ibid., hlm. 188.

41Ibid., hlm. 188.

(32)

Indonesia memiliki istilah yang berbeda dari para ahli. Terjemahan strafbaar feit dari beberapa ahli hukum pidana, dapat dikategorikan sebagai berikut:

1) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai tindak pidana. Ahli hukum yang sepakat, yaitu

a) Wirjono Prodjodikoro

Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia mengartikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.43

b) Simon

Simon mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.44

42 Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Edisi Pertama, ctk. Pertama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 67.

Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum, baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Kata tindak merujuk pada sikap manusia yang bersifat aktif. Kata feit, lebih pas diterjemahkan dengan perbuatan, kata pelanggaran digunakan sebagai arti dari overtrading (lawan dari misdrijven/kejahatan) terdapat dalam penjelasan buku II dan III KUHP. Sementara kata peristiwa, menggambarkan pengertian yang lebih luas dari perbuatan, karena peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian, termasuk pula kejadian yang diakibatkan oleh alam. Kata perbuatan merujuk pada sikap yang diperlihatkan seseorang, baik aktif maupun pasif.

Pendapat lain menyatakan strafbaar feit (dengan penulisan straafbaarfeit) terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan

straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum. Evi Hartanti. 2012. Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua ctk. Keempat, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 5.

43 Wirjono Prodjodikoro dalam dalam Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana, Edisi

Pertama, ctk. Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 52.

44 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia – Suatu Pengantar, ctk. Pertama, PT.

Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 97.

(33)

Strafbaar feit diartikan sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Alasan dirumuskan seperti di atas, karena:45 (1) Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di

situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum; (2) Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan

tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang; dan

(3) Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan “onrechtmatige handeling”.

c) Moeljatno

Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.46

Pada kesempatan yang lain, dia juga mengatakan dengan substansi yang sama bahwa perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut”.47

45 Mahrus Ali. Op. Cit., hlm. 52-53.

46 Moeljatno dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 51. 47 Moeljatno dalam Mahrus Ali, Ibid., hlm. 98.

(34)

d) Roeslan Saleh

Roeslan Saleh pada bukunya yang berjudul Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, mendefinisikan tindak pidana yaitu “sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang”.48

e) Komariah Emong Supardjadja

Komariah Emong Supardjadja dalam buku yang berjudul Ajaran Melawan Hukum dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, tindak pidana diartikan sebagai “suatu perbuatan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu”.49

f) Sutan Remy Sjahdeini

Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya yang berjudul Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer mendefinisikan tindak pidana sebagai perilaku (conduct) yang oleh undang-undang pidana yang berlaku (hukum pidana positif) telah dikriminalisasi dan oleh karena itu dapat dijatuhi sanksi pidana bagi pelakunya.50

g) Indrianto Seno Adji

Indrianto Seno Adji dalam bukunya yang berjudul Korupsi dan Hukum Pidana, tindak pidana dirumuskan sebagai “perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya

48 Roeslan Saleh dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 98.

49 Komariah Emong Supardjadja dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 53. 50 Sutan Remy Sjahdeini dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 53.

(35)

bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.”51

2) Strafbaar feit diterjemahkan bukan sebagai tindak pidana. Terjemahan tersebut antara lain sebagai berikut:

a) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai peristiwa pidana. Terjemahan ini digunakan oleh:

(1) Andi Zainal Abidin, dengan alasan tidak sepakat, sebagai berikut : 52

(a) Tindak tidak mungkin dipidana, tetapi orang yang melakukanlah yang dapat dijatuhi pidana;

(b) Ditinjau dari segi Bahasa Indonesia, tindak adalah kata benda dan pidana juga kata benda. Yang lazim ialah kata benda selalu diikuti kata sifat, misalnya kejahatan berat, perempuan cantik, dan lain-lain;

(c) Istilah strafbaar feit sesungguhnya bersifat eliptis yang kalau diterjemahkan secara harfiah adalah peristiwa yang dapat dipidana, oleh Van Hatum bahwa sesungguhnya harus dirumuskan feit terzake van hetwelk een person starfbaar is yang berarti peristiwa yang menyebabkan seseorang dapat dipidana. Istilah criminal act lebih tepat, karena ia hanya menunjukkan sifat kriminalnya perbuatan.

(2) R. Tresna

(3) H.J. van Schravendijk, serta

(4) dicantumkan pula oleh pembentuk Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 kedalam Pasal 14 ayat 1.

b) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai delik, yang berasal dari bahasa Latin delictum. Terjemahan ini digunakan oleh:

(1) Utrech

(2) A. Zainal Abidin

51 Indrianto Seno Adji dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 53.

52 Andi Zainal Abidin, “Tanggapan Terhadap Buku I Bab I sampai dengan Bab II Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana” dalam Erdianto Effendi, Op. Cit., hlm. 96-97.

(36)

(3) Moeljatno

c) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai pelanggaran pidana. Terjemahan ini digunakan oleh M.H. Tirtaamidjaja.

d) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai perbuatan yang boleh dihukum. Terjemahan ini digunakan oleh Karni dan Schravendijk.

e) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Terjemahan ini digunakan oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3).

f) Strafbaar feit diterjemahkan sebagai perbuatan pidana. Terjemahan ini digunakan oleh Moeljatno53, Roeslan Saleh54, Marshall55.

53 Moeljatno memberikan definisi sebagai perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dan disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Pada kesempatan yang lain, dia juga mengatakan dengan substansi yang sama bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Moeljatno dalam Mahrus Ali. Op. Cit., hlm. 98.

Alasan perbuatan pidana lebih tepat, ialah:

1. Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkrit, yaitu: pertama adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu. Moeljatno dalam Adami Chazawi. Op. Cit., hlm. 71.

Moeljatno juga menyatakan bahwa istilah peristiwa pidana dan istilah tindak pidana adalah suatu istilah yang tidak tepat, dengan alasan:

1. Untuk istilah peristiwa pidana, perkataan peristiwa menggambarkan hal yang kongkrit (padahal strafbaar feit sebenarnya abstrak) yang menunjuk pada kejadian tertentu.

2. Sedangkan istilah tindak pidana, perkataan “Tindak” tidak menunjuk pada hal abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataan peristiwa yang juga menyatakan keadaan kongkrit, seperti kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani,

(37)

Dari kata strafbaarfeit dapat dikenal menjadi beberapa istilah, yaitu tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana, criminal act, dan jinayah.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Adapun unsur dari suatu tindak pidana, dapat dibagi menjadi 2 (dua) sudut pandang, yaitu sudut pandang teoritis dan sudut pandang undang-undang. Sudut pandang teoritis berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya, sedangkan sudut pandang undang-undang adalah kenyataan tindak pidana yang dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada. Beberapa ahli yang menganut sudut pandang teoritis, adalah Moeljatno, R.Tresna, Vos, Jonkers dan Schravendijk. Persamaan dari beberapa ahli tersebut dalam merumuskan tindak pidana, adalah tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

Sudut pandang undang-undang dalam merumuskan suatu tindak pidana didasarkan pada rumusan Buku II dan Buku III KUHP. Buku II KUHP mengatur mengenai tindak pidana tertentu yang masuk dalam kategori kejahatan, sedangkan Buku III KUHP mengatur mengenai pelanggaran. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, maka dapat diketahui adanya 8 (delapan) unsur tindak pidana, yaitu:

1) unsur tingkah laku;

hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak. Moeljatno dalam Adami Chazawi. Ibid., hlm. 71-72.

54 Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan pidana,

yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang. Roeslan Saleh dalam Mahrus Ali. Op. Cit. ,hlm. 98.

55 Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang

dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku Andi Hamzah, dalam Mahrus Ali. Ibid., hlm. 98.

(38)

2) unsur melawan hukum; 3) unsur kesalahan;

4) unsur akibat konstitutif;

5) unsur keadaan yang menyertai;

6) unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana; 7) unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; 8) unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

c. Pandangan Pakar Hukum terhadap Perbuatan Pidana (Tindak Pidana) Pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan ini disebut pandangan dualism, dianut oleh Pompe, Vos, Tresna, Roeslan Saleh, A. Zaenal Abidin.56 Konsep tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum pidana di atas mengarah kepada dua hal, yaitu yang memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, dan yang mencampur antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Konsep tindak pidana oleh Moeljatno, Roeslan Saleh, Wirjono Prodjodikoro, dan Sutan Remy Sjahdeini secara tegas memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana adalah satu hal, sedangkan pertanggungjawaban pidana merupakan hal lain. Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana tidak secara otomatis harus dijatuhi sanksi pidana atau sanksi tindakan, karena hal itu bergantung kepada apakah orang tersebut memiliki kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan dua konsep yang sangat sentral dan saling terkait dalam hukum pidana, tindak pidana tidak akan memiliki banyak arti tanpa pertanggungjawaban pidana, demikian juga sebaliknya.

Pada sisi yang lain, konsep tindak pidana yang dirumuskan oleh Simons, Komariah Emong Supardjadja, dan Indrianto Seno Adji tidak memisahkan atau bahkan mencampur-aduk antara tindak pidana dan

56 Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 72.

(39)

pertanggungjawaban pidana. Hal ini terlihat dari digunakannya kata “sengaja”, “bersalah”, dan “kesalahan” dalam membangun rumusan konsep tindak pidana. Padahal, secara teoritis kesalahan tidak terkait dengan tindak pidana, tapi berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana. Implikasinya, seseorang bisa dijatuhi pidana cukup dengan terbuktinya tindak pidana yang dilakukan orang itu, tanpa perlu membuktikan apakah pada diri orang itu terdapat kesalahan atau tidak.

Konsep tindak pidana mengacu kepada konsep yang dirumuskan oleh Moeljatno, Roeslan Saleh, Wirjono Prodjodikoro, dan Sutan Remy Sjahdeini, karena memang antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana merupakan dua konsep yang terpisah, walaupun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat, bagaikan dua sisi mata uang. Secara teoritis, ketika seseorang terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, tidak secara otomatis orang itu dijatuhi pidana. Untuk menjatuhkan pidana kepada orang itu, harus terdapat kesalahan pada orang itu dan telah dibuktikan dalam proses peradilan, dan itu di luar perbincangan tentang tindak pidana.57

Pengertian pakar hukum terhadap tindak pidana tidak memiliki kesatuan pendapat. Di Indonesia sesudah Perang Dunia II persoalan ini di”hangatkan” oleh Prof. Muljatno, guru besar hukum pidana pada Universitas Gajah Mada dalam pidato beliau pada dies natalis universitas tersebut pada tahun 1955 yang berjudul “Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana”. Beliau membedakan dengan tegas “dapat dipidananya perbuatan” (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr wan het feit) dan “dapat dipidananya orangnya” (strafbaarheid van den person), dan sejalan ini beliau memisahkan antara pengertian “perbuatan piadana” (criminal act) dan “pertanggungan jawab pidana” (criminal responsibility atau criminal liability). Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungan jawab pidana. Pandangan beliau dapat disebut pandangan yang dualistis mengenai perbuatan pidana (tindak pidana atau strafbaarfeit). Pandangan ini adalah penyimpangan dari pandangan yang disebut oleh beliau adalah pandangan yang monistis, yang dianggapnya kuno. Pandangan monistis ini melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya

57 Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 53-54.

Gambar

Tabel 1. Daftar Barang Bukti pada Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor: 982/PID.B/2010/PN.PLG tanggal 11 Agustus 2011
Tabel 2. Daftar Barang Bukti pada Putusan Pengadilan Tindak Pidana

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh variabel kurs nilai tukar, tingkat

Pertumbuhan kalus optimal pada minggu ke-3 untuk semua perlakuan, sedangkan memasuki minggu ke-4 eksplan yang muncul kalus mengalami penurunan dan ada yang

Petugas Pemadam Kebakaran sering menerima anjuran atau masukan dari masyarakat di wilayah Bandung Timur, ada beberapa keluhan yang di sampaikan oleh masyarakat tetapi tidak

Berdasarkan perhitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan

Jalur kereta api Kunming-Singapura dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi (Djankov, 2016). Negara- negara Asia Tenggara pasalnya memiliki pertumbuhan ekonomi yang

Menurut Hasibuan (2012) “Kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kedisiplinan harus

Untuk menganalisa maka peralatan monitoring harus terhubung ke sistem distribusi listrik pada titik di mana fenomena elektromagnetik atau titik gangguan yang dapat diukur.

Selain itu persepsi pendengar ini juga menjadi bahan pertimbangan dan masukkan bagi radio Swaragama FM sebagai media massa yang memiliki fungsi sosial dengan