• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur

Provinsi Nusa Tenggara Timur secara geografis terletak di belahan paling selatan Indonesia dan merupakan wilayah kepulauan. Luas wilayah daratan 47.350 km2 dengan jumlah pulau sebanyak 566 pulau dimana hanya 42 pulau yang berpenghuni. Luas wilayah perairan sebesar 191.800 km2, dengan panjang garis pantai 2.699 km. Musim penghujan di Provinsi NTT relatif pendek yaitu 3-4 bulan dengan rata-rata curah hujan berkisar 800-3.000 mm per tahun. Provinsi NTT memiliki 5 kabupaten baru yang terbentuk antara tahun 2004-2010 diantaranya Kabupaten Manggarai timur, Kabupaten Nagakeo, Kabupaten Sumba Barata, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sabu Raijua (BPS NTT, 2010). Jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 sebesar 4.683.827 jiwa dimana lebih dari 70 persen masyarakat NTT tinggal di pedesaaan. Komposisi penduduk di provinsi NTT menurut kelompok umur menunjukkan bahwa penduduk NTT memiliki komposisi penduduk muda yaitu jumlah penduduk usia 0-14 tahun. Tingginya persentase penduduk muda terhadap total penduduk secara keseluruhan disebabkan oleh tingginya tingkat kelahiran atau angka fertilitas (BPS Prov. NTT, 2010). Tingginya migrasi ke daerah lain terutama ke Indonesia bagian Barat menyebabkan jumlah penduduk kelompok umur di atas 20 tahun semakin berkurang.

Masyarakat NTT umumnya memandang pangan secara sangat sederhana berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari. Bagi masyarakat NTT pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh semua anggota keluarga mulai dari saat panen sampai pada musim panen berikutnya. Jika dalam rentang waktu selama 1 periode musim panen, persediaan pangan mereka mencukupi maka keadaan pangan mereka dikatakan “aman”. Jika sebaliknya, persediaan pangan mereka tidak mencukupi sampai musim panen berikutnya maka keadaan pangan mereka dikatakan “tidak aman”1.

1

Hasil kegiatan PRA (perticipatory rural appraisal) dan penelitian di Flores, Timor dan Sumba yang dilaksanakan oleh Forum Kesiapan dan Penanganan Bencana (FKPB) tahun 2001-2002.

(2)

4.1.1 Ketersediaan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Pengadaan pangan yang cukup dan memenuhi persyaratan gizi bagi penduduk merupakan salah satu masalah yang memerlukan penanganan serius. Program pembangunan pertanian di bidang produksi pangan pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan produksi pangan. Dalam uraian ketersediaan pangan disini, dibatasi pada ketersediaan pangan perkapita, yaitu ketersediaan jenis pangan yang tersedia untuk dikonsumsi oleh rumah tangga, pedagang eceran, rumah makan dan sejenisnya pada periode tertentu. Data ketersediaan yang dimaksud dapat memberikan gambaran volume ketersediaan untuk individu penduduk.

Beras merupakan komoditi pokok dan strategis dibanding komoditas lainnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia umumnya mengkonsumsi beras, tidak terkecuali di Provinsi NTT. Akibat terlalu dominan dan intensifnya kebijakan pemerintah di bidang perberasan secara berkelanjutan mulai dari industri hulu sampai industri hilir mengakibatkan pergeseran pangan pokok dari pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok nasional yaitu beras. Sejak tahun 1979, pangan pokok masyarakat NTT telah mengalami pergeseran ke arah beras. Walaupun begitu data dilapangan menunjukkan bahwa saat ini masyarakat NTT cenderung mengkonsumsi beras dan jagung dibanding bahan pangan pokok lainnya. Sebagian penduduk NTT mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok pada saat ketersediaan beras terbatas, biasanya jagung digunakan sebagai pengganti beras.

Pada tahun 2010 kebutuhan konsumsi beras bagi 4,9 juta jiwa penduduk NTT adalah sekitar 530.402 ton, sedangkan produksi padi hanya sebesar 555.493 ton GKG yang hanya menghasilkan beras pangan sebesar 309.763 ton. Dengan demikian masih ada kekurangan beras untuk konsumsi penduduk NTT yakni sebanyak 220.639 ton. Untuk kekurangan produksi beras, pemerintah NTT masih mengandalkan distribusi beras bagi warga miskin atau yang disebut dengan RASKIN. Tahun 2010 pagu beras miskin untuk penduduk NTT meningkat 86.388.120 ton menjadi 94.140.900 ton (Perum Bulog, 2010). Sedangkan untuk rumah tangga sasaran (RTS) penerima raskin masih tetap seperti tahun sebelumnya yaitu sebanyak 553.670 kepala keluarga. Dimana pada tahun 2010

(3)

terjadi penambahan kouta kembali untuk raskin dari 13 kg menjadi 15 kg dengan harga Rp 15.000,-/ kg. Realisasi penyaluran beras miskin kepada RTS hingga bulan Juli 2010 telah mencapai 43.468.294 ton atau sekitar 82,63 persen dari total pagu, sisanya sebesar 50.672.606 ton atau sekitar 46,17 persen.

Sebenarnya Provinsi NTT memiliki kemampuan untuk menyediakan pangan dengan lebih baik, jika saja didukung dengan ketersediaan sarana produksi yang baik. Tapi karena faktor geografis dan lingkungan di Provinsi NTT yang kurang mendukung terutama untuk jenis tanaman pangan seperti padi, maka untuk produksi beras sendiri, Provinsi NTT masih memerlukan bantuan distribusi dari luar wilayah NTT. Beberapa sentra produksi padi di NTT terdapat di Kabupaten Manggarat Barat, Manggarai Timur, Ngada, Rote Ndao, Kupang, Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Nagakeo dengan produktivitas hasil padi sawah rata-rata sebanyak 3,6 ton/ha dan padi ladang sebanyak 2,1 ton/ha. Berikut tabel produksi dan konsumsi beras di Provinsi NTT pada tahun 2010.

Tabel 5. Produksi dan Konsumsi Beras di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton)

No Uraian 2010

1 Produksi 555.493

2 Penggunaan GKG non pangan 49.106

3 GKG yang diolah menjadi beras 506.386

4 Produksi Beras 317.706

5 Penggunaan beras non pangan 7.943

6 Produksi beras pangan 309.763

7 Total Konsumsi Penduduk 530.402

8 Defisit (220.639)

Sumber : BPS Prov. NTT

Sentra produksi jagung di Provinsi NTT terdapat dibeberapa kabupaten diantaranya Kabupaten Timor Tengah Selatan, Belu, TTU, Kupang, Sumba Barat Daya dan Sumba Timur dengan produktivitas rata-rata 2,5 ton/ha. Total konsumsi jagung penduduk NTT pada tahun 2010 hanya sebesar 102.678 ton, sedangkan produksi jagung mencapai 574.706 ton sehingga pada tahun 2010 terdapat surplus untuk produksi jagung sebesar 472.028 ton. Provinsi NTT sebenarnya mengalami surplus untuk produksi jagung selama empat tahun terakhir yaitu tahun 2007-2010, hanya saja untuk konsumsi jagung masyarakat NTT saat ini memang masih kurang. Jagung hanya dikonsumsi jika ketersediaan beras sudah habis, biasanya

(4)

jagung digunakan sebagai pengganti beras walaupun sebagian penduduk NTT memang mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Berikut tabel produksi dan konsumsi jagung di Provinsi NTT tahun 2010.

Tabel 6. Produksi dan Konsumsi Jagung di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton).

No Uraian 2010

1 Produksi jagung (pipilan kering) 653.620

2 Penggunaan jagung non pangan 78.913

3 Produksi jagung pangan 574.706

4 Total Konsumsi Penduduk 102.678

5 Surplus 472.028

Sumber : BPS Prov.NTT

Ketersediaan pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber baik itu produksi pangan domestik, cadangan pemerintah dan bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi lainnya. Jika dilihat dari produksi komoditas tanaman pangan di Provinsi NTT, selain beras dan jagung komoditas lain yang berpeluang cukup besar untuk di konsumsi adalah jenis umbi-umbian yaitu ubi kayu dan ubi jalar. Ketersediaan pangan untuk beras selama empat tahun terakhir cenderung menurun, walaupun laju penurunanya relatif kecil. Berikut produksi tanaman pangan di Provinsi NTT tahun 2007-2010 pada Gambar 5.

Sumber : BPS (diolah)

Gambar 5. Produksi Tanaman Pangan di Provinsi NTT Tahun 2007-2010

505,628 577,896 607,358 555,493 0 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 2007 2008 2009 2010 Pr o d u ksi (t o n ) Tahun

padi Jagung Ubi Kayu Ubi jalar

(5)

Jika dilihat dari produksi tahun 2007-2010 tanaman pangan di provinsi NTT, maka terdapat peningkatan yang cukup signifikan terhadap komoditas ubi kayu dan jagung. Produksi ubi kayu selama empat tahun terakhir terus meningkat di Provinsi NTT dengan produksi mencapai 1.032.538 ton pada tahun 2010. Walaupun untuk padi sendiri terdapat penurunan di tahun 2010, tapi dengan peningkatan pada jenis tanaman pangan lain maka konsumsi beras selama ini dapat dialihkan dengan diversifikasi sumber makanan baru olahan yang berasal dari ubi kayu dan jagung. Selain itu, dilihat dari luas panen dan potensi tanaman pangan lokal, yang tergarap baru sekitar 45 persen, mengindikasikan bahwa jika potensi tersebut dioptimalkan maka kemungkinan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap produksi yang tentu saja harapanya ketahanan pangan di NTT dapat tercapai.

Kebijakan peningkatan produksi pangan lokal di provinsi NTT telah banyak dilaksanakan guna meningkatkan pendapatan petani pedesaan di NTT. Sejak dahulu para gubernur ketika memulai masa jabatanya, yang pertama kali dicanangkan adalah kebijakan strategis yang membantu petani agar dapat meningkatkan produksi pertanian dan pendapatanya. Diantara program tersebut adalah Program Operasi Nusa Makmur (ONM), Program Operasi Nusa Hijau (ONH), Program Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar), Program Membangun Desa (Gerbades) dan lain-lain. Program pangan terakhir adalah program Anggur Merah yang merupakan singkatan dari anggaran pembangunan untuk mensejahterahkan rakyat. Di antara kebijakan operasional peningkatan produksi tanaman pangan lokal yang telah dilaksanakan untuk mendukung ketahanan pangan provinsi NTT yaitu program statistik pertanian tanaman pangan lokal, program intensifikasi penanaman jagung, program peta data kekeringan, program penanaman singkong unggulan lokal dan program perbanyakan benih lokal.

Berbagai program diatas dirasa belum memberikan hasil yang signifikan bagi perbaikan kondisi peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani sehingga ketahanan pangan penduduk NTT sangat rapuh terbukti daerah ini masih mengalami rawan pangan dan gagal panen. Belum optimalnya implementasi kebijakan produksi tanaman pangan lokal di provinsi NTT disebabkan masih

(6)

banyaknya kendala baik itu menyangkut operasional di lapangan, kordinasi yang belum berjalan efektif, komitmen untuk keberhasilan program yang masih rendah dan kurangnya alokasi anggaran dari pengambil kebijakan, sehingga kebijakan dan program yang selama ini ada hanya menjadi dokumen para pakar dan praktisi tanpa mencapai hasil yang diharapkan.

4.1.2 Stabilitas Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Stabilitas ketahanan pangan di tingkat RT dapat dilihat dari beberapa indikator diantaranya lapangan pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga. Hal ini dinilai mempengaruhi faktor ekonomi suatu rumah tangga yang terkait dengan stabilitas ketahanan pangan suatu rumah tangga. Beberapa indikator yang dapat dilihat dari subsistem stabilitas pangan seperti faktor cuaca, faktor harga, faktor politik dan faktor ekonomi, tetapi dalam hal ini penulis hanya menggunakan faktor ekonomi yang mencakup lapangan pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga saja.

Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Nusa Tenggara Timur yang mayoritas tinggal di pedesaan. Sektor pertanian sangat berkaitan dengan ketahanan pangan. Tahun 2010, sebanyak 50 persen angkatan kerja di provinsi NTT melakukan aktivitas ekonomi di sektor pertanian, kecuali di kota Kupang dimana persentase penduduk yang bekerja disektor pertanian cenderung menurun (BPS Prov. NTT, 2010).

Primer 65 persen

Sumber: BPS Prov.NTT (diolah)

Gambar 6. Persentase jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010

Primer 65 % Tersier 24 % Sekunder 11 %

(7)

Gambar 6 menunjukan persentase pekerjaan penduduk Nusa Tenggara Timur berdasarkan lapangan pekerjaan utama dari penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja pada tahun 2010. Sektor pertanian merupakan sektor p r i m e r yang memiliki persentase terbesar yaitu 65 persen, diikuti oleh sektor tersier dan sekunder yaitu masing-masing sebesar 24 persen dan 11 persen. Hal ini menunjukan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Komposisi penduduk juga merupakan hal yang penting dalam pembangunan. Komposisi penduduk secara langsung terkait dengan jumlah anggota rumah tangga di setiap keluarga. Jumlah anggota rumah tangga yang banyak dalam suatu rumah tangga dikhawatirkan dapat menyebabkan terhambatnya akses rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan panganya. Komposisi penduduk di Provinsi NTT menurut kelompok umur menunjukkan bahwa penduduk NTT memiliki komposisi penduduk muda yaitu jumlah penduduk usia 0-14 tahun lebih banyak dari usia penduduk lainya (BPS Prov. NTT, 2010). Tingginya persentase penduduk muda terhadap penduduk total NTT karena tingginya tingkat kelahiran di Provinsi tersebut. Beban pembangunan dimasa yang akan datang akan lebih kompleks apabila tingkat kelahiran tidak diantisipasi dengan baik misalnya dengan program KB. Sudah selayaknya jumlah penduduk yang besar menjadi modal pembangunan apabila ditingkatkan kualitasnya melalui pendidikan dan penyedia lapangan pekerjaan. Tapi sebaliknya jumlah penduduk yang besar yang tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan, lapangan pekerjaan yang tersedia maka akan menyebabkan tingginya angka pengangguran dan beban kehidupan di masing-masing rumah tangga.

4.1.3 Akses Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Akses pangan merupakan faktor yang menentukan tercapainya ketahanan pangan. Meskipun di suatu daerah ketersediaan pangan mencukupi dan berlimpah namun jika tidak didukung dengan adanya akses yang baik maka ketahanan pangan tidak dapat tercapai. Faktor yang menentukan akses pangan terhadap suatu wilayah diantaranya adalah pendapatan yang tercermin dari PDRB wilayah dan tingkat pendidikan.

(8)

Secara makro, besaran PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja ekonomi suatu wilayah provinsi maupun kabupaten. PDRB perkapita lazim digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk yang akan berdampak pada ketahanan pangan di suatu wilayah. PDRB perkapita Provinsi NTT atas dasar harga konstan mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2010. Pada tahun 2009, PDRB Provinsi NTT atas dasar harga konstan sebesar 11,921 milyar rupiah meningkat menjadi 12,532 milyar rupiah pada tahun 2010 (Lampiran 1). Peningkatan PDRB atas harga konstan (2000) tersebut secara tidak langsung memperlihatkan bahwa volume kegiatan usaha di NTT memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan PDRB per kapita disebabkan oleh karena peningkatan pendapatan lebih tinggi dari peningkatan jumlah penduduk di Provinsi NTT. Berdasarkan PDRB atas harga berlaku di Provinsi NTT maka terdapat peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2010 dari 21.656 milyar rupiah menjadi 27.738 milyar rupiah dimana secara umum perekonomian NTT meningkat dibanding tahun sebelumnya. Perkembangan ekonomi di NTT dari tahun ke tahun akan lebih jelas diperlihatkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan. Pada tahun 2008, laju pertumbuhan ekonomi NTT mencapai 4,84 persen, dimana tahun 2009 melemah menjadi 4,29 persen tetapi meningkat kembali menjadi 5,23 persen pada tahun 2010.

Kontribusi setiap sektor ekonomi terhadap seluruh perekonomian di Provinsi NTT dapat dilihat pada Gambar 7. Struktur perekonomian NTT tahun 2010 tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, dimana sektor-sektor yang paling dominan adalah pertanian dan jasa-jasa. Kontribusi terbesar dalam PDRB NTT tahun 2010 berasal dari sektor pertanian yakni sebesar 38,45 persen, disusul dengan sektor jasa-jasa sebesar 24,69 persen. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi sebesar 16,76 persen dengan peringkat tertinggi ke-3 setelah sektor pertanian dan jasa-jasa. Kontribusi terendah berasal dari sektor listrik, gas dan air bersih yang hanya sebesar 0,42 persen.

(9)

Sumber : BPS Prov. NTT (diolah)

Gambar 7. Struktur PDRB di Provinsi NTT Menurut lapangan Usaha Tahun 2010.

Besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian di Provinsi NTT mengisyaratkan bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang harus dikembangkan oleh pemerintah daerah NTT, walaupun sektor pertanian pada kenyataanya masih relatif sulit untuk dikembangkan peningkatan kapasitas produksinya, mengingat sektor pertanian khususnya sub sektor tanaman bahan makanan lebih banyak bergantung pada faktor musim. Sektor pertanian perlu diperhatikan dan ditingkatkan guna pembangunan di Provinsi NTT yang lebih baik. Hal ini diharapkan dapat mendukung terciptanya ketahanan pangan yang kuat di Provinsi NTT dengan tingginya kontribusi terhadap sektor pertanian. Gambaran tentang peranan sektor-sektor ekonomi terhadap pembentukan PDRB NTT tersebut memperlihatkan bahwa sampai saat ini struktur ekonomi NTT masih relatif lemah, terutama dari sisi kemampuan untuk lebih mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan luas perairan NTT yang kurang lebih 200.000 km2 diluar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ternyata penduduk NTT yang bekerja di sub sektor perikanan hanya sebesar 2,51 persen (DDA NTT, 2010), Hal ini sungguh ironis mengingat hampir seluruh luas wilayah NTT dikelilingi perairan. Oleh karena itu peningkatan sektor perikanan oleh pemerintah perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius di wilayah NTT, mengingat potensi sumberdaya kelautan NTT masih memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan. 38% 1% 2% 0% 7% 17% 6% 4% 25% Pertanian Pertambangan Industri pengolahan Listrik,gas dan air bersih bangunan/ kontruksi

perdagangan, hotel dan restoran pengangkutan dan komunikasi keuangan, persewaan dan jasa perushanaan

(10)

Upaya pembangunan sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui investasi disektor pendidikan. Pendidikan diselenggarakan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi langkah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga negara. Peningkatan derajat pendidikan diprioritaskan sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan dan karawanan pangan. Pendidikan merupakan salah satu indikator kesejahteraan yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat di Provinsi NTT adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang digambarkan melalui indeks pembangunan manusia yang rendah (Human Development Index).

Sumber : BPS NTT dalam angka (diolah)

Gambar 8. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2010 di Provinsi NTT.

Masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi diharapkan mempunyai pengetahuan akan gizi dan konsumsi pangan yang lebih baik. Sehingga dapat meningkatkan produktivitas kinerja yang dapat berkontribusi dalam pembangunan. Kualitas pendidikan di Provinsi NTT dapat dilihat dari persentase kelulusan yang ditempuh oleh masyarakat NTT. Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Provinsi NTT masih tergolong rendah. Hampir 45,42 persen penduduk NTT pada tahun 2010 yang berumur diatas 10 tahun tidak lulus SD dan tidak memiliki ijazah. Sedangkan penduduk yang tamat Sekolah Dasar hanya sebesar 27,37 persen (Gambar 8).

45%

27% 11%

10%

3% 1% 1% 2%

tidak punya ijazah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU SMK D1 dan D2 D3 D4-S3

(11)

Jumlah kelulusan penduduk di Provinsi NTT jika dilihat dari tahun 2009-2010 mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini sungguh ironis. Dimana masyarakat yang tidak lulus SD jumlahnya ternyata semakin meningkat. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan masyarakat NTT bukanya semakin membaik, tetapi malah semakin memburuk. Peningkatan hanya terjadi untuk lulusan D4 sampai dengan S3 yang peningkatannya cukup kecil, hanya sebesar 0,2 persen (Gambar 9). Rendahnya kualitas pendidikan di Provinsi NTT mencerminkan ketahanan pangan di wilayah NTT dalam kondisi yang tidak aman.

Sumber : BPS NTT (diolah)

Gambar 9. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2009-2010 di Provinsi NTT

4.2 Pola Konsumsi Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Pangsa pengeluaran pangan yang merupakan suatu indikator penentu ketahanan pangan rumah tangga masih mencapai proporsi yang cukup tinggi di Provinsi NTT. Hasil pengolahan data SUSENAS tahun 2010 di Provinsi NTT menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan untuk pedesaan sebesar 68,24 persen, hal ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah perkotaan yang hanya sebesar 54,31 persen (Tabel 7). Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan masyarakat perkotaan masih lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan di NTT dimana mengindikasikan rendahnya tingkat kesejahteraan

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 tidak punya ijazah

Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU SMK D1 dan D2 D3 D4-S3 Persen Pendidikan 2010 2009

(12)

rumah tangga di desa. Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah NTT saat ini hasilnya masih lebih dinikmati oleh masyarakat perkotaan daripada penduduk pedesaan. Berikut pangsa pengeluaran pangan dan non pangan di Provinsi NTT atas desa-kota Tahun 2010.

Tabel 7. Persentase Pengeluaran Rata-rata Rumahtangga di Provinsi NTT Tahun 2010

No Keterangan Pangsa Pangan (%) Non Pangan (%)

1 Kota 54,31 45,69

2 Desa 68,24 31,76

Total NTT 66,08 33,92

Sumber : BPS, 2010 (diolah)

Pola konsumsi pangan secara keseluruhan dapat dilihat dari besarnya pengeluaran untuk masing-masing kelompok pangan. Pola konsumsi pangan yang bermutu dengan gizi seimbang adalah konsumsi pangan yang dapat menyediakan zat tenaga (energi), zat pembangun (protein) dan zat pengatur (vitamin dan mineral) dalam kuantitas yang cukup yang terdiri dari beraneka ragam pangan. Pangan yang beraneka ragam sangat penting karena kenyataanya tidak ada satu komoditas pangan yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang lengkap. Dengan konsumsi pangan yang beraneka ragam maka kekurangan zat gizi dalam satu jenis pangan akan dilengkapi oleh kandungan zat gizi dari pangan lainnya. Adanya prinsip saling melengkapi antara berbagai jenis pangan tersebut akan menjamin terpenuhinya mutu gizi seimbang dalam jumlah yang cukup.

Berdasarkan pengeluaran rata-rata perkapita sebulan dan menurut kelompok pangan ternyata konsumsi pangan di NTT masih didominasi kelompok pangan sumber karbohidrat dari serealia (beras dan jagung). Beras masih menjadi pangan pokok utama bagi sebagian besar masyarakat NTT dan menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di pedesaan. Sebesar 24,2 persen konsumsi masyarakat NTT masih didominasi oleh padi-padian. Konsumsi padi-padian tertinggi berada di pedesaan sebesar 26,4 persen sedangkan diperkotaan konsumsi padi-padian hanya sekitar 17,4 persen (Tabel 8). Diantara kelompok padi-padian, beras merupakan komoditi terbanyak yang dikonsumsi masyarakat NTT yaitu mencapai 92,99 persen (Lampiran 2). Hal ini didukung oleh penelitian Ariningsih (2008) yang menyimpulkan bahwa beras merupakan pangan pokok utama bagi

(13)

sebagian besar masyarakat Indonesia dimana masih menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di pedesaan sementara kontribusi pangan pokok lainnya seperti jagung dan ubi kayu sangat kecil. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan “raskin”. Kebijakan ini mengakibatkan pergeseran pola konsumsi pangan pokok dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Berikut persentase konsumsi pangan di Provinsi NTT tahun 2010 di daerah pedesaan dan perkotaan.

Tabel 8. Persentase Konsumsi Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen)

No Kelompok Pangan Tahun 2010

Desa Kota Desa+Kota

1 Padi-padian 26,4 17,4 24,2

2 Umbi-umbian 3,0 2,3 2,8

3 Ikan 7,2 9,3 7,8

4 Daging 16,4 13,3 15,7

5 Telur dan susu 5,6 7,1 6,4

6 Sayuran 7,2 9,0 7,5

7 Kacang-kacangan 3,5 3,8 3,6

8 Buah-buahan 3,3 4,5 3,5

9 Minyak dan lemak 3,0 3,2 3,0

10 Bahan Minuman 5,2 4,0 4,9

11 Bumbu-bumbuan 1,2 1,6 1,2

12 Konsumsi lainnya 2,4 2,3 2,4

13 Makanan dan Minuman jadi 9,4 12,8 10,4

14 Tembakau dan Sirih 6,4 9,4 6,7

Total 100,0 100,0 100,0

Sumber : BPS, 2010 (diolah)

Konsumsi komoditi padi-padian lainnya memiliki persentase yang sangat kecil di Provinsi NTT (Lampiran 2). Konsumsi tepung terigu di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di wilayah pedesaan, hal ini disebabkan banyaknya jenis makanan jadi (olahan) di perkotaan yang menggunakan tepung terigu. Perbandingan konsumsi antara penduduk perkotaan dan pedesaan di Provinsi NTT menunjukkan bahwa persentase konsumsi padi-padian di daerah pedesaan masih jauh lebih besar daripada di perkotaan.

Selain beras dan jagung, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok adalah umbian. Dari hasil tabel diatas dapat dilihat bahwa konsumsi

(14)

umbi-umbian masyarakat NTT masih sangat rendah baik itu di pedesaan maupun di perkotaan yaitu hanya sebesar 3 persen. Daging merupakan komoditas pangan kedua tertinggi setelah padi-padian di Provinsi NTT yaitu sebesar 15,7 persen. Sedangkan makanan dan minuman jadi merupakan kelompok pangan tertinggi ke-3 yang dikonsumsi masyarakat NTT yaitu sebesar 10,4 persen. Konsumsi makanan dan minuman jadi yang terbesar terdapat di wilayah perkotaan dengan persentase sebesar 12,8 persen dibandingkan dengan pedesaan yang hanya sebesar 9,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk perkotaan lebih menyukai makanan cepat saji, hal ini terkait dengan pola hidup masyarakat perkotaan yang cenderung lebih senang dengan produk instan dan olahan. Di perkotaan dengan segala aktivitas yang padat dan cepatnya pertumbuhan pusat perbelanjaan dan restoran mengakibatkan masyarakat lebih muda mengkonsumsi makanan dan minuman jadi. Sedangkan di pedesaan masyarakat lebih memilih untuk mengolah pangan mereka sendiri.

Upaya diversifikasi pangan di Indonesia tak terkecuali di Provinsi NTT dinilai kurang berhasil karena ketergantungan terhadap beras masih tinggi meskipun potensi bahan pangan lain sangat besar. Hal ini terlihat dari kecenderungan penurunan konsumsi pangan pokok lokal lainnya seperti jagung dan ubi kayu. Di sisi lain, konsumsi mie dan bahan pangan lain yang berbahan baku terigu (gandum) yang merupakan bahan pangan impor cenderung semakin meningkat. Hasil kajian Hasibuan (2001) menyimpulkan bahwa mie instan berpotensi sebagai makanan sumber energi kedua setelah beras, tetapi belum berkedudukan sebagai makanan sumber energi pengganti beras.

4.3 Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein di Provinsi NTT

Tingkat kecukupan gizi juga merupakan salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu penduduk dengan asumsi bahwa semakin tercukupinya gizi maka semakin sejahtera. Kecukupan gizi yang lazim adalah disajikan dalam unit kalori dan protein. Norma kecukupan gizi yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah hasil kesepakatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004, walaupun banyak penelitian lain yang menggunakan standar angka kecukupan lainya, tetapi dalam penelitian

(15)

ini penulis menggunakan standar WNPG yang menetapkan angka kecukupan konsumsi pangan yang dianjurkan yaitu energi (kalori) dan protein masing-masing sebesar 2.000 kal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari.

Jumlah rumah tangga sampel SUSENAS di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 adalah sebanyak 1740 rumah tangga, dengan jumlah kabupaten sebanyak 19 kabupaten/kota. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2010, tingkat kecukupan gizi di provinsi NTT yang dihitung dari besarnya konsumsi kalori menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk NTT tahun 2010 sudah berada diatas batas standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2.054,05 kkal/kap/hari. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dari 2.000 kkal sehingga dapat dikatakan bahwa provinsi NTT secara wilayah masih dalam kondisi cukup kalori.

Sumber : BPS, 2010 (diolah)

Gambar 10. Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun 2010 (Kkal)

Dilihat dari sisi rumah tangga di Provinsi NTT berdasarkan sampel rumah tangga yang dianalisis, maka jumlah rumah tangga yang jumlah kalorinya diatas 2.000 kkal hanya sebesar 47 persen sedangkan yang konsumsi kalori dibawah 2.000 kkal jauh lebih tinggi sebesar 53 persen. Persentase kecukupan kalori rumah tangga di Provinsi NTT berdasarkan jumlah sampel rumah tangga pada tahun 2010 dapat dilihat pada (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa

2152.23 2056.25 2033.36 1986.27 1994.89 1984.41 2138.92 2251.43 1731.06 2131.20 2438.51 2005.84 2194.19 2399.95 2246.30 1974.35 2179.78 2090.41 0.00 2000.00

Konsumsi Kalori

Kabupaten

(16)

kecukupan kalori di tingkat kabupaten (provinsi) pada tahun 2010, belum tentu menjamin kecukupan kalori di tingkat rumah tangga. Tingginya jumlah rumah tangga di NTT yang konsumsi kalorinya masih dibawah 2000 kkal/kap/hari menunjukkan bahwa provinsi NTT masih belum mencukupi kalori standar yang ditetapkan WNPG VIII tahun 2004 dari sisi rumah tangga. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ariningsih tentang konsumsi gizi (2002) yang menyatakan bahwa perbaikan konsumsi gizi secara makro ternyata tidak mencerminkan pemerataan pemenuhan konsumsi gizi secara mikro di Indonesia. Selain itu fakta juga menunjukkan bahwa walaupun di tingkat nasional dan wilayah (provinsi) memiliki status tahan pangan terjamin, namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan, hal ini sesuai dengan penelitian Rachman (2004). Belum terpenuhinya konsumsi kalori sesuai standar yang ada antara lain disebabkan karena belum sadarnya masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi pangan yang sesuai dengan angka kecukupan gizi. Menurut Ariningsih (2008) kunci permasalahan rendahnya konsumsi kalori dan protein terletak pada rendahnya pendapatan rumah tangga, oleh karena itu program-program pemerintah hendaknya diarahkan pada program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan.

Selain kecukupan kalori, kecukupan protein juga menjadi indikator kualitas pangan yang harus diperhitungkan. Berdasarkan konsumsi protein di Provinsi NTT pada tahun 2010, kecukupan protein yang dikonsumsi penduduk NTT sebesar 52,7 gram/kap/hari. Hal ini sudah sesuai dengan standar yang dianjurkan WNPG VIII tahun 2004 yaitu sebesar 52 gram/kap/hari. Perbandingan antara pedesaan dan perkotaan memperlihatkan bahwa kecukupan protein di pedesaan masih lebih rendah dibandingkan perkotaan, begitu juga dengan kecukupan konsumsi kalori di perkotaan yang masih jauh lebih tinggi dibanding dengan pedesaan (Tabel 9). Secara keseluruhan kecukupan konsumsi protein dan kalori di Provinsi NTT secara wilayah dapat dikatakan sudah memenuhi standar tapi untuk konsumsi kalori di tingkat rumah tangga sendiri, ternyata rumah tangga

(17)

di Provinsi NTT konsumsi kalorinya masih dibawah ketentuan yang telah ditetapkan WNPG VIII tahun 2004.

Tabel 9. Kecukupan Konsumsi Protein dan Kalori di Provinsi NTT Menurut Desa dan Kota Tahun 2010.

Kelompok Tahun 2010

Protein (gr) Kalori (kkal)

Desa 51,37 2.048,51

Kota 59,68 2.084,17

Total 52,66 2.054,05

Sumber : BPS, 2010 (diolah)

Gambar 11 menunjukkan bahwa konsumsi protein per kapita sehari tiap Kabupaten di Provinsi NTT selama tahun 2010 sudah diatas standar yang ditetapkan yaitu 52 gram/kap/hari. Walaupun masih ada beberapa daerah kabupaten yang kecukupan proteinya masih dibawah rata-rata seperti Sumba barat, Sumba Timur, Kabupaten Kupang, TTS, TTU, Belu, Alor, Sikka, Ende, Rote Ndao, dan Sumba Barat Daya tetapi tidak terlalu jauh dari angka batas yang ditetapkan WNPG VIII tahun 2004. Hampir 57 persen rumah tangga di NTT kecukupan proteinya sudah diatas 52 gram/kap/hari. Hal ini memperkuat pendapat bahwa secara wilayah dan rumah tangga, provinsi NTT untuk konsumsi proteinya sudah tercukupi dan diatas rata-rata standar yang telah ditetapkan WNPG VIII tahun 2004.

Sumber : BPS (diolah)

Gambar 11. Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun 2010 (gram)

50.6 51.1 49.7 51.3 49.2 49.2 47.1 53.0 60.9 42.6 50.1 64.3 52.4 51.1 63.9 59.1 49.1 63.5 61.3 1.0 52.0

Konsumsi Protein

Kabupaten

(18)

4.4 Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Ketahanan pangan memiliki dua indikator yang sangat penting yaitu kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan. Berdasarkan perhitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi NTT persentase penduduk yang rawan pangan masih cukup tinggi yaitu sebesar 22,01 persen. Sementara itu rumah tangga yang tergolong tahan pangan lebih kecil yakni sebesar 20,06 persen.

Tabel 10. Distribusi Rumah Tangga menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010

Status Rumah tangga 2010

Kota Desa Total

Rawan Pangan 10,37 24,15 22,01

Kurang Pangan 14,07 7,89 8,85

Rentan Pangan 30,37 52,52 49,08

Tahan Pangan 45,19 15,44 20,06

Total 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS, Susenas 2010 (diolah)

Rumah tangga rentan pangan di NTT mencapai proporsi yang cukup besar yakni 49,08 persen. Kelompok ini menurut kriteria yang ditetapkan merupakan kelompok yang secara ekonomi (pendekatan diproksi dari pangsa pengeluaran pangan) termasuk kelompok kurang sejahtera, namun dari sisi konsumsi energi memenuhi syarat kecukupan, hal ini terkait dengan pola konsumsi dan kebiasaan makan masyarakat NTT. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menyatakan bahwa kelompok rentan pangan mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat (khususnya beras dan umbi-umbian) relatif lebih tinggi dibanding kelompok lainnya (Saliem dkk., 2001). Umumnya pangan sumber karbohidrat memiliki kandungan energi (kkal) yang tinggi, namun demikian tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat pada kelompok rentan pangan tidak diikuti oleh konsumsi sumber pangan lain secara seimbang. Dari sisi gizi, untuk memperoleh kondisi tubuh yang sehat diperlukan komposisi beragam zat gizi secara cukup dan seimbang. Oleh karena itu perlu upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi secara intensif. Mengingat kelompok ini secara ekonomi kurang mampu, maka upaya peningkatan pendapatan untuk

(19)

mampu mengakses pangan sumber protein, vitamin dan mineral secara baik perlu lebih digalakkan.

Kelompok rumah tangga kurang pangan di Provinsi NTT proporsinya relatif kecil yakni hanya 8,85 persen. Kelompok ini merupakan golongan dari sisi ekonomi relatif mampu untuk mengkonsumsi pangan, namun dari indikator gizi termasuk kurang (konsumsi kalori kurang dari syarat kecukupan). Oleh karena itu penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi, terutama tentang pola konsumsi pangan yang beragam dan seimbang perlu mendapat prioritas. Rumah tangga di perkotaan biasanya lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan non pangan meski kebutuhan kalorinya dibawah standar minimum yang dianjurkan. Hal ini diperkuat dari hasil pola konsumsi masyarakat perkotaan NTT yang cenderung ke arah instan dimana indikasi ini dapat dilihat dari meningkatnya konsumsi tepung terigu dan makanan juga minuman siap jadi di Provinsi NTT pada tahun 2010.

Berdasarkan latar belakang daerah tempat tinggal, ternyata persentase rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Tahun 2010, rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan mencapai 24,15 sedangkan di perkotaan sebesar 10,37 persen. Sebaliknya rumah tangga yang tahan pangan di perkotaan lebih besar dibandingkan rumah tangga di pedesaan. Rumah tangga tahan pangan di perkotaan mencapai 45,19 persen sedangkan di pedesaan hanya sebesar 15,44 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi di daerah pedesaan lebih buruk dibanding di daerah perkotaan. Terbatasnya akses dan infrastruktur di pedesaan menyebabkan tingginya kerawanan pangan di pedesaan. Sebaliknya diperkotaan dengan segala fasilitas dan sarana yang ada menyebabkan tingkat rumah tangga yang tahan pangan juga cukup tinggi.

Persentase rumah tangga yang rentan pangan di pedesaan ternyata lebih besar dibandingkan di perkotaan. Rumah tangga rentan pangan di pedesaan NTT mencapai 52,52 persen. Rumah tangga yang diidentifikasikan rentan pangan pada dasarnya telah memenuhi kebutuhan kalori minimum, namun secara ekonomi memiliki pangsa pengeluaran pangan yang masih besar, hal ini terkait dengan pola konsumsi dan kebiasaan makan. Biaya hidup yang lebih murah di pedesaaan

(20)

menjadi salah satu penyebab terpenuhinya kebutuhan kalori meski pangsa panganya masih lebih besar.

Apabila hanya menggunakan indikator ekonomi (diproksi dari pangsa pengeluaran pangan) dengan kriteria apabila pangsa pengeluaran pangan tinggi (>60% pengeluaran total), maka kelompok tersebut merupakan golongan yang relatif kurang sejahtera. Dengan indikator tunggal tersebut, kelompok yang tidak tahan pangan adalah kelompok rentan pangan dan rawan pangan. Dengan kriteria tersebut, maka proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di Provinsi NTT sekitar 71 persen, bila dibedakan kota dengan desa ternyata proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di desa (77%) lebih tinggi dibanding didaerah kota yang mencapai 41 persen.

Sementara itu bila menggunakan indikator tunggal dari kecukupan konsumsi energi (kalori), sebagai proksi dari peubah gizi maka kelompok rumah tangga dengan konsumsi kalori ≤ 80 persen dari syarat kecukupan merupakan kelompok yang tidak tahan pangan. Dengan kategori diatas, maka kelompok kurang pangan dan rawan pangan tergolong tidak tahan pangan, dengan demikian maka proporsi kelompok rumah tangga tidak tahan pangan sekitar 31 persen, bila dibedakan menurut wilayah maka proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di desa dan di kota masing-masing sekitar 32 persen dan 24 persen.

Karakteristik masing-masing kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan dapat memperjelas tentang kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi NTT. Beberapa karakteristik rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan seperti lapangan pekerjaan, umur KRT, jumlah anggota RT, pendidikan KRT, status pekerjaan KRT dan konsumsi kalori dan protein rumah tangga dapat dijadikan sebagai acuan dalam mendeskripsikan ketahanan pangan rumah tangga.

4.4.1 Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

Salah satu indikator tingkat kesejahteraan yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga adalah sumber pendapatan rumah tangga. Sektor lapangan pekerjaan rumah tangga mencerminkan perolehan sumber pendapatan. Sumber pendapatan juga dianggap

(21)

sebagai akses rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan panganya. Jika suatu rumah tangga memiliki pendapatan yang tinggi, maka diharapkan daya belinya terhadap kebutuhan akan pangan juga dapat tercukupi. Sumber penghasilan utama rumah tangga dapat didekati dengan lapangan usaha kepala rumah tangga. Secara umum, setiap rumah tangga di Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya menganut sistem “single budget”. Kepala rumah tangga berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangga sedangkan istri dan anggota rumah tangga lainnya bersifat membantu mencari nafkah. Oleh karena itu, lapangan usaha yang ditekuni kepala rumah tangga dijadikan acuan dalam penentuan kategori sektor dalam penelitian ini.

Diantara penduduk yang rawan pangan pada tahun 2010 di Provinsi NTT, ternyata persentase terbesar adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 82 persen (Gambar 12). Hal ini merupakan kondisi yang sangat ironis mengingat pertanian adalah salah satu lapangan usaha yang menghasilkan bahan pangan pokok, namun rumah tangga di sektor pertanian justru merupakan rumah tangga yang rawan pangan. hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Saliem et. al., (2001) yang menyatakan bahwa di Indonesia rumah tangga rawan pangan paling banyak terdapat pada rumah tangga dengan mata pencarian di sektor pertanian sebagai penghasil bahan pangan.

Sumber : BPS (diolah)

Gambar 12. Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga di Provinsi NTT (persen)

82% 3% 2% 0% 4% 3% 1% 5%

Rawan Pangan

Pertanian

Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan

Listrik gas dan air bersih Bangunan dan kontruksi Perdagangan,hotel dan restoran Pengangkutan, transportasi dan komunikasi

(22)

Dengan kondisi seperti ini dikhawatirkan banyak rumah tangga yang beralih ke sektor lain selain lapangan usaha pertanian yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi, semisal jasa dan perdagangan walaupun dari hasil kontribusi terhadap PDRB keseluruhan di NTT menunjukkan bahwa subsektor pertanian memberikan kontribusi terbesarnya. Hal ini merupakan ancaman bagi ketahanan pangan, dimana dengan beralihnya rumah tangga pertanian ke sektor lain maka ketersediaan pangan yang merupakan penopang ketahanan pangan nasional dapat terancam keberadaanya. Selain itu bahan pangan maupun hasil-hasil pertanian hanya akan bergantung kepada impor pangan dari negara lain sehingga Provinsi NTT tidak lagi memiliki kemandirian pangan.

Secara agregat sumber pendapatan utama kelompok rumah tangga rentan pangan dan rawan pangan adalah dominan pada sektor pertanian masing-masing memberikan kontribusi sebesar 77 persen dan 82 persen. Sementara itu untuk rumah tangga tahan pangan, sebesar 41 persen sumber pendapatan utama berasal dari sektor jasa keuangan, perseroan dan jasa perusahaan. Kelompok rumah tangga tahan pangan menempati proporsi terkecil untuk sumber pendapatan yang berasal dari sektor pertanian. Tabel 11. menunjukkan distribusi pendapatan rumah tangga berdasarkan tingkat derajat ketahanan pangan berdasarkan lapangan pekerjaan.

Tabel 11. Distribusi Rumah Tangga Menurut lapangan Pekerjaan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010

Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)

No Lapangan Pekerjaan

Derajat Ketahanan Pangan Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan 1 Pertanian 41,64 76,84 65,25 81,94

2 Pertambangan dan penggalian 1,31 2,37 1,42 2,78

3 Industri pengolahan 1,64 1,87 2,84 1,67

4 Listrik gas dan air bersih 0,66 0,12 7,80 0,28

5 Bangunan dan kontruksi 1,31 2,74 4,26 4,17

6 Perdagangan,hotel dan restoran 8,52 3,86 5,67 2,78

7 Pengangkutan, transportasi dan komunikasi 3,61 1,49 2,84 1,39

8 Keuangan,perseroan dan jasa perusahaan 40,66 10,46 9,93 5,00

9 Lainnya 0,66 0,25

(23)

4.4.2 Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga, rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hampir 52 persen kepala rumah dengan status rumah tangga rawan pangan merupakan lulusan Sekolah Dasar (Tabel 12). Sebaliknya untuk rumah tangga tahan pangan, persentase yang tidak lulus sekolah dasar cukup kecil yakni hanya sebesar 13,47 persen. Rumah tangga tahan pangan didominasi oleh kepala rumah tangga yang lulus SMU dengan persentase sebesar 30 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka status ketahanan panganya semakin baik.

Tabel 12. Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendidikan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010

Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)

Rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan akan semakin menurun dengan meningkatnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penelitian Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga maka akan semakin meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Kepala rumah tangga dengan pendidikan yang tinggi akan lebih muda mendapatkan pekerjaan sehingga akan memiliki pendapatan yang lebih baik guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan akan dapat meningkatkan produktivitas yang selanjutnya dapat meningkatkan output yang akhirnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan. Selain itu pendidikan yang tinggi juga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai gizi dan kesehatan sehingga dapat digunakan untuk menentukan pola makan yang baik dan bergizi sehingga terhindar dari kerawanan pangan.

No Tingkat Pendidikan

Derajat Ketahanan Pangan Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan 1 Tidak lulus SD 13,47 34,83 34,53 37,16 2 SD 21,56 38,33 33,09 51,36 3 SMP 10,78 9,99 16,55 10,27 4 SMU 29,64 14,17 10,07 1,21 5 Perguruan Tinggi 24,55 2,70 5,76 0,00 Total 100,00 100,00 100,00 100,00

(24)

4.4.3 Status Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

Status pekerjaan kepala rumah tangga juga dapat dijadikan sebagai indikator kesejahteraan rumah tangga. Berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga, rumah tangga dibedakan menjadi enam kategori yaitu berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap (buruh tidak dibayar), berusaha dibantu buruh tetap (buruh dibayar), buruh (karyawan/pegawai), pekerja tidak dibayar dan lainnya. Gambar 13 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga. Status pekerjaan dengan berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar merupakan status pekerjaan dengan persentase tertinggi dalam rumah tangga rawan pangan yaitu sebesar 76 persen. Tingginya persentase tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga rawan pangan sangat beresiko dengan status kepala rumah tangga dengan status tersebut. Status pekerjaan dengan berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar merupakan status pekerjaan yang informal dengan ketidak pastian pekerjaan dan tidak adanya jaminan yang kuat.

Sumber : BPS (diolah)

Gambar 13. Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen)

Sedangkan untuk rumah tangga dengan status tahan pangan, hampir 40 persen kepala rumah tangganya memiliki status pekerjaan sebagai buruh/ karyawan/ pegawai (Gambar 14). Hal ini dapat dimaklumi karena dengan status kepala rumah tangga yang bekerja di bidang formal seperti pegawai negeri

7% 76% 3% 9% 4% 1%

Rawan Pangan

Berusaha sendiri

Berusaha dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar Berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar

Buruh/karyawan/pegawai Pekerja tidak dibayar Lainnya

(25)

maupun karyawan swasta dengan pendapatan yang tinggi dan pekerjaan yang pasti tentunya dapat menjamin kebutuhan akan pangan di masing-masing rumah tangga. Kepala rumah tangga dengan status pekerjaan seperti ini biasanya lebih

tahan pangan dan dapat memenuhi kebutuhan panganya dengan baik. Sumber : BPS (diolah)

Gambar 14. Rumah Tangga Tahan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen)

4.4.4 Umur KRT dan Jumlah Anggota Rumah Tangga

Jumlah anggota rumah tangga secara absolut pada kelompok rumah tangga rawan pangan rata-rata lebih besar dibanding kelompok tahan pangan. Ada kecenderungan bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga, maka semakin menurun derajat ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Purwantini dan Rahman (2005) dimana hasil studinya menyimpulkan bahwa besarnya jumlah anggota rumah tangga menyebabkan derajat ketahanan pangan yang semakin memburuk. Upaya membangkitkan kembali program Keluarga Berencana dan kelembagaan posyandu dengan berbagai penyempurnaan akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga.

Jika dilihat dari umur kepala rumah tangga maka secara agregat umur kepala rumah tangga di provinsi NTT masih dalam usia produktif. Walaupun dari kelompok umur untuk rumah tangga tahan pangan lebih tinggi dari rawan pangan, tetapi rentang umur rumah tangga tahan pangan berkisar antara 15 tahun s/d 92 tahun. Sedangkan untuk rumah tangga rawan pangan rentang umurnya berkisar 20

12% 38% 7% 40% 2% 1%

Tahan Pangan

Berusaha sendiri

Berusaha dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar

Berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar

Buruh/karyawan/pegawai Pekerja tidak dibayar Lainnya

(26)

tahun s/d 98 tahun. Berikut kategori umur dan jumlah anggota rumah tangga berdasarkan derajat ketahanan panganya dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Karakteristik Rumah Tangga Menurut Umur dan JART Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010

Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)

4.4.5 Konsumsi Kalori dan Protein

Sesuai rekomendasi angka kecukupan energi dan protein agar seseorang dapat hidup sehat dan aktif menjalankan akrivitas sehari-hari secara produktif maka diwajibkan mengkonsumsi kalori dan protein sebesar 2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/ kap/hari (WNPG, 2004). Keragaan tingkat konsumsi kalori (energi) dan protein masing-masing kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan di provinsi NTT disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Rataan Konsumsi Kalori dan Protein Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010

No Status Gizi

Derajat Ketahanan Pangan Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan

1 Konsumsi Kalori (kkal) 2418,8 2360,3 1343,9 1324,3

2 Konsumsi Protein (gram) 65,3 59,8 33,9 32,8

Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)

Sesuai dengan kriteria yang dirumuskan bahwa kelompok rumah tangga tahan pangan dan rentan pangan merupakan kelompok rumah tangga dari sisi gizi cukup (˃80% dari syarat kecukupan), seperti terlihat pada data Tabel 14. Kedua kelompok tersebut mengkonsumsi energi dan protein melebihi angka kecukupan. Sebaliknya pada kelompok kurang pangan dan rawan pangan masing-masing mengkonsumsi energi dan protein kurang dari angka kecukupan yang direkomendasikan. Secara umum konsumsi kalori di pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan kecuali untuk kelompok rumah tangga rawan pangan terjadi sebaliknya. Kelompok rentan pangan diindikasikan mengkonsumsi cukup kalori dan protein walaupun dari sisi ekonomi tergolong kurang sejahtera.

No Kategori

Derajat Ketahanan Pangan Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan 1 Umur KK (th) 48,15 49,44 48,59 46,94

(27)

4.4.6 Pola Pengeluaran Rumah Tangga

Pangsa pengeluaran pangan rumah tangga merupakan salah satu indikator ketahanan pangan rumah tangga (Pakpahan dkk., 1993). Pengeluaran total rumah tangga juga dapat dipandang sebagai pendekatan pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu pemahaman pola pengeluaran (pangan dan non pangan) dapat dijadikan salah satu indikator ketahanan rumah tangga. Secara rinci pola pengeluaran rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan di NTT dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Pola Pengeluaran Pangan dan Non Pangan RT Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010

Wilayah Status

Derajat Ketahanan Pangan Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan Desa Pangan 51,8 72,8 51,4 70,6 Non Pangan 48,2 27,2 48,6 29,4 Kota Pangan 47,6 68,1 53,4 68,3 Non Pangan 52,4 31,9 46,6 34,8 Total Pangan 52,3 71,3 51,5 66,0 Non Pangan 47,7 28,7 48,5 34,0

Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)

Sesuai dengan kategori pengelompokkan derajat ketahanan pangan maka kelompok rawan pangan dan rentan pangan adalah kelompok rumah tangga secara ekonomi (diproksi dari pola pengeluaran pangan) termasuk kurang sejahtera dalam hal ini pengeluaran panganya masih diatas 60 persen. Di desa, rata-rata pangsa pengeluaran pangan relatif lebih tinggi dibanding di kota untuk semua kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan. dengan demikina dapat dikatakan bahwa di kota kondisinya relatif lebih baik dibandingkan di desa.

4.5 Dinamika Kerawanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT

Dinamika ketahanan pangan di Provinsi NTT dapat dilihat dari perbandingan kerawanan pangan antara tahun 2009 dan 2010. Berdasarkan klasifikasi silang Jonsson and Toole dalam Maxwel et. al., (2009) maka telah terjadi perubahan status kerawanan pangan pada beberapa kabupaten di Provinsi NTT. Adapun kabupaten/ kota yang masuk ke dalam 12 peringkat tertinggi tingkat kerawanan panganya dapat dilihat pada Tabel 16. Beberapa kabupaten yang awalnya di tahun 2009 masuk kedalam 12 kabupaten dengan kondisi rawan

(28)

pangan, tetapi pada tahun 2010 kabupaten tersebut telah keluar dari kondisi rawan pangan diantaranya Sumba Barat, Kabupaten Kupang dan Manggarai Barat. Sedangkan ada tiga kabupaten yang awalnya di tahun 2009 tidak termasuk kedalam kondisi rawan pangan, tapi pada tahun 2010 masuk kedalam peringkat 12 besar kabupaten rawan pangan di Provinsi NTT yaitu Sumba Tengah, Flores Timur dan Sumba Timur.

Tabel 16. Jumlah 12 Kabupaten Rawan Pangan dengan persentase Tertinggi di Provinsi NTT Tahun 2009 dan 2010

No Kabupaten Rawan Pangan Peringkat

2009 2010

1 TTS TTS 1

2 Lembata Sikka 2

3 Sumba Barat Alor 3

4 Alor Sumba Barat Daya 4

5 Kab. Kupang Belu 5

6 Rote Ndao TTU 6

7 TTU Manggarai 7

8 Sikka Sumba Tengah 8

9 Manggarai Lembata 9

10 Manggarai barat Flores Timur 10

11 Sumba Barat Daya Sumba Timur 11

12 Belu Rote Ndao 12

Sumber : BPS, Susenas 2009 dan 2010 (diolah)

Untuk melihat dinamika perubahan kondisi tiap rumah tangga di NTT dari besarnya persentase rawan pangan, maka rumah tangga rawan pangan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu persentase rumah tangga rawan pangan (1) rendah (<30 persen), (2) sedang (15-30 persen), (3) tinggi (>30 persen) di masing-masing kabupaten/ kota. Beberapa rumah tangga rawan pangan di kabupaten Provinsi NTT yang kondisinya membaik dibanding tahun 2009 adalah kabupaten Sumba Barat, Lembata, dan Manggarai Barat. Sedangkan beberapa Kabupaten yang kondisinya memburuk dibanding tahun 2009 adalah kabupaten Sumba Timur, Flores Timur, Belu, Sikka dan Sumba Tengah. Kondisi tetap juga dialami beberapa kabupaten lainnya di Provinsi NTT, dimana dibanding tahun 2009 kondisinya masih sama yaitu masih masuk kedalam wilayah rawan pangan. Berikut gambar 15 menunjukkan bahwa terdapat daerah yang secara konsisten semakin memburuk yang ditunjukkan dengan perubahan gradasi dari warna terang ke arah yang lebih gelap.

(29)

01 Sumba Barat 08 Lembata 15 Manggarai Barat 02 Sumba Timur 09 Flores Timur 16 Sumba Tengah 03 Kab. Kupang 10 Sikka 17 Sumba Barat Daya 04 TTS 11 Ende 18 Nagakeo 05 TTU 12 Ngada 19 Kota Kupang 06 Belu 13 Manggarai

07 Alor 14 Rote Ndao

Gambar 15. Peta Persentase Rumah Tangga Rawan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 dan 2010

(30)

4.6 Hubungan Kemiskinan dan Kerawanan Pangan

Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensi dalam pembangunan. Kemiskinan ditandai dengan keterbelakangan dan pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan pendapatan, kesenjangan antar golongan dan kerawanan pangan. Berbagai masalah pangan dan gizi disebabkan oleh kemiskinan yang dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik. Timbal balik artinya kemiskinan akan menyebabkan kekurangan gizi dan masyarakat yang kekurangan gizi akan berakibat pada kemiskinan.

Provinsi NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menunjukkan tingkat kemiskinan yang masih tergolong tinggi. Provinsi NTT berada di peringkat ke tiga sebagai provinsi termiskin dengan persentasi sebesar 23,03 persen dari total populasi (BPS, 2010). Tabel 17 menunjukkan perbandingan penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan dan persentase rumah tangga yang rawan pangan di provinsi NTT tahun 2010. Besarnya jumlah penduduk miskin di pedesaan berbanding lurus dengan besarnya rumah tangga rawan pangan di pedesaan pada tahun 2010. Hal ini mengindikasikan bahwa baik penduduk miskin maupun rumah tangga rawan pangan sebagian besar memang berada di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan.

Tabel 17. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin dan Rumah tangga Rawan Pangan di Provinsi NTT.

No Uraian

Tahun 2010

Penduduk Miskin RT Rawan Pangan

1 Desa 25,1 24,15

2 Kota 13,57 10,37

Total 23,03 22,01

Sumber BPS, (diolah)

Tingkat dan konsumsi makanan penduduk miskin tidak memenuhi kecukupan gizi sesuai standar yang ada. Dengan asupan makanan yang tidak tercukupi bagi anggota rumah tangga, maka penduduk miskin lebih rentan terhadap kerawanan pangan. Keluarga miskin dicerminkan oleh profesi atau mata pencaharian yang biasanya buruh/ pekerja kasar yang berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh keluarga juga kurang

(31)

berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai dengan tingkat kehamilan yang tinggi karena kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan dengan adanya anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan keluarga. Padahal sebaliknya banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya beban anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga miskin.

Adanya faktor kemiskinan tentu akan berdampak signifikan pada ketahanan pangan pada rumah tangga yang memiliki “multiflier effect” terhadap status gizi dan kerawanan pangan. Peningkatan ketahanan pangan pada penduduk miskin dapat diatasi dengan peningkatan ketersediaan pangan melalui peningkatan kapasitas produksi dan diversifikasi pangan. Kelembagaan juga perlu ditingkatkan dalam menjamin stok pangan guna pemenuhan kebutuhan.

Salah satu program pemerintah yang saat ini sudah dilakukan dalam kaitanya mengatasi masalah kerawanan pangan pada penduduk miskin yaitu adanya program raskin. Tujuan utama program raskin yaitu (1) mengurangi beban pengeluaran RTS melalui pemenuhan sebagian kebutuhan bahan pangan dalam bentuk beras (2) Raskin adalah program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial di bidang pangan. Program raskin diharapkan dapat memberikan manfaat nyata dalam peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan sosial rumah tangga, selain itu program raskin merupakan program trasfer energi yang kaya akan kalori sehingga dapat memperbaiki kalori keluarga miskin. Menurut Triana (2012), bahwa NTT merupakan provinsi nomor 3 terbesar penerima raskin di tahun 2010 setelah NTB dan Sulawesi Tenggara. Kebutuhan akan beras di Provinsi NTT dinilai sangat tinggi karena pada tahun 2010 saja penduduk di NTT masih kekurangan beras untuk konsumsi NTT yakni sebanyak 220.639 ribu ton (BPS, 2011) dan kekurangan ini hanya bisa dipenuhi oleh adanya pendistribusian beras untuk masyarakat miskin secara langsung atau yang sering disebut program Raskin.

Menurut Fanny (2012), program raskin akan berpengaruh pada perilaku konsumsi rumah tangga karena beras murah akan mengurangi pengeluaran rumah tangga. Dengan berkurangnya pengeluaran pangan atau porsi dari pendapatan yang digunakan untuk kebutuhan pangan, maka rumah tangga diharapkan memiliki anggaran untuk investasi dan menabung.

Gambar

Tabel 5. Produksi dan Konsumsi Beras di Provinsi NTT Tahun  2010 (ton)
Tabel 6. Produksi dan Konsumsi Jagung di Provinsi NTT Tahun  2010 (ton).
Gambar 7. Struktur PDRB di Provinsi NTT Menurut lapangan Usaha  Tahun 2010.
Tabel  7.  Persentase  Pengeluaran  Rata-rata  Rumahtangga  di  Provinsi  NTT  Tahun 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Usulan Teknis dinyatakan memenuhi syarat (lulus) apabila mendapat nilai minimal 70 (tujuh puluh), peserta yang dinyatakan lulus akan dilanjutkan pada proses penilaian penawaran

Berdasarkan arti leksikal, Street Punk merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai subkultur (kultur yang terdominasi) yang berorientasi sebagai peta makna dan ideologi

dan penanganan perpajakan atas transaksi e- commerce adalah keberadaan sistem Internal dari DJP yang belum mampu memberikan kebutuhan data yang tepat untuk para pelaku

Metode yang lebih rumit dalam penentuan tekanan sentuh di bawah dasar pondasi pelat adalah dengan mempertimbangkan kesesuaian antara penurunan pondasi dan deformasi

Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah menjadi pegawai berarti menanggung segala resiko kerja. Resiko kerja ada dua, yaitu resiko fisik dan resiko kegagalan dalam

Pembelajaran remedial mempunyai banyak fungsi bagi peserta didik yang mengalami kesulitan belajar. Fungsi pembelajaran remedial antara lain yaitu :.. a) fungsi korektif,

Pasal 6 ayat 1 : Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis mengenai pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk masa pajak Juli 2009 s/d Desember 2009

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, bahwa dalam rangka penyelenggaraan Sistem Akuntabilitas Kinerja